Balai Kota DKI Jakarta
Balai Kota DKI Jakarta merupakan sebuah bangunan administratif yang menjadi tempat kerja resmi Gubernur serta Wakil Gubernur DKI Jakarta. SejarahMasa Pendudukan BelandaSebelum menempati gedung Balai Kota Medan Merdeka Selatan, pusat pemerintahan kota Jakarta mengalami beberapa kali perpindahan tempat. Ketika Stad Batavia dibentuk pada tahun 1905, dan kemudian berubah menjadi Gemeente Batavia, kantor pemerintahannya bertempat di De Oude Stadhuis, yakni bangunan kuno abad ke-18 di Stadhuisplein ( Sekarang Taman Fatahillah dan dikenal sebagai Museum Sejarah Jakarta). Akibat perkembangan kota Batavia yang mengarah ke selatan dan berpusat di Weltevreden, kantor Gemeente Batavia menjadi sangat jauh dari pusat kota.[1] Oleh karena itu, banyak kantor pemerintahan yang akhirnya pindah ke Weltevreden. Kantor Balai Kota pun demikian. Yang pada awalnya terletak di Oud Batavia kemudian pindah ke Tanah Abang West (sekarang jalan Abdul Muis no.35, Jakarta Pusat) pada tahun 1913. Kemudian tahun 1919 pindah lagi ke Koningsplein Zuid (Sekarang Jl. Medan Merdeka Selatan No. 8-9, Jakarta Pusat).[1] Adapun bangunan No. 8 dipergunakan sebagai kantor dan tempat kediaman Residen Jawa Barat, sedangkan bangunan No. 9 dipergunakan untuk Gemeentehuis Batavia dan rumah kediaman Burgemeester. Lalu kemudian bangunan no. 9 menjadi kantor Balai Kota sepenuhnya setelah rumah kediaman Burgemeester dibuatkan di samping Bisschopplein (sekarang Jl. Suropati No. 7, Jakarta Pusat). Pada tanggal 1 Oktober 1926, Gemeentehuis Batavia diganti menjadi Stad Gemeentehuis Batavia sampai masa pemerintahan Jepang.[2] Masa Pendudukan Jepang sampai Pergolakan Revolusi IndonesiaPada masa pendudukan Jepang (1942-1945) gedung tersebut untuk kantor Jakarta Tokubetsusi dengan kepala pemerintahannya disebut sityoo. Setelah Indonesia Merdeka, kantor pemerintahan kota ini berganti nama lagi menjadi Pemerintahan Nasional Kota Djakarta. Sementara itu, kantornya disebut Balai Agung Pemerintahan Nasional Kota Djakarta dengan Wali Kota pertama Soewirjo.[2] Pada 21 Juli 1947, gedung pemerintah itu kembali mengalami pergolakan. Tak hanya perubahan nama, pemerintahan di Jakarta pun tidak dapat berjalan. Wali Kota Soewirjo beserta para pejabat Jakarta ditangkap dan diusir oleh pemerintahan Belanda yang saat itu belum mengakui Kemerdekaan Indonesia, pada 17 Agustus 1945. Pada 9 Maret 1948, Belanda membentuk pemerintahan Pre-Federal untuk menggantikan pemerintahan sebelumnya dan menjadikan Jakarta sebagai Ibu Kota Negara. Nama pemerintahan Kota Jakarta pun kembali diubah menjadi Stad Gemeente Djakarta. Nama inilah yang akhirnya digunakan sampai Pemerintah Kerajaan Belanda mengakui kedaulatan Republik Indonesia pada 27 Desember 1949.[2] Perkembangan Setelah Pergolakan Revolusi IndonesiaSejak 31 Maret 1950, Soewirjo kembali diangkat sebagai wali kota dan Kota Jakarta berkedudukan sebagai Kotapraja Djakarta. Sekitar tahun 1954 masa pemerintahan Wali kota Soediro, kantor Balai Kota diperluas dengan penambahan gedung No.8. Dengan demikian kantor Balai Kota DKI Jakarta menempati dua gedung, yakni Jl. Medan Merdeka Selatan No.8 dan 9.[2] Gedung Kantor Komisaris Tinggi Kerajaan Belanda yang berada tepat di sebelah Gedung Balai Kota juga dijadikan sebagai kantor pemerintahan. Gedung itu digunakan sebagai kantor pemerintah bersama dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Gotong Rojong. Kantor Komisaris Tinggi Kerajaan Belanda pun dipindahkan ke Jalan Medan Merdeka Barat sebagai penggantinya.[2] Perkembangan selanjutnyaTahun 1960, yakni pada masa jabatan Sumarno, Kota Jakarta mendapatkan kedudukan istimewa menjadi setingkat dengan Daerah Swantantra Tingkat I. Nama Pemerintah Kotapraja Djakarta Raja pun diubah menjadi Pemerintah Daerah Chusus Ibu Kota (DCI) Djakarta. Kepala pemerintahannya pun tak lagi disebut wali kota, tetapi diganti menjadi gubernur. Dan pada 1964, Jakarta pun resmi menjadi Ibu Kota Negara Kesatuan Republik Indonesia.[2] Selanjutnya, pada 1969, kompleks Balai Kota mengalami pengembangan kawasan. Pemerintah DCI Djakarta membangun Gedung Blok C (Balai Agung) untuk ruang sidang DPRDGR. Sedangkan untuk ruang sekretariat DPRD dan ruang kerja Sekretariat Daerah dibangun gedung blok F sebanyak empat lantai.[2] Pada 1972, nama Pemerintah DCI Djakarta diubah menjadi Pemerintah Daerah Khusus Ibu Kota (DKI) Jakarta karena pemberlakukan ejaan yang disempurnakan (EYD). Pada tahun yang sama, pemerintah DKI membongkar gedung di Jalan Medan Merdeka Selatan Nomor 9 dan membangunnya menjadi sebuah gedung baru berlantai 24 yang kini ditempati oleh para pejabat tinggi di DKI dan dikenal dengan Gedung Blok G. Pembangunan gedung tersebut dimaksudkan sebagai proyek percontohan bagi pembangunan gedung-gedung tinggi lainnya di Jakarta. Tak hanya itu, pembangunan Gedung Blok G juga digunakan sebagai acuan untuk menyusun peraturan mengenai pembangunan gedung-gedung berlantai di DKI.[2] Masih pada tahun yang sama, kompleks Balai Kota kembali diperluas. Kali ini, perluasan dilakukan ke arah Jalan Kebon Sirih. Gedung baru itu diperuntukkan bagi Dinas Pendapatan Daerah dan Kas Daerah ini kemudian diberi nama menjadi Gedung Blok H. Setelah itu, secara berturut-turut pembangunan terus dilakukan gedung-gedung baru, seperti Gedung Blok D (Perkantoran dan Sarana Kantor, seperti Bank dan Pemadam Kebakaran) dan Blok F (Perkantoran dan Sarana Kantor).[2] Satu dekade kemudian, pada 1982, karena kebutuhan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) untuk menampung aspirasi rakyat dalam menyalurkan keinginan dan permasalahan secara konstitusional dan sarana kelancaran tugas dan kewajiban, Pemerintahan DKI Jakarta Membangun gedung DPRD DKI yang menghadap ke Jalan Kebon Sirih.[2] Keadaan SekarangSetelah Gubernur DKI Jakarta dipegang oleh Basuki Tjahaja Purnama, banyak sekali perubahan-perubahan yang terjadi di sekitar Balai Kota. Salah satunya yaitu dibukanya Balai Kota untuk umum lewat Wisata Balai Kota yang diresmikan oleh Ahok (sapaan akrabnya Basuki) pada hari Sabtu tanggal 12 September 2015. Pengunjung bisa menikmati berbagai kuliner khas Jakarta serta dipercantik dengan indahnya interior bangunan peninggalan Belanda tersebut.[3] Pengunjung juga dapat menyaksikan berbagai film Indonesia yang diputar setiap akhir pekan di Gedung Balai Agung.[4] Lihat pulaReferensi
Pranala luar |