Museum Sonobudoyo
Museum Sonobudoyo (bahasa Jawa: ꦩꦸꦱꦺꦪꦸꦩ꧀ꦱꦤꦧꦸꦢꦪ) adalah museum sejarah dan kebudayaan Jawa, termasuk bangunan arsitektur klasik Jawa. Museum ini menyimpan koleksi mengenai budaya dan sejarah Jawa yang dianggap paling lengkap setelah Museum Nasional Republik Indonesia di Jakarta. Selain keramik pada zaman Neolitik dan patung perunggu dari abad ke-8, museum ini juga menyimpan beberapa macam bentuk wayang kulit, berbagai senjata kuno (termasuk keris dan topeng Jawa). Museum Sonobudoyo terdiri dari dua unit. Museum Sonobudoyo Unit I terletak di Jalan Trikora No. 6 Yogyakarta, sedangkan Unit II terdapat di Ndalem Condrokiranan, Wijilan, di sebelah timur Alun-Alun Utara Keraton Yogyakarta. Sonobudoyo Unit I terdiri dari Ruang Pamer Tetap, Ruang Pamer Temporer (ex-Koni), Ruang Pagelaran Wayang, dan Gedung ex-koleksi. Sonobudoyo Unit II terdiri dari Ruang Storage dan Ruang Perkantoran Pegawai Sonobudoyo. Museum yang terletak di bagian utara Alun-Alun Utara dari Keraton Yogyakarta itu pada malam hari juga menampilkan pertunjukkan wayang kulit dalam bentuk penampilan aslinya (dengan menggunakan bahasa Jawa diiringi dengan musik gamelan Jawa). Pertunjukan wayang kulit ini disajikan secara ringkas dari jam 20.00-22.00 WIB malam pada hari kerja untuk para turis asing maupun turis domestik. SejarahJava Instituut merupakan sebuah yayasan yang bergerak di bidang kebudayaan Jawa, Madura, Bali, Madura, Lombok yang berdiri tahun 1919 di Surakarta. Berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Jakarta dengan No. 73, tanggal 17 Desember 1919 yang ditanda tangani oleh Sekretaris Umum G. Rd. Redtrienk merupakan jawaban Surat Dr. Hoesein Djajadiningrat dan Dr. F.D.K. Bosch tanggal 3 Oktober 1919. Surat Gubernur Jenderal tersebut memberikan wewenang kepada Java Instituut untuk melakukan kegiatan organisasi selama 29 tahun, terhitung mulai tanggal 4 Agustus 1919. Dengan Java Instituut berpusat di Surakarta, sebagai direktur adalah Prof. Dr. R.A. Hoesien Djajadiningrat. Sebagai dasar Java Instituut adalah Statuten Java Instituut, dalam pasal 3 disebutkan antara lain mempunyai kegiatan membantu kegiatan, melestarikan dan mengembangkan kebudayaan pribumi (de insheemsche cultuur) yang mencakup wilayah kebudayaan Jawa, Madura, Bali dan Lombok. Pada tahun 1924 Java Instituut mengadakan kongres di Surakarta dengan menghasilkan keputusan untuk mendirikan museum dengan tujuan mengumpulkan data kebudayaan dari daerah Jawa, Madura, Bali, dan Lombok. Pada tanggal 12 Juli 1928 dibentuklah satu komisi "Nyverheid Commisie" pada tanggal 12 Juli 1928. Komisi tersebut diresmikan pada tanggal 19 November 1928 Oleh J.E. Jasper, Gubernur Yogyakarta. Tugas utama komisi tersebut mempelajari, mengumpulkan dan memajukan kebudayaan pribumi. Hasil pengumpulan data tersebut dibukukan dalam "De Inheemsche Nijverheid op Java, Madura, Bali en Lombok" yang diterbitkan tahun 1929 sebagai dasar pedoman pengumpulan koleksi. Selain di Surakarta berdiri sebuah yayasan Panti Boedaja (Der Stichting Panti Boedaja) di bawah pimpinan Pangeran Adipati Arya Mangkunegara VII, yang berdirinya pada tanggal 10 Februari 1930. Dalam perannya Panti Budaya membantu Java Instituut untuk mengumpulkan data kebudayaan terutama di dalam bidang naskah kuno dari Kasultanan Yogyakarta, Kasunanan Surakarta, Kadipaten Pakualaman dan Mangkunegaran. Sebagai realisasi dari keputusan kongres maka dibentuklah panitia pada tahun 1913 dengan anggota antara lain Ir. Th. Karsten, P.H.W Sitsen, dan S. Koperberg dengan tugas mempersiapkan berdirinya sebuah museum. Sedangkan tanah yang digunakan untuk museum adalah bekas "Schauten" yang merupakan tanah hibah dari Sri Sultan Hamengkubuwana VII. Awal pembangunan museum ditandai dengan candrasengkala Buta Ngrasa Esthining Lata yang menunjukan tahun 1865 Jawa atau 1934 Masehi[1]. Pada tanggal 6 November 1935 Masehi diresmikan dan dibuka untuk umum dengan ditandai candrasengkala Kayu Winayangan ing Brahaman Budha yang menunjukkan 9 Ruwah 1866 Jawa.[2] Sedangkan nama museum bernama Museum Sonobudoyo, sono berarti tempat dan budoyo berarti budaya. Pada tahun 1939 untuk menunjang dan melengkapi usaha dari Java Instituut maka dibukalah Sekolah Kerajinan Seni Ukir atau Kunstambacht School. Pada tahun 1945, pesawat-pesawat tempur Belanda menjatuhkan bom ke beberapa bangunan penting di Yogyakarta, di antaranya RRI (Gedung Nilmy/BNI 46 sekarang), Balai Mataram dan Museum Sonobudoyo.[3][4] Pada masa pendudukan Jepang di Yogyakarta museum dikelola oleh Bupati Paniradyapati Wiyata Praja (Kantor Sosial bagian pengajaran) dan pada masa kemerdekaan museum dikelola oleh Bupati Utorodyopati Budaya Prawito yaitu jajaran pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta. Selanjutnya pada akhir tahun 1974 Museum Sonobudoyo diserahkan ke Pemerintah Pusat/Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dan secara langsung bertanggung jawab kepada Direktorat Jenderal dengan berlakunya Undang-Undang No. 22 Tahun 2000 tentang kewenangan Pemerintah dan kewenangan Provinsi sebagai Otonomi Daerah. Pada bulan Januari 2001, Museum Sonobudoyo bergabung dengan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi DIY diusulkan menjadi UPTD Peraturan Daerah No. 7 / Th. 2002 Tgl. 3 Agustus 2002 tentang pembentukan dan organisasi UPTD pada Dinas Daerah di lingkungan Pem. Prop. Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Surat Keputusan Gubernur No. 161 / Th. 2002 Tgl. 4 Nopember mengenai TU–Poksi. BangunanMuseum Sonobudoyo terdiri atas dua unit: Unit 1: Jl. Trikora No. 6 Yogyakarta Unit 2: Jl. Wijilan Ndalem Condrokiranan Yogyakarta Pada prinsipnya bangunan museum berbentuk Jawa. Hal tersebut dapat terlihat antara halaman luar dengan halaman dalam dipisahkan dengan tembok (cepuri) yang berhiaskan kuncup bunga melati dan gerbang utama berbentuk semar tinandu. Museum Sonobudoyo Unit 1 terletak di Jalan Trikora No. 6. Sebelum berubah menjadi jalan Trikora adalah Jalan Pangurakan karena Museum Berderetan dengan Bangsal Pangurakan. Dalam perkembangannya tanah museum mengalami perluasan hingga 7.867 m2 dengan 5.031 m2 sebagai keperluaan penyelenggaraan. Museum Sonobudoyo Unit II saat ini menjadi kantor utama dan ruang penyimpanan koleksi. Yang sebelumnya berada di Unit I. Sedangkan untuk pengunjung wisata museum diarahkan ke Unit I dan gedung pameran temporer eks-Koni.[5] Koleksi Museum SonobudoyoJumlah koleksi museum kurang lebih 43.000 dan setiap tahunnya selalu bertambah. Bertambahnya koleksi melalui hibah, proses ganti rugi, barang titipan, maupun pesanan. Koleksi Museum Sonobudoyo terbagi menjadi 10 jenis yaitu:
Koleksi tersebut dipamerkan di Museum Sonobudoyo unit I dan Museum Sonobudoyo II. Untuk Sonobudoyo unit I dipamerkan di sembilan ruang Ruang Pendopo dan SekitarnyaBangunan pendopo berbentuk limas dengan atap tumpang sari bertingkat dua. Fungsi pendopo dalam bangunan Jawa yaitu untuk menerima tamu. Di sebelah selatan pendapa terdapat dua buah meriam masing-masing ditempatkan di samping timur dan barat.
Kedua koleksi meriam tersebut di atas berasal dari masa Sri Sultan Hamengku Buwana III. Selain meriam terdapat pula arca dan relief. Berikut beberapa koleksi yang berada di halaman pendapa: Arca Dewi Laksmi, arca Mahakala, dan Makara. Sedangkan di bagian dalam pendopo terdapat seperangkat gamelan. Ruang PengenalanDi atas pintu masuk menuju ke ruang pengenalan terdapat relief candrasengkala "Buta Ngrasa Esthining Lata". Ruang pengenalan berukuran 62,5 m2. Salah satu koleksi yang ada di ruang pengenalan yaitu pasren atau krobongan yang terdiri dari tempat tidur, bantal, guling, kasur, kelambu, sepasang patung loro blonyo, sepasang lampu robyong, dan sepasang lampu jlupak. Ruang PrasejarahRuang ini menyajikan benda-benda peninggalan masa prasejarah yang menggambarkan cara hidup manusia pada masa itu meliputi berburu, mengumpulkan dan rneramu makanan. Pada tingkat selanjutnya manusia mulai bercocok tanam secara sederhana serta melakukan upacara- upacara yang berhubungan dengan religi (kepercayaan kepada roh nenek moyang, penguburan dan kesuburan) Ruang Klasik dan Peninggalan IslamDalam penyajian koleksi dikelompokkan menjadi tujuh unsur kebudayaan universal, yaitu:
Ruang BatikDi ruang ini memamerkan beberapa koleksi batik. Selain itu terdapat proses membatik yang di mulai dari pengerjaan pola sampai proses jadi sebuah batik. Ruang WayangMuseum memiliki beberapa jenis wayang salah satunya wayang klithik yang terbuat dari kayu. Pada tahun 2003, wayang mendapat pengakuan dunia. Ruang TopengSebagai salah satu bentuk karya seni tradisional Indonesia, Topeng sudah mengalami sejarah perkembangan, bersamaan dengan nilai-nilai budaya dan nilai seni rupa. Topeng yang tampil dalam bentuk tradisional mempunyai fungsi sebagai sarana upacara dan pertunjukan. Dalam adat tradisional yang didukung pemikiran Relegi Magia ada kebiasaan untuk menutup raut muka dengan lumpur atau menggambar wajah untuk menampilkan ekspresi raut muka pada tarian-tarian ritual. Kebiasaan mereka-reka wajah tersebut sejalan dengan hasrat untuk mewujudkan citra dari makhluk yang sangat berpengaruh kepada masyarakat. Topeng berasal dari kata tutup karena gejala bahasa yang disebut formatif (pembentukan kata), kata tutup ditambah dengan eng kemudian menjadi tupeng. Kemudian mengalami perubahaan menjadi topeng. Ruang Jawa TengahDi ruang ini memamerkan ukiran kayu yang terkenal dari Jawa Tengah yaitu Jepara seperti gebyog patang aring. Selain itu terdapat keris dan senjata tajam lainnya dengan berbagai jenis. Ruang EmasMuseum Sonobudoyo merupakan museum yang memiliki koleksi artefak emas tetapi dengan beberapa alasan belum dapat dilihat oleh umum.[6] Pada dasarnya artefak emas memiliki fungsi berbeda-beda.
Ruang BaliKoleksi ruang Bali berkaitan dengan kebudayaan Bali baik mengenai yadnya (upacara) maupun berbentuk seni lukis dan seni pahat. Di bagian terpisah terdapat Candi Bentar. Koleksi Unggulan Museum Sonobudoyo[7]Pada tahun 2014 Dinas Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta menerbitkan buku berisi koleksi unggulan museum di Daerah Istimewa Yogyakarta, di antaranya adalah koleksi unggulan yang terpamerkan di dalam Museum Sonobudoyo. Koleksi unggulan Museum Sonobudoyo adalah sebagai berikut:
Galeri
Referensi
Sumber
Lihat pulaPranala luar
|