Bandar Udara Internasional Kemayoran
Bandar Udara Kemayoran Bandar udara ini resmi dihentikan operasionalnya pada 31 Maret 1985 dengan dimulainya pemindahan aktivitas penerbangan ke Bandar Udara Internasional Soekarno-Hatta.[4] Bandar udara ini memiliki dua landasan pacu yang bersilangan, yakni landasan pacu Utara - Selatan (17-35) dengan ukuran 2.475 x 45 meter dan landasan pacu Barat - Timur (08-26) dengan ukuran 1.850 x 30 meter. EtimologiNama "Kemayoran" pertama kali muncul pada tahun 1816 di dalam iklan Java Government Gazette sebagai "tanah yang terletak di dekat Weltevreden". Tanah ini merupakan milik Komandan VOC, Isaac de l'Ostal de Saint-Martin (1629–1696) yang dikenal oleh penduduk setempat dengan panggilan Mayor. Sehingga penduduk setempat menyebut kawasan ini sebagai "Mayoran", yang kemudian pelafalan tersebut berubah menjadi "Kemayoran" seiring berjalannya waktu.[5] SejarahEra Pemerintahan Hindia BelandaRencana untuk mendirikan bandar udara sipil bertaraf internasional di Batavia memang sudah menjadi prioritas utama Pemerintah Hindia Belanda. Sebelumnya, Batavia sudah memiliki lapangan terbang yang terletak di Tjililitan. Lapangan terbang tersebut digunakan oleh Koninklijke Luchtvaart Maatschappij (KLM) dan Koninklijke Nederlandsch-Indische Luchtvaart Maatschappij (KNILM) sebagai basis operasional kedua maskapai tersebut. Namun, Lapangan Terbang Tjililitan dianggap tidak strategis karena letaknya berada di pinggiran kota dan harus berbagi kepemilikan dengan militer. Maka untuk memenuhi ambisi Pemerintah Hindia Belanda, pada tahun 1934, dibangun lah sebuah bandar udara baru di Kemayoran yang saat itu masih berupa rawa, areal persawahan, serta pemukiman penduduk.[6] Ambisi ini tercakup dalam desainnya, membangun dua landasan pacu bersilangan utara-selatan dan barat-timur, masing-masing dengan panjang 800 m, dibangun menara pengontrol lalu lintas udara, kantor urusan penerbangan, kantor meterologi, dan pusat komunikasi baik radio dan telegraf. Dari sisi kenyamanan penumpang, terminal berukuran besar dirancang bertingkat dua, dilengkapi kafe dan restoran, bilik telepon, kantor pos, dan sistem pengeras suara. Belum lagi hanggar yang tidak hanya untuk menyimpan pesawat namun juga sanggup melaksanakan perawatan pesawat dan mesin secara mandiri.[6] Pada 6 Juli 1940, dua hari sebelum peresmiannya, pesawat pertama yang mendarat adalah DC-3 milik KNILM yang diterbangkan dari Lapangan Terbang Tjililitan. Pesawat sejenis, yakni DC-3 beregistrasi PK-AJW juga yang pertama bertolak dari Kemayoran menuju Australia, sehari kemudian.[3] Pada Senin pagi 8 Juli 1940, Kemayoran akhirnya diresmikan oleh Pemerintah Hindia Belanda dengan harapan dapat menjadi pintu gerbang utama Hindia Belanda, serta dapat menjadi kebanggaan masyarakat Batavia. Banyak antusiasme masyarakat Batavia yang diundang dalam peresmiannya. Masyarakat dapat menyaksikan sendiri fasilitas bandar udara yang berkelas dan modern, serta tidak kalah dengan Bandar Udara Internasional Schiphol, dan bandar udara lainnya yang terletak khususnya di Eropa.[6] Tidak ketinggalan KNILM juga memamerkan beberapa armada pesawat miliknya seperti Douglas DC-2 Uiver, Douglas DC-3 Dakota, Fokker F.VIIb 3m, Grumman G-21 Goose, de Havilland DH-89 Dragon Rapide, dan Lockheed L-14 Super Electra.[4] Setelah Kemayoran mulai beroperasi, pengelolaan bandar udara ini dipegang oleh KNILM, yang bertanggung jawab langsung kepada Pemerintahan Hindia Belanda.[2] Bertepatan dengan hari ulang tahun Ratu Wilhelmina pada 31 Agustus 1940. Pemerintah Hindia Belanda mengadakan Pameran Kedirgantaraan pertama yang diselenggarakan di Kemayoran. Selain pesawat-pesawat milik KNILM, sejumlah pesawat-pesawat pribadi yang bernaung dalam Aeroclub di Batavia ikut meramaikannya. Pesawat-pesawat tersebut ada Buckmeister Bu-131 Jungmann, de Haviland DH-82 Tigermoth, Piper J-3 Cub, dan Walraven 2 yang pernah melakukan penerbangan dari Batavia menuju Amsterdam pada 27 September 1935.[4] Perang Dunia II, Pendudukan Jepang, dan pasca perangPada 17 Mei 1940, Jerman Nazi berhasil menginvasi wilayah Belanda, membuat Pemerintahan Belanda harus mengungsi ke London, Inggris. Hindia Belanda praktis menjadi koloni terpenting Belanda dalam menghadapi serangan Blok Poros. Peristiwa ini menjadikan Kemayoran digunakan sebagai basis penerbangan pesawat-pesawat militer Sekutu dan Belanda. Pesawat-pesawat militer yang singgah di Kemayoran antara lain Martin B-10, Martin B-12, Koolhoven F.K.51, Brewster F2A Buffalo, Lockheed L-18 Lodestar, Curtiss P-36 Hawk, Fokker C.X, dan Boeing B-17 Flying Fortress.[4] Kemayoran juga dioperasikan sebagai hub utama KLM menggantikan Schiphol yang saat itu sudah dikuasai oleh Jerman Nazi.[6] Pada 9 Februari 1942, Kemayoran menjadi target serangan Pasukan Udara Angkatan Laut Kekaisaran Jepang yang berusaha menguasai pulau Jawa. Dua pesawat DC-5, dua pesawat Brewster dan sebuah pesawat F.VII terbakar terkena serangan pesawat-pesawat militer Jepang. Hanya dalam waktu satu jam, akhirnya Kemayoran berhasil diduduki oleh Jepang.[7] Peristiwa ini memaksa KNILM mengungsikan pesawat-pesawatnya ke Australia. Pesawat pertama yang mendarat ialah pesawat tempur Mitsubishi A6M2b Tipe 0 Model 21, yang lebih dikenal dengan nama "Zeke" oleh Sekutu. Selain itu, Pesawat-pesawat buatan Jepang yang pernah singgah di Kemayoran antara lain Showa/Nakajima L2D, Nakajima Ki-43 Hayabusa, Tachikawa Ki-9, dan Tachikawa Ki-36.[4] Pada 14 Agustus 1945, Chairul Saleh, Joesoef Ronodipoero, dan tokoh-tokoh pemuda lainnya datang menjemput Soekarno, Mohammad Hatta dan Radjiman Wedyodiningrat di Kemayoran pasca kunjungannya menemui Jenderal Hisaichi Terauchi di Dalat, Vietnam. Setibanya di Kemayoran, Soekarno menyampaikan pidato singkat di hadapan anak-anak sekolah dan orang-orang yang datang dikerahkan oleh Hokokai dan Gunseikanbu. Para pemuda itu langsung menghampiri Soekarno seraya meminta proklamasi disegerakan karena Kekaisaran Jepang sudah kalah dalam Perang Pasifik. Namun, Soekarno tidak menanggapi permintaan para pemuda tersebut dengan alasan tidak ingin membahas soal kemerdekaan. Tak mendapatkan jawaban yang memuaskan, para pemuda itu lalu mengadakan rapat yang dipimpin oleh Chairul Saleh di Gedung Menteng Raya 31. Kesimpulannya, mereka sepakat membawa Soekarno dan Hatta ke Rengasdengklok untuk menyegerakan proklamasi tanpa menunggu Jepang.[8] Setelah peristiwa penandatanganan penyerahan Jepang pada 2 September 1945, South East Asia Command (SEAC) mengirimkan 7 anggota misi Sekutu di bawah pimpinan Mayor A.G. Greenhalgh ke Jakarta. Tujuh perwira inggris ini diterjunkan di Kemayoran pada 8 September 1945 dan segera mengadakan pertemuan dengan Jenderal Yamaguchi, pimpinan Jepang di Jakarta.[9] Hasilnya, Panglima Bala Tentara Kekaisaran Jepang di Jawa mengeluarkan pengumuman yang menyatakan pemerintahan akan diserahkan kepada Sekutu, bukan kepada Indonesia.[10] Disusul pada 29 September 1945, Allied Forces Netherlands East Indies (AFNEI) berhasil mendarat di Kemayoran dengan membawa pasukannya yang terdiri atas 3 divisi untuk bertugas di Sumatra dan Jawa. Namun, kedatangan Sekutu ke Indonesia juga membawa Nederlandsch Indische Civiele Administratie (NICA) yang hendak menegakkan kembali kekuasaan kolonial Hindia Belanda di Indonesia.[11] Pada Masa ini, giliran pesawat-pesawat Sekutu yang datang ke Kemayoran, seperti Supermarine Spitfire, North American B-25 Mitchell, dan North American P-51 Mustang. Selain itu, berdatangan juga pesawat-pesawat penumpang seperti Douglas DC-4, C-54 Skymaster, Douglas DC-6, Boeing 377 Stratocruiser, dan Lockheed Constellation.[4] Pada 1 Agustus 1947, Kemayoran menjadi saksi berdirinya maskapai penerbangan KLM Interinsulair Bedrijf. Maskapai penerbangan ini kemudian dinasionalisasikan menjadi maskapai penerbangan nasional pertama di Indonesia, Garuda Indonesian Airways. Era Pemerintahan IndonesiaSetelah Jakarta kembali menjadi Ibu Kota Indonesia, pengelolaan penerbangan sipil dan pelabuhan udara langsung dilakukan oleh pemerintah Indonesia. Baru pada tahun 1958 dikelola oleh Djawatan Penerbangan Sipil, yang sekarang lebih dikenal sebagai Direktorat Jenderal Perhubungan Udara. Pada tahun 1950-an, Era penerbangan sipil modern dimulai dengan beroperasinya pesawat-pesawat bermesin jet. Pada masa itu juga pesawat-pesawat turboprop berdatangan ke Kemayoran. Di antaranya Saab 91 Safir, Grumman HU-16 Albatross, Ilyushin Il-14, dan Cessna. Begitu pula dengan pesawat-pesawat buatan Nurtanio Pringgoadisuryo seperti NU-200 Si Kumbang, Belalang, dan Kunang. Berbagai Kepala Negara dunia juga pernah menginjakkan kakinya di Kemayoran dengan diselenggarakannya event tingkat internasional seperti Konferensi Asia–Afrika pada tahun 1955.[4] Angkatan Udara Republik Indonesia juga memanfaatkan Kemayoran sebagai pangkalan udara disamping Lanud Halim Perdanakusuma. Akhir tahun 1950-an sampai awal tahun 1960-an berdatangan pesawat tempur MiG-17, MiG-15 UTI, MiG-19, MiG-21, dan Pesawat pembom Ilyushin Il-28.[4] Antara tahun 1960, pengelolaan Kemayoran diserahkan kepada BUMN yang diberi nama Perusahaan Negara Angkasa Pura Kemayoran. Untuk ini, pemerintah menanam modal awal sebesar Rp 15 Juta Rupiah pada masa itu. Selanjutnya pemerintah menambah modal dengan mengalihkan bangunan terminal, bangunan penunjang lain, runway, taxiway, apron, hanggar dan peralatan operasional. Sampai akhir beroperasi pada tahun 1985 pengelolaan dilakukan oleh Perum Angkasa Pura setelah berganti nama sesuai perkembangan. Memasuki tahun 1970-an, era pesawat jet badan lebar berteknologi canggih muncul, yakni Boeing 747, Lockheed L-1011 TriStar, McDonnell Douglas DC-10, dan Airbus A300. Pada 29 Oktober 1973, pesawat McDonnell Douglas DC-10-30 milik KLM yang disewa Garuda Indonesian Airways untuk angkutan jemaah haji, tercatat sebagai pesawat terbesar dan terberat yang pernah singgah di bandara Kemayoran.[4] Kesibukan Kemayoran pada saat itu memaksa pemerintah memindahkan penerbangan internasional ke Bandar Udara Halim Perdanakusuma pada 10 Januari 1974. Namun penerbangan domestik seluruhnya masih bertahan di Kemayoran.[6] Rencana pemindahan lokasi dan penutupan bandar udaraMenjelang pertengahan tahun 1970-an, Kemayoran dianggap terlalu dekat dengan basis militer Indonesia, Bandar Udara Halim Perdanakusuma. Penerbangan sipil di area tersebut menjadi sempit, sementara lalu lintas udara meningkat cepat, yang mengancam lalu lintas internasional. Hal itu yang kemudian pemerintah berencana untuk memindahkan aktivitas bandar udara ini ke bandar udara yang baru.[12] Rencana tersebut mendapat dukungan dari Lembaga Pembangunan Internasional Amerika Serikat (USAID) seperti kucuran dana serta kajian konsep hingga pemilihan lokasi. Awalnya USAID mengkaji sebuah dataran berkontur datar (200-230 Mdpl) yang masih sangat sepi diantara Ci Kahuripan-Klapanunggal hingga Jonggol seluas 2.300 ha sebagai lokasi yang cocok untuk berdirinya Bandara Internasional pengganti Bandar Udara Kemayoran tersebut. Lokasi tersebut berjarak sekitar 50 km arah tenggara dari Bandar Udara Kemayoran. Alasan dipilihnya wilayah Jonggol adalah perlunya memperhatikan aspek masa depan dalam pembangunan Jakarta Raya melalui perluasan jangkauan pembangunan Jakarta ke arah luar kota guna mempersiapkan pesatnya pertumbuhan fisik dan ekonomi Jakarta yang tentunya akan berdampak kepada lonjakan populasi di masa yang akan datang.[12] Namun Bappenas tidak dapat menyanggupi usulan lokasi USAID, yakni Jonggol untuk dijadikan pengganti dari Bandar Udara Kemayoran dengan alasan belum terkoneksinya daerah tersebut dengan moda transportasi lain, ditambah jaraknya yang lumayan jauh, akhirnya dipilihlah wilayah perbatasan antara Cengkareng dan Tangerang Utara sebagai lokasi bandar udara yang baru dengan luas lahan 1.800 ha, lebih kecil 500 ha dari lokasi lahan usulan USAID di Jonggol, Bogor.[12] Pada 1 Oktober 1984, Perum Angkasa Pura menutup semua penerbangan domestik di Kemayoran. Saat itu, penumpang yang sudah melakukan check-in di Kemayoran langsung boarding menuju Cengkareng dengan bus untuk menaiki pesawat.[13] Perum Angkasa Pura akhirnya resmi menghentikan seluruh kegiatan operasional Bandar Udara Kemayoran pada 31 Maret 1985, sehari sebelum beroperasinya Bandar Udara Internasional Soekarno-Hatta. Pesawat-pesawat yang menghuni bandar udara ini ikut dipindahkan. Sebagian besar dipindahkan ke Bandar Udara Internasional Soekarno-Hatta, sebagian lagi dipindahkan ke Bandar Udara Halim Perdanakusuma.[14] Setelah dihentikan kegiatan operasionalnya, Kemayoran dijadikan lokasi test flight pesawat buatan Industri Pesawat Terbang Nusantara, CN-235 dan sempat menjadi tuan rumah ajang dirgantara bergengsi Indonesian Air Show pada tahun 1986.[14] Perkembangan setelah bandar udara tidak dioperasikanPengembangan kawasan Kota Baru Bandar KemayoranUntuk menghindarkan perebutan kewenangan antar instansi terhadap areal bekas bandar udara ini, Pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah No. 31 tahun 1985, dimana kekayaan negara yang merupakan sebagian modal Perum Angkasa Pura ditarik kembali sebagai kekayaan negara. Setelah itu, dibentuklah Badan Pengelola Komplek Kemayoran (BPKK) berdasarkan Keputusan Presiden RI no. 53 Tahun 1985 jo Keppres No. 73 tahun 1999. Sebagai pelaksana, diunjuklah DP3KK yang melaksanakan pembangunan dengan memanfaatkan pihak swasta di Indonesia. Pembangunan dimulai pada 1990-an dengan rumah susun sederhana di bekas Apron bandar udara dengan nama jalan-jalan yang mengambil nama pesawat seperti Jl. Dakota. Kemudian pembangunan kondominium dan proyek kotabaru Kemayoran yang sempat menuai masalah. Juga sempat diselenggarakan proyek Menara Jakarta (Jakarta Tower) dengan ketinggian 558 meter di depan gedung perkantoran PT Jakarta International Trade Fair Corporation. Namun rencana ini kandas karena badai Krisis Asia pada tahun 1990. Bahkan ironisnya, pada saat krisis ekonomi tersebut, menara ini dijuluki masyarakat sebagai Menara Kesenjangan. Selain itu, di bekas Bandar Udara Kemayoran juga diselenggarakan Jakarta Fairground Kemayoran (JFK) yang dulu dikenal sebagai Pekan Raya Jakarta (PRJ) yang sebelumnya diselenggarakan di taman Monumen Nasional (Monas) Jakarta yang diselenggarakan setiap hari ulang tahun DKI Jakarta setiap 22 Juni. Sementara dua landasan pacu tetap dipertahankan sebagai jalan utama dengan median (pembatas jalan) yang tidak permanen untuk sewaktu waktu digunakan sebagai landasan pacu guna kepentingan militer karena struktur landasannya yang menggunakan konstruksi standar landas pacu bandar udara internasional yang kuat. Pada bekas landas pacu utara-selatan diberi nama Jalan Benyamin Sueb, nama seorang tokoh dan artis serbabisa kelahiran Jakarta yang merupakan warga asli Kemayoran, oleh Pemerintah Daerah DKI Jakarta. Sesuai dengan SK Gubernur DKI Jakarta Nomor 475 Tahun 1993, bekas menara Air Traffic Controller Kemayoran dijadikan Bangunan Cagar Budaya yang harus dilestarikan. Surat Keputusan tersebut langsung ditandatangani oleh Gubernur DKI Jakarta Soerjadi Soedirja.[15] Karena Bandar Udara Kemayoran dinilai bersejarah dalam perkembangan kedirgantaraan Indonesia, maka banyak komunitas-komunitas pencinta kedirgantaraan Indonesia yang menginginkan agar bekas bandar udara ini segera dilestarikan, serta dimuseumkan. Mereka adalah Komunitas Tintin Indonesia, Komunitas Save Ex Airport Kemajoran-Kemayoran (KMO), IndoFlyer, dan Komunitas ATCO Indonesia yang bersama-sama membuat petisi lalu akan segera diserahkan kepada Presiden Republik Indonesia dan Gubernur DKI Jakarta.[16] Pada 31 Mei 2016, PT Angkasa Pura I, Komunitas Save Ex Airport Kemajoran-Kemayoran (KMO), dan Komunitas Tintin Indonesia mengadakan pertemuan untuk membahas rencana pembangunan sebuah Museum Bandar Udara Kemayoran Indonesia di bekas terminal Bandar udara. Gagasan ini rupanya disambut positif oleh Pusat Pengelolaan Komplek Kemayoran (PPK Kemayoran), yang ditindak lanjuti dengan napak tilas ke lokasi pada 5 Juni 2016.[17] Rencana lainnyaRencana lain terhadap penggunaan areal bekas bandar udara ini adalah akan dijadikan sebagai kawasan hutan wisata yang selanjutnya akan dijadikan sebagai suaka margasatwa atau bird sanctuary bagi burung-burung yang mendiami kawasan ini. Namun karena banyaknya proyek konstruksi, maka kawasan bird sanctuary ditempatkan di Pulau Rambut, salah satu dari gugusan Kepulauan Seribu di Teluk Jakarta. Dalam budaya populerBandar Udara Internasional Kemayoran muncul dalam salah satu episode cerita dalam komik Tintin yakni Penerbangan 714 ke Sydney, dengan menampilkan terminal bandar udara dan menara pemandu lalu lintas (ATC tower). Gambar yang ditampilkan sesuai dengan kondisi sebenarnya. Maskapai dan Tujuan SebelumnyaPenumpangKargo
Kecelakaan dan insiden
Galeri
Rujukan
Lihat pulaWikimedia Commons memiliki media mengenai Bandar Udara Internasional Kemayoran.
Peta Bandara Kemayoran |