Bahasa PalembangBahasa Palembang atau Melayu Palembang (baso Pelémbang) (Jawi: بهاس ملايو ڤاليمبڠ ) adalah bahasa Austronesia cabang Melayik yang dituturkan di kawasan Palembang Raya. Bahasa ini juga adalah bahasa perantara masyarakat di Sumatera Selatan yang sering digunakan bersama dengan Indonesia dan dialek setempat lainnya.[7] Bahasa ini memiliki banyak serapan non-Melayik terutama dari bahasa Jawa, sebagai dampak dari interaksi budaya intens yang telah berlangsung berabad-abad antara Palembang dengan kawasan lainnya di Nusantara.[8] PengelompokanSebagian besar bahasa-bahasa Melayik di Sumatera bagian Selatan dapat digolongkan ke dalam dua kelompok utama, yaitu 1) kelompok Melayu Tengah atau Melayu Barisan Selatan dan 2) kelompok Musi. Bahasa Palembang dapat digolongkan sebagai salah satu bahasa dalam kelompok Musi, tepatnya sebagai bagian dari kumpulan dialek Palembang–Melayik Dataran Rendah yang juga mencakup ragam-ragam Belide, Lematang Ilir, dan Penesak.[10] SejarahSebagaimana bahasa Melayik lainnya, bahasa Palembang merupakan keturunan dari bahasa Proto-Melayik yang diperkirakan berasal dari Kalimantan bagian barat. Menurut Adelaar (2004), perkembangan Melayu sebagai etnis tersendiri mungkin saja dipengaruhi oleh persentuhan dengan budaya India[butuh klarifikasi], setelah migrasi penutur Proto-Malayik ke Sumatra bagian selatan. Kerajaan Sriwijaya yang berpusat di Palembang pada abad ke-7 merupakan salah satu wujud terawal negara bangsa Melayu, jika bukan yang pertama.[11] Prasasti Kedukan Bukit yang ditemukan di Palembang merupakan bukti tertulis pertama dari bahasa-bahasa Melayik yang dituturkan di daerah tersebut. Meski begitu, ahli bahasa masih memperdebatkan apakah memang bahasa yang digunakan di prasasti tersebut merupakan leluhur langsung dari bahasa-bahasa Melayu (termasuk Palembang) modern.[12] Selain prasasti-prasasti kuno, sangat sedikit sumber tertulis lainnya yang bisa jadi acuan untuk mengkaji perkembangan bahasa Palembang. Satu sumber tertulis adalah Kitab Undang-Undang Simbur Cahaya, yang penyusunannya dianggap dilakukan oleh Ratu Sinuhun, istri dari penguasa Palembang Pangeran Sido ing Kenayan pada sekitar abad ke-17. Kitab ini ditulis dalam bahasa Melayu Klasik dengan sedikit pengaruh bahasa Jawa, mengingat keluarga bangsawan Palembang berasal dari Jawa.[13] Pengaruh Jawa di Palembang dimulai setidaknya sejak abad ke-14. William Marsden mencatat dua ragam bahasa berbeda yang digunakan di Palembang pada abad ke-18. Bahasa di keraton adalah dialek Jawa halus dan Melayu dengan campuran kosakata asing, sementara bahasa sehari-hari penduduk Palembang adalah dialek Melayu, dengan ciri utama pengucapan vokal 'a' yang diganti menjadi 'o' pada sebagian besar suku kata terbuka.[14] StatusPenggunaan bahasa Palembang resmi diakui oleh pemerintah Provinsi Sumatera Selatan sebagai salah satu bahasa daerah di Sumatera Selatan yang wajib dijaga kelestariannya. Sebagai salah satu upaya penggiatan sosialisasi dan pelestarian bahasa Palembang, pemerintah Provinsi Sumatera Selatan yang didukung oleh Kementerian Agama Republik Indonesia mengadakan peluncuran Al-Qur'an (kitab suci umat Islam) dengan terjemahan bahasa Palembang yang diterbitkan oleh Puslitbang Lektur Dan Khazanah Keagamaan pada tahun 2019.[15][16][17][18] Bahasa Palembang tingkatan jegho/jero (atau alus) juga telah masuk sebagai muatan lokal (kegiatan kurikulum) bagi sekolah-sekolah tingkat dasar dan menengah di Palembang sejak 2021.[19] FonologiDunggio (1981) mendata 30 fonem dalam bahasa Palembang, dengan rincian 24 bunyi konsonan dan 6 bunyi vokal.[20] Namun, kajian lanjutan dari Aliana (1987) menyatakan bahwa hanya ada 25 fonem dalam bahasa Palembang, sebab bunyi serapan seperti [z] sering beralofoni (bebas diganti pengucapannya) dengan konsonan asli seperti /s/ dan /d͡ʒ/.[21] Vokal
Dalam suku kata tertutup, /i/ dan /u/ diucapkan sedikit terbuka sebagai [ɪ] dan [ʊ].[22] Konsonan
1Hanya fonemik di kata-kata pinjaman. RagamDialekBerdasarkan survei dialektologi McDowell & Anderbeck (2020) yang mencakup analisis leksikostatistik, pemetaan persebaran inovasi fonologis, serta uji kesalingpahaman, subgugus (subkumpulan) dialek Palembang dapat dibagi menjadi tiga, yaitu: 1) Palembang Lama, 2) Palembang Pasar dan 3) Pesisir.[23] Dialek Palembang Lama adalah dialek tradisional yang dituturkan sehari-hari oleh suku Palembang terutama di pedesaan. Sedangkan, dialek Palembang Pasar adalah dialek yang umum digunakan sebagai bahasa perantara untuk masyarakat di Palembang secara menyeluruh. Secara leksikon, dialek Palembang Lama mempertahankan beberapa kosakata serapan bahasa Jawa yang tak lagi digunakan oleh penutur Palembang Pasar. Kecenderungan de-Jawanisasi penutur Palembang Pasar juga diiringi dengan meningkatnya pengaruh bahasa Indonesia dalam percakapan sehari-hari di kawasan perkotaan. Dalam hal fonologi, penutur Palembang Pasar umumnya mengucapkan bunyi *r (/ɣ ~ ʁ/) dari Proto-Melayik sebagai konsonan getar ujung lidah (apikal) seperti bahasa Indonesia alih-alih dengan bunyi geseran lelangit belakang/tekak bersuara [ɣ~ʁ] yang umum digunakan dalam dialek Palembang Lama.[24] Di sebelah utara dan timur Kota Palembang ke arah perbatasan dengan Provinsi Jambi dan Selat Bangka, terdapat pula ragam Pesisir yang secara linguistik hampir identik dengan ragam yang dituturkan di kawasan urban. Meski begitu, beberapa daerah tutur Pesisir di wilayah terluar juga memiliki tingkat kemiripan leksikal yang tinggi dengan ragam Melayik tetangga, di antaranya ragam Jambi Ilir dari bahasa Jambi serta ragam-ragam Melayik Bangka.[25] Dari segi etnolinguistik, penutur ragam Pesisir sendiri cenderung tidak terlalu terikat dengan identitas "Palembang" sebagaimana penutur di kawasan urban dan pedesaan sekitarnya.[26] TingkatanBahasa Palembang mempunyai dua tingkatan linguistik, yaitu jegho atau alus (kerap diidentifikasi juga sebagai bebaso) dan saghi-saghi. Bahasa Palembang jegho atau alus memiliki banyak kosakata serapan Jawa dan dipergunakan dalam percakapan dengan pemuka masyarakat, orang-orang tua, atau orang-orang yang dihormati, terutama dalam upacara adat Palembang, sedangkan tingkatan saghi-saghi yang lebih berakar pada kosakata asli Melayik dipergunakan dalam percakapan sehari-hari. Referensi
Daftar pustaka
Pranala luar
|