Penerbangan di IndonesiaPenerbangan di Indonesia merupakan sarana penting untuk menghubungkan ribuan pulau di Nusantara. Indonesia adalah negara kepulauan yang memiliki 17.508 pulau,[1] sebanyak 922 di antaranya dihuni secara menetap.[a] Dengan jumlah penduduk ditaksir sebanyak lebih dari 255 juta jiwa — menjadikan negara ini sebagai negara berpenduduk terbesar keempat di dunia — juga berkat pertumbuhan kelas menengah dan tumbuhnya penerbangan bertarif rendah pada dasawarsa terakhir, Indonesia secara luas dianggap sebagai pasar penerbangan yang tengah tumbuh. Antara kurun 2009 dan 2014, jumlah penumpang pesawat terbang Indonesia meningkat dari 27.421.235[2] menjadi 94.504.086,[3] sebuah peningkatan lebih dari tiga kali lipat.[3] Asosiasi Pengangkutan Udara Internasional (IATA) telah meramalkan bahwa Indonesia akan menjadi pasar perjalanan penerbangan terbesar keenam dunia pada 2034.[4] Sekitar 270 juta penumpang diperkirakan akan terbang dari dan menuju Indonesia, serta di dalam negeri Indonesia pada 2034.[4] Akan tetapi, masalah keselamatan terus menjadi persoalan dalam penerbangan di Indonesia. Beberapa kecelakaan penerbangan telah memberikan reputasi buruk terhadap sistem transportasi udara di Indonesia.[5] Penerbangan di Indonesia menghadapi berbagai macam tantangan, termasuk infrastruktur yang kurang baik kondisinya, usang, ataupun melebihi kapasitasnya,[6] hingga faktor kesalahan manusia, cuaca buruk, asap kebakaran lahan dan hutan,[7] serta debu vulkanik yang disemburkan letusan gunung berapi di Indonesia yang dapat menggangu penerbangan.[8] Di Indonesia terdapat sebanyak 22 penerbangan komersial berjadwal yang mengangkut lebih dari 30 penumpang, dan 32 penerbangan komersial berjadwal yang mengangkut penumpang sebanyak 30 orang atau kurang serta penerbangan carteran. Garuda Indonesia adalah maskapai penerbangan nasional Indonesia.[9] TNI Angkatan Udara memiliki 34.930 personil dilengkapi 224 pesawat, di antaranya 110 adalah pesawat tempur. TNI Angkatan Udara memiliki dan mengoperasikan sejumlah pangkalan udara dan lapangan terbang militer di seluruh Nusantara.[10] Kebijakan transit udaraSebagai negara besar yang terentang mencakupi tiga zona waktu, Indonesia memiliki wilayah udara yang luas. Akan tetapi, Indonesia bukan merupakan peserta yang menandatangani International Air Services Transit Agreement (IASTA), karena itulah wilayah udara Indonesia dan bandar udara di Indonesia tertutup bagi maskapai penerbangan komersial asing, kecuali terdapat perjanjian bilateral yang dinegosiasikan dengan negara asing. Indonesia dan Australia sebagai contoh, telah menandatangani kesepakatan bilateral terkait layanan transportasi udara pada 7 Februari 2013. Berdasarkan perjanjian ini, masing-masing negara memberikan hak kepada negara rekan untuk terbang di atas wilayahnya tanpa mendarat, hak untuk singgah di wilayahnya untuk keperluan di luar trafik (kemerdekaan udara pertama dan kedua), serta memberikan hak kepada maskapai penerbangan yang ditunjuk untuk mengoperasikan layanan.[11] Indonesia adalah pasar penerbangan terbesar di ASEAN. Akan tetapi, Indonesia belum menjadi anggota penuh Kesepakatan angkasa terbuka ASEAN, yang berencana meniadakan pembatasan penerbangan di seluruh Asia Tenggara pada negara anggotanya per akhir 2015 atau awal 2016.[12] Indonesia mempertimbangkan hanya membuka lima bandar udara internasionalnya di bawah kebijakan ini; antara lain Jakarta, Medan, Bali, Surabaya dan Makassar.[13] Saat ini Indonesia menerapkan pembatasan terhadap maskapai penerbangan asing untuk beroperasi di Indonesia. Kebijakan yang bersifat proteksionis ini dimaksudkan untuk melindungi bisnis penerbangan dalam negeri. Akses bagi maskapai asing untuk melayani rute dalam negeri dilarang, sementara penerbangan internasional diatur di bawah perjanjian bilateral. Untuk menyiasati kebijakan ini, agar dapat beroperasi di Indonesia, perusahaan penerbangan asing harus membeli, memiliki dan mengoperasikan maskapai penerbangan yang berbasis di Indonesia terlebih dahulu. Contoh praktik ini adalahmaskapai Indonesia AirAsia, cabang dari maskapai Malaysia AirAsia, yang sebelumnya membeli dan mengoperasikan maskapai lokal Awair pada 2004, sebelum akhirnya berubah nama menjadi Indonesia AirAsia pada 2005.[14] SejarahPenerbangan pertamaPenerbangan pertama di Indonesia (dahulu Hindia Belanda) dimulai di Surabaya pada 18 Februari 1913 oleh pria asal Probolinggo bernama Johan Willem Emile Louis Hilgers. Uji coba penerbangan itu dilakukan di tanah lapang berumput. Hilgers berhasil mengudara selama sekitar 23 menit. Pesawat yang digunakan dalam uji coba pertama ini diangkut dari Belanda menggunakan kapal laut milik pemerintah kolonial Belanda. Sayangnya, uji coba tersebut berujung pada jatuhnya pesawat di area hutan bambu Kampung Baliwerti.[15] Bagi sejarah penerbangan Indonesia, momen tersebut menjadi kecelakaan penerbangan untuk yang pertama kali, serta pemecahan dua rekor sekaligus, yaitu pilot pertama yang berhasil menerbangkan pesawat dan pilot pertama yang selamat dari kecelakaan dalam penerbangan.[16] Pada 1914, Jan Hilgers menjalin kontak dengan Hein ter Poorten, Komandan Koninklijk Nederlands-Indisch Leger (KNIL), tentara Kerajaan Hindia Belanda, pada masa Perang Dunia II. Mereka kemudian merintis pembentukan Angkatan Udara Tentara Kerajaan Hindia Belanda (Militaire Luchtvaart-KNIL). Selama hidupnya Hilgers telah lepas landas sekitar 3.000 kali di Hindia Belanda, 20 di antaranya mengalami kecelakaan. Hilgers meninggal di Kamp Interniran Jepang pada 21 Juli 1945.[17] Masa kolonialLayanan penerbangan dirintis di awal abad ke-20 di Hindia Belanda. Pada 1 Oktober 1924, KLM menggelar penerbangan lintas benua perdananya, menghubungkan Amsterdam dengan Batavia (kini Jakarta) dengan menggunakan pesawat Fokker F-VII.[18] Pada September 1929, KLM memulai layanan penerbangan berjadwal antara Amsterdam dan Batavia. Rute ini menghubungkan Amsterdam ke Marseille, Roma, Brindisi, Athena, Merza Matruh, Kairo, Gaza, Baghdad, Bushire, Lingeh, Ojask, Gwadar, Karachi, Jodhpur, Allahabad, Kalkuta, Akyab, Rangoon, Bangkok, Alor Star, Medan, Palembang, dan Batavia, dan dilanjutkan ke Bandung. Sampai menjelang pecahnya Perang Dunia Kedua, jalur penerbangan ini adalah jalur penerbangan berjadwal terpanjang di dunia.[18] Koninklijke Nederlandsch-Indische Luchtvaart Maatschappij (KNILM) — maskapai penerbangan Hindia Belanda — didirikan pada 16 Juli 1928.[19] Penerbangan perdana pertamanya menghubungkan Batavia – Bandung, dan Batavia – Semarang, mulai 1 November 1928. Peresmian penerbangan perdananya digelar di lapangan terbang Cililitan di Batavia (kini Bandar Udara Internasional Halim Perdanakusuma). Penerbangan Batavia-Semarang kemudian diperpanjang ke Surabaya. Secara bertahap, layanan penerbangannya diperluas dengan menjangkau pulau-pulau lain di Nusantara, antara lain Palembang dan Medan di Sumatra, Balikpapan dan Tarakan di Kalimantan, dan Denpasar di Bali. Segera sebelum Perang Pasifik, KNILM juga membuat jejaring penerbangan di kawasan timur Hindia Belanda, dengan menghubungkan kota Ambon. Untuk keperluan ini, pesawat amfibi yang dapat mendarat di atas permukaan air, seperti pesawat amfibi Vought/Sikorsky VS 42 dan 43 serta Grumman G-21 digunakan, karena kurangnya fasilitas lapangan terbang di kawasan ini.[20] Seawal tahun 1930, KNILM memulai layanan penerbangan internasional perdananya dengan penerbangan ke Singapura. Pada Juni 1937, beberapa kota di Hindia Belanda disinggahi oleh Amelia Earhart dalam perjalanan penerbangan keliling dunianya. Dari Singapura, Earhart terbang ke Bandung, Surabaya, dan Kupang sebelum melanjutkan penerbangannya ke Darwin, Australia.[21] Pada 3 Juli 1938, KNILM mulai beroperasi di Australia dengan terbang ke Sydney, dengan singgah di Darwin, Cloncurry, dan Charleville. KNILM tidak terbang ke Belanda, karena penerbangan mingguan Amsterdam-Batavia sudah dilayani oleh KLM. Pada saat serangan Jepang terhadap Hindia Belanda, KNILM digunakan sebagai penerbangan evakuasi serta penerbangan transportasi mengangkut tentara.[20] KNILM ditak dapat beroperasi di Hindia Belanda akibat Perang Dunia II dan dilanjutkan oleh Perang Kemerdekaan Indonesia, selanjutnya perusahaan ini dibubarkan sepenuhnya pada 1 Agustus 1947. Asetnya yang tersisa kemudian dialihkan ke KLM, yang kemudian menciptakan KLM Interinsulair Bedrijf (Layanan Antar Pulau).[19] Masa republikRepublik Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945 dan kemudian disusul perang kemerdekaan.Setelah mengalami perang lima tahun dan meraih pengakuan dari Belanda melalui Konferensi Meja Bundar pada akhir 1949, bisnis penerbangan dibuka kembali. Maskapai KLM Interinsulair Bedrijf dinasionalisasikan oleh Pemerintah Indonesia pada Desember 1949 sebagai Garuda Indonesia, maskapai penerbangan nasional Indonesia, dan memulai layanan penerbangan di Nusantara.[22] Pada tahun-tahun awal Republik Indonesia, Garuda Indonesia mendominasi layanan penerbangan di negara ini, menghubungkan kota-kota besar di Nusantara. Pada 1956, Garuda Indonesia menggelar layanan penerbangan haji perdananya ke Makkah dengan menggunakan pesawat Convair, mengangkut 40 jamaah haji Indonesia.[23] Pada 1963, memulai layanan penerbangan ke Hong Kong. Pada pertengahan dasawarsa 1960-an, maskapai ini menerima kiriman perdana pesawat Douglas DC-8 dan kemudian tumbuh lebih jauh melampaui pasar Asia yang biasa dilayaninya. Dimulai dengan melayani penerbangan berjadwal ke Amsterdam dan Frankfurt melalui Colombo, Bombay, dan Praha. Roma dan Paris menjadi tujuan Eropa ketiga dan keempat bagi Garuda Indonesia, dengan pemberhentian di Bombay dan Kairo untuk mengisi bahan bakar. Penerbangan ke Republik Rakyat Tiongkok dimulai pada tahun yang sama, dengan layanan ke Kanton via Phnom Penh.[23] Pada 1962, maskapai Merpati Nusantara Airlines milik pemerintah didirikan untuk melayani penerbangan perintis dengan pesawat kecil untuk menghubungkan kawasan-kawasan terpencil di Nusantara. Akan tetapi maskapai ini berhenti beroperasi pada Februari 2014 dan kemudian dinyatakan bangkrut.[24] Pada 1969, penerbangan swasta di Indonesia mulai tumbuh dengan didirikannya Mandala Airlines, menyusul pula Bouraq pada 1970.[25] Maskapai penerbangan swasta ini secara langsung bersaing dengan maskapai penerbangan milik pemerintah (BUMN) yaitu Garuda Indonesia and Merpati Nusantara airlines, dan tetap bertahan hingga dasawarsa 2000-an. Bouraq berhenti beroperasi pada 2005. Mandala kemudian dibeli oleh Tigerair Group asal Singapura pada 2012, akan tetapi Tigerair Mandala kemudian berhenti beroperasi pada 2014.[25][26] Pada tahun 2000, Pemerintah Indonesia mengumumkan kebijakan deregulasi penerbangan, yang memungkinkan perizinan yang lebih mudah untuk mendirikan maskapai penerbangan baru.[27] Kebijakan ini bermaksud untuk merangsang investasi transportasi dan meningkatkan bisnis penerbangan di dalam negeri, di samping untuk menggairahkan industri pariwisata di kawasan. Akibatnya, maskapai-maskapai penerbangan baru tumbuh dan bermunculan, antara lain Lion Air (didirikan 1999), Sriwijaya Air (didirikan 2003), Adam Air (beroperasi 2002 sampai 2008), dan Batavia Air beroperasi 2002 sampai 2013). Kebijakan deregulasi ini merangsang tumbuhnya layanan maskapai penerbangan berbiaya rendah di Indonesia.[6] Sebelumnya layanan penerbangan di Indonesia didominasi oleh maskapai yang telah berpengalaman seperti Garuda Indonesia dan Merpati.[27] Catatan kakiReferensi
Daftar pustaka
|