Bahasa PecokBahasa Pecok (juga dieja sebagai Petjo atau Petjoh) merupakan sejenis bahasa kreol yang digunakan oleh kalangan Eropa-Indonesia (terutama kelompok Indo). Bahasa ini banyak dituturkan pada masa abad ke-19 dan paruh pertama abad ke-20 di Hindia Belanda, dan kemudian berangsur-angsur melemah penggunaannya hingga akhir abad ke-20. Di Indonesia, penuturnya kebanyakan tinggal di Jawa pada masa lampau, yang mana bahasa Pecok versi Indonesia telah banyak memperoleh pengaruh dari bahasa Jawa dan bahasa Betawi. Bahasa Pecok masih dituturkan oleh sekelompok generasi lanjut kalangan Eropa-Indonesia di Belanda. Di Indonesia praktis sudah tidak dituturkan lagi, tetapi orang kadang-kadang masih dapat mendengarnya dalam drama-drama mengenang revolusi kemerdekaan sebagai bahasa yang diucapkan oleh para serdadu Belanda. EtimologiIstilah Pecok sendiri sebenarnya berasal dari bahasa Jawa ‘pecuk’ sejenis burung air yang hitam dan kecil. Menurut kepercayaan orang Jawa, burung Pecuk dianggap sebagai burung yang membawa malapetaka karena bunyi burung tersebut mengandung firasat akan adanya orang yang meninggal.[4] Kata ini digunakan oleh orang Eropa mengacu kepada pemakainya, yaitu orang-orang Eropa-Indo untuk merendahkan atau menghina mereka. ‘Je bent een petjoh’: je bent niks (bukan apa-apa), je stelt niet voor (tidak penting); ‘hé petjoh’: hé vlegel (anak nakal), nietsnut (orang luntang-lantung). Pada zaman kolonial istilah ini juga digunakan di kalangan rakyat Indonesia untuk menyebut orang Indo yang berasal dari kelas rendah – Landa Pecuk ‘Indo Jelata’ – dalam masyarakat. Pada akhirnya, bahasa yang dituturkan oleh orang Indo mendapatkan status petjoh.[5] FonologiSistem bunyi bahasa Pecok didasarkan pada sistem bunyi bahasa Melayu. Hal ini berarti bahwa baik kata dalam bahasa Melayu maupun dalam bahasa Belanda urutan bunyinya dalam suku kata dipanjangkan, konsonan dan vokal kemungkinan besar saling menyelingi (CVCV); beberapa konsonan yang saling mengikuti di belakang (gugus konsonan) kemungkinan besar dihindarkan. Berikut ini akan diberikan contoh ‘e’ yang dituturkan tidak bertekanan (insersi schwa) atau konsonan dihilangkan.[6]
KonsonanPergeseran konsonanAspek-aspek suprasegmental – tekanan kata dan intonasi – dalam bahasa Pecok pun sangat mirip dengan bahasa Melayu; bahasa Pecok memiliki zinsmelodie (irama kalimat) yang mencolok dibandingkan dengan bahasa Belanda. Selain itu, bahasa Pecok juga mempunyai pelafalan konsonan yang berbeda dengan bahasa Belanda. Di bawah ini merupakan pergeseran pelafalan konsonan bersuara menjadi tak bersuara dalam bahasa Pecok.[7]
Kombinasi konsonanUntuk pelafalan vokal dalam bahasa Pecok, semua vokal dilafalkan menjadi nasal. Bunyi panjang dan tertutup dilafalkan terbuka atau lebar. Bunyi panjang sering dilafalkan terlalu pendek dan bunyi pendek dibuat panjang, atau penutur bahasa ini merubah bunyinya:[6]
VokalUntuk pelafalan vokal dalam bahasa Pecok, semua vokal dilafalkan menjadi nasal. Bunyi panjang dan tertutup dilafalkan terbuka atau lebar. Bunyi panjang sering dilafalkan terlalu pendek dan bunyi pendek dibuat panjang, atau penutur bahasa ini merubah bunyinya:[7]
Contoh kalimat
Fragmen dari Petjoh van BataviaDialog dari Tjalie Robinson, Ik en Bentiet.[8]
Rujukan
|