Pendidikan

Indoktrinasi di dalam kelas, penggabungan konten politik dalam materi pembelajaran atau guru yang menyalahgunakan perannya untuk mengindoktrinasi siswa bertentangan dengan tujuan pendidikan yang mencari kebebasan berpikir dan berpikir kritis.

Pendidikan atau edukasi adalah usaha dasar terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak, ilmu hidup, pengetahuan umum serta keterampilan yang diperlukan dirinya untuk masyarakat berlandaskan Undang-Undang[1]. Pembelajaran pengetahuan, keterampilan, dan kebiasaan sekelompok orang yang diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya melalui pengajaran, pelatihan, atau penelitian. Pendidikan sering terjadi di bawah bimbingan kedua orang tua kandung dan orang lain, tetapi juga memungkinkan secara otodidak.[2] Etimologi kata pendidikan itu sendiri berasal dari bahasa Latin yaitu ducare, berarti “menuntun, mengarahkan, atau memimpin” dan awalan e, berarti “keluar”. Jadi, pendidikan berarti kegiatan “menuntun ke luar”. Setiap pengalaman yang memiliki efek formatif pada cara orang berpikir, merasa, atau tindakan dapat dianggap pendidikan.[3] Pendidikan umumnya dibagi menjadi tahap seperti prasekolah, sekolah dasar, sekolah menengah pertama, sekolah menengah atas, dan kemudian perguruan tinggi, universitas atau magang.[2]

Sebuah hak atas pendidikan telah diakui oleh beberapa pemerintah. Pada tingkat global, Pasal 13 Kovenan Internasional tentang hak ekonomi, sosial dan budaya mengakui hak setiap orang atas pendidikan.[4] Meskipun pendidikan adalah wajib di sebagian besar tempat sampai usia tertentu, bentuk pendidikan dengan hadir di sekolah sering tidak dilakukan, dan sebagian kecil orang tua memilih untuk pendidikan sekolah rumah atau yang serupa untuk anak-anak mereka.[5]

Filosofi pendidikan

Pendidikan biasanya berawal saat seorang bayi itu dilahirkan dan berlangsung seumur hidup. Pendidikan bisa saja berawal dari sebelum bayi lahir seperti yang dilakukan oleh banyak orang dengan memainkan musik dan membaca kepada bayi dalam kandungan dengan harapan ia bisa mengajar bayi mereka sebelum kelahiran.[6]

Bagi sebagian orang, pengalaman kehidupan sehari-hari lebih berarti daripada pendidikan formal. Seperti kata Mark Twain, "Saya tidak pernah membiarkan sekolah mengganggu pendidikan saya."[7]

Anggota keluarga mempunyai peran pengajaran yang amat mendalam, sering kali lebih mendalam dari yang disadari mereka, walaupun pengajaran anggota keluarga berjalan secara tidak resmi.[8]

Fungsi pendidikan

Menurut Horton dan Hunt, lembaga pendidikan berkaitan dengan fungsi yang nyata (manifes) berikut:[9]

  • Mempersiapkan anggota masyarakat untuk mencari nafkah.
  • Mengembangkan bakat perseorangan demi kepuasan pribadi dan bagi kepentingan masyarakat.
  • Melestarikan kebudayaan.
  • Menanamkan keterampilan yang perlu bagi partisipasi dalam demokrasi.

Fungsi laten dari lembaga pendidikan adalah sebagai berikut:[9]

  • Mengurangi pengendalian orang tua. Melalui pendidikan, sekolah orang tua melimpahkan tugas dan wewenangnya dalam mendidik anak kepada sekolah.
  • Menyediakan sarana untuk pembangkangan. Sekolah memiliki potensi untuk menanamkan nilai pembangkangan di masyarakat. Hal ini tercermin dengan adanya perbedaan pandangan antara sekolah dan masyarakat tentang sesuatu hal, misalnya pendidikan seks dan sikap terbuka.
  • Mempertahankan sistem kelas sosial. Pendidikan sekolah diharapkan dapat mensosialisasikan kepada para anak didiknya untuk menerima perbedaan prestise, privilese, dan status yang ada dalam masyarakat. Sekolah juga diharapkan menjadi saluran mobilitas siswa ke status sosial yang lebih tinggi atau paling tidak sesuai dengan status orang tuanya.
  • Memperpanjang masa remaja. Pendidikan sekolah dapat pula memperlambat masa dewasa seseorang karena siswa masih tergantung secara ekonomi pada orang tuanya.

Menurut David Popenoe, ada empat macam fungsi pendidikan yakni sebagai berikut:[10]

  • Transmisi (pemindahan) kebudayaan.
  • Memilih dan mengajarkan peranan sosial.
  • Menjamin integrasi sosial.
  • Sekolah mengajarkan corak kepribadian.
  • Sumber inovasi sosial.

Ekonomi

Telah dikemukakan bahwa tingkat pendidikan yang tinggi sangat penting bagi negara-negara untuk dapat mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi.[11] Analisis empiris cenderung mendukung prediksi teoretis bahwa negara-negara miskin harus tumbuh lebih cepat dari negara-negara kaya karena mereka dapat mengadopsi teknologi yang sudah dicoba dan diuji oleh negara-negara kaya. Namun, transfer teknologi memerlukan manajer berpengetahuan dan insinyur yang mampu mengoperasikan mesin-mesin baru atau praktik produksi yang dipinjam dari pemimpin dalam rangka untuk menutup kesenjangan melalui peniruan. Oleh karena itu, kemampuan suatu negara untuk belajar dari pemimpin adalah fungsi dari efek "human capital". Studi terbaru dari faktor-faktor penentu pertumbuhan ekonomi agregat telah menekankan pentingnya lembaga ekonomi fundamental[12] dan peran keterampilan kognitif.[13]

Pada tingkat individu, ada banyak literatur, umumnya terkait dengan karya Jacob Mincer,[14] tentang bagaimana laba berkaitan dengan pendidikan dan modal manusia lainnya. Karya ini telah memotivasi sejumlah besar studi, tetapi juga kontroversial. Kontroversi utama berkisar bagaimana menafsirkan dampak sekolah.[15][16] Beberapa siswa yang telah menunjukkan potensi yang tinggi untuk belajar, dengan menguji dengan intelligence quotient (IQ) yang tinggi, mungkin tidak mencapai potensi penuh akademis mereka, karena kesulitan keuangan.[reason-actually some students at the low end get better treatment than those in the middle with grants, etc. needs RS]

Ekonom Samuel Bowles dan Herbert Gintis berpendapat pada tahun 1976 bahwa ada konflik mendasar dalam pendidikan Amerika antara tujuan egaliter partisipasi demokratis dan ketidaksetaraan tersirat oleh profitabilitas terus dari produksi kapitalis di sisi lain.[17]

Referensi

  1. ^ https://pgsd.upy.ac.id/index.php/8-artikel-pendidikan/11-pengertian-pendidikan
  2. ^ a b Dewey, John (1916/1944). Democracy and Education. The Free Press. hlm. 1–4. ISBN 0-684-83631-9. 
  3. ^ Nasution, Hanifah Nur; Nasution, Sari Wahyuni Rozi; Fauzi, Rahmad; Lubis, Ilham Sahdi (2021-12-20). "PELATIHAN MEDIA PEMBELAJARAN DENGAN MENGGUNAKAN APLIKASI BORLAND DELPHI7 SMK NEGERI 1 ANGKOLA TIMUR". Jurnal Pengabdian Masyarakat Aufa (JPMA) (dalam bahasa Inggris). 3 (3): 144–147. ISSN 2715-0178. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-01-30. Diakses tanggal 2023-01-30. 
  4. ^ ICESCR, Article 13.1
  5. ^ Sanova, Reja; Marniati dkk (2019). "SOSIALISASI PERSIAPAN PENDIDIKAN DI PANTI ASUHAN YATIM PIATU DI ERA NEW NORMAL". Jurnal Pengabdian Masyarakat (Kesehatan). 1 (2). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-06-18. Diakses tanggal 2023-01-30. 
  6. ^ Subadi, Tjipto (2007). Pendidikan Kewarganegaraan (PDF). Surakarta: Badan Penerbit FKIP-UMS. ISBN 978-602-8649-68-1. Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 2023-01-30. Diakses tanggal 2023-01-30. 
  7. ^ Vosse, Patrick (2010-02). Secular Humanism: The Force Behind the Creation-Evolution Debate and Much More (dalam bahasa Inggris). Holy Fire Publishing. hlm. 195. ISBN 978-1-60383-279-3. 
  8. ^ Alfiani, Dwi Anita; Rusman, Maman (2017-10-27). "Implementasi Pendidikan Agama Islam Pada Keluarga (Studi Kasus Pengembangan Karakter Kepribadian Anak di MI Al-Wasliyah Sumber Kabupaten Cirebon)". Al Ibtida: Jurnal Pendidikan Guru MI (dalam bahasa Inggris). 4 (2): 217–226. doi:10.24235/al.ibtida.snj.v4i2.1677. ISSN 2527-7227. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-01-30. Diakses tanggal 2023-01-30. 
  9. ^ a b Sazali, Hasan; Sukriah, Ainun (2021-11-18). "PEMANFAATAN MEDIA SOSIAL (INSTAGRAM) OLEH HUMAS SMAU CT FOUNDATION SEBAGAI MEDIA INFORMASI DAN PUBLIKASI DALAM MENINGKATKAN CITRA LEMBAGA PENDIDIKAN". Jurnal Ilmu Komunikasi (JKMS) (dalam bahasa Inggris). 10 (2): 147–160. ISSN 2716-1889. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-08-14. Diakses tanggal 2023-01-30. 
  10. ^ Latif, Muhammad Abdul (2016-06). "IMPLEMENTASI WEBSITE SEKOLAH SMA PGRI TAKOKAK". SANTIKA (Jurnal Ilmiah Sains dan teknologi) (dalam bahasa Inggris). 6 (1): 465–468. ISSN 2088-5407. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-01-30. Diakses tanggal 2023-01-30. 
  11. ^ Eric A. Hanushek (2005). Economic outcomes and school quality. International Institute for Educational Planning. ISBN 978-92-803-1279-9. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-04-19. Diakses tanggal 21 October 2011. 
  12. ^ Daron Acemoglu, Simon Johnson, and James A. Robinson (2001). "The Colonial Origins of Comparative Development: An Empirical Investigation". American Economic Review. 91 (5): 1369–1401. doi:10.2139/ssrn.244582. ISSN 1556-5068. JSTOR 2677930. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-05-14. Diakses tanggal 2014-01-23. 
  13. ^ Eric A. Hanushek and Ludger Woessmann (2008). "The role of cognitive skills in economic development" (PDF). Journal of Economic Literature. 46 (3): 607–608. doi:10.1257/jel.46.3.607. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2011-01-05. Diakses tanggal 2014-01-23. 
  14. ^ Jacob Mincer (1970). "The distribution of labor incomes: a survey with special reference to the human capital approach". Journal of Economic Literature. 8 (1): 1–26. JSTOR 2720384. 
  15. ^ David Card, "Causal effect of education on earnings," in Handbook of labor economics, Orley Ashenfelter and David Card (Eds). Amsterdam: North-Holland, 1999: pp. 1801–1863
  16. ^ James J. Heckman, Lance J. Lochner, and Petra E. Todd., "Earnings functions, rates of return and treatment effects: The Mincer equation and beyond," in Handbook of the Economics of Education, Eric A. Hanushek and Finis Welch (Eds). Amsterdam: North Holland, 2006: pp. 307–458.
  17. ^ Samuel Bowles; Herbert Gintis (18 October 2011). Schooling In Capitalist America: Educational Reform and the Contradictions of Economic Life. Haymarket Books. ISBN 978-1-60846-131-8. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-04-19. Diakses tanggal 21 October 2011. 

Lihat pula

Pranala luar

Kembali kehalaman sebelumnya