Kerusuhan Poso
Kerusuhan Poso atau konflik komunal Poso, adalah sebutan bagi serangkaian kerusuhan yang terjadi di Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah, Indonesia. Peristiwa ini awalnya bermula dari bentrokan kecil antarkelompok pemuda sebelum berkembang menjadi kerusuhan bernuansa agama. Beberapa faktor berkontribusi terhadap pecahnya kekerasan, termasuk persaingan ekonomi antara penduduk asli Poso yang mayoritas beragama Kristen dengan para pendatang seperti pedagang-pedagang Bugis dan transmigran dari Jawa yang memeluk Islam, ketidakstabilan politik dan ekonomi menyusul jatuhnya Orde Baru, persaingan antarpejabat pemerintah daerah mengenai posisi birokrasi, dan pembagian kekuasaan tingkat kabupaten antara pihak Kristen dan Islam yang tidak seimbang. Situasi dan kondisi yang tidak stabil, dikombinasikan dengan penegakan hukum yang lemah, menciptakan lingkungan yang menjanjikan untuk terjadinya kekerasan. Kerusuhan ini umumnya terbagi menjadi beberapa tahap. Tahap pertama berlangsung pada bulan Desember 1998, kemudian berlanjut ke tahap kedua yang terjadi pada bulan April 2000, dan yang terbesar terjadi pada bulan Mei hingga Juni 2000. Tahap pertama dan kedua berawal dari serangkaian bentrokan antara kelompok pemuda Islam dan Kristen. Tahap ketiga yang terjadi pada bulan Mei 2000, secara luas dianggap sebagai periode kekerasan terburuk dalam hal kerusakan dan jumlah korban. Tahap tersebut merupakan ajang balas dendam oleh pihak Kristen setelah dua tahap sebelumnya yang sebagian besar didominasi oleh serangan dari pihak Muslim, dan berlangsung sampai bulan Juli 2000. Tahap ketiga ini memuncak dalam sebuah peristiwa pembantaian di sebuah pesantren yang terjadi di Desa Sintuwulemba yang mayoritas penduduknya Islam. Dalam tahap ketiga ini, ratusan orang jatuh menjadi korban, umumnya dari pihak Muslim.[1] Pada tanggal 20 Desember 2001, Deklarasi Malino ditandatangani antara kedua belah pihak yang bertikai di Malino, Sulawesi Selatan, dan diinisiasi oleh Jusuf Kalla. Meski dampaknya tidak begitu terlihat, kesepakatan tersebut sedikitnya mampu mengurangi kekerasan frontal secara bertahap, dan angka kriminal mulai menurun dalam kurun waktu beberapa tahun sesudah kerusuhan. Latar belakangSulawesi Tengah adalah sebuah provinsi yang didominasi dataran tinggi, yang terletak di antara wilayah Sulawesi Selatan dan Sulawesi Utara di pulau Sulawesi. Poso adalah salah satu dari delapan kabupaten —kabupaten lain baru berdiri setelah tahun 2002— di provinsi ini. Ibu kota kabupaten Poso (kota Poso) terletak di teluk, sekitar enam jam perjalanan sebelah tenggara dari ibu kota provinsi Palu. Kabupaten Poso memiliki populasi mayoritas Muslim di kota dan desa-desa pesisir, dan masyarakat adat mayoritas Kristen di dataran tinggi. Selain penduduk Muslim asli, ada banyak pendatang dari Sulawesi Selatan, terutama suku Bugis, dan juga dari daerah Gorontalo di utara. Tradisi panjang pedagang Arab yang menetap di wilayah ini sudah lama terjadi, dan keturunan mereka memainkan peran penting dalam lembaga-lembaga keagamaan dan pendidikan Islam. Kabupaten ini juga merupakan sasaran program transmigrasi pemerintah, yang memindahkan warga dari daerah padat penduduk, seperti pulau-pulau yang didominasi Muslim termasuk Jawa dan Lombok, dan juga pulau mayoritas Hindu seperti Bali. Warga Muslim Poso terdiri dari masyarakat adat, transmigran resmi, dan para imigran ekonomi dari berbagai etnis. Banyak imigran yang telah menetap di kabupaten ini selama beberapa dekade. Pada akhir tahun 1990-an, penduduk Muslim menjadi mayoritas di Poso dengan angka di atas 60 persen. Kelompok etno-linguistik yang meliputi Pamona, Mori, Napu, Besoa dan Bada mendiami pedalaman dan dataran tinggi kabupaten. Banyak dari kelompok suku ini, dulunya berbentuk kerajaan dan memiliki sejarah perang antar suku. Kegiatan misionaris Belanda dimulai pada pergantian abad ke-20. Kota Tentena merupakan pusat ekonomi dan religius untuk warga Kristen Poso, dan merupakan pusat dari Gereja Kristen Sulawesi Tengah. Kota kecil ini terletak di sebelah utara Danau Poso di kecamatan Pamona Puselemba, salah satu dari beberapa kecamatan dengan mayoritas etnis Pamona. Meskipun konflik pada awalnya berpusat pada ketegangan antara pendatang Bugis beragama Muslim dan etnis Pamona yang mayoritas Kristen, banyak kelompok lain yang ditarik melalui ikatan etnis, budaya, atau ekonomi mereka.[2][3] KronologiPoso IFase pertama termasuk singkat dan terbatas pada beberapa lingkungan di kota Poso, meskipun iring-iringan truk yang mengangkut kelompok tertentu dari daerah lain bergabung dalam keributan. Para pendukung teori provokator menunjukkan bahwa kekerasan dimulai tepat setelah pengumuman Arief Patanga pada tanggal 13 Desember 1998, yang menyatakan bahwa dirinya tidak akan mengikuti pemilihan ulang sebagai Bupati Poso, sekaligus membuka peluang bagi sejumlah kandidat yang ambisius. Secara kebetulan, fase ini juga bertepatan dengan pecahnya rangkaian kekerasan dan unjuk rasa yang terjadi di seluruh Indonesia pasca kejatuhan Orde Baru. Pada malam Natal tanggal 24 Desember 1998, yang secara kebetulan bertepatan dengan bulan Ramadan, seorang pemuda yang berasal dari kelurahan mayoritas Protestan di Lombogia bernama Roy Runtu Bisalemba menikam Ahmad Ridwan, seorang pemuda Muslim dari kelurahan Kayamanya. Informasi yang beredar di pihak Kristen menyebutkan bahwa Ridwan melarikan diri ke masjid setelah ditikam. Sedangkan versi Muslim menggambarkannya sebagai serangan terhadap seorang pemuda Muslim yang tertidur di halaman masjid, dan dalam beberapa versi menyebutkan bahwa korban sedang shalat atau bahkan menjadi imam. Para tokoh dan pemuka agama dari kedua belah pihak kemudian bertemu, dan menyepakati bahwa alkohol-lah yang merupakan sumber masalah dan setuju untuk melarangnya selama bulan Ramadan. Polres Poso berikutnya mulai menyita ribuan minuman keras untuk kemudian dihancurkan. Dalam sebuah kesempatan, saat para pemuda Kristen berusaha melindungi sebuah toko miras milik orang Tionghoa Kristen, mereka bertemu dengan para pemuda Muslim yang awalnya berniat untuk menyegel toko tersebut, dan bentrokan antar kelompok pun tidak dapat dihindari.[4] Rumor beserta kabar burung yang beredar di pihak Kristen pada umumnya menyatakan bahwa ada sebuah gereja yang dibakar. Pada tanggal 27 Desember, sekelompok orang Kristen bersenjata yang menaiki truk dari Tentena tiba, dipimpin oleh seorang anggota DPRD Poso, Herman Parimo. Parimo diketahui merupakan anggota dari Gerakan Pemuda Sulawesi Tengah (GPST), bekas milisi pro-pemerintah yang bertempur melawan Permesta dan DI/TII pada periode tahun 1950-an hingga 1960-an di Poso. Di sisi lain, sedikitnya sembilan truk Muslim tiba dari ibu kota Palu, Parigi, dan Ampana. Laporan dari seorang narasumber Muslim memperkirakan bahwa 1000 orang Muslim tiba dengan menggunakan 27 truk, mobil pikap, dan kapal motor.[5] Bentrokan meningkat, dan polisi tidak mampu berbuat banyak, meskipun mereka mengaku telah menutup jalur-jalur yang menuju ke Poso. Setelah seminggu, bentrokan kembali meruncing di tengah hujan deras, dan mereka yang kehilangan tempat tinggal memilih mengungsi di Tentena, Parigi, dan Ampana. Spanduk, surat kaleng, dan grafiti yang menyerang para pejabat pemerintah kabupaten Poso yang beragama Kristen mulai menjamur, terutama menargetkan Parimo dan orang yang diduga mendukungnya, Yahya Patiro yang juga mencalonkan diri sebagai Bupati.[6] Panglima Komando Militer Daerah Wirabuana menyatakan bahwa yang mengobarkan kerusuhan adalah delapan pengacau Kristen yang telah mereka tahan. Anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyatakan hasil penyelidikan mereka menunjukkan bahwa kerusuhan di Poso terjadi bukan karena ketegangan agama atau etnis. Mereka menyebut kekerasan terjadi karena "miskomunikasi" dan mengklaim bahwa tidak ada pejabat lokal yang terlibat dalam upaya untuk mengembalikan kedamaian. Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah membentuk "Tim Klarifikasi" yang mewawancarai empat puluh saksi dan juga menyimpulkan bahwa tidak ada pejabat daerah Poso yang bertindak sebagai provokator.[7][8] Parimo, yang disebut-sebut sebagai pemimpin iring-iringan kendaraan Kristen yang berangkat dari Tentena, ditangkap.[a] Desas-desus terus berlanjut bahwa ada pejabat tinggi di Poso yang berada di balik kekerasan ini, seperti Bupati Arief Patanga yang beragama Islam, atau Sekretaris Kabupaten Yahya Patiro yang beragama Kristen. Patiro diberi jabatan di pemerintahan provinsi di Palu, meyebabkan kemarahan umat Islam Poso. Pada bulan Februari 1999, polisi menahan adik laki-laki Bupati, Agfar Patanga, dengan tuduhan memberikan hasutan untuk melakukan kekerasan. Pada bulan Juni 1999, Gubernur H.B. Paliudju mencopot Arief sebagai bupati. Laboratorium forensik di Sulawesi Selatan kemudian menyimpulkan bahwa Agfar Patanga adalah penulis dari surat tanpa nama yang isinya menuduh para pejabat Kristen Poso sebagai pihak yang memulai kerusuhan. Pemilihan bupatiSetelah undang-undang baru tentang desentralisasi disahkan, posisi bupati harus diisi bukan melalui pengangkatan tapi oleh pemilihan di DPRD Poso. Beberapa kandidat termasuk Patiro, seorang Protestan, dan Damsyik Ladjalani dari partai Muslim PPP, dicoret. Keadaan ini menyisakan tiga calon: seorang anggota Muslim dari Partai Golkar yang berkuasa sebelumnya bernama Muin Pusadan; seorang Muslim bernama Ismail Kasim; dan seorang politikus Kristen bernama Eddy Bungkundapu. Pada bulan Juni 1999, pemilihan umum secara demokratis untuk yang pertama kali dalam lebih dari empat dekade pasca kejatuhan Orde Baru, dilaksanakan secara nasional untuk memilih anggota DPRD di tingkat pusat, provinsi, dan kabupaten. Berbanding terbalik dengan partai oposisi seperti Partai Demokrasi Indonesia-Perjuangan (PDI-P) yang menang di Jawa, partai Golkar yang berkuasa mampu meraih kemenangan di Sulawesi, dan di pulau-pulau terluar lainnya. Keberhasilan mereka memastikan bahwa calon dari Golkar, Muin Pusadan, terpilih sebagai Bupati Poso dalam sebuah pemungutan suara yang ketat pada bulan Oktober 1999, meskipun hasil ini mengecewakan para pendukung Muslim dan Protestan dari kandidat lainnya.[b][9] Poso IISetelah lebih dari satu tahun masa tenang, rangkaian peristiwa politik dan hukum pada bulan April 2000 menimbulkan ketegangan.[10] Fase kedua berlanjut di sepanjang garis pertempuran yang sama dengan fase pertama, kali ini wilayah Kristen yang menderita kerusakan. Persidangan saudara mantan bupati Agfar Patanga telah dimulai. Dalam persidangan korupsi lainnya, seorang pengusaha lokal bernama Aliansa Tompo didakwa telah menyalahgunakan dana dari program kredit pedesaan (Kredit Usaha Tani, KUT). Ada desas-desus bahwa sebagian dari uang ini digunakan untuk menyewa massa untuk menyerang gedung pengadilan dan membakar dokumen-dokumen perihal keterlibatannya, yang memaksa penangguhan kedua kasus tersebut. Pengadilan Patanga kemudian kembali diadakan di Palu.[11] Selain itu, posisi tertinggi kedua di Poso, sekretaris wilayah atau sekwilda sedang dipertimbangkan, dan persaingannya sangat ketat. Sebuah surat kabar yang dicetak pada tanggal 15 April memuat pernyataan oleh Chaelani Umar, seorang anggota DPRD provinsi dari Partai Persatuan Pembangunan, yang memprediksi bahwa akan ada lebih banyak kekerasan yang terjadi apabila mantan calon bupati, Damsik Ladjalani, tidak dipilih. Bentrokan April-MeiKeesokan harinya, seorang pemuda Muslim mengklaim telah diserang oleh sekelompok pemuda Kristen, dan menunjukkan luka di lengannya sebagai bukti. Pihak Islam membalas, dan pertarungan antara pemuda-pemuda dari kelurahan mayoritas Kristen Lombogia dan para pemuda Islam dari kelurahan Kayamanya dan Sayo meningkat menjadi kekerasan yang meluas. Selama beberapa hari berikutnya, rumah-rumah yang dimiliki umat Kristen Poso di dekat terminal bus dan di Lombogia dibakar. Peristiwa ini memaksa Kapolres Poso saat itu untuk mendatangkan pasukan Brigade Mobil (BRIMOB) dari Palu.[12] Kedatangan BRIMOBPada tanggal 17 April, anggota BRIMOB menembaki kerumunan massa, menewaskan Mohammad Yusni (23) dan Yanto (13) dan melukai delapan orang Muslim lainnya, termasuk seorang pria bernama Rozal Machmud yang dilaporkan meninggal kemudian karena luka-lukanya. Setelah penguburan korban pada siang yang sama, Muslim yang marah menyerang Lombogia dan membakar rumah, gereja, dan sekolah.[13] Keesokan harinya, Gubernur Paliudju mengunjungi Poso dan disambut oleh sekelompok Muslim yang dipimpin oleh pengusaha dan tersangka penipuan Aliansa Tompo. Mereka menuntut agar Ladjalani menerima posisi sekwilda, agar kasus melawan Agfar Patanga ditutup, agar Kapolres dipecat, dan agar pasukan BRIMOB dikirim kembali ke Palu.[11] Human Rights Watch menilai tuntutan tersebut mencerminkan tema konflik yang mendasar: persaingan politik, sistem peradilan yang dipolitisir, dan ketidakpuasan terhadap para penegak hukum. BRIMOB dikirim pulang, namun pembakaran rumah berlanjut setelah sebuah mayat tak dikenal ditemukan di samping sejenis topi yang biasanya dikenakan oleh pihak Islam. Muslim dari kota dan sekitarnya membakar rumah, gereja, dan kantor cabang PDI-P, meninggalkan Lombogia dan Kasintuwu dalam kondisi hancur. Razia dalam bentuk pengecekan identitas —terutama terkait agama— dimulai di wilayah mayoritas Muslim. Beberapa orang Kristen dilaporkan ditarik paksa untuk keluar dari mobil dan dibunuh. Pangdam Wirabuana Mayor Jenderal TNI Slamet Kirbiantoro di Makassar, Sulawesi Selatan, akhirnya mengirim 600 tentara dan pertempuran mereda. Gubernur meminta masyarakat Kristen Poso, yang banyak di antaranya telah melarikan diri ke Tentena atau bukit-bukit di sekitar kota Poso, untuk tidak membalas dendam namun menyerahkannya kepada Tuhan. Polisi mengumumkan tahap kedua selesai pada tanggal 3 Mei 2000.[14] Selama fase kedua, kedua belah pihak mulai menggunakan ikat kepala berwarna dan ban lengan untuk membedakan diri. Para pejuang Kristen dikenal sebagai pasukan merah atau kelompok merah, dan kelompok Islam sebagai pasukan putih atau kelompok putih. Meskipun pentingnya agama tidak boleh diabaikan, kedua kelompok ini juga mengatur jalur sosial, etnis, dan ekonomi, dan dengan demikian istilah pejuang Protestan atau Muslim berisiko terlalu menyederhanakan konflik. Poso IIIBaru tiga minggu sejak fase kedua selesai, fase ketiga —yang menurut beberapa pengamat, merupakan yang terbesar dan terparah— dimulai. Periode ini didominasi oleh gelombang serangan balasan oleh kelompok merah Kristen terhadap warga Muslim.[15] Di samping bentrokan langsung dengan kelompok putih Islam, ada juga penculikan dan pembunuhan orang-orang yang tidak berkepentingan. Hasil wawancara yang dilakukan Human Rights Watch mengonfirmasi bahwa para migran dari Sulawesi Selatan dan Gorontalo yang umumnya menjadi korban atas tindakan tersebut, namun kelompok etnis dan suku lainnya juga menderita.[16] Pada awal bulan Mei, muncul desas-desus bahwa banyak pemuda Kristen yang mengungsi telah melarikan diri ke sebuah kamp pelatihan kelompok merah di Kelei. Pasukan Kristen yang beroperasi pada fase ini disebut "kelelawar merah" dan "kelelawar hitam".[c] Kelelawar hitam yang bertopeng seperti "ninja" ini, disebut-sebut menargetkan para Muslim di Kayamanya yang dianggap bertanggung jawab atas serangan di Lombogia pada fase sebelumnya.[d] Pasukan ninja ini disebut-sebut dipimpin oleh Fabianus Tibo, seorang imigran sekaligus pekerja perkebunan beragama Katolik yang datang dari pulau Flores (Nusa Tenggara Timur), yang pernah dipenjara atas kasus pembunuhan seorang pria bertahun-tahun sebelumnya.[17] Selain itu, seorang tokoh Kristen bernama Adven Lateka digambarkan oleh pers dan kepolisian sebagai otak, pemodal keuangan, atau "aktor intelektual" di balik kekerasan tersebut.[18] Pembalasan dendamPada pagi hari tanggal 23 Mei, sekelompok pasukan bertopeng ala ninja membunuh seorang polisi, Sersan Mayor Kamaruddin Ali, dan dua warga sipil Muslim, yang masing-masing bernama Abdul Syukur dan Baba. Kelompok ninja ini kemudian dilaporkan bersembunyi di sebuah gereja Katolik di Kelurahan Moengko.[15] Kelompok tersebut, termasuk Tibo, mulai bernegosiasi dengan polisi untuk menyerah.[17] Kerumunan warga Muslim mulai berkumpul di depan gereja, dan bukannya menyerahkan diri, Tibo serta yang lainnya justru melarikan diri ke perbukitan di belakang kompleks gereja. Gereja tersebut dibakar pada pukul 10.00 pagi dan pertempuran terjadi di seluruh kota, yang paling parah di Sayo, dimana sepuluh orang terluka terkena panah dan lemparan batu. Gubernur kembali mengisyaratkan bahwa ada pihak-pihak luar —merujuk kepada status imigran Tibo— yang menjadi provokator, sementara kepolisian mengumumkan bahwa tiga tersangka dari kelompok ninja telah ditahan dan dibawa ke Palu setelah dikeroyok oleh massa Muslim. Dua minggu kemudian tiga orang yang diduga sebagai provokator, diidentifikasi sebagai Yen, Raf, dan Leo, ditahan atas tuduhan menghasut kerusuhan pada tanggal 23 Mei.[19] Meluasnya pertempuranPada tanggal 28 Mei, serangan meluas terhadap warga Islam terjadi di beberapa desa di kabupaten ini. Dalam sebuah peristiwa yang paling terkenal, sekelompok orang Kristen —beberapa sumber menyebut bahwa Tibo dan kelompoknya ikut berpartisipasi— mengelilingi Desa Sintuwu Lemba, yang juga dikenal sebagai Kilo Sembilan.[e][20] Para wanita dan anak-anak ditangkap dan beberapa di antaranya mengalami pelecehan seksual. Sekitar tujuh puluh orang berlari ke pesantren terdekat —Pesantren Walisongo— dimana banyak warga Muslim dibunuh dengan senjata api dan parang, tanpa peduli mereka menyerah atau tidak. Mereka yang kabur, berhasil ditangkap untuk kemudian dieksekusi dan mayatnya dilemparkan ke Sungai Poso.[21] Tiga puluh sembilan mayat kemudian ditemukan di tiga kuburan massal, meskipun sebuah sumber Islam memperkirakan total 191 kematian dalam serangan tersebut. Seorang warga yang selamat dari serangan tersebut mengatakan kepada wartawan bahwa dirinya kembali ditangkap empat hari kemudian dan dibawa ke sungai untuk dieksekusi, namun ia sekali lagi berhasil lolos dan selamat.[22] Pasca kerusuhanOperasi militer dan polisiSetelah kerusuhan mulai surut, Mabes Polri di Jakarta bergerak dengan mendirikan Komando Lapangan Operasi. Melalui kebijakan dari Jakarta, operasi militer di Poso dilaksanakan dengan berbagai sandi operasi. Operasi Sadar Maleo digelar pada tahun 2000, dengan BKO (badan kendali operasi) Polres Poso. Satuan-satuan TNI yang bergabung dalam operasi tersebut adalah Batalyon Infanteri 711/Raksatama Poso, Batalyon Infanteri 726/Tamalatea Makassar, Batalyon Infanteri 721/Makassau Palopo, dan Batalyon Zeni Tempur 8 Makassar. Di sisi lain, satuan kepolisian termasuk Brimob Polres Pare-Pare, Brimob Polres Makassar, Perintis dan Satuan Intel Polda Sulawesi Tengah.[23] Mobilisasi kekuatan TNI-Polri melalui sandi Operasi Sintuwu Maroso terjadi setiap tahunnya, dan pada pertengahan bulan April 2004, operasi ini kembali diperpanjang.[24] Satuan TNI dan Polri yang dimasukkan ke dalam BKO operasi ini, termasuk Brimob Polda Papua, Brimob Polda Kalimantan Timur, Brimob Kelapa Dua Bogor, Brimob Polda Jawa Tengah, Brimob Polda Sulawesi Utara, Brimob Kendari, Brimob Polres Pare-Pare, Brimob Polres Makassar, Resimen Pelopor dan Brimob Polda Sulawesi Tengah. Untuk TNI, satuan yang di BKO-kan adalah Batalyon Infanteri 711/Raksatama Palu, Batalyon Infanteri 712/Wiratama Manado, Batalyon Infanteri 713/Satyatama Gorontalo, Batalyon Infanteri 721/Makassau Palopo, dan Batalyon Artileri Medan 6/Tamarunang Makassar. Pasukan gabungan ini ditempatkan di 142 pos penjagaan, dimulai dari Desa Tumora hingga ke perbatasan Sulawesi Tengah dengan Sulawesi Selatan, Desa Mayoa.[23] Pihak yang terlibatDalam kekerasan dan kerusuhan yang terjadi antara masyarakat Kristen dan Islam di ibu kota Poso, kedua belah pihak didukung oleh massa seiman dari luar kota. Masyarakat Muslim dibantu oleh orang-orang yang berasal dari Ampana yang termasuk wilayah Tojo Una-Una dan terletak di sebelah timur laut kota Poso, dan Parigi yang berada di sebelah barat Kabupaten Poso. Di sisi lain, masyarakat Kristen dibantu oleh orang-orang Lage dari desa-desa seperti Sepe dan Silanca di Kecamatan Lage, sebelah tenggara ibu kota Poso.[25] IslamMilisi yang datang dari luar Poso dan Palu yang sudah berada di Poso pada akhir tahun 2001 meliputi:
Milisi dan organisasi lokal yang berpihak pada Muslim meliputi:
KristenBerbeda dengan milisi Islam, milisi Kristen sedikit sulit untuk diidentifikasi. Salah satu di antara beberapa kelompok milisi yang berhasil diidentifikasi adalah Brigade Manguni. Milisi ini berpusat di Manado, Sulawesi Utara dengan jumlah personel sekitar 700 orang. Dalam kerusuhan Poso, pasukan ini diduga berbasis di daerah Sepe dan Silanca, Lage. Brigade Manguni memiliki divisi di masing-masing daerah yang membawahi cabang satuan. Pada fase ketiga yang berlangsung pada bulan Mei 2000, muncul milisi dengan nama Laskar Kristus. Kelompok ini disebut-sebut terdiri dari tiga kelompok, yaitu pasukan Macan, pasukan Kelelawar, dan pasukan kipas (sisiru). Kelompok lain yang terorganisir oleh warga Kristen di Poso adalah Angkatan Muda Sintuwu Maroso (ANSIMAR). Kelompok ini pada umumnya terdiri dari para kaum muda terpelajar di kota Poso. Para anggota ANSIMAR sebagian besar terdiri dari warga kelurahan Lombogia. Rumah-rumah mereka dibakar massa Islam saat fase kedua kerusuhan yang terjadi bulan April tahun 2000, sehingga sebagian besar dari mereka terpaksa mengungsi ke Tentena. Mereka tidak berpartisipasi dalam bentrokan fisik, melainkan lebih kepada upaya untuk mencari penyelesaian konflik. KorbanPertanyaan tentang jumlah korban sangat sensitif dan berunsur politis. Hal ini didorong oleh rasa keberatan yang dibuat lebih kuat oleh laporan berita yang tidak lengkap atau kabar miring tentang serangan dan desas-desus terbaru tentang pembantaian yang akan terjadi. Kurangnya pelaporan yang jelas oleh media atau investigasi oleh pemerintah, ditambah dengan medan yang luas dan durasi konflik yang panjang, menyulitkan untuk menentukan jumlah korban yang sebenarnya. Meski demikian, Human Rights Watch mencatat bahwa kedua belah pihak telah menderita banyak korban dalam kerusuhan ini.[26] Meski ada beberapa perkiraan yang mencapai sekitar 2.000 korban jiwa, sebagian besar memperkirakan antara 500 hingga 1.000 korban. Versi pemerintah, yang dikeluarkan pada tanggal 5 Desember 2001 —tepat sebelum penandatanganan Deklarasi Malino— dirinci menjadi 577 korban tewas, 384 terluka, 7.932 rumah hancur, serta 510 fasilitas umum terbakar atau rusak. Sebuah kelompok Muslim, Tim Evakuasi Pencari Fakta Korban Muslim Kerusuhan Poso (Victims of the Poso Conflict Evacuation and Fact Finding Team), mengklaim bahwa antara bulan Mei 2000 hingga Desember 2001, 840 mayat Muslim ditemukan, kebanyakan ditemukan di Sungai Poso dan hutan-hutan di tepi kota. Jumlah yang tidak diketahui juga dikatakan hilang. Kebanyakan korban jiwa diperkirakan sampai pada kerusuhan ketiga, pada bulan Mei dan Juni 2000.[27] Meskipun pertanyaan seperti ini adalah sesuatu yang dapat diselesaikan melalui penyelidikan independen secara menyeluruh, namun pengaruh lingkungan yang sangat terpolitisasi, hasil jangka panjang Deklarasi Malino, dan kelemahan Komnas HAM membuat usaha semacam itu tidak mungkin terjadi. Jika tidak dilakukan dengan tingkat profesionalisme yang tinggi, penyelidikan perihal jumlah korban bisa memperburuk kondisi lebih jauh. Tetapi rekonsiliasi juga mungkin akan terhambat, kecuali jika kedua belah pihak merasa bahwa keadilan telah ditangani dalam kejahatan terburuk. Masih ada kejahatan berat dimana tidak ada yang bertanggung jawab, seperti pembunuhan terhadap empat belas Muslim di Dusun Buyung Katedo pada bulan Juli 2001 dan serangan sporadis terhadap desa-desa Kristen pada bulan November. Keluarga dan kerabat dari mereka yang hilang —kebanyakan di antaranya diculik selama masa kerusuhan— masih menunggu informasi tentang saudara mereka yang diculik.[28] Pengungsi internalDengan gelombang kekerasan yang terus-menerus terjadi, masyarakat melarikan diri ke daerah-daerah dengan mayoritas agama yang mereka anut: Muslim pergi ke Palu, Ampana, Parigi, hingga Sulawesi Selatan, sementara Kristen melarikan diri ke Tentena dan Napu di wilayah pegunungan, atau Manado di Sulawesi Utara. Pada bulan Januari 2002, setelah Deklarasi Malino ditandatangani, angka dari kantor pemerintah untuk mengkoordinasikan respon kemanusiaan dalam konflik memperkirakan jumlah total 86.000 pengungsi di Sulawesi Tengah. Gereja Kristen Sulawesi Tengah memperkirakan 42.000 pengungsi di basis daerah Kristen di kabupaten lainnya.[29][30] Setelah Deklarasi Malino, ada beberapa kemajuan tentatif. Pada akhir Februari, 10.000 pengungsi telah kembali ke rumah, sebagian besar ke kota Poso, kecamatan Poso Pesisir, Lage, dan Tojo.[31] Pada bulan Maret 2002, Human Rights Watch menemukan bahwa banyak keluarga yang dengan ragu mengirimkan anggota keluarga laki-laki untuk kembali dan membersihkan reruntuhan dengan membangun rumah sementara, sambil menunggu untuk melihat jika situasi tetap stabil. Beberapa juga menunggu akhir tahun sekolah. Sejak itu jumlah pengungsi mulai menurun, dan perlahan-lahan, berkurang. Kantor Kesejahteraan Bangsa dan Politik Kabupaten Poso melaporkan bahwa pada pertengahan Juli 2002, 43.308 orang telah kembali ke rumah, sekitar 40 persen dari perkiraan 110.227 pengungsi.[32] Ada dua pengecualian penting untuk tren positif ini. Kekerasan baru sering membuat warga yang trauma untuk kembali melarikan diri ke daerah yang aman. Misalnya, bentrokan pada bulan Agustus 2002 memaksa sekitar 1.200 orang untuk mencari perlindungan di Tentena. Upaya pemerintah atau individu untuk membangun kembali telah terhambat oleh putaran baru kekerasan di seluruh krisis. Beberapa orang mengatakan kepada Human Rights Watch bahwa mereka telah melihat rumah mereka hancur lebih dari sekali, dan barak yang dibangun oleh pemerintah kabupaten dan TNI pada tahun 2000 sering menjadi sasaran dalam serangan. Warga Kristen di Tentena juga tidak punya rencana untuk membongkar tempat penampungan mereka yang susah payah dibangun, jika mereka membutuhkan tempat perlindungan di masa depan.[33] Pengecualian penting lainnya berkaitan dengan pengungsi yang termasuk minoritas di daerah asalnya. Pengungsi Muslim dari Tentena mengatakan kepada Human Rights Watch di Palu bahwa mereka tidak memiliki rencana untuk pulang ke rumah, meskipun sisa-sisa dari dua puluh empat orang Muslim tidak pernah meninggalkan dan melaporkan situasi aman. Beberapa pengungsi diberi akses ke tanah di daerah baru mereka, seperti daerah Nunu di Palu, dan mampu mendukung diri mereka sendiri melalui kegiatan pertanian. Pengungsi Kristen di Tentena membangun perumahan yang luas dan banyak menemukan pekerjaan di pasar kota, yang baik secara ekonomi karena perjalanan ke pasar lain dibatasi. Di daerah dengan tanah atau pekerjaan yang langka, kondisi justru jauh lebih buruk. Sebuah LSM lokal melaporkan pada Agustus 2002 bahwa kebutuhan dasar pengungsi tidak terpenuhi, seperti kurangnya nutrisi dan gizi pada anak, serta diare yang meluas, penyakit kulit, dan tetanus dari luka tembakan.[34] Dalam sebuah penilaian kesehatan mental oleh pemerintah pada tahun 2001, mengindikasikan bahwa lebih dari 55 persen dari mereka yang mengungsi menderita masalah psikologis, sedangkan masalah kesehatan utama adalah malaria, gangguan pernafasan, masalah lambung-usus, dan penyakit kulit.[35][f] Lihat jugaCatatan
Referensi
Daftar pustakaBuku
Jurnal
Laporan
SumberBuku
Jurnal
Laporan
|