Masjid Angke
Masjid Angke, atau yang kini dikenal sebagai Masjid Al-Anwar, adalah salah satu masjid tertua di DKI Jakarta.[1] Masjid yang terletak di Kelurahan Angke, Kecamatan Tambora, Jakarta Barat ini diyakini dibangun oleh sekelompok orang Bali di Batavia pada tahun 1761. SejarahSebagaimana tertulis pada kaligrafi di ambang pintu sebelah timur, Masjid Angke dibangun pada tahun 1761 M (tepatnya, tanggal 26 Sya'ban 1174 H).[2][3] Mengingat letaknya yang berada di tengah-tengah permukiman --pada saat itu-- suku Bali di Batavia, sejarawan Denys Lombard dan juga Adolf Heuken cenderung menganggap orang-orang Bali itulah yang membangun masjid tersebut. Dugaan ini diperkuat oleh arsitektur masjid yang untuk sebagiannya berciri budaya Bali. Tercatat pula bahwa pada tahun 1804, seorang kapitan (pemimpin) suku Bali bernama Mohammad Paridan Tousalette Babandan telah menyumbangkan perolehannya dari sewa dua puluh lima rumah petak miliknya di daerah Patuakan (kini kawasan Jl Perniagaan) untuk kas Masjid Angke.[2][4] Orang-orang Bali telah diketahui lama sebagai bagian yang cukup banyak jumlahnya dari penduduk Batavia, bahkan mendominasi pada awal abad-19.[5] Pada mulanya kebanyakan orang Bali datang sebagai budak belian untuk dipekerjakan di tanah-tanah pertanian sekitar Batavia atau mengurus rumah orang-orang Belanda. Pada gelombang berikutnya, orang-orang Bali ini datang atas kemauan sendiri sebagai orang bebas dan berkelompok-kelompok mendaftar masuk dinas tentara Kompeni.[4] Terkenal salah satunya adalah Gusti Ktut Badulu, kapitan suku Bali yang pada 1709 datang dan tinggal di kampung yang belakangan dikenal sebagai Kampung Gusti, tidak jauh dari Angke. Ia, bersama 300 pengikutnya, kemudian berperang bersama tentara Kompeni di Malabar dan juga Ternate.[2] Hingga kini, sebagai warisan orang-orang Bali ini, masih dikenal tiga atau empat tempat di Jakarta yang bernama Kampung Bali. Namun demikian, ada pula yang meyakini bahwa Masjid Angke dibangun oleh seorang wanita Tionghoa bernama Tan Nio, dengan arsiteknya Syaikh Liong Tan.[6][7] Di pemakaman kecil di belakang masjid ini memang terdapat beberapa kuburan. Yang tertua di antaranya nisannya bertulisan aksara Cina: "Chen men Wang shi zhi mu", 'Nisan ny. Chen yang lahir sebagai Wang'.[2][4] Selain dikenal sebagai Kampung Bali, permukiman tempat masjid ini berdiri juga dinamai orang Kampung Jembatan Dua (sekarang) atau Kampung Rawa Bebek (dahulu). Menyangkut Kampung Rawa Bebek ini, pernah ada catatan bahwa pada tahun 1621 seorang Tionghoa muslim bernama Gouw Cay memperoleh sebidang tanah di Kampung Bebek di sebelah utara Angke untuk membangun masjid. Gouw Cay alias Jan Con, adalah seorang tukang kayu dari Banten yang menjadi sekretaris Souw Beng Kong -kapitan Cina pada masa Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen.[4] Tidak diketahui dengan jelas mengenai pelaksanaan rencana pendirian masjid itu selanjutnya, namun beberapa peneliti dan pemerhati meragukan bahwa Masjid Angke sekarang adalah masjid yang didirikan oleh Gouw Cay. Salah satu alasannya adalah, catatan François Valentijn --seorang misionaris Belanda yang juga seorang naturalis dan penulis-- dalam bukunya, Oud en Nieuw Oost-Indiën yang terbit pada tahun 1727, sama sekali tidak menyebut-nyebut adanya sebuah masjid di sekitar Kali Angke.[3] Masjid Angke telah dipugar beberapa kali; meskipun demikian, masjid ini tidak kehilangan ciri-ciri asalnya. Antara tahun 1919 dan 1936 masjid ini pernah terbengkalai, akan tetapi dipugar kembali pada tahun 1951.[4] ArsitekturArsitektur masjid ini memperlihatkan perpaduan yang harmonis di antara unsur-unsur budaya Bali, Belanda, Jawa, dan Tionghoa. Bentuk dasar bangunan yang bujur sangkar serta atap limasan yang bersusun dua memperlihatkan pengaruh Jawa. Ujung-ujung atapnya yang sedikit melengkung ke atas, mengacu pada gaya punggel rumah Bali. Sementara kusen-kusen pintu, daun pintu ganda, lubang angin di atas pintu, dan anak-anak tangga di depan menampilkan unsur Belanda. Jendela-jendela kayu, dengan terali kayu bulat torak yang dibubut, dan juga tiang-tiang utama, pun mengesankan pengaruh Jawa.[4] Tetapi ada pula yang menganggap bahwa ujung atap yang melengkung itu lebih mirip atap rumah Cina, sedangkan tiang dan jendelanya terpengaruh Belanda.[3] Mengingat nilai sejarahnya, Masjid Angke ini oleh Pemerintah DKI kini ditetapkan sebagai cagar budaya.[8] MakamDi sekitar masjid ini dimakamkan orang-orang keturunan Arab, Bali, Banten, Pontianak, dan Tartar. Ada dua kelompok makam, yakni di belakang masjid, dan di depan, di seberang gang. Selain makam Ny. Chen, di halaman belakang masjid ada pula makam Syaikh Liong Tan, arsitek Masjid Angke; makam Syarifah Maryam; serta makam Syekh Jaffar yang konon adalah anak Pangeran Tubagus Angke.[6] Sementara itu di seberang jalan di depan masjid terletak makam Pangeran Syarif Hamid Alkadrie, keturunan Sultan Syarif Abdurrahman Alkadrie --pendiri Kesultanan Pontianak. Di belakangnya terdapat makam Ibu Ratu Pembayun Fatimah, anak dari Sultan Maulana Hasanuddin --penguasa Kesultanan Banten.[6] Dalam area makam Pangeran Syarief Hamid Alkadrie terdapat 15 makam, yang mana mereka adalah para pejuang dan suhada yg berjasa dalam menyebarkan agama islam serta membantu perjuangan Pangeran Tubagus Angke dalam melawan penjajah. Didalam area makam tersebut juga terdapat makam pengurus masjid jami angke yg pertama Kumpi Nadjihun (wafat 1763) putra dari Syeh Achmad (pangeran Pak Pak) cucu dari pangeran Tubagus Angke. Catatan kaki
Pranala luar
|