Suku Wawonii

Suku Wawonii merupakan salah satu kelompok sosial suku bangsa yang berdiam di dalam wilayah Kabupaten Konawe, Provinsi Sulawesi Tenggara. Secara etnografis, keberadaan masyarakat suku Wawonii masih kurang dikenal oleh masyarakat luas. Hal ini disebabkan karena belum banyaknya penelitian atau publikasi yang dilakukan mengenai suku bangsa tersebut.

Daerah yang lebih khusus mereka diami adalah pulau kecil bernama Pulau Wawonii, yang terletak berseberangan dengan ujung tenggara jazirah Sulawesi Tenggara. Sebagian dari mereka juga mendiami bagian utara dari Pulau Buton yang dipisahkan oleh selat yang sempit dengan Pulau Wawonii. Pulau Wawonii secara administratif merupakan bagian dari Kecamatan Wawonii. Luas kecamatan yang berupa pulau ini adalah sebesar + 404,8 km2 yang terbagi ke dalam 10 desa. Pulau Wawonii sendiri dihuni oleh beberapa etnis, di antaranya Wawonii yang merupakan suku Tolaki, suku Bugis, suku Buton, bahkan suku Jawa juga menjadi penghuni pulau tersebut. Pada tahun 1990, penduduk di Kecamatan Wawonii berjumlah sekitar + 35.000 jiwa, tetapi tidak jelas mengenai jumlah masyarakat suku Wawonii di antara jumlah tersebut.[1]

Beberapa pendapat menyatakan bahwa suku Wawonii merupakan pecahan dari orang-orang suku Tolaki, sedangkan para ahli bahasa menyatakan bahwa mereka memiliki bahasa tersendiri yang juga disebut dengan nama bahasa Wawonii atau bahasa Kalisusu, tetapi sumber lain mengemukakan bahwa bahasa tersebut merupakan salah satu dialek dari bahasa Tolaki.

Asal-usul

Suku Wawonii disebutkan berasal dari dataran Sulawesi Tenggara atau lebih tepatnya berada di Kampung Lasolo dan Soropia (Torete) serta daratan Buton Utara yang berada di Kampung Kalisusu.[1] Tidak banyak sumber yang menyebutkan sejak kapan masyarakat suku Wawonii mulai menempati pulau tersebut. Yang jelas, mereka merupakan penduduk asli di Pulau Wawonii dan merupakan salah satu suku bangsa tersendiri, yang memiliki adat istiadat serta kebudayaan yang berbeda dari suku-suku bangsa lainnya yang ada di Nusantara.

Suku Wawonii memiliki simbol adat yang dinamakan dengan kolungku. Kolungku merupakan sebuah wadah seserahan atas suatu peristiwa adat yang menunjukkan bentuk penghormatan, penghargaan, dan pemuliaan nilai-nilai budaya, tradisi, dan peradaban masyarakat yang bersifat normatif atau mengikat.[2]

Sistem pertanian

Kehidupan sehari-hari masyarakat lokal yang berada di Pulau Wawonii tergantung pada sistem pertanian tradisional. Penggunaan lahan awal yang digunakan oleh masyarakat suku Wawonii disebut dengan larowita (kebun campuran) yang ditanami dengan berbagai macam tanaman palawija. Penanaman padi hanya dilakukan sekali selama penggunaan kebun campuran, yaitu pada saat lahan baru dibuka dan selesai diolah. Penggunaan lahan selanjutnya tergantung pada jenis tanaman tahunan atau perkebunan yang dominan pada lahan tersebut. Kegiatan itu dikenal sebagai laro nii, laro sokolati, dan laro dambola.[3]

Masyarakat lokal suku Wawonii memenuhi kebutuhan sehari-harinya dengan memanfaatkan + 200 jenis tumbuhan sebagai bahan pangan, papan, obat, kosmetika, anyaman, dan sumber energi. Sebagian besar (sekitar 80%) tumbuhan berguna tersebut tumbuh liar di hutan, semak belukar, bahkan menjadi gulma pertanian. Kehadiran Lepironia articulata (Retzius) Domin bagi masyarakat yang tinggal di sekitar habitatnya mempunyai arti penting dalam menunjang kehidupan sehari-hari sebagai bahan anyaman.[4]

Salah satu mata pencaharian tambahan masyarakat suku Wawonii adalah sebagai pengrajin perahu. Tercatat ada setidaknya 13 jenis pohon yang digunakan oleh suku Wawonii sebagai bahan baku pembuatan perahu, yaitu arawa, anga, dongkala, keu watu, sisio, padai, pololi, keu mea, kuma watu, bayu, wowola, roko, dan humu mea.[3]

Referensi

  1. ^ a b Melalatoa, M. Junus (1995). Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia Jilid L-Z. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. hlm. 921. 
  2. ^ Badan Pusat Statistik Kabupaten Konawe (2014). Konawe Kepulauan dalam Angka. Konawe: Badan Pusat Statistik Kabupaten Konawe. hlm. 7. 
  3. ^ a b Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia (1988). Peralatan Produksi dan Perkembangannya: Daerah Sulawesi Tenggara. Sulawesi Tenggara: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. hlm. 20–35. 
  4. ^ Waluyo, E.B. (1991). Perkembangan Pemanfaatan Tumbuhan Obat di Luar Pulau Jawa. Bogor: Institut Pertanian Bogor. hlm. 18–20. 


Kembali kehalaman sebelumnya