Transmigrasi

Pemukiman transmigrasi Sigulai di Simeulue, Aceh

Transmigrasi (dari bahasa Belanda: transmigratie) adalah suatu program yang dibuat oleh pemerintah Indonesia untuk memindahkan penduduk dari suatu daerah yang padat penduduk (kota) ke daerah lain (desa) di dalam wilayah Indonesia. Penduduk yang melakukan transmigrasi disebut Transmigran.

Sejarah transmigrasi di Indonesia

Tujuan resmi program ini adalah untuk mengurangi kemiskinan dan kepadatan penduduk di pulau Jawa [1][pranala nonaktif permanen], memberikan kesempatan bagi orang yang mau bekerja, dan memenuhi kebutuhan tenaga kerja untuk mengolah sumber daya di pulau-pulau lain seperti Papua, Kalimantan, Sumatra, dan Sulawesi. Kritik mengatakan bahwa pemerintah Indonesia berupaya memanfaatkan para transmigran untuk menggantikan populasi lokal, dan untuk melemahkan gerakan separatis lokal. Program ini beberapa kali menyebabkan persengketaan dan percekcokan, termasuk juga bentrokan antara pendatang dan penduduk asli setempat.

Seiring dengan perubahan lingkungan strategis di Indonesia, transmigrasi dilaksanakan dengan paradigma baru sebagai berikut:

  1. Mendukung ketahanan pangan dan penyediaan papan
  2. Mendukung kebijakan energi alternatif (bio-fuel)
  3. Mendukung pemerataan investasi ke seluruh wilayah Indonesia
  4. Mendukung ketahanan nasional pulau terluar dan wilayah perbatasan
  5. Menyumbang bagi penyelesaian masalah pengangguran dan kemiskinan

Transmigrasi tidak lagi merupakan program pemindahan penduduk, melainkan upaya untuk pengembangan wilayah. Metodenya tidak lagi bersifat sentralistik dan top down dari Jakarta, melainkan berdasarkan Kerja sama Antar Daerah pengirim transmigran dengan daerah tujuan transmigrasi. Penduduk setempat semakin diberi kesempatan besar untuk menjadi transmigran penduduk setempat (TPS), proporsinya hingga mencapai 50:50 dengan transmigran Penduduk Asal (TPA).

Dasar hukum yang digunakan untuk program ini adalah Undang-Undang Republik Indonesia]] Nomor 15 Tahun 1997 tentang Ketransmigrasian (sebelumnya UU Nomor 3 Tahun 1972) dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Transmigrasi (Sebelumnya PP Nomor 42 Tahun 1973), ditambah beberapa Keppres dan Inpres pendukung. Syarat untuk menjadi Transmigran:

  1. Warga Negara Indonesia adalah setiap warga negara yang berdomisili di wilayah Negara Republik Indonesia.
  2. Berkeluarga dibuktikan dengan Surat Nikah dan Kartu Keluarga.
  3. Memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang masih berlaku.
  4. Berusia antara 18 sampai dengan 50 tahun sesuai dengan Kartu Tanda Penduduk (KTP), kecuali diatur lain dalam perjanjian kerja sama antar daerah.
  5. Belum pernah bertransmigrasi yang dibuktikan dengan Surat Keterangan dari Kepala Desa/Lurah di mana pendaftar berdomisili.
  6. Berbadan sehat yang dibuktikan dengan Surat Keterangan Dokter.
  7. Memiliki keterampilan sesuai kebutuhan untuk mengembangkan potensi sumber daya yang tersedia di lokasi tujuan sebagaimana diatur dalam perjanjian kerja sama antar daerah.
  8. Menandatangani Surat Pernyataan kesanggupan melaksanakan kewajiban sebagai transmigran.
  9. Lulus seleksi yang dibuktikan dengan Surat Keterangan Lulus dari Tim yang diberikan wewenang untuk melaksanakan seleksi.

Zaman Belanda

Pekerja kontrak Jawa di sebuah perkebunan di Sumatra pada zaman penjajahan, circa 1925.

Pemerintah kolonial Belanda merintis kebijakan ini pada awal abad ke-19 untuk mengurangi kepadatan pulau Jawa dan memasok tenaga kerja untuk perkebunan di pulau Sumatra. Program ini perlahan memudar pada tahun-tahun terakhir masa penjajahan Belanda (1940-an), lalu dijalankan kembali setelah Indonesia merdeka untuk menangkal kelangkaan pangan dan bobroknya ekonomi pada masa pemerintahan Soekarno dua puluh tahun setelah Perang Dunia II.

Pada tahun puncaknya, 1929, lebih dari 260.000 pekerja kontrak Cultuurstelsel dibawa ke pesisir timur Sumatra, 235.000 orang di antaranya berasal dari pulau Jawa. Para pendatang bekerja sebagai kuli; apabila seorang pekerja meminta kontraknya diputus oleh perusahaan (desersi), ia akan dihukum kerja paksa. Tingkat kematian dan penyiksaan di kalangan kuli saat itu sangat tinggi.

Pasca-kemerdekaan

Liputan ABC tahun 1995 mengenai dampak transmigrasi terhadap suku Dani di Papua

Setelah kemerdekaan Indonesia diakui oleh Belanda tahun 1949 di bawah pemerintahan Soekarno, program transmigrasi dilanjutkan dan diperluas cakupannya sampai Papua. Pada puncaknya antara tahun 1979 dan 1984, 535.000 keluarga (hampir 2,5 juta jiwa) pindah tempat tinggal melalui program transmigrasi. Dampak demografisnya sangat besar di sejumlah daerah; misalnya, pada tahun 1981, 60% dari 3 juta penduduk provinsi Lampung adalah transmigran. Pada tahun 1980-an, program ini didanai oleh Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia serta negara-negara Barat yang memuji kebijakan anti-komunis Soeharto.[1] Akibat krisis energi 1979 dan peningkatan biaya transportasi, anggaran dan rencana transmigrasi dipotong.[2]

Pada bulan Agustus 2000 setelah krisis keuangan Asia dan jatuhnya rezim Soeharto, pemerintah Indonesia mulai mengurangi skala program transmigrasi karena sedikitnya anggaran.

Pemerintah Indonesia mengurus program transmigrasi lewat Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi meski skalanya lebih kecil daripada tahun-tahun sebelumnya. Departemen ini setiap tahunnya memindahkan 15.000 keluarga atau hampir 60.000 orang. Jumlah ini perlahan meningkat seiring bertambahnya anggaran transmigrasi (Rp2,3 triliun) dan target pemindahan (20.500 keluarga) pada tahun 2006.[3]

Tujuan

Menurut pemerintah Indonesia dan komunitas pembangunan, tujuan program ini adalah memindahkan jutaan orang Indonesia dari pulau Jawa, Bali, dan Madura yang padat ke pulau-pulau luar yang penduduknya sedikit demi menciptakan kepadatan penduduk yang merata. Transmigrasi akan mengentaskan kemiskinan dengan memberikan lahan dan kesempatan baru bagi para pendatang miskin. Transmigrasi juga akan menguntungkan Indonesia dengan meningkatkan pemanfaatan sumber daya alam di pulau-pulau yang kurang padat penduduk. Program ini juga bertujuan untuk menyatukan seluruh bangsa dengan menciptakan identitas nasional Indonesia yang tunggal yang menggantikan identitas daerah. Pemerintah Indonesia secara resmi menyatakan bahwa tidak ada pemisahan "suku pribumi" dan pendatang di Indonesia, karena Indonesia adalah negara "suku pribumi yang dijalankan dan dipimpin oleh pribumi untuk pribumi".[4]

Dampak

Ekonomi

Dalam berbagai kasus, program ini gagal meningkatkan taraf hidup migran. Tanah dan iklim di daerah tujuan umumnya tidak sesubur tanah vulkanis di Jawa dan Bali. Para pendatang biasanya merupakan orang-orang tanpa tanah yang tidak punya keterampilan bertani sehingga kesuksesan mereka terancam.[5]

Lingkungan

Transmigrasi juga dikritik karena mempercepat penebangan hutan hujan sensitif seiring meledaknya jumlah penduduk di daerah yang penduduknya sedikit. Para migran biasanya pindah ke "desa transmigrasi" baru yang dibangun di daerah-daerah yang belum tersentuh aktivitas manusia. Dengan menempati lahan tersebut, sumber daya alam menjadi habis dan tanahnya berlebihan digarap sehingga terjadi deforestasi.

Sosial dan politik

Program ini mengakibatkan perseteruan antara suku yang mengenal satu sama lain lewat transmigrasi. Misalnya, pada tahun 1999, suku Dayak dan Melayu berseteru dengan transmigran Madura dalam kerusuhan Sambas. Pada tahun 2001, suku Dayak dan Madura terlibat konflik Sampit yang menewaskan ribuan orang dan memaksa ribuan orang Madura mengungsi. Transmigrasi juga sangat kontroversial di provinsi Papua dan Papua Barat yang kebanyakan penduduknya beragama Kristen. Sejumlah warga Papua menuduh pemerintah Indonesia melakukan Islamisasi melalui transmigrasi.[6]

Angka

Transmigrasi dari Jawa dan Madura membuat jumlah penduduk di daerah lain meledak, terutama di Sumatra, Kalimantan, dan Papua. Berdasarkan sensus 2010, sekitar 4,3 juta transmigran dan keturunannya hidup di Sumatera Utara, 200.000 di Sumatera Barat, 1,4 juta di Riau, dan hampir 1 juta di Jambi, 2,2 juta di Sumatera Selatan, 400.000 di Bengkulu, 5,7 juta di Lampung, 100.000 di Bangka-Belitung, dan hampir 400.000 di Kepulauan Riau, dengan jumlah total 15,5 juta jiwa di pulau Sumatra. Di Kalimantan, terdapat kurang lebih 700.000 transmigran dan keturunannya di Kalimantan Barat, 400.000 di Kalimantan Tengah, 500.000 di Kalimantan Selatan, dan lebih dari 1 juta di Kalimantan Timur, dengan total 2,6 juta di seluruh pulau Kalimantan.[butuh rujukan] Meski angka resminya dirahasiakan oleh pemerintah, lebih dari satu juga transmigran diperkirakan menetap di Papua dan Papua Barat. Jumlah transmigran di seluruh Indonesia mencapai 20 juta jiwa.[butuh rujukan]

Transmigran tidak selalu dari Jawa dan/atau beragama Islam. Pada tahun 1994, ketika Timor Timur masih bagian dari Indonesia, kelompok transmigran terbesar justru orang Bali yang beragama Hindu (1.634 jiwa) dan orang Jawa beragama Katolik (1.212 jiwa).[7]

Kritik

Masyarakat pribumi memandang program ini sebagai upaya pemerintah Indonesia yang berpusat di pulau Jawa untuk memperluas kekuasaan ekonomi dan politiknya di wilayah lain, khususnya dengan memindahkan orang-orang yang punya hubungan dekat dengan pulau Jawa dan setia dengan pemerintah Indonesia.[butuh rujukan] Lembaga pemerintah yang bertugas mengurus transmigrasi sering dituduh mengabaikan adat setempat atau hak tanah ulayat. Pengabaian adat setempat ini terjadi di pulau Kalimantan yang dihuni suku Dayak.

Kerusakan lingkungan akibat proyek transmigrasi bukan disebabkan oleh kebodohan, melainkan karena kurangnya perhatian, tidak ada kelanjutan program, dan tidak adanya akuntabilitas selama transmigrasi dilaksanakan. Banyak kelemahan yang dipaparkan dalam amdal proyek seperti potensi erosi lahan, potensi turunnya kesuburan tanah, kurangnya perlindungan dari wabah penyakit, dampak negatif terhadap lingkungan liar dan suku pribumi, deforestasi, dan perlunya memperkuat kapasitas transmigran untuk mengelola sumber daya alam. Audit program kadang menunjukkan bahwa tindakan pencegahan yang diusulkan justru tidak realistis dan kurang diawasi pemerintah. [8]

Papua

Di provinsi Papua dan Papua Barat, program transmigrasi mengakibatkan jumlah penduduk penduduk asli dengan ras Melanesia lebih sedikit ketimbang jumlah pendatang di tanahnya sendiri. Penduduk asli telah menghuni pulau Papua selama kurang lebih 50.000 tahun, kemudian bagian baratnya dijajah Belanda sebelum dianeksasi oleh Indonesia pada tahun 1969.[9] Dalam kurun 50 tahun terakhir, jumlah orang asli Papua sudah terlampaui oleh jumlah pendatang, kebanyakan dari pulau Jawa.[10] Program ini dikritik sebagai upaya melenyapkan orang Papua lewat pembersihan etnis secara perlahan.[11] Terjadi konflik terbuka antara pendatang, pemerintah, dan warga pribumi akibat perbedaan budaya—terutama dalam hal administrasi dan kebudayaan seperti telanjang, makanan, dan jenis kelamin. Agama juga menjadi biang masalah karena kebanyakan penduduk Papua Barat beragama Kristen atau memegang kepercayaan tradisional, sedangkan para pendatang Indonesia kebanyakan Muslim. Banyak warga asli Papua yang mengungsi ke Papua Nugini. Per Januari 2013, terdapat 8.000 pengungsi Papua di negara tersebut.[12]

Tingkat pertumbuhan penduduk di Papua sangat tinggi berkat transmigrasi. Para penentang transmigrasi berpendapat bahwa banyak sekali sumber daya yang terbuang demi menempatkan orang-orang tidak mampu mencukupi diri sendiri sehingga terjadi kerusakan yang mengancam eksistensi masyarakat suku. Berbagai kontrak penambangan besar-besaran di Papua oleh perusahaan Amerika Serikat dan Inggris-Australia juga dikeluarkan.

Referensi

  1. ^ Goldman, Michael (2006). Imperial Nature: The World Bank and Struggles for Social Justice in the Age of Globalization. Yale University Press. hlm. 299. 
  2. ^ Anata, Aris (2003). The Indonesian Crisis: A Human Development Perspective. Institute of Southeast Asian Studies. hlm. 229–230. 
  3. ^ Almubarok I, Zaky (16 May 2006). "Ditargetkan Transmigrasi 20.500 Keluarga (Target of 25,000 Families set for Transmigration". Berita Ketransmigration (Transmigration News). Departeman Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Department of Manpower and Transmigration). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2007-09-27. 
  4. ^ Ellen, Roy; Parkes, Peter; Bicker, Alan (2000). Indigenous Environmental Knowledge and its Transformations: Critical Anthropoligical Perspectives. Psychology Press. hlm. 121–122. 
  5. ^ Max Sijabat, Ridwan (23 March 2007). "Unemployment still blighting the Indonesian landscape". The Jakarta Post. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2007-05-01. 
  6. ^ Farhadian, Charles E. (2005). Christianity, Islam, and Nationalism in Indonesia. Taylor & Francis. hlm. 63. 
  7. ^ Tirtosudarmo, Riwanto (2007), Mencari Indonesia: demografi-politik pasca-Soeharto, Yayasan Obor Indonesia, ISBN 9789797990831 
  8. ^ "Transmigration in Indonesia". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2014-01-16. Diakses tanggal 2015-05-16. 
  9. ^ Saltford, J; The United Nations and the Indonesian Takeover of West Papua, 1962-1969, Routledge Curzon, p.3, p.150
  10. ^ Transmigration in Indonesia: Lessons from Its Environmental and Social Impacts, Philip M Fearnside, Department of Ecology, National Institute for Research in the Amazon, 1997, Springer-Verlag New York Inc. Accessed online 17 November 2014
  11. ^ http://sydney.edu.au/arts/peace_conflict/docs/working_papers/West_Papuan_Demographics_in_2010_Census.pdf
  12. ^ UN High Commission for Refugees Diarsipkan 2015-05-12 di Wayback Machine. website. Accessed 17 November 2014

Pranala luar

Kembali kehalaman sebelumnya