Prasasti Kedukan Bukit

Prasasti Kedukan Bukit
Prasasti yang dipajang di Museum Nasional Indonesia.
Bahan bakuBatu Andesit
Ukuran45 cm × 80 cm (18 in × 31 in)
Sistem penulisanAksara Pallawa
Dibuat1 Mei 683;
1341 tahun lalu
 (683-05-01)
Ditemukan29 November 1920;
103 tahun lalu
 (1920-11-29)
Kedukan Bukit, Sumatera Selatan, Indonesia
Ditemukan olehM. Batenburg
Lokasi sekarangMuseum Nasional Indonesia, DKI Jakarta, Indonesia
RegistrasiD. 161
BahasaBahasa Melayu Kuno,

Prasasti Kedukan Bukit ditemukan oleh C.J. Batenburg[1] pada tanggal 29 November 1920 di Kampung Kedukan Bukit, Kelurahan 35 Ilir, Palembang, Sumatera Selatan, di tepi Sungai Tatang yang mengalir ke Sungai Musi. Prasasti ini berbentuk batu kecil berukuran 45 × 80 cm, ditulis dalam aksara Pallawa, menggunakan bahasa Melayu Kuno. Prasasti ini sekarang disimpan di Museum Nasional Indonesia dengan nomor D.146.

Isi teks

Batu bertulis ini memiliki goresan di sekujur permukaannya dalam baris-baris teratur sebanyak 10 baris.

Alihaksara

  1. svasti śrī śakavaŕşātīta 605 ekādaśī śu-
  2. klapakşa vulan vaiśākha ḍapunta hiyaṁ nāyik di
  3. sāmvau maṅalap siddhayātra di saptamī śuklapakşa
  4. vulan jyeşţha ḍapunta hiyaṁ maŕlapas dari Miṉāṅkā
  5. tāmvan mamāva yaṁ vala dua lakşa daṅan ko śa(?)
  6. duaratus cāra di sāmvau daṅan jālan sarivu
  7. tlurātus sapulu dua vañakña dātaṁ di mata jap (mukha upaṃ ?)
  8. sukhacitta di pañcamī śuklapakşa vula[n]... (āsāḍha ?)
  9. laghu mudita dātaṁ marvuat vanua ...
  10. śrīvijaya siddhayātra subhikşa ... (nityakāla ?)

Alihbahasa

  1. Selamat ! Tahun Śaka telah lewat 605, pada hari ke sebelas
  2. paro-terang bulan Waiśakha Dapunta Hiyang naik di
  3. sampan mengambil siddhayātra. pada hari ke tujuh paro-terang
  4. bulan Jyestha Dapunta Hyang marlapas dari Miṉāṅgā
  5. tamwāṉ membawa bala dua laksa dengan lengkap perbekalan
  6. dua ratus cara/peti di sampan dengan berjalan seribu
  7. tiga ratus dua belas banyaknya datang di mata jap (Mukha Upang)
  8. sukacita pada hari ke lima paro-terang bulan....
  9. lega gembira datang membuat wanua....
  10. Śrīwijaya jaya, siddhayātra sempurna....

Keterangan

Pada baris ke-8 terdapat unsur pertanggalan, tetapi bagian akhir unsur pertanggalan pada prasasti ini telah hilang. Seharusnya bagian tersebut diisi dengan nama bulan. Berdasarkan data dari fragmen prasasti No. D.161 yang ditemukan di Situs Telaga Batu, J.G. de Casparis (1956: 11–15) dan Boechari (1993: A1-1–4) mengisinya dengan nama bulan Āsāda. Maka lengkaplah pertanggalan prasasti tersebut, yaitu hari kelima paro-terang bulan Āsāda yang bertepatan dengan tanggal 16 Juni 682 Masehi.[2]

Menurut George Cœdès, siddhayatra berarti semacam “ramuan bertuah” (Pr. potion magique), tetapi kata ini bisa pula diterjemahkan lain. Menurut Kamus Jawa Kuna Zoetmulder (1995): sukses dalam perjalanan. Dengan terjemahan tersebut kalimat di atas dapat diubah: “Sri Baginda naik sampan untuk melakukan perjalanan suci, sukses dalam perjalanannya.”

Dari prasasti Kedukan Bukit, didapatkan data sebagai berikut:[3] Dapunta Hyang marlapas dari Miṉāṅgātāmwan dan menaklukkan kawasan tempat ditemukannya prasasti ini (Sungai Musi, Sumatera Selatan).[4] Karena kesamaan bunyinya, ada yang berpendapat Miṉāṅgātāmwan adalah sama dengan Miṉāṅgkābwa, yakni wilayah pegunungan di hulu Batang Hari. Ada juga berpendapat Minanga tidak sama dengan Malayu, kedua kawasan itu tempat Marlapas oleh Dapunta Hyang, isi prasasti ini menceritakan Perjalanan dari Minanga Tamwan.[5] Sementara, itu Soekmono berpendapat bahwa Minanga Tamwan bermakna pertemuan dua sungai (karena tamwan berarti 'temuan'), yakni Sungai Kampar Kanan dan Sungai Kampar Kiri di Riau,[6] yakni wilayah sekitar Candi Muara Takus. Kemudian ada yang berpendapat Miṉāṅgā berubah tutur menjadi Binanga, sebuah kawasan yang terdapat pada sehiliran Sungai Barumun (Provinsi Sumatera Utara sekarang).[7] Pendapat lain menduga bahwa armada yang dipimpin Jayanasa ini berasal dari luar Sumatra, yakni dari Semenanjung Malaya.[8]

Namun demikian beberapa sejarawan, menyatakan bahwa Datu Sriwijaya lahir dari Sumatera Selatan itu sendiri, sejarawan menyebutkan bahwa Miṉāṅg-ā berada di muara Sungai Komering Sumatera Selatan.[9], M. Arlan Ismail menerangkan pula bahwa lokasi Miṉāṅg-ā terdapat di muara Sungai Komering, Sumatera Selatan.[10]

Lihat pula

Referensi

  1. ^ Bloembergen, Marieke; Eickhoff, Martijn (2020-01-16). The Politics of Heritage in Indonesia: A Cultural History (dalam bahasa Inggris). Cambridge University Press. ISBN 978-1-108-49902-6. 
  2. ^ Casparis, J.G. de, (1956), Prasasti Indonesia II: Selected Inscriptions from the 7th to the 9th Century A.D., Dinas Purbakala Republik Indonesia, Bandung: Masa Baru.
  3. ^ Damais, Louis-Charles, (1952), "'Etude d’Epigraphie Indonesienne III: Liste des Principales Datees de l’Indonesie", BEFEO, tome 46(1):1-106.
  4. ^ Soekmono, R., (2002), Pengantar sejarah kebudayaan Indonesia 2, Kanisius, ISBN 979-413-290-X
  5. ^ Irfan, N.K.S., (1983), Kerajaan Sriwijaya: pusat pemerintahan dan perkembangannya, Girimukti Pasaka
  6. ^ Drs. R. Soekmono, (1973 5th reprint edition in 1988). Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 2, 2nd ed. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. hlm. 38. ISBN 979-4132290X. 
  7. ^ Muljana, Slamet, (2006), Sriwijaya, PT. LKiS Pelangi Aksara, ISBN 978-979-8451-62-1
  8. ^ Coedes, George (1996). The Indianized States of Southeast Asia. University of Hawaii Press. hlm. 82. ISBN 978-0-8248-0368-1. 
  9. ^ Ismail, H.M. Arlan (2002). Periodisasi Sejarah Sriwijaya bermula di Minanga Komering Ulu Sumatera Selatan berjaya di Palembang berakhir di Jambi. Palembang: Unanti Press. 
  10. ^ M. Arlan Ismail, Periodisasi Sriwijaya: Minanga Komering Ulu, Palembang, Jambi, 2002, UNANTI Press

Bacaan selanjutnya

Kembali kehalaman sebelumnya