Gunung Muria
Gunung Muria adalah sebuah gunung bertipe stratovolcano,[4] yang terletak di pantai utara Jawa Tengah, sekitar 66 kilometer di timur laut Kota Semarang.[5] Gunung ini termasuk ke dalam wilayah Kota Jepara di sisi barat, wilayah Kota Kudus di sisi selatan, dan wilayah Kota Pati di sisi timur.[6] Gunung ini memiliki ketinggian 1602 mdpl, tetapi sumber lain menyebutkan bahwa tingginya 1625 mdpl.[7][8] Gunung ini pernah menjadi pulau tersendiri, dipisahkan dari Pulau Jawa oleh Selat Muria.[9] Selat ini menjadi salah satu jalur perdagangan rempah-rempah yang menghubungkan Timur Tengah dengan Maluku dan mungkin dilalui oleh Tomé Pires dalam perjalanannya di Jawa.[10] Selat ini tertutup pada suatu waktu antara abad ke-17 hingga ke-18.[11] Pada 1970-an, sisi utara gunung ini dipilih oleh Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) sebagai lokasi pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir dengan alasan risiko bencana alamnya yang kecil jika dibandingkan dengan wilayah-wilayah lain di Jawa dan Bali.[12] Namun, gempa bumi yang beberapa kali mengguncang di sekitar gunung sejak tahun 2010-an membuat rencana pembangunan tersebut dibatalkan. Erupsi di gunung ini terakhir kali terjadi pada sekitar 160 SM.[7] GeologiGunung Muria merupakan salah satu gunung di Jawa yang berhubungan dengan zona subduksi berumur Miosen, bukan zona subduksi yang aktif (seperti Gunung Merapi atau Gunung Kelud), dengan Zona Wadati–Benioff sedalam sekitar 400 kilometer.[13] Meskipun demikian, aktivitas magmatik setidaknya diketahui masih ada di bawah gunung pada tahun 2000.[14] Gunung Muria memiliki sejarah yang sama dengan Gunung Genuk (gunung kecil yang berada di Donorojo, di utara Muria), terutama dalam pembentukan bentang alam Semenanjung Muria. Keduanya menghasilkan lava koheren baik kubah lava dan sumbat lava maupun maar yang terdapat di kaki gunung dan daratan.[3] Selain itu, dijumpai pula breksi gunung api, lapili, dan tuf yang banyak mengeliling sekitar gunung. Namun, densitasnya hanya mencapai 2.4 gr/cm3 sehingga tidak terlalu besar jika dibandingkan dengan persebaran batuan yang lain.[15] Proyek nuklir yang dibatalkanPerencanaanPada April 1975, BATAN dan Departemen Pekerjaan Umum membentuk sebuah komisi untuk memulai proses pemilihan lokasi tapak PLTN yang bernama Komisi Persiapan Pembangunan PLTN (KP2PLTN). Komisi tersebut terdiri dari BATAN, Departemen Pekerjaan Umum, Departemen Pertahanan dan Keamanan, Departemen Dalam Negeri, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, dan PLN.[16] Pemilihan tersebut menghasilkan 5 dari 14 lokasi yang diusulkan. Lima lokasi tersebut adalah Tanjung Pujut (Banten), Parigi (Jawa Barat), Lasem (Jawa Tengah), Muria (Jawa Tengah), dan Situbondo (Jawa Timur).[17] Antara bulan Juli hingga September 1975, diadakan sebuah survei untuk menentukan lokasi tapak terbaik dari kelima lokasi tersebut. Hasilnya berupa dua lokasi, yaitu Keling di Muria dan Sluke di Lasem.[17] Kemudian, BATAN mengadakan studi kelayakan terhadap kedua lokasi tersebut yang dibantu oleh firma teknik nuklir asal Italia, NIRA.[18] Hasil studi tersebut kemudian keluar pada tahun 1982, yang menyimpulkan bahwa Ujungwatu di Keling (kini bagian dari Donorojo) adalah calon lokasi tapak terbaik.[17] Pada tahun 1991, diadakan perjanjian antara Kementerian Keuangan dan BATAN dengan perusahaan konsultasi energi asal Jepang, NEWJEC Inc.[19] Perjanjian ini pada dasarnya mengontrak NEWJEC selama empat tahun setengah untuk melakukan analisis dan evaluasi terhadap lokasi tapak. Lokasi yang sebelumnya hanya Ujungwatu diperbarui menjadi enam lokasi, yaitu Ujungwatu, Ujung Bantungan, Ujung Grenggengan, Ujung Lemahabang, Ujung Bayuran, dan Ujung Piring. Pilihan akhirnya jatuh di Ujung Lemahabang (ULA), sebuah dukuh di Balong, Kecamatan Kembang, Kabupaten Jepara.[20][21][22] Pada 1993, NEWJEC mengeluarkan sebuah laporan yang berjudul Feasibility Study of the First Nuclear Power Plants at Muria Peninsula Region. Laporan ini memproyeksikan penawaran dan permintaan kebutuhan energi nuklir serta menyarankan Pemerintah Indonesia untuk membangun 12 reaktor berkekuatan 600 Megawatt.[18] Pemilihan tapak akhirnya selesai pada bulan Mei 1996,[23] dan rencananya akan mulai dibangun pada tahun 1997, tetapi tertunda karena krisis finansial Asia 1997.[24] PLTN ini diproyeksikan dapat memasok energi listrik sebesar 4.000-6.000 Megawatt.[25][26] Reaksi dari masyarakatKetika warga lokal Balong awalnya mengetahui rencana ini, kebanyakan dari mereka menyetujuinya dengan harapan bahwa mereka bisa meningkatkan pendapatan (dengan adanya kesempatan kerja) dan dapat menikmati pengguna dan pelayanan listrik yang lebih baik. Namun, tumbuh pula kekhawatiran akan rencana tersebut, mulai dari pemindahan penduduk hingga ketakutan pada radiasi, terlebih karena tidak ingin seperti bencana Chernobyl dan limbah radioaktif yang akan mengkontaminasi makanan dan barang.[27] Pada 2007, muncul penolakan luas terhadap rencana ini dari warga Jepara (termasuk yang di Balong) dan Kudus dengan menggelar aksi unjuk rasa di berbagai tempat.[24][28] Penolakan ini juga diikuti oleh para pengusaha yang tinggal di sekitar gunung dengan mengancam akan meninggalkan tempatnya jika PLTN jadi dibangun.[29] Beberapa akademisi menyebutkan bahwa unjuk rasa ini disebabkan oleh dikeluarkannya Peraturan Presiden No. 5 Tahun 2006 yang dianggap sarat kepentingan politik dan ekonomi.[30][31] Pada 2 September 2007, Nahdlatul Ulama Jepara secara khusus mengharamkan pembangunan PLTN di Semenanjung Muria, dengan alasan PLTN hanya bisa memasok kebutuhan energi nasional sebesar 2-4 persen sementara limbah radioaktif yang dibuang dapat berbahaya bagi lingkungan. Namun, mereka menegaskan bahwa keputusan ini hanya berlaku di sana.[32][33] Keputusan ini didukung oleh organisasi lingkungan seperti Greenpeace dan Walhi, dan partai politik PKB.[34][35][36] Menyusul bencana nuklir Fukushima Daiichi, warga Jepara kembali menggelar aksi unjuk rasa dan menggelar aksi solidaritas terhadap warga Jepang yang terdampak dari bencana tersebut.[37] Peristiwa ini juga membuat warga Bangka Belitung berunjuk rasa menolak PLTN yang akan dibangun di sana.[38] Meskipun demikian, BATAN menyatakan untuk tetap melanjutkan pembangunan PLTN di kedua wilayah tersebut.[39] PembatalanPada 2012, Gusti Muhammad Hatta, Menteri Riset dan Teknologi saat itu, mengatakan bahwa rencana pembangunan PLTN Muria dibatalkan karena "masalah yang agak rumit", seperti penduduk di sekitarnya yang padat. Namun, ia tidak tahu apakah pembatalannya bersifat permanen dan menyambung bahwa jika dibatalkan, pemerintah akan melanjutkan pembangunan PLTN di tempat lain seperti di Bangka Belitung.[40] Pada 2015, rencana ini dibatalkan secara permanen karena diketahui beberapa kali gempa bumi di sekitar gunung.[41][42] Selat MuriaDi sebelah selatan Gunung Muria dahulu terdapat sebuah selat yang dinamai Selat Muria yang memisahkan antara Pulau Jawa dan Pulau Muria. Saat ini selat tersebut telah menjadi daratan dan menjadi bagian dari Kabupaten Demak, Kabupaten Kudus, Kabupaten Pati, dan Kabupaten Rembang. Dalam budaya populerNama dari Gunung Muria menjadi inspirasi dari nama Kereta api Argo Muria, kereta api eksekutif argo yang melayani Semarang Tawang-Gambir. Masa kolonial dan kiniPada masa kolonial Belanda, Pegunungan Muria berfungsi penting sebagai kawasan tangkapan air untuk wilayah Jepara, Kudus, dan Pati. Wilayah pegunungan yang meliputi Kabupaten Pati, Kudus, dan Jepara dibagi dalam tiga kategori, yaitu hutan produksi tetap seluas 149,90 hektare, hutan produksi terbatas seluas 3.529,00 hektare, dan hutan lindung seluas 6.428,50 hektare.[43][44] Pegunungan Muria di bawah pengawasan Perum Perhutani wilayah kelola Unit I Kesatuan Pemangkuan Hutan Pati dengan total luas 10.107 hektare. Kawasan hutan tersebut dikelola oleh Badan Kesatuan Pemangkuan Hutan Gajah Biru, Muria Pati Ayam, dan Ngarengan. Selain itu terdapat juga kawasan hutan cagar alam seluas 1.402,80 hektare di Kabupaten Pati dan Jepara.[43][44] Data Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Pemali Jawa Tengah tahun 2007 menunjukkan bahwa kawasan Muria mengalami degradasi dari tahun ke tahun. Total luas hutan kawasan Muria adalah 69.812,08 hektare; terdiri dari hutan di Jepara 21.516,406 hektare, tetapi 17.954 hektare atau 83% di antaranya gundul, termasuk 3,962.66 hektare hutan lindung. Di Kabupaten Pati 47.338 hektare; tetapi 38.344 hektare atau 81 persen rusak, termasuk 1,425 hektare hutan lindung. Sementara di Kabupaten Kudus, 83 persen atau 1.940 hektare hutan rusak, termasuk 53.93 hektar hutan lindung.[44] Galeri
ReferensiCatatan kaki
Daftar pustaka
Lihat pulaWikimedia Commons memiliki media mengenai Gunung Muria.
|