Henk Ngantung
Hendrik Hermanus Joel Ngantung atau juga dikenal dengan nama Henk Ngantung (1 Maret 1927 – 12 Desember 1991) adalah putra dari pasangan Yang Berasal dari Minahasa yakni Arnold Rori Ngantung dan Maria Magdalena Kalsun.[1] Beliau adalah seorang pelukis Indonesia dan jabatan Gubernur DKI Jakarta untuk periode 1964–1965. Ia berasal dari Manado, Sulawesi Utara. Sebelum dipilih menjadi gubernur, pria suku Minahasa (Sulawesi Utara) tersebut lebih dulu menjabat Wakil Gubernur DKI Jakarta pada periode 1960–1964 dengan gubernurnya Sumarno. Henk menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta sejak 27 Agustus 1964 sampai 15 Juli 1965.[2] KarierSebagai pelukisSebelum menjadi Gubernur DKI Jakarta, Henk dikenal sebagai pelukis tanpa pendidikan formal atau disebut seniman sketsa otodidak.[3] Henk Ngantung pernah membuat karya lukisan “Memanah” dengan Bung Karno sebagai modelnya. Dua karya ini menjadi koleksi Bung Karno. Ia juga membuat sketsa tentang Perundingan Linggarjati, Perundingan Renville dan Perundingan Kaliurang Henk Ngantung menjadi salah satu pendiri "Gelanggang Seniman Merdeka" yang menghimpun kaum seniman Angkatan 45, termasuk Chairil Anwar, Haruddin MS, Mochtar Apin, Basuki Resobowo, Asrul Sani, dan lainnya. Pada Agustus 1948, Henk Ngantung menggelar pameran di Gedung Taman Siswa Kemayoran & Hotel Des Indes Jakarta. Setelah itu, ia berkeliling ke berbagai tempat di Indonesia meskipun sedang dalam situasi perang Pada tahun 1955-1958 Henk Ngantung tercatat sebagai pengurus Lembaga Persahabatan Indonesia-Tiongkok Sebagai Gubernur DKISebelum diangkat menjadi gubernur, ia ditunjuk oleh Presiden Soekarno sebagai wakil gubernur di bawah Soemarno Sosroatmodjo. Saat itu banyak kalangan yang protes atas pengangkatan Henk Ngantung. Soekarno ingin agar Henk menjadikan Jakarta sebagai kota budaya. Dan, Ngantung dinilainya memiliki bakat artistik. Salah satu pengalaman yang barangkali menarik adalah tatkala presiden memanggilnya ke istana untuk mengatakan bahwa pohon-pohon di tepi jalan yang baru saja dilewati perlu dikurangi. Masalah pengemis yang merusak pemandangan Jakarta tak lepas dari perhatian Ngantung. Setelah tidak menjabatHenk Ngantung tidak sekadar tinggal dalam kemiskinan hingga harus menjual rumah di pusat kota untuk pindah ke perkampungan. Derita Henk Ngantung terus menerpa karena nyaris buta oleh serangan penyakit mata dan dicap sebagai pengikut Partai Komunis Indonesia tanpa pernah disidang, dipenjara, apalagi diadili hingga akhir hayatnya bulan Desember 1991. Henk Ngantung hingga akhir hayatnya tinggal di gang sempit namun lahan rumahnya cukup luas di jalan Waru, Cawang, Jakarta Timur. Kesetiaan Henk melukis terus berlanjut meski dia digerogoti penyakit jantung dan glaukoma yang membuat mata kanan buta dan mata kiri hanya berfungsi 30 persen. Pada akhir 1980-an, dia melukis dengan wajah nyaris melekat di kanvas dan harus dibantu kaca pembesar. Sebulan sebelum wafat, saat ia dalam keadaan sakit-sakitan, pengusaha Ciputra memberanikan diri mensponsori pameran pertama dan terakhir Henk. KeluargaHenk beristrikan Hetty Evelyn "Evie" Ngantung Mamesah. Pernikahan mereka dikaruniai 4 orang anak yaitu Maya Ngantung, Genie Ngantung, Kamang Ngantung, dan Karno Ngantung. Henk meninggal di Jakarta pada tanggal 12 Desember 1991 dalam usia 64 tahun karena sakit jantung. Dimakamkan di TPU Menteng Pulo, Jakarta Selatan. KaryaTugu Selamat Datang yang menggambarkan sepasang pria dan wanita yang sedang melambaikan tangan yang berada di bundaran Hotel Indonesia merupakan hasil sketsa Henk, dalam rangka menyambut Asian Games 1962 di Jakarta. Ide pembuatan patung ini berasal dari Presiden Soekarno dan desain awalnya dikerjakan oleh Henk Ngantung yang pada saat itu merupakan wakil Gubernur DKI Jakarta. Henk juga membuat sketsa lambang DKI Jakarta dan lambang Kostrad[3] namun ironisnya, hal tersebut belum diakui oleh pemerintah. Lukisan hasil karya Henk antara lain adalah:
Referensi
Pranala luarWikimedia Commons memiliki media mengenai Henk Ngantung.
|