Beberapa pesan mungkin terpotong pada perangkat mobile, apabila hal tersebut terjadi, silakan kunjungi halaman iniKlasifikasi bahasa ini dimunculkan secara otomatis dalam rangka penyeragaman padanan, beberapa parameter telah ditanggalkan dan digantikam oleh templat.
Bahasa Batak Mandailing dikategorikan sebagai C6b Threatened menurut SIL Ethnologue, artinya bahasa ini mulai terancam dan mengalami penurunan jumlah penutur dari waktu ke waktu
Peta persebaran rumpun bahasa Batak di Sumatra bagian utara. Wilayah persebaran utama bahasa Batak Mandailing ditandai dengan warna ungu muda dan diberi label dengan kode ISO 639-3 "btm".
Perhatian: untuk penilai, halaman pembicaraan artikel ini telah diisi sehingga penilaian akan berkonflik dengan isi sebelumnya. Harap salin kode dibawah ini sebelum menilai.
Bahasa Batak Mandailing[5] adalah bahasa yang terdapat di Sumatera Utara bagian selatan, Sumatera Barat dan Riau bagian utara. Bahasa Batak Mandailing termasuk ke dalam rumpun bahasa Austronesia dan merupakan bagian dari rumpun bahasa Batak.
Bahasa Mandailing Julu dan Mandailing Godang dengan pengucapan yang lebih lembut lagi dari bahasa Batak Angkola, bahkan dari bahasa Batak Toba. Mayoritas penggunaannya di daerah Kabupaten Mandailing Natal, tetapi tidak termasuk bahasa Natal (bahasa Minang), walaupun pengguna bahasa Natal berkerabat (seketurunan) dengan orang-orang Kabupaten Mandailing Natal pada umumnya.
Seni sastra Mandailing ditularkan melalui tradisi yang khas, misalnya melalui medium berikut:[6]
1. Marturi
Tradisi bercerita dalam konteks sosial Mandailing yang dilakukan secara verbal. Cerita ditularkan secara turun-temurun. Plot menggunakan alur maju dan banyak memuat ajaran tentang budi pekerti.
2. Ende Ungut-ungut
Dibedakan atas temanya. Ende merupakan ungkapan hati, ekspresi kesedihan karena berbagai hal, misalnya kesengsaraan hidup karena kematian, ditinggalkan, dan lain-lain. Selain itu juga berisi pengetahuan, nasihat, ajaran moral, sistem kekerabatan, dan sebagainya. Ende ungut-ungut menggunakan pola pantun dengan persajakan ab-ab atau aa-aa. Sampiran biasanya banyak mengadopsi nama tumbuhan, karena adanya bahasa daun.
Contoh:
Bahasa Mandailing
tu sigama pe so lalu
madung donok tu Ujung Gading
di angan-angan pe so lalu
laing tungkus abit partinggal
Bahasa Indonesia
Ke Sigama pun tidak sampai
Sudah dekat ke Ujung Gading
Yang di angankanpun tidak sampai
Tetap tersimpan kain kenangan
Masa kolonial
Beberapa tonggak sastra yang berkembang pada masa kolonial antara lain:
“Hendrik Nadenggan Roa, Sada Boekoe Basaon ni Dakdanak.” (Terjemahan). Padang: Van Zadelhoff and Fabritius (1865)
“Leesboek van W.C. Thurn in het Mandhelingsch Vertaald.” Batavia: Landsdrukkerij. (1871)
“Si Bulus-bulus Si Rumbuk-rumbuk.” (1872)
“Taringot di Ragam-ragam ni Parbinotoan dohot Sinaloan ni Alak Eropa.” Naskah ini diadaptasi dari buku “Ceritera Ilmu Kepandaian Orang Putih” yang ditulis oleh Abdullah Munsyi, seorang sastrawan dan ahli tata bahasa Melayu. (1873)
Soetan Martua Raja (Siregar). Ia lahir dari keluarga aristokrat di Bagas Lombang Sipirok, berpendidikan HIS, sekolah elite di Pematang Siantar. Karyanya adalah:
“Hamajuon” (Bahan Bacaan Sekolah Dasar)
“Doea Sadjoli: Boekoe Siseon ni Dakdanak di Sikola.” (1917). Buku ini menimbulkan daya kritik terhadap pemikiran anak-anak. Ditulis dengan aksara Latin (Soerat Oelando) yang relatif mengembangkan pedagogik sekuler. Buku ini mengadopsi poda, semacam storyteller yang berisi petuah, ajaran moral dalam konteks tingkat berpikir anak-anak.
“Ranto Omas” (Golden Chain), 1918.
Soetan Hasoendoetan (Sipahutar), penulis novel dan jurnalis. Karya-karyanya:
Turi-Turian (cerita bertutur, mengisahkan hubungan interaksi antara manusia dengan penguasa langit)
“Sitti Djaoerah: Padan Djandji na Togoe.” (1927-1929), sebuah serial berbahasa Angkola Mandailing yang dimuat secara berantai dalam 457 halaman. Serial ini dimuat di mingguan “Pustaha” yang terbit di Sibolga. Kisah ini diyakini menjadi alasan pembaca membeli surat kabar tersebut. Serial ini mengadopsi cerita-cerita epik, turi-turian, dan berbagai terminologi sosial masyarakat Angkola-Mandailing dan ditulis dengan gaya bertutur novel. Ini selaras dengan berkembangnya berbagai novel berbahasa Melayu yang dipublikasikan pemerintah kolonial. Dalam sejarah kesusastraan Indonesia, masa ini dikenal dengan masa Angkatan Balai Pustaka atau Angkatan 20-an. Soetan Hasundutan mengatakan bahwa ia menulis novel roman ini karena terinspirasi dengan novel “Siti Nurbaja” (Marah Rusli, 1922) yang sangat populer ketika itu.
“Datoek Toengkoe Adji Malim Leman.” (1941), terbitan Sjarief, Pematang Siantar.
Mangaradja Goenoeng Sorik Marapi, menulis buku “Turian-turian ni Raja Gorga di Langit dohot Raja Suasa di Portibi.” Buku ini diterbitkan Pustaka Murni Pematang Siantar bertajuk tahun 1914.
Sutan Pangurabaan. Karyanya, “Ampang Limo Bapole.” (1930), “Parkalaan Tondoeng” (1937), “Parpadanan” (1930), dan sebuah buku berbahasa Melayu “Mentjapai Doenia Baroe” (1934). Di samping buku-buku yang ditulis Willem Iskander, buku-bukunya juga menjadi buku bacaan untuk sekolah-sekolah masa kolonial.
Soetan Habiaran Siregar menggali bahasa, tari-tarian, dan lagu yang berasal dari Angkola-Mandailing. Ia menulis beberapa turi-turian, antara lain: “Turi-turian ni Tunggal Panaluan”, “Panangkok Saring-Saring tu Tambak na Timbo” (1983), dan lain-lain. Selain itu, ia juga membuat komposisi lagu yang dibuat menggunakan komposisi beat berirama cha-cha.
Selain sastra berbahasa Mandailing Angkola tersebut, penting dicatat tumbuhnya sastra Indonesia yang berbahasa Melayu tetapi dengan mengadopsi warna lokal. Misalnya novel “Azab dan Sengsara” (1921) yang ditulis Merari Siregar. Novel ini mengangkat kontekstual adat dan budaya semacam kawin paksa, harta warisan, hubungan kekerabatan, dan tradisi lokal Mandailing-Angkola.[6]
Kontemporer
Sastra Mandailing kontemporer tidak lagi berkembang sejak pra-kemerdekaan, dikarenakan berubahnya kurikulum pendidikan yang memakai bahasa Nasional dengan sendirinya mengikis pemakaian bahasa Mandailing.[6]
Entertainment
Sastra dalam lirik lagu dan drama musikal berbahasa Mandailing antara lain:
Drama musikal tahun 1970an dalam kepingan tape kaset recorder.
Berdasarkan klasifikasi bahasa yang ditawarkan Slamet Mulyana, bahasa Mandailing termasuk rumpun bahasa Austronesia. Pangaduan Lubis ada mengemukakan bahwa di dalam bahasa Mandailing terdapat lima ragam bahasa yang masing-masing kosakatanya berbeda satu sama lain yaitu:[7]
Hata somal yaitu ragam bahasa yang dipergunakan dalam kehidupan sehari-hari.
Hata andung yaitu ragam bahasa sastra yang dipakai dalam tradisi mangandung (meratap) pada upacara adat perkawinan atau kematian.
Hata teas dohot jampolak yaitu ragam bahasa yang dipakai dalam pertengkaran atau mencaci maki.
Hata si baso yaitu ragam bahasa yang digunakan khusus oleh si baso (tokoh shaman) atau datu.
Hata parkapur yaitu ragam bahasa yang digunakan orang Mandailing pada masa lalu ketika mereka mencari kapur barus.[8]
Contoh kosakata:
Bahasa Indonesia
Hata somal
Hata andung
Hata teas
Hata si baso
Hata parkapur
Mata
Mata
Simanyolong
Loncot
-
Daun sirih
Burangir
Simanggurak
-
Situngguk
Harimau
Babiat
-
-
-
Ompungi/Namaradati
Di masa lalu orang Mandailing juga memiliki satu alat komunikasi atau jenis bahasa tertentu yang disebut Hata bulung-bulung (bahasa dedaunan) semacam daun lontar. Bahasa ini bukanlah berupa lambang bunyi melainkan menggunakan daun tumbuhan sebagai perlambangnya.[7][9]
Kalimat pertanyaan
Bahasa Indonesia
Bahasa Mandailing
Apa
Aha
Bagaimana
Songondia/Biadoma
Berapa
Sadia
Di mana
Idia
Kemana
Tudia
Dari mana
Tingondia/Ngundia
Mana
Idia
Siapa
Ise
Mengapa
Asi
Kapan
Andigan
Kenapa
Maoa/Mangoa
Kalimat petunjuk
Bahasa Indonesia
Bahasa Mandailing
Ini
On/Onbo
Itu
Adun/Adunbo
Sini
Tuson
Situ
Tusi
Sana
Sodun
Marsipoda
Saya
Au
Kamu
Homa
Dia
Ia
Mereka
Alai
Silsilah keluarga
Bahasa Indonesia
Bahasa Mandailing
Kakek
Ompung godang
Nenek
Ompung Menek
Ayah
Amang
Ibu
Inang
Anak laki-laki
Anak
Anak Perempuan
Boru
Kakak
Angkang
Adik
Anggi
Paman (pihak ayah)
Uda'
Istri Paman (pihak ayah)
Nanguda'/Inanguda'
Paman (pihak Ibu)
Tulang/mamak
istri Paman (pihak Ibu)
Nantulang/Inangtulang
Bibi
Bouk (pihak ayah) Ujing/Etek (pihak ibu)
Sepupu (laki-laki)
Kahanggi
Sepupu (perempuan)
iboto/ito
Istri/Suami Saudara
Ipar
Suami dari Adik/Kakak Istri
Pariban
Anak Saudara (laki-laki)
Anak
Anak Saudara (perempuan)
Bere
Cucu
Pahoppu
Bacaan lebih lanjut
(Inggris) Adelaar,Alexande,The Austronesian Languages of Asia and Madagascar:A Historical perspective;The Austronesian languages of Asia and Madagascar,pp 2005,ISBN 0-7007-1286-0
(Indonesia) Siregar,Ahmad Samin,Kamus Bahasa Angkola/Mandailing Indonesia,Jakarta:Pusat Pembinaan Pengembangan Bahasa,Departemen Pendidikan dan Kebuydayaan,1997
^Hammarström, Harald; Forkel, Robert; Haspelmath, Martin, ed. (2023). "Mandailing Batak". Glottolog 4.8. Jena, Jerman: Max Planck Institute for the Science of Human History.Pemeliharaan CS1: Tampilkan editors (link)