Rumah CengkarengRumah Cengkareng atau Landhuis Tjengkarang adalah adalah sebuah rumah yang dirancang Michiel Romp pada tahun 1762.[1] SejarahPada tahun 1679 seorang pengusaha Eropa/Belanda yang membuka lahan dengan membangun benteng mulai merintis saluran irigasi dengan menyodet sungai Tangerang. Pada periode terjadinya perselisihan VOC dengan (kesultanan) Banten (1682-1684), sang pengusaha (Cornelis van Mook) kanal irigasi yang dibuat diperluas dengan membangun kanal untuk fungsi pelayaran antara benteng Tangerang dan benteng Angke. Kanal pelayaran ini selesai pada tahun 1687 dan kemudian disebut Mookervaart.[2] Area benteng Tangerang ini sebelumnya telah dihuni oleh pasukan pendukung militer VOC yang berasal dari Makassar. Mereka telah lama mendirikan perkampongan baru yang diberi nama kampong Barroe. Benteng dibangun oleh pengusaha Belanda tidak jauh dari kampong Barroe. Antara benteng dan perkampoengan yang baru inila kemudian yang menjadi area cikal bakal Kota Tangerang yang sekarang. Benteng itu sendiri kerapk disebut benteng Makassar. Sedangkan kanal antara benteng Tangerang dan benteng Angke disebut kanal Mookervaart (sesuai nama orang yang membangun, Cornelis van Mook).[2] Pedagang-pedagang Ciampea diduga telah menjadikan sisi utara kanal Mookervaart sebagai homebase baru dalam perdagangan antara Batavia dengan simpul-simpul perdagangan di hulu sungai Tangerang/sungai Tjisadane. Homebase itu kemudian dikenal dengan nama kampong Tjangkarang. Dalam perkembangannya, sesuai lidah orang-orang Eropa/Belanda, nama Tjangkarang bergeser yang ditulis dengan Tjengkareng.[2] Industri gula di tanah partikelir Tjengkareng relatif berhenti setelah tidak ada lagi tanaman yang ditebang untuk menjadi kayu bakar. Kayu bakar yang didatangkan dari wilayah lain menyebabkan biaya produksi sangat mahal, dan harga jual gula sulit bersaing. Keng Ko diperkirakan meninggalkan Tjengkareng, dan menutup suikermolen-nya, sekitar tahun 1750. Hendrik van Stocktum, pemilik berikut tanah partikelir Tjengkareng, mendatangkan banyak pekerja dari luar untuk mengubah wilayah itu menjadi perkebunan. Ia mencetak sawah, menanam kelapa, dan tanaman produktif lainnya. Ketika ancaman penyakit influenza menyebar di sekujur Batavia, Van Stocktum memanggil arsitek Michiel Romp untuk merancang landhuis, atau rumah pedesaan, di tengah Cengkareng.[1] Tahun 1762, Romp memperindah tanah partikelir Tjengkareng dengan sebuah rumah, yang kemudian menjadi identitas wilayah itu. Memasuki abad ke-19, tanah partikelir Tjengkareng dimiliki David Johan Smith, seorang mantan petinggi VOC. Saat itu tanaman Tjengkareng benar-benar hilang dari ingatan kolektif masyarakat yang menghuni wilayah itu. Sebagai gantinya, bangunan yang dirancang Michiel Romp menjadi ikon. Orang Belanda memberi nama rumah itu Landhuis Tjengkareng.[1] Sepanjang abad ke-19, Tjengkareng berbilang kali pindah tangan, mulai dari landheer (tuan tanah) Tionghoa sampai perusahaan perkebunan Belanda. Tahun 1931, pemerintah Hindia-Belanda mengakhiri kekuasaan landheer dengan membeli tanah partikelir itu. Namun, pemerintah Hindia-Belanda memecah tanah-tanah itu dan menjualnya kembali ke sejumlah investor Tionghoa. Lie Kian Tek tercatat sebagai pembeli bidang tanah Tjengkareng dengan Landhuis Tjengkareng di atasnya.[1] Dalam In En Om Batavia, sebuah majalah gaya hidup di Hindia-Belanda saat itu, seorang penulis melaporkan kunjungannya ke sejumlah landhuis di Ommelanden. Landhuis Tjengkareng salah satunya. Khusus yang satu ini, In En Om Batavia menulis Landhuis Tjengkareng adalah bangunan berarsitektur rumah-rumah bangsawan Prancis era Raja Louis XV. Lie Kian Tek mempertahankan keaslian seluruh bagian rumah. Ia juga membuka toko roti di pinggir Kali Mokervaart, kira-kira di tepi Jl Daan Mogot, di bawah jembatan layang saat ini.[1] Keadaan terkiniPada masa kemerdekaan Indonesia, rumah Cengkareng dijadikan tempat persembunyian Tentara Keamanan Rakyat. Namun pasukan KNIL berhasil mengepung mereka. Hingga, rumah tersebut menjadi korban revolusi dan terbakar pada September 1945.[3] Hal ini membuat, 70 personel TKR terbunuh dan sisa pasukan TKR melanjutkan pertempuran di Basmol dan Kampung Bojong, Rawa Buaya.[1] Di penghujung 1980-an, bersamaan dengan pembangunan Jl Outer Ring Road, Landhuis Tjengkareng menemui ajal. Tergusur, lenyap, dan di atasnya berdiri pertokoan modern.[1] Meski begitu, hancurnya landhuis menjadi hal yang patut disesalkan hingga saat ini. Tak hanya oleh sejarawan dan ahli arsitektur saja. Terlebih, bangsa Indonesia terut berduka kehilangan bangunan yang seharusnya telah menjadi bangunan dengan label cagar budaya.[3] Catatan kaki
|