Kata "Pura" sesungguhnya berasal dari akhiran bahasa Sanskerta (-pur, -puri, -pura, -puram, -pore), yang artinya adalah gerbang, misal, angkasapura berarti Gerbang angkasa. Dalam perkembangan pemakaiannya di Pulau Bali, istilah "Pura" menjadi khusus untuk tempat ibadah; sedangkan istilah "Puri" menjadi khusus untuk tempat tinggal para raja dan bangsawan di Bali.
Tata letak
Tidak seperti candi atau kuil Hindu di India yang berupa bangunan tertutup, pura dirancang sebagai tempat ibadah di udara terbuka yang terdiri dari beberapa zona yang dikelilingi tembok. Masing-masing zona ini dihubungkan dengan gerbang atau gapura yang penuh ukiran.
Lingkungan atau zonasi yang dikelilingi tembok ini memuat beberapa bangunan seperti pelinggih (tempat suci bersemayam Hyang), meru (menara dengan atap bersusun), serta bale (pendopo atau paviliun).
Hanya digunakan untuk kegiatan suci dan upacara keagamaan.
Memuat beberapa bangunan suci seperti Padmasana, Pelinggih Meru, Bale Piyasan, Bale Pepelik, Bale Panggungan, Bale Pawedan, Bale Murda, dan Gedong Penyimpenan.[1]
Meskipun demikian, tata letak zona Nista Mandala dan Madya Mandala kadang tidak mutlak seperti demikian, karena beberapa bangunan seperti Bale Kulkul atau Perantenan (dapur) pura dapat pula terletak di Nista mandala.
Pada aturan zona tata letak pura maupun puri (istana) di Bali, baik gerbangCandi bentar maupun Paduraksa merupakan satu kesatuan rancang arsitektur. Candi bentar merupakan gerbang untuk lingkungan terluar yang membatasi kawasan luar pura dengan Nista mandala zona terluar kompleks pura.
Sedangkan gerbang Kori Agung /Gelung Agung atau Paduraksa digunakan sebagai gerbang di lingkungan dalam pura, dan digunakan untuk membatasi zona Madya mandala dengan Utama mandala sebagai kawasan tersuci pura Bali. Maka disimpulkan baik untuk kompleks pura maupun tempat tinggal bangsawan, candi bentar digunakan untuk lingkungan terluar Universal Umum, sedangkan paduraksa untuk lingkungan dalam atau Pribadi Private .
Ragam Pura
Ada beberapa jenis pura, masing-masing melayani fungsi tertentu dari ritual Bali di seluruh kalender Bali. Pura-pura Bali diatur sesuai dengan dunia fisik dan spiritual orang-orang Bali, yang sesuai dengan poros suci kaja-kelod (selatan-utara), dari gunung di puncak dunia para dewa, arwah hyang, dataran subur tengah di dunia manusia dan makhluk lain, sampai ke pantai dan lautan, dan banyak alam di Indonesia.
Pura Kahyangan Jagad
(Aksara Bali: ᬧᬸᬭᬓᬳ᭄ᬬᬗᬦ᭄ᬚᬕᬤ᭄᭟) Merupakan pura yang universal. Seluruh umat ciptaan Tuhan sejagat boleh bersembahyang ke sana. Pura Kahyangan Jagat tersebar di seluruh dunia. Di Bali karena berkaitan dengan sejarah yang berusia panjang, pura Kahyangan Jagat digolong-golongkan dengan beberapa kerangka (konsepsi). Misalnya kerangka Rwa Bineda, kerangka Catur Loka Pala dan sebagainya.[2] : Pura ini biasanya terletak di daerah pegunungan pulau, dibangun di atas lereng gunung atau gunung berapi. Gunung-gunung dianggap sebagai dunia magis suci dan berhantu, tempat tinggal para dewa atau hyang.[3] Pura kahyangan yang paling penting di Bali adalah kompleks Pura Besakih di lereng Gunung Agung. Contoh lain adalah Pura Parahyangan Agung Jagatkarta di lereng Gunung Salak, Jawa Barat.
Pura Tirta
(Aksara Bali: ᬧᬸᬭᬢᬶᬃᬢ᭟) disebut juga "Kuil Air", sejenis pura yang selain berfungsi keagamaan, juga memiliki fungsi pengelolaan air sebagai bagian dari sistem irigasi Subak. Para pendeta di kuil-kuil ini memiliki wewenang untuk mengelola alokasi air di sawah di desa-desa yang mengelilingi candi. Beberapa kuil tirta terkenal karena air keramatnya dan memiliki 'petirtaan' atau kolam pemandian suci untuk ritual pembersihan. Kuil air lainnya dibangun di dalam danau, seperti Pura Ulun Danu Bratan. Contoh terbaik dari jenis pura ini adalah Pura Tirta Empul.
Pura Kahyangan Tiga
Pura Desa
(Aksara Bali: ᬧᬸᬭᬤᬾᬲ᭟) Tipe pura yang didedikasikan untuk menyembah Dewa Brahma dan para Dewa, yang terletak di dalam desa atau kota bersangkutan, berfungsi sebagai pusat kegiatan keagamaan orang Bali.
(Aksara Bali: ᬧᬸᬭᬤᬍᬫ᭄᭟) Tipe pura yang didedikasikan untuk menyembah Dewa Siwa, Dewi Durga, ibu pertiwi, Banaspatiraja (barong), Sang Bhuta Diyu, Sang Bhuta Garwa, dan dewa-dewa lainnya, Biasanya shakti Siwa, Dewi Durga, dihormati di pura ini. Dalam siklus hidup manusia, kuil ini terhubung dengan ritual tentang kematian. Adalah umum juga untuk pura dalem memiliki pohon besar seperti pohon beringin atau kepuh yang biasanya juga digunakan sebagai tempat suci. Pura Dalem biasanya terletak di sebelah kuburan (setra) para leluhur sebelum upacara 'ngaben' (kremasi) dan tempat pengabenan.[4]
Pura Prajapati
(Aksara Bali: ᬧᬸᬭᬫ᭄ᬭᬚᬧᬢᬶ᭟) Pura ini terletak di setra (Kuburan Bali) yang didedikasikan untuk menyembah prajapati (penguasa orang) atau kekuatan gaib. Pura Prajapati ini merupakan tempat pemujaan Dewi Durga, sekaligus sebagai sthana Sang Hyang Panca Maha Bhuta, dalam wujud Bhuta Sweta, Bhuta Rakta, Bhuta Jenar, Bhuta Ireng, Bhuta Mancawarna, Bhuta Ulu Singha, Bhuta Ulu Gajah, Bhuta Brahma, Bhuta Yaksa, Bhuta Siwa Geni, Bhuta Udug Basur, yang merupakan unsur-unsur pembentuk alam semesta itu sendiri.[5]
Pura Segara
(Aksara Bali: ᬧᬸᬭᬲᭂᬕᬭ᭟) "Kuil laut", sebuah pura yang terletak di tepi laut untuk menenangkan Dewa laut. Biasanya penting selama ritual Melasti. Salah satu contoh dari jenis pura ini adalah Pura Tanah Lot dan Pura Uluwatu.
Pura Dang Kahyangan
(Aksara Bali: ᬧᬸᬭᬤᬗ᭄ᬓᬳ᭄ᬬᬗᬦ᭄᭟) Pura yang digunakan untuk Pemujaan kepada para Dang Guru Suci yang telah berjasa dalam penyebaran Agama Hindu di Bali seperti Pura Agung Pulaki, Pura Ponjok Batu, Pura Silayukti, dll
Pura Swagina
(Aksara Bali: ᬧᬸᬭᬲ᭄ᬯᬕᬶᬦ᭟) Pura yang memiliki keterikatan dengan karya/pekerjaan manusia sehingga sering disebut pura fungsional. Pemuja dari pura-pura ini disatukan oleh kesamaan di dalam kekaryaan atau di dalam mata pencaharian seperti; Pura Melanting untuk para pedagang, Pura Segara untuk nelayan, Pura Subak, Pura Bedugul, Pura Ulundanu, Pura Ulunsuwi untuk para Petani tanah basah maupun kering.
Sad Kahyangan
(Aksara Bali: ᬧᬸᬭᬲᬤ᭄ᬓᬳ᭄ᬬᬗᬦ᭄᭟) Sad Kahyangan atau Sad Kahyangan Jagad, adalah enam pura utama yang menurut kepercayaan masyarakat Bali merupakan sendi-sendi pulau Bali.[6] Menurut kepercayaan Bali, pura-pura ini adalah poin penting dari pulau itu, dan dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan spiritual bagi Bali. Jumlah tempat-tempat suci yang paling sakral ini selalu bertambah hingga enam, tetapi tergantung pada wilayahnya, bait suci spesifik yang didaftar dapat bervariasi.[7] Daftar Sad Kahyangan dapat meliputi:[8]
Selain pura-pura Sad Kahyangan tersebut di atas, masih banyak pura-pura di lainnya di berbagai tempat di pulau Bali, sesuai salah satu julukan pulau Bali sebagai Pulau Seribu Pura.
Dang Kahyangan
(Aksara Bali: ᬤᬗ᭄ᬓᬳ᭄ᬬᬗᬦ᭄᭟) Berdasarkan pengusiran Dwijendra Tattwa, yang dalam penelitian ditentukan sebagai sejarah Dang Hyang Nirartha, yang dalam masyarakat Bali biasa disebut juga Sejarah Gede, menyebutkan Pura Parama Dharma, yang berpura-pura sebagai pura Dang Kahyangan yang dibangun oleh Dang Hyang Nirartha atau dibangun oleh masyarakat untuk menghormati dan mengingat Dharmayatra (perjalanan suci agama) Dang Hyang Nirartha menyebutkan sejumlah 34 pura, beberapa di antaranya:[9]
(Aksara Bali: ᬧᬸᬭᬓᬯᬶᬢᬦ᭄᭟) [10] Adalah tempat melakukan sembah bhakti yang ditentukan berdasarkan keturunan atau ikatan keluarga[11]. Pura ini umumnya terletak di dekat rumah penyungsungnya, misalnya:
Sanggah atau merajan, diusung oleh satu atau lebih keluarga yang mempunyai garis keturunan yang paling dekat
Pura Dadia, diusung oleh sejumlah keluarga yang mempunyai satu garis keturunan[12]. Umumnya masih berada dalam satu desa.
Pura Pedharman, diusung oleh sejumlah keluarga yang merupakan satu garis keturunan, dan keluarga tersebut telah berpencar ke berbagai desa atau kabupaten.[13]
Setiap desa adat di Bali memiliki aturan dan adat istiadat khusus yang mengatur kegiatan sehari-hari, termasuk etika masuk pura. Aturan ini biasanya diwariskan dari generasi ke generasi dan dihormati oleh masyarakat setempat. Untuk aturan bagi pengunjung yaitu:
Pakaian:
Siapa pun yang berpakaian dengan benar dapat mengunjungi pura.
Jika mengenakan celana panjang atau rok panjang, selempang biasanya diperlukan.
Jika mengenakan celana pendek, Anda memerlukan sarung.
Pemandu wisata atau penjual tiket di banyak pura menyediakan selempang dan sarung, namun lebih baik membelinya sendiri di pasar lokal.
Selempang juga harus dikenakan untuk festival kuil apa pun. (butuh rujukan)
Biaya Masuk dan Sumbangan:
Semua kompleks candi dan kota bersejarah sekarang membebankan biaya masuk.
Jika tidak ada biaya masuk, mungkin diminta sumbangan kecil untuk membantu biaya perawatan.
Umum untuk menandatangani buku tamu.
Waspadalah terhadap buku tamu di mana angka nol telah ditambahkan ke semua angka sebelumnya, membuatnya tampak bahwa sumbangan sangat besar.
Penggunaan Kamera:
Gunakan kamera dengan bijaksana.
Jangan memanjat gedung atau dinding kuil, atau berdiri atau duduk lebih tinggi dari seorang pendeta.
Jika orang berdoa, hindari berada di antara mereka dan arah doa.
Mencuri tidak diperbolehkan.
Akses untuk Non-Hindu:
Non-Hindu mungkin tidak memasuki halaman paling dalam (jero) dari beberapa pura.
Perusahaan wisata mulai menjauhkan Pura desa dari tur atas permintaan penjaga pura.
Aturan Khusus untuk Wanita:
Menurut hukum kuno, wanita menstruasi dilarang masuk pura karena sanksi umum terhadap darah di tanah suci. Aturan ini masih berlaku hingga sekarang.
Aturan Tambahan untuk Pura di Desa-desa:
Pengunjung harus mengikuti aturan dan adat istiadat setempat.
Hormati pemuka agama dan penduduk Hindu setempat.
Jangan mengganggu aktivitas upacara keagamaan yang sedang berlangsung.
Tetap jaga kebersihan dan ketertiban di area pura dan sekitarnya.