Gunung Agung
Gunung Agung adalah gunung tertinggi di pulau Bali dengan ketinggian 3.142 mdpl. Gunung berapi ini terletak di Kecamatan Rendang, Kabupaten Karangasem, Bali, Indonesia. Pura Besakih, yang merupakan salah satu Pura terpenting di Bali, terletak di lereng gunung ini. Gunung Agung adalah gunung berapi tipe kerucut. Gunung ini memiliki kawah yang sangat besar dan sangat dalam yang kadang-kadang mengeluarkan asap dan uap air. Dari Pura Besakih gunung ini tampak dengan kerucut runcing sempurna, tetapi sebenarnya puncak gunung ini memanjang dan berakhir pada kawah yang melingkar dan lebar. Dari puncak gunung Agung dapat terlihat puncak Gunung Rinjani yang berada di pulau Lombok di sebelah timur, meskipun kedua gunung tertutup awan karena kedua puncak gunung tersebut berada di atas awan, kepulauan Nusa Penida di sebelah selatan beserta pantai-pantainya, termasuk pantai Sanur serta gunung dan danau Batur di sebelah barat laut. Catatan letusan1710–11Pada Oktober 1710 sampai dengan Februari 1711, gunung agung diperkirakan meletus. Letusan ini menjadi letusan pertama yang tercatat dalam sejarah karena tercatat dalam lontar Babad Gumi (versi lontar Pusdok dan salinan Gedong Kirtya 719/3.Va), Babad Tusan (versi salinan Gedong Kirtya 4916/Va dan 1443.Va), dan Tattwa Batur Kalawasan (versi salinan Gedong Kirtya 6476/IIIb, 3049/IIIb, 3578/IIIb, 6789/IIIb)[5][6]
Dalam lontar Babad Gumi tersebut tertulis;[7]
Pada tahun itu, air panas sampai merusak desa-desa seperti Desa Bukit, Caukcuk, Bantas, Kayuaya, Kayupetak, Tanjung, Rijasa, Mandala, Pagametan (Gerogak, Buleleng), serta wilayah lainnya seperti Tamblingan.[7] 1808Pada tahun itu Gunung Agung melontarkan abu dan batu apung dengan jumlah luar biasa.[8] 1821Gunung Agung meletus lagi. Letusannya disebut normal tetapi tak ada keterangan terperinci. Letusannya juga dinilai tak sedahsyat letusan pada tahun 1808.[8] 1843Gunung Agung meletus lagi pada tahun 1843, didahului sejumlah gempa bumi, kemudian memuntahkan abu vulkanik, pasir, dan batu apung[8] sebagaimana dicatat dalam laporan oleh Heinrich Zollinger:
1963Gunung Agung meletus pada Februari 1963 hingga Januari 1964.[10] Pada 18 Februari 1963, penduduk lokal mendengar suara letusan keras dan melihat asap tebal keluar secara vertikal dari puncak Gunung Agung. Letusan ini mengeluarkan abu panas dan gas setinggi hampir 20.000 meter. Material ini sampai mengurangi sinar matahari dan membuat suhu udara di lapisan stratosfer turun 6 °C (10.8 °F). Pada tahun 1963-1966, rata-rata suhu di bumi bagian utara sampai turun 0.4 °C. Abu belerang dari erupsi gunung ini beterbangan keseluruh dunia dan jejaknya sampai terlihat sebagai sulfur acid di dalam lapisan es di Greenland.[11] Pada 24 Februari 1963, lava mulai mengalir turun dari bagian utara gunung. Lava terus mengalir selama 20 hari dan mencapai kejauhan hingga 7 km. Pada 17 Maret 1963, Gunung Agung meletus dengan Indeks Letusan sebesar VEI 5 (setara letusan Gunung Vesuvius) dan kembali meletus pada tanggal 17 Mei 1963. Jumlah kematian yang disebabkan seluruh proses letusan Gunung Agung mencapai 1.148 orang dengan 296 orang luka-luka.[12] Letusan ini dicatat oleh Ida Pedanda Made Sidemen dalam kolopon lontar ‘Pūjā Pañambutan’ yang disalinnya dengan pangéling-éling (pesan pengingat) tentang letusan Gunung Agung tahun 1963, yang diikuti kekacauan politik tahun 1965.[7] 2017Pada bulan September 2017, peningkatan aktivitas gemuruh dan seismik di sekitar gunung berapi menaikkan status normal menjadi waspada dan sekitar 122.500 orang dievakuasi dari rumah mereka di sekitar gunung berapi.[13] Badan Nasional Penanggulangan Bencana mendeklarasikan zona eksklusi sepanjang 12 kilometer di sekitar gunung berapi tersebut pada tanggal 24 September.[14] Pada tanggal 18 September 2017, status Gunung Agung dinaikkan dari Waspada menjadi Siaga. Evakuasi berkumpul di balai olahraga dan bangunan masyarakat lainnya di sekitar Klungkung, Karangasem, Buleleng dan daerah lainnya.[15] Stasiun pemantau tersebut berlokasi di Tembuku, Rendang, Kabupaten Karangasem, dimana intensitas dan frekuensi tremor dipantau untuk tanda-tanda letusan yang akan terjadi.[16] Pada tanggal 22 September 2017, status Gunung Agung dinaikkan dari Siaga menjadi Awas. Daerah tersebut mengalami 844 gempa vulkanik pada tanggal 25 September, dan 300 sampai 400 gempa bumi pada tengah hari pada tanggal 26 September. Ahli seismologi telah khawatir dengan kekuatan dan frekuensi insiden karena telah mengambil lebih sedikit gunung berapi serupa untuk meletus.[17] Pada akhir Oktober 2017, status diturunkan dari Awas menjadi Siaga. Aktivitas gunung berapi tersebut menurun secara signifikan, yang menyebabkan turunnya status darurat tertinggi pada 29 Oktober. Ada letusan freatik kecil yang dilaporkan pada 21 November 2017, pukul 17.05 WITA dengan kolom abu vulkanik mencapai 3.842 meter (12.605 ft) di atas permukaan laut.[18] Ribuan orang segera melarikan diri dari wilayah tersebut,[19] dan lebih dari 29.000 pengungsi sementara dilaporkan tinggal di lebih dari 270 lokasi di dekatnya.[20] Sebuah erupsi magmatik dimulai pada Sabtu, 25 November 2017.[21] Letusan dahsyat yang dihasilkan dilaporkan meningkat sekitar 1,5–4 km di atas kawah puncak, melayang ke arah selatan dan membersihkan daerah sekitar dengan lapisan gelap abu tipis, yang menyebabkan beberapa maskapai penerbangan membatalkan penerbangan menuju Australia dan Selandia Baru. Tingkat bahaya resmi tetap di 3, dengan penduduk disarankan untuk tinggal 7,5 km jauhnya dari kawah. Sejauh ini letusannya tampak moderat, dengan kemungkinan letusan lebih intensif dalam waktu dekat. Cahaya jingga kemudian diamati di sekitar kawah di malam hari, menunjukkan bahwa magma segar memang telah sampai ke permukaan. Pada 26 November 2017, pukul 23:37 WITA, sebuah letusan kedua terjadi. Ini adalah letusan kedua yang meletus dalam waktu kurang dari seminggu.[21] 2018Pada 10 Maret 2018, Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi ( PVMBG) menurunkan status Gunung Agung, Karangasem, dari level IV (Awas) menjadi level III (Siaga). Perubahan status ini diumumkan langsung oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan.[22] Pada 11 April 2018 pukul 09.04 WITA, Gunung Agung kembali menyemburkan abu vulkanik setinggi 500 meter. Kolom asap dan abu berwarna kelabu terlihat condong ke arah barat daya.[23] Pada 28 Juni 2018 pukul 10.30 WITA, Gunung Agung mengeluarkan asap hingga Jumat dini hari yang menyebabkan hujan abu di bagian barat hingga barat daya dan menyebabkan Bandar Udara Internasional Ngurah Rai, Bandar Udara Banyuwangi dan Bandar Udara Jember resmi ditutup sejak Jumat pukul 03.00 WITA hingga 19.00 WITA menyusul hembusan Gunung Agung yang terus menerus mengeluarkan asap dan abu vulkanik.[24] Pada 2 Juli 2018 pukul 21.04 WITA, Gunung Agung kembali meletus. Kali ini dengan melontarkan lahar dengan radius 2 km. Erupsi terjadi secara strombolian dengan suara dentuman. Istilah tipe strombolian diambil dari kata stromboli, nama gunung api di pulau Stromboli Italia yang terletak di Laut Thyrene, Mediterania. Ciri-ciri erupsi strombolian yakni adanya erupsi-erupsi kecil dari gas dan fragmen-fragmen atau serpihan magma. Dalam laporan PVMBG Kementerian ESDM, erupsi Gunung Agung terjadi pada 2 Juli dan 3 Juli 2018 pukul 04.13 Wita. Tinggi kolom abu pada letusan malam itu teramati ±2.000 m di atas puncak (±5.142 m di atas permukaan laut). Kolom abu teramati berwarna kelabu dengan intensitas tebal condong ke arah barat.[25][26] Status Gunung Agung tetap berada di level 3 atau siaga dengan radius bahaya 4 kilometer dari kawah. Kepercayaan masyarakatMasyarakat Hindu Bali percaya bahwa Gunung Agung adalah tempat bersemayamnya dewa-dewa, dan juga mempercayai bahwa di gunung ini terdapat istana dewata. Karena itu, masyarakat Bali menjadikan tempat ini sebagai tempat kramat yang disucikan. Pura Besakih yang berada di kaki Gunung Agung juga luput dari aliran lahar letusan Gunung Agung yang terjadi pada 1963. Masyarakat percaya bahwa letusan Gunung Agung pada 1963 merupakan peringatan dari Dewata. Dalam catatan sejarah, Pura Besakih dan Gunung Agung menjadi fondasi awal terciptanya masyarakat Bali. Mengutip buku Custodian of the Sacred Mountains: Budaya dan Masyarakat di Pulau Bali karya Thomas A Reuter, menuturkan bahwa Maharesi Markandeya, orang pertama yang memimpin pelarian Majapahit ke Bali, baru berhasil menetap di Bali datang ke kaki Gunung Agung. Sebelumnya, gelombang eksodus yang dipimpin Markandeya berjumlah 800 orang sebagian besar tewas akibat wabah penyakit.[27] Jalur pendakianPendakian menuju puncak gunung ini dapat dimulai dari tiga jalur pendakian yaitu:
Bagi Setiap Pendaki disarankan tidak membawa makanan berbahan sapi karena area gunung ini sangat disucikan. Daerah Aliran SungaiGunung Agung juga merupakan kawasan hulu bagi beberapa sungai di sekitarnya. Setidaknya terdapat sekitar 11 daerah aliran sungai dimana dua terbesar adalah DAS Tukad Unda dengan luas 232 km2 (90 sq mi) dan DAS Tukad Sringin dengan luas 82 km2 (32 sq mi), kemudian berikutnya adalah DAS Tukad Nyuling 72 km2 (28 sq mi) dan DAS Tukad Bangka 54 km2 (21 sq mi). DAS Tukad Sringin dan DAS Tukad Bangka (DAS Canggah) masing-masing aliran utamanya bermuara menuju pesisir utara pulau Bali di wilayah perairan laut Bali, sedangkan DAS Tukad Unda dan DAS Tukad Nyuling masing-masing aliran utamanya bermuara menuju pesisir selatan pulau Bali di wilayah perairan selat Badung dan selat Lombok.[28][29][30] Seluruh daerah aliran sungai di Bali termasuk Nusa Penida dan pulau-pulau kecil lainnya dikelola oleh BPDASHL Unda Anyar, UPT dibawah DitJen PDASRH, Kementerian LHK, juga dalam satuan Wilayah Sungai Bali Penida dibawah otoritas BWS Bali Penida, UPT dibawah DitJen SDA, Kementerian PUPR [29][30] Lihat pula
GaleriReferensiCatatan kaki
Bibliografi
Pranala luar
|