Bahasa Melayu Maumere
Bahasa Melayu Maumere adalah bahasa kreol berbasis Melayu atau bahkan pijin yang dituturkan di Kota Maumere, sebuah kota kecil di pesisir utara Pulau Flores.[3] Belum diketahui klasifikasi yang jelas mengenai bahasa ini, tetapi jika dilihat dari ciri kebahasaan dan kondisi tuturnya bahasa ini termasuk kedalam bahasa pijin, karena kosakata dan tata bahasanya terbatas, serta sering kali diambil dari beberapa bahasa berbeda. Bahasa ini paling umum digunakan dalam situasi seperti perdagangan atau ketika seseorang berbicara dalam bahasa yang berbeda dan tidak saling memahami.[7] SejarahPenggunaan bahasa Melayu di Kota Maumere sendiri sudah dimulai sejak masa kolonial Belanda, tepatnya pada abad ke-19; bahkan kemungkinan telah digunakan sejak lama. Hal ini berkaitan dengan misi Katolik di Pulau Flores saat itu. Karena pada waktu itu sebagai besar masyarakat Sikka dan Flores pada umumnya tidak bisa berbahasa Melayu, maka untuk memudahkan misi tersebut, digaungkanlah penggunaan bahasa Melayu oleh Gereja Katolik di Flores.[8] Serupa dengan bahasa Melayu Larantuka, bahasa ini juga dipengaruhi oleh penggunaan kosakata serapan dari bahasa Portugis.[9] Karena banyaknya bahasa daerah yang digunakan oleh masyarakat di Flores kendati jarak wilayahnya tidak terlalu jauh menjadikan kedudukan bahasa Indonesia di Flores menjadi sangat penting dan hampir semua wilayah bahkan yang paling terpencil sekalipun, masyarakatnya berusaha untuk belajar bahasa Indonesia (disebut bahasa Melayu oleh masyarakat Flores).[10] Sekolah-sekolah yang dikembangkan oleh misi Gereja juga membantu dalam mensosialisasikan bahasa Indonesia. Karena adanya penggunaan bahasa penghubung dalam lingkup masyarakat yang mempunyai keragaman bahasa, penggunaan bahasa Indonesia sering bercampur dengan bahasa-bahasa daerah. Percampuran itu menciptakan keunikan dan kekhasan tersendiri dalam bahasanya, salah satunya bahasa Melayu Maumere.[11] Selain bahasa Indonesia, bahasa Jawa juga memberikan pengaruh pada bahasa Melayu Maumere. Penggunaan unsur-unsur bahasa Jawa terdapat dalam kosakata yang digunakan.[12] Hal ini tidak terlepas dari hegemoni etnis Jawa di Indonesia dan program transmigrasi yang diadakan oleh Pemerintah Indonesia.[13] PenggunaanMasyarakat tutur bahasa Melayu Maumere adalah orang yang tinggal dan menetap di Kota Maumere. Di Kota Maumere, mayoritas masyarakatnya dwibahasa dan beberapa multibahasa. Hal ini dilatarbelakangi oleh beragamnya penggunaan bahasa di kota ini, seperti bahasa Lio, Sikka, Bajo (Wuring), dan Indonesia. Kenyataan tersebut dapat dilihat pada situasi tutur yang menjadikan bahasa Lio-Sikka dan bahasa Indonesia sebagai medium komunikasi. Akan tetapi dalam komunikasi sehari-hari, terutama komunikasi antar kelompok masyarakat di Kota Maumere biasanya menggunakan bahasa Indonesia dan juga ragam Melayu lokal yang disebut sebagai bahasa Melayu Maumere. Dapat dilihat bahwa kebutuhan masyarakat dalam menguasai bahasa Indonesia merupakan hal tidak bisa dihindarkan. Di Kota Maumere, sebagian lirik lagu-lagu lokal juga menggunakan bahasa Melayu Maumere yang dipadukan dengan bahasa-bahasa daerah.[14] Dalam satu kasus, jika mereka hanya menguasai bahasa Sikka saja, mereka akan merasa kesulitan dalam berkomunikasi dengan orang-orang yang bukan beretnis Sikka. Keadaan inilah yang kemudian menjadikan bahasa Indonesia berkembang lebih pesat dalam hal fungsi dan kedudukannya; yang kemudian menyebabkan terbentuknya bahasa Melayu Maumere.[3] Karena kepentingan komunikasi tersebut, bahasa Indonesia dinilai paling tepat sebagai sarana komunikasi antar etnis di Kota Maumere. Pasar Alok di Kota Maumere merupakan gambaran yang tepat untuk menyatakan situasi heterogen tersebut. Di tempat itu, masyarakat yang berasal dari berbagai daerah di Nusa Tenggara Timur, khususnya Pulau Flores mengadakan transaksi jual beli. Karena mereka datang dari latar belakang budaya dan bahasa yang berbeda, komunikasi yang terjadi akhirnya menggunakan bahasa gado-gado. Terkadang mereka memakai bahasa Indonesia, kemudian bahasa Sikka, bahkan bahasa Lio.[2] Penggunaan bahasa di berbagai peristiwa tutur yang terjadi pada masyarakat Kota Maumere sangat bervariatif. Terjadinya campur kode merupakan hal yang logis bagi mereka, hal ini karena situasi kebahasaan yang heterogen pada masyarakat tersebut. Hal itu dilakukan karena pada umumnya mereka menguasai bahasa-bahasa yang digunakan dengan baik, yaitu bahasa Indonesia, bahasa Melayu Maumere, dan bahasa ibu mereka seperti bahasa Sikka dan bahasa Lio. Campur kode terjadi ketika seorang penutur dwibahasa yang mampu menggunakan dua bahasa secara bersamaan dalam komunikasi dalam kurun waktu yang sama.[15] Contoh penggunaanTerdapat dua jenis campur kode yang dijabarkan dalam penggunaan bahasa Melayu Maumere, yaitu campur kode intern dan campur kode ekstern. Kedua jenis campur kode tersebut dapat ditemukan dalam tuturan interaksi jual beli di Pasar Alok.[15] Campur kode internTerdapat dua jenis dalam campur kode intern, yaitu berdasarkan kata dan frasa.[16]
Berikut contoh percakapan yang berupa campur kode intern yang berwujud kata dari penjual kepada pembeli agar pembeli tertarik dengan dagangannya yang berupa rok.[1]
Dalam penggalan percakapan tersebut, pembeli bertutur menggunakan campur kode intern dengan menyisipkan bahasa Melayu Maumere dan bahasa Indonesia. Seperti pada kalimat "Wui… mahal ngeri! Turun sedikitkah mas" yang berarti "Mahal sekali! tidak bisa kurang mas" yang berasal dari tuturan bahasa Melayu Maumere dan diikuti dengan bahasa Indonesia. Tuturan campur kode tersebut disebabkan pembeli merasa terkejut dan pembeli beranggapan bahwa harga rok tersebut tidak akan setinggi yang ditawarkan oleh penjual. Namun, bagi penjual menawarkan dengan harga berapa pun tidak ada yang melarang.[1] Dalam contoh percakapan kedua ini mengandung tuturan yang berupa campur kode intern yang berwujud kata, pada saat penjual menawarkan dagangannya berupa sayur dengan harga terlalu tinggi.[1]
Dalam contoh percakapan kedua ini pembeli menggunakan tuturan campur kode intern dengan menyisipkan bahasa Melayu Maumere ke dalam tuturan bahasa Indonesia. Hal ini dapat dilihat pada kalimat "Sayur ini berapa, inang?" dan "Tiga su e". Tuturan tersebut merupakan campur kode dari bahasa Melayu Maumere, dimana kata "inang" berarti "ibu" dan kata "su e" berarti "sudah". Kedua kalimat tersebut dalam kalimat bahasa Indonesia berarti "sayur ini berapa, ibu?" dan "tiga". Kalimat tersebut terjadi pada tingkat kata. Berbeda dengan tuturan penjual yang mengatakan "Tidak bisa di… dua a'u ju ambil dengan tiga lima ribu na'" itu terjadi pada tingkat klausa. Dalam hal ini pembeli merasa terkejut dan kecewa dengan harga yang terlalu tinggi yang ditawarkan oleh penjual.[1] Dalam contoh percakapan ketiga ini berisi campur kode intern yang berwujud kata dalam tawar-menawar antara penjual dan pembeli yang belum disepakati.[1]
Dalam contoh percakapan ketiga ini, campur kode dipakai pada saat pembeli menanyakan kepada penjual, antara percakapan bahasa Melayu Maumere dan bahasa Lio yang diselingi dengan kalimat bahasa Indonesia. Seperti pada perkataan pembeli "goit ini su e" yang berarti "ini sudah hancur/rusak" dan kata "untu" ("untuk"), "jao" ("saya"), dan "ika" ("ikan"). Penggalan campur kode di atas merupakan realitas kongkrit yang terjadi pada saat tawar-menawar antara pembeli dengan penjual beretnis Lio.[1]
Percakapan campur kode yang berwujud frasa juga dipakai oleh penjual terhadap pembeli dalam tawar-menawar di Pasar Alok. Berikut ini contoh percakapan yang berisi tuturan campur kode intern berwujud frasa pada saat tawar-menawar.[17]
Percakapan di atas menunjukkan pembeli menggunakan campur kode intern berupa kalimat bahasa Melayu Maumere dan Lio pada tingkat klausa yang berbunyi "Jao pi" yang artinya "kami pergi". Frasa "Jao pi" merupakan kalimat dari bahasa Melayu Maumere dan bahasa Lio yang disisipi dengan tuturan bahasa Indonesia pada kalimat "baru datang". Bahasa lisan yang disampaikan pembeli kepada penjual yang tertera di atas "Jao pi tes dulu baru datang" memiliki dua makna. Pertama, pembeli merasa pakaian yang ditawarnya terlalu mahal. Ini terbukti karena antara penjual dan pembeli tidak ada komunikasi lanjutan tentang pakaian yang dijual itu. Kedua, pembeli menjelaskan kepada penjual, bahwa pembeli pasti membeli pakaian itu, namun pembeli menegaskan untuk mencobanya dan setelah itu akan datang kembali untuk melakukan transaksi pembayaran terusan tersebut.[12] Campur kode eksternCampur kode ekstern terjadi karena penyisipan unsur-unsur yang bersumber dari bahasa lain; diluar bahasa ibu dan bahasa Indonesia. Dalam interaksi jual beli di Pasar Alok sering dijumpai pemakaian campur kode ekstern yang mencakup unsur-unsur dari bahasa daerah lain ataupun bahasa asing (paling signifikan bahasa Inggris). Dalam campur kode ekstern ini, dapat ditemukan campur kode bahasa Jawa dan campur kode bahasa Inggris.[12]
Dalam interaksi jual beli di Pasar Alok, pembeli dan penjual sering menggunakan campur kode dengan memasukkan unsur-unsur bahasa lain, baik bahasa daerah lainnya maupun bahasa asing. Hal itu karena teridentifikasi faktor kebiasaan oleh penjual atau pembeli. Dengan demikian, penjual dan pembeli dapat menyesuaikan diri dengan siapa mereka berkomunikasi. Jika berkomunikasi dengan pembeli maka bahasa yang dipakai pun menyesuaikan dengan pembeli agar terjadi komunikasi yang lebih mudah. Dalam contoh percakapan ini berisi tuturan yang berupa campuran kode ekstern dari bahasa Jawa.[12]
Pada contoh percakapan ini, penjual dan pembeli menggunakan campur kode bahasa Jawa yang diselingi dengan kalimat bahasa Indonesia seperti pada kata "mbak" (sebutan untuk perempuan dewasa) dan "mas" (sebutan untuk laki-laki dewasa). Hal itu karena penjual beretnis Jawa, sehingga kebiasaan bertutur untuk perempuan selalu memakai kata "mbak". Begitupun ketika pembeli mengetahui bahwa penjual beretnis Jawa maka responnya menggunakan bahasa Jawa, yaitu pada kata "mas". Penjual menggunakan kata tersebut karena pembeli berlatar belakang orang Jawa diselingi dengan kalimat bahasa Indonesia.[12]
Dalam proses interaksi jual beli di Pasar Alok, pembeli dan penjual terkadang menggunakan unsur-unsur bahasa asing sehingga terjadi campur kode dari bahasa asing pada saat terjadi tawar-menawar. Hal ini terjadi karena kebiasaan pembeli ataupun penjual. Dalam contoh percakapan ini mengandung campur kode ekstern dari bahasa Inggris, antara penjual dan pembeli dalam tawar-menawar.[12]
Dalam contoh percakapan di atas, kata "speaker" berasal dari bahasa Inggris yang artinya "pengeras suara". Namun karena kebiasaan oleh penutur maka pada saat tawar-menawar barang pun sering terjadi penggunaan unsur-unsur bahasa Inggris.[18] Lihat jugaReferensiCatatan kaki
Daftar pustaka
|