Pemberontakan di Aceh
Pemberontakan di Aceh oleh pemerintah Indonesia, adalah konflik yang dilancarkan oleh Gerakan Aceh Merdeka (GAM) antara tahun 1976 dan 2005, dengan tujuan menjadikan provinsi Aceh merdeka dari Indonesia. Pasca serangan militer yang kuat pada tahun 2003 dan gempa bumi Samudra Hindia 2004 menghasilkan kesepakatan damai dan diakhirinya pemberontakan.[11] Latar belakangAda perbedaan budaya dan agama antara Aceh dan daerah lain di Indonesia. Bentuk Islam yang lebih konservatif dianut di Aceh dibandingkan daerah lain di Indonesia. Kebijakan sekuler yang bersifat umum pada rezim Soeharto Orde Baru (1965–1998) khususnya tidak populer di Aceh karena banyak orang yang membenci kebijakan pemerintah pusat yang mempromosikan persatuan dan kesatuan 'Budaya Indonesia'.[12] Lebih jauh lagi, mengingat letak provinsi ini yang berada di ujung utara Indonesia, terdapat perasaan yang tersebar luas di provinsi ini bahwa para pemimpin di wilayah yang jauh dari Jakarta tidak memahami permasalahan Aceh dan kurang atau tidak mempunyai simpati terhadap kebutuhan dan adat istiadat setempat di Aceh.[13] Garis waktuTahap pertamaKecenderungan sentralistik pemerintahan Soeharto, serta keluhan-keluhan lainnya, menyebabkan Hasan di Tiro membentuk Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada tanggal 4 Desember 1976 dan mendeklarasikan kemerdekaan Aceh. Ancaman utama yang dirasakan adalah terhadap agama dan budaya Aceh dari pemerintahan "neo-kolonial" dan meningkatnya jumlah migran Orang Jawa yang datang ke Aceh. Permasalahan lainnya adalah distribusi pendapatan yang tidak adil dari sumber daya alam Aceh yang melimpah. Operasi pertama GAM pada tahun 1977 dilakukan terhadap Mobil Oil Indonesia yang merupakan pemegang saham PT Arun, perusahaan yang mengoperasikan ladang gas Arun.[butuh rujukan] Pada tahap ini, jumlah yang dimobilisasi oleh GAM sangat terbatas. Meskipun terdapat banyak ketidakpuasan dan simpati masyarakat Aceh terhadap perjuangan GAM, hal ini tidak berarti partisipasi aktif masyarakat.[14] Menurut penuturan Di Tiro sendiri, hanya 70 orang laki-laki yang bergabung dengannya dan mereka sebagian besar berasal dari Kabupaten Pidie dan terutama dari desa tempat Di Tiro sendiri—ada yang bergabung karena kesetiaan pribadi kepada keluarga di Tiro dan ada pula yang karena alasan kesetiaan pribadi kepada keluarga Di Tiro kekecewaan terhadap pemerintah pusat.[14] Banyak pemimpin GAM adalah para profesional muda dan berpendidikan tinggi yang merupakan anggota masyarakat kelas atas dan menengah di masyarakat Aceh.[15] Kabinet pertama GAM, yang dibentuk oleh di Tiro selama berada di Aceh antara tahun 1976 dan 1979, terdiri dari Pemberontakan Darul Islam berikut:[16]
Kalangan menengah dan rakyat jelata pernah bertempur dalam Pemberontakan Darul Islam tahun 1953–1959.[14] Banyak dari mereka adalah orang-orang lanjut usia yang tetap setia kepada bekas Aceh. gubernur militer dan pemimpin pemberontakan Darul Islam di Aceh Daud Beureueh.[17] Tokoh yang paling menonjol dalam kelompok ini adalah Teungku Ilyas Leube, seorang ulama terkenal yang pernah menjadi pemimpin pemberontakan Darul Islam.[17] Beberapa anggota Darul Islam kemungkinan memiliki hubungan dengan Di Tiro melalui ikatan keluarga atau daerah, namun kesetiaan mereka terutama diberikan kepada Beureueh.[17] Orang-orang ini memberikan pengetahuan militer, pengetahuan lokal, dan keterampilan logistik yang yang tidak dimiliki oleh para pemimpin muda terpelajar.[17] Pada akhir tahun 1979, tindakan penindasan yang dilakukan Indonesia telah menghancurkan GAM—para pemimpinnya diasingkan, dipenjarakan, atau dibunuh; pengikutnya dibubarkan dan didorong ke bawah tanah.[18] Para pemimpin seperti di Tiro, Zaini Abdullah (Menteri Kesehatan GAM), Malik Mahmud (Menteri Negara GAM), dan Dr. Husaini M. Hasan (Menteri Pendidikan GAM) telah melarikan diri ke luar negeri dan kabinet GAM yang asli tidak lagi berfungsi.[19] Tahap keduaPada tahun 1985, di Tiro mendapatkan dukungan Libya untuk GAM—memanfaatkan kebijakan Muammar Gaddafi yang mendukung pemberontakan nasionalis melalui apa yang disebut Mathaba Melawan Imperialisme, Rasisme, Zionisme dan Fasisme.[20] Tidak jelas apakah Libya kemudian mendanai GAM, namun yang jelas Libya menyediakan tempat perlindungan di mana anggota GAM dapat menerima pelatihan militer yang sangat dibutuhkan.[20] Ada perbedaan pendapat mengenai jumlah pejuang yang dilatih oleh Libya selama periode 1986 hingga 1989 atau 1990.[20] Perekrut GAM menyatakan bahwa ada sekitar 1.000 hingga 2.000 orang, sementara laporan pers yang diambil dari laporan militer Indonesia menyatakan bahwa jumlah mereka berjumlah 600 orang. hingga 800.[20] Di antara para pemimpin GAM yang bergabung pada fase ini adalah Sofyan Dawood (yang kemudian menjadi komandan GAM Pasè, Aceh Utara) dan Ishak Daud (yang menjadi juru bicara GAM Peureulak, Aceh Timur).[21] Insiden pada tahap kedua dimulai pada tahun 1989 setelah kembalinya para peserta pelatihan dari Libya.[22] Operasi yang dilakukan GAM meliputi perampasan senjata, penyerangan terhadap pos polisi dan militer, pembakaran dan pembunuhan yang ditargetkan terhadap personel polisi dan militer, informan pemerintah dan individu lainnya.[22] Meskipun gagal mendapatkan dukungan luas, tindakan kelompok ini menyebabkan pemerintah Indonesia melakukan tindakan represif. Periode antara tahun 1989 dan 1998 dikenal sebagai era "Daerah Operasi Militer" (DOM) ketika militer Indonesia meningkatkan upaya pemberantasan pemberontakannya. tindakan.[18] Tindakan ini, meskipun secara taktis berhasil menghancurkan GAM sebagai kekuatan gerilya, namun mengasingkan masyarakat Aceh setempat yang membantu GAM membangun kembali dirinya ketika militer Indonesia hampir ditarik seluruhnya dari Aceh atas perintah presiden Habibie pada akhir tahun 1998.[23] Komandan penting GAM terbunuh (Komandan Distrik Pasè Yusuf Ali dan Panglima Senior GAM Keuchik Umar), ditangkap (Ligadinsyah Ibrahim) atau melarikan diri (Robert, Arjuna dan Daud Kandang).[24] Tahap ketigaPada tahun 1999, terjadi kekacauan di Jawa dan pemerintah pusat yang tidak efektif karena jatuhnya Soeharto memberikan keuntungan bagi Gerakan Aceh Merdeka dan mengakibatkan pemberontakan tahap kedua, kali ini dengan dukungan yang besar dari masyarakat Aceh.[25] Pada tahun 1999, penarikan pasukan diumumkan, namun situasi keamanan yang memburuk menyebabkan masuknya kembali lebih banyak tentara. Jumlah pasukan diyakini meningkat selama masa jabatan Presiden Megawati Soekarnoputri (2001–2004) menjadi sekitar 15.000 pada pertengahan tahun 2002. GAM mampu menguasai 70 persen pedesaan di seluruh Aceh.[26] Tahun 1999 juga merupakan tahun dimulainya proses dialog pertama antara Pemerintah Indonesia dan GAM.[27] Proses ini diprakarsai oleh Pusat Dialog Kemanusiaan (HD) sebuah organisasi diplomasi swasta yang memfasilitasi pembicaraan damai antara kedua belah pihak hingga tahun 2003.[28] Selama fase ini, terdapat dua periode penghentian permusuhan singkat yang ditengahi oleh HD: "Humanitarian Pause"[28][29] pada tahun 2000 dan "Cessation of Hostilities Agreement" (COHA). COHA ditandatangani pada bulan Desember 2002. Penerapan Jeda Kemanusiaan dan COHA menghasilkan berkurangnya bentrokan bersenjata dan kekerasan di Aceh.[30] COHA berakhir pada bulan Mei 2003 ketika pemerintah Indonesia mendeklarasikan “darurat militer” di Aceh dan mengumumkan bahwa mereka ingin menghancurkan GAM untuk selamanya.[31] Untuk melepaskan diri dari penekanannya pada cara-cara militer untuk mencapai kemerdekaan, GAM mengubah posisinya menjadi mendukung diadakannya referendum. Pada demonstrasi pro-referendum tanggal 8 November 1999 di Banda Aceh, GAM memberikan dukungan dengan menyediakan transportasi bagi pengunjuk rasa dari daerah pedesaan ke ibu kota provinsi.[32] Pada tanggal 21 Juli 2002, GAM juga mengeluarkan Deklarasi Stavanger setelah pertemuan Perwakilan Aceh Sedunia di Stavanger, Norwegia.[33] Dalam deklarasi tersebut, dinyatakan bahwa "Negara Aceh menerapkan sistem demokrasi."[33] Aspinall melihat bahwa dorongan demokrasi dan hak asasi manusia di dalam tubuh GAM merupakan dampak dari upaya masyarakat Aceh yang berbasis perkotaan. kelompok yang mempromosikan nilai-nilai tersebut di lingkungan yang lebih bebas dan terbuka setelah jatuhnya Soeharto dari kekuasaan.[34] Tindakan keras keamanan pada tahun 2001 dan 2002 mengakibatkan ribuan warga sipil tewas. Sepanjang konflik diperkirakan 15.000 orang telah terbunuh. Pemerintah melancarkan sebuah serangan dan keadaan darurat diumumkan di Provinsi tersebut. Selama periode ini, GAM mengalami cacat parah dengan komandannya Abdullah Syafei terbunuh dalam penyergapan pemerintah pada bulan Januari 2002, sementara berbagai komandan daerah seperti Tengku Jamaika dan Ishak Daud juga terbunuh. Menurut pengakuan GAM sendiri, GAM kehilangan 50% kekuatannya selama serangan pemerintah pada tahun 2003–2005. Pemberontakan masih berlangsung ketika bencana tsunami tahun 2004 melanda provinsi tersebut. Pada bulan November 2003, darurat militer diperpanjang selama enam bulan berikutnya. Menurut laporan Human Rights Watch,[35] militer Indonesia melakukan pelanggaran hak asasi manusia secara luas selama invasi dan pendudukan, dengan lebih dari 100.000 orang mengungsi dalam tujuh bulan pertama darurat militer dan pembunuhan di luar proses hukum merupakan hal biasa. Kesepakatan damai dan pilkada pertamaSetelah tsunami dahsyat pada bulan Desember 2004, GAM mendeklarasikan gencatan senjata sepihak, dan anggota komunitas internasional menegaskan kembali perlunya menyelesaikan konflik tersebut. Dari sekian banyak kisah proses negosiasi, salah satunya dari pihak Indonesia terdapat dalam buku yang ditulis oleh negosiator utama Indonesia, Hamid Awaludin.[36] Penjelasan berbeda ditulis oleh penasihat GAM, Damien Kingsbury: 'Perdamaian di Aceh: Kisah Pribadi Proses Perdamaian Aceh[37] Meskipun ada gencatan senjata sepihak yang dilakukan GAM, TNI terus melakukan serangan terhadap personel dan posisi GAM. Karena adanya gerakan separatis di wilayah tersebut, pemerintah Indonesia menerapkan pembatasan akses terhadap pers dan pekerja bantuan. Namun setelah tsunami, pemerintah Indonesia membuka wilayah tersebut untuk menerima bantuan internasional.[38] Tsunami menarik perhatian internasional terhadap konflik tersebut. Upaya perdamaian sebelumnya telah gagal, namun karena sejumlah alasan, termasuk tsunami, ketidakmampuan kedua belah pihak untuk memenangkan konflik secara militer dan, terutama, keinginan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk menjamin perdamaian di Indonesia, sebuah perdamaian. kesepakatan dicapai pada tahun 2005 setelah 29 tahun perang. Indonesia pasca-Soeharto dan periode reformasi demokrasi liberal, serta perubahan dalam militer Indonesia, membantu menciptakan lingkungan yang lebih mendukung perundingan perdamaian. Peran Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla yang baru terpilih sangatlah penting.[39] Pada saat yang sama, kepemimpinan GAM sedang mempertimbangkan kembali pilihan-pilihan yang ada, dan Militer Indonesia telah menempatkan gerakan pemberontak di bawah tekanan yang signifikan sehingga mendorong GAM untuk menerima hasil yang tidak berarti kemerdekaan penuh.[40] Pembicaraan damai difasilitasi oleh Crisis Management Initiative dan dipimpin oleh mantan Presiden Finlandia Martti Ahtisaari. Perjanjian perdamaian yang dihasilkan[41] ditandatangani pada tanggal 15 Agustus 2005 di Helsinki. Berdasarkan perjanjian tersebut, Aceh akan menerima otonomi khusus di bawah Republik Indonesia, dan pasukan pemerintah non-organik (yaitu non-asli Aceh) akan ditarik dari provinsi tersebut (hanya menyisakan 25.000 tentara) sebagai imbalan atas perlucutan senjata GAM. Sebagai bagian dari perjanjian tersebut, Uni Eropa mengirimkan 300 pemantau. Misi mereka berakhir pada 15 Desember 2006, setelah pemilihan kepala daerah. Aceh telah diberikan otonomi yang lebih luas melalui Peraturan Pemerintah Aceh yang mencakup hak-hak khusus yang disepakati pada tahun 2002 serta hak masyarakat Aceh untuk mendirikan partai politik lokal untuk mewakili kepentingan mereka. Namun, para aktivis hak asasi manusia menggarisbawahi bahwa pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di provinsi ini perlu diatasi.[42] Pada pemilihan gubernur provinsi yang diadakan pada bulan Desember 2006, mantan GAM dan partai nasional berpartisipasi. Pemilu ini dimenangkan oleh Irwandi Yusuf, yang basis pendukungnya sebagian besar adalah mantan anggota GAM.[43] Kemungkinan penyebab konflikSejarahKawasan ini pertama kali jatuh ke tangan kekuasaan Belanda akibat ekspedisi Belanda di pantai barat Sumatera pada tahun 1831. Akademis dari ANU Edward Aspinall berpendapat bahwa pengalaman sejarah Aceh selama Revolusi Nasional Indonesia menyebabkan munculnya separatisme Aceh. Peristiwa masa lalu menyebabkan perkembangan selanjutnya. Dia berargumen bahwa pemberontakan Aceh di bawah pemerintahan Indonesia terjadi berdasarkan jalur sejarah Aceh. Hal ini bisa ditelusuri ke konflik kepentingan dan peristiwa-peristiwa tertentu dalam sejarah Aceh, terutama otonomi yang didapat oleh para ulama Aceh selama revolusi nasional dan kehilangan yang dramatis setelah kemerdekaan Indonesia.[44] Aspinall berpendapat lebih lanjut bahwa ada dua tonggak jalan sejara berkembangnya separatisme Aceh:
Argumen oleh Aspinall di atas bertentangan dengan pandangan ulama sebelumnya. Sebelumnya pada 1998, Geoffrey Robinson berpendapat bahwa kekalahan dan penyerahan pemberontakan yang dipimpin Daud Beureueh pada 1962 diikuti oleh sekitar 15 tahun periode di mana tidak ada masalah keamanan atau politik khusus di Aceh terhadap pemerintah pusat.[48] Tim Kell juga menunjukkan bahwa mantan pemimpin-pemimpin pemberontakan Darul Islam 1953-1962 telah dengan niat bergabung dengan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia dalam operasi penumpasan berdarah Partai Komunis Indonesia (PKI) pada tahun 1965 dan 1966.[49] AgamaAceh memiliki penganut Islam sebagai kelompok agama mayoritas. Namun, secara umum diakui bahwa Aceh adalah daerah di mana Islam pertama kali masuk ke kepulauan Melayu. Kerajaan Islam pertama yang dikenal adalah Pasai (dekat Lhokseumawe sekarang di Aceh Utara) yang didirikan pertengahan abad ke-13. Bukti arkeologis paling awal yang ditemukan untuk mendukung pandangan ini adalah batu makam Sultan Malik al-Saleh yang meninggal pada tahun 1297. Dalam abad-abad berikutnya, Pasai dikenal sebagai pusat pembelajaran agama Islam dan model "pemerintahan Islam" di mana kerajaan lain di kepulauan Melayu melihat untuk belajar.[50] Bagian identitas Aceh yang berbeda dari daerah lainnya ini berasal dari statusnya tersebut, sebagai wilayah Islam awal dan contoh untuk kesultanan-kesultanan lain di kepulauan Melayu. Keterpisahan Aceh dari daerah lain di Indonesia karena agama Islam ini bisa dilihat dari sejarah, terutama dari pembentukan Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA) tahun 1939 oleh ulama Islam modernis Aceh. Organisasi ini secara eksklusif beranggotakan suku Aceh. Perlu dicatat bahwa di Aceh sendiri, sebagian besar ormas pan-Indonesia telah lemah, bahkan Muhammadiyah, organisasi terbesar bagi umat Islam yang berhaluan modernis di Indonesia, gagal membuat terobosan di Aceh di luar daerah perkotaan dan sebagian besar anggotanya beretnis non-Aceh.[51] Namun, juga perlu dicatat bahwa meskipun organisasi PUSA bersifat parokial, organisasi ini tetap diidentifikasi berhaluan pan-Islamisme di mana tujuannya adalah untuk semua umat Islam untuk bersatu di bawah syariah.[52] Faktor penyebab keagamaan lain bagi separatisme di Aceh adalah perlakuan yang didapat kelompok Muslim dan partai politik di Aceh oleh administrasi Orde Baru rezim Presiden Soeharto. Pertama, adanya penggabungan paksa semua partai politik yang mewakili kepentingan Islam ke dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP) pada tahun 1973. Anggota dan simpatisan partai politik Islam di Aceh mengalamiberbagai tingkat pelecehan.[53] Walaupun Aceh mempunyai status wilayah khusus, Aceh tidak diizinkan untuk menerapkan syariah atau untuk mengintegrasikan sekolah-sekolah agama Islam (madrasah) dengan sekolah-sekolah nasional untuk menjadi sistem pendidikan terpadu, kedua proposal Aceh ini diabaikan oleh pemerintah pusat.[54] Meskipun Indonesia adalah negara bermayoritas penduduk Muslim, dengan membangun adanya "konsepsi diri" di Aceh akan perannya dalam Islam dan dengan adanya sikap bermusuhan Orde Baru terhadap pengaruh sosial dalam bentuk-bentuk Islam di Aceh, GAM mampu membingkai perjuangan mereka melawan pemerintah Indonesia sebagai "prang sabi" ("perang suci" atau "jihad" menurut Islam). Dalam banyak cara yang sama, istilah ini banyak digunakan dalam "Perang Kafir" (atau Perang Aceh) melawan Belanda tahun 1873-1913. Indikasi tentang ini adalah peminjaman istilah-istilan dalam buku Hikayat Prang Sabi ("Cerita Perang Suci"), sebuah kumpulan cerita Aceh yang digunakan untuk menginspirasi perlawanan terhadap Belanda, oleh beberapa simpatisan GAM sebagai propaganda melawan pemerintah Indonesia. Sebelum gelombang kedua pemberontakan oleh GAM pada akhir 1980-an, telah diamati bahwa beberapa orang telah memaksa anak-anak sekolah Aceh untuk malah menyanyikan lagu Hikayat Prang Sabi, daripada lagu nasional Indonesia, Indonesia Raya.[22] Bahan publikasi politik GAM juga menggambarkan Pancasila, ideologi negara resmi Indonesia sebagai "ajaran politeistik" yang dilarang oleh Islam.[55] Kendati hal di atas, terlihat bahwa pada masa setelah jatuhnya Soeharto pada tahun 1998, agama Islam sebagai faktor pendorong separatisme Aceh mulai mereda, bahkan setelah terjadi proliferasi munculnya serikat mahasiswa Muslim dan kelompok-kelompok ormas Islam lainnya di Aceh. Telah dicatat bahwa kelompok-kelompok baru yang muncul tersebut jarang menyerukan pelaksanaan syariah di Aceh. Sebaliknya, mereka menekankan perlunya referendum kemerdekaan Aceh dan menyoroti pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (TNI) di Aceh.[56] Demikian pula, posisi GAM pada syariah juga bergeser. Ketika pemerintah pusat mengeluarkan UU Nomor 44/1999 tentang Otonomi Aceh yang mencakup ketentuan pelaksanaan syariah di Aceh, GAM malah mengutuk langkah pemerintah Indonesia tersebut sebagai tidak relevan dan mungkin upaya untuk menipu Aceh atau menggambarkan mereka ke dunia luar sebagai fanatik agama.[57] Meskipun mengubah sikap terhadap syariah, posisi GAM tidaklah jelas. Hal ini dicatat oleh International Crisis Group (ICG) bahwa antara tahun 1999 dan 2001, terjadi beberapa kasus secara periodik di mana komandan militer lokal GAM memaksakan penerapan hukum syariah di masyarakat Aceh di mana mereka memiliki pengaruh. [58] Aspinall mengamati bahwa secara keseluruhan, posisi GAM yang berubah-ubah terhadap syariah dan Islam di Aceh tergantung pada lingkungan internasional dan negara yang mereka inginkan dukungannya untuk kemerdekaan mereka, yaitu: jika negara Barat yang mereka anggap penting, Islam akan tidak ditekankan, namun jika negara-negara Islam yang dianggap penting, Islam akan sangat ditekankan.[59] Keluhan ekonomiMasalah utama yang berkaitan dengan masalah ekonomi Aceh adalah terkait pendapatan yang diperoleh dari industri minyak dan gas di Aceh. Robinson berpendapat bahwa manajemen Orde Baru, eksploitasi sumber daya alam Aceh dan pembagian yang tidak adil dari sumber daya tersebut adalah akar penyebab pemberontakan Aceh.[60] Dari tahun 1970-an sampai pertengahan 1980-an, Aceh telah mengalami "booming LNG" setelah penemuan gas alam di pantai timur laut provinsi Aceh. Selama periode yang sama, Aceh menjadi sumber pendapatan utama bagi pemerintah pusat. Pada tahun 1980, Aceh memberikan kontribusi yang signifikan kepada ekspor Indonesia ketika menjadi sumber ekspor terbesar ketiga setelah provinsi Kalimantan Timur dan Riau.[61] Meskipun demikian, hampir semua pendapatan minyak dan gas dari kegiatan produksi dan ekspor di Aceh dialokasikan ke pemerintah pusat baik secara langsung maupun melalui perjanjian bagi hasil dengan perusahaan minyak negara Pertamina.[62] Selain itu, pemerintah pusat tidak kembali menginvestasikan cukup banyak pendapatan tersebut kembali ke provinsi Aceh.[63] Hal ini menyebabkan beberapa teknokratis Aceh yang mulai menonjol saat itu untuk mengeluh bahwa provinsi Aceh telah diperlakukan tidak adil secara ekonomi dan bahwa Aceh telah terpinggirkan dan diabaikan sebagai daerah pinggiran.[64] Robinson mencatat bahwa meskipun beberapa pengusaha bisnis yang kecil di Aceh telah mendapat manfaat dari masuknya modal asing selama booming LNG, ada banyak yang merasa dirugikan saat kalah dari orang lain dengan koneksi politik yang lebih kuat ke pemerintah pusat, terutama pemimpin GAM sendiri, yaitu Hasan di Tiro. Hasan di Tiro adalah salah satu pihak yang dirugikan ketika ia mengajukan tawaran kontrak pipa minyak untuk Mobil Oil Indonesia pada tahun 1974, namun dikalahkan oleh sebuah perusahaan Amerika Serikat.[65] Robinson mencatat waktu deklarasi kemerdekaan GAM pada bulan Desember 1976 dan aksi militer pertama GAM pada tahun 1977 terhadap Mobil Oil terjadi pada waktu yang sama ketika fasilitas ekstraksi dan pengolahan gas alam telah diresmikan.[66] Memang, dalam deklarasi kemerdekaan GAM, GAM mengklaim sebagai berikut:
Walaupun demikian, Robinson mencatat bahwa meskipun faktor ini menjelaskan sebagian alasan munculnya pemberontakan GAM pada pertengahan 1970-an, hal ini tidak menjelaskan munculnya kembali GAM pada tahun 1989 dan tingkat kekerasan yang tidak pernah dilihat sebelumnya sejak saat itu.[68] Aspinall juga mendukung sudut pandang ini dan berpendapat bahwa meskipun keluhan mengenai sumber daya alam dan ekonomi tidak boleh dihiraukan sebagai penyebab, faktor ini bukan penyebab secara keseluruhan, dengan contoh provinsi Riau dan Kalimantan Timur yang juga menghadapi eksploitasi ekonomi yang sama atau bahkan lebih buruk oleh pemerintah pusat, tetapi tidak memunculkan pemberontakan separatis karena perbedaan kondisi politik.[69] Dia melanjutkan bahwa keluhan berlatar ekonomi dan sumber daya alam telah menjadi sarana bagi GAM untuk meyakinkan masyarakat Aceh bahwa mereka harus meninggalkan harapan untuk perlakuan khusus dan otonomi di Indonesia dan sebaliknya berjuang untuk memulihkan kejayaan Aceh dengan mendapat kemerdekaan.[69] Peran GAM dalam memprovokasi keluhanPendiri GAM, Hasan di Tiro dan rekan-rekan pemimpin GAM-nya yang ada di pengasingan di Swedia berperan penting dalam memberikan pesan yang mudah dimengerti tentang kebutuhan dan hak penentuan nasib sendiri untuk Aceh. Oleh karena itu, argumen tentang "perlunya kemerdekaan" Aceh ditargetkan oleh GAM pada penduduk domestik Aceh, sedangkan argumen "hak untuk merdeka" ditargetkan pada komunitas internasional untuk memenangkan dukungan diplomatik terhadap GAM. Dalam propaganda tersebut, Kesultanan Aceh yang telah lama bubar berperan sebagai aktor yang seolah "masih ada" di panggung internasional dengan penekanan pada hubungan masa lalu Kesultanan Aceh dengan negara-negara Eropa, seperti misi diplomatik, perjanjian, serta pernyataan pengakuan kedaulatan Kesultanan Aceh pada masa lampau.[70] Sesuai dengan logika ini, Aceh yang berdaulat(dan diwakili oleh GAM) akan menjadi negara penerus Kesultanan Aceh yang telah dibubarkan pasca kekalahan pada Belanda setelah Perang Aceh (1873-1914).[70] Perang Aceh kemudian dipandang oleh masyarakat Aceh sebagai perbuatan agresi militer oleh Belanda dan penggabungan Aceh ke Indonesia pada tahun 1949 dianggap sebagai perpanjangan pendudukan yang tidak sah oleh Belanda tersebut.[70] Argumen ini ditargetkan oleh GAM pada masyarakat Aceh sendiri serta komunitas internasional, yaitu melalui seruan pada hukum internasional. Dalam nada yang sama, negara Indonesia telah dilabeli oleh propaganda GAM sebagai kedok dominasi Jawa. Dalam deskripsi di Tiro sendiri:
Upaya untuk menyebarkan propaganda GAM banyak mengandalkan dari mulut ke mulut. Elizabeth Drexler (akademis Universitas Pennsylvania) telah mengamati bahwa masyarakat Aceh dan pendukung GAM sering mengulangi klaim yang sama yang dibuat dalam propaganda GAM yang mereka telah datangi melalui modus penyebaran ini.[72] Almarhum M. Isa Sulaiman (penulis buku "Sejarah Aceh") menulis bahwa ketika di Tiro pertama kali memulai kegiatan separatis itu antara tahun 1974 dan 1976, ia mengandalkan jaringan kerabatnya dan sejumlah intelektual muda yang berpikiran sama untuk menyebarkan pesannya yang kemudian memperoleh massa simpatisan, khususnya di Medan, Sumatera Utara.[73] Aspinall juga menuliskan ingatan para simpatisan GAM tentang hari-hari awal pemberontakan di mana mereka akan menyebarkan pamflet kepada teman atau menyelipkannya secara anonim di bawah pintu kantor rekan-rekan mereka.[74] Namun hasil dari upaya propaganda tersebut cukup berbeda-beda. Eric Morris ketika mewawancarai pendukung GAM tahun 1983 untuk tesisnya mencatat bahwa, daripada untuk kemerdekaan, para pendukung GAM lebih tertarik baik pada sebuah negara Islam Indonesia atau bagi Aceh untuk diperlakukan lebih adil oleh pemerintah pusat.[75] Aspinall juga mencatat bahwa untuk beberapa daerah, GAM tidak membedakan dirinya dari Darul Islam atau Partai Persatuan Pembangunan yang berkampanye di atas panggung Islam untuk Pemilu legislatif Indonesia tahun 1977.[76] Namun bagi individu yang telah menjadi pendukung inti GAM, pesan kemerdekaan yang ditemukan dalam propaganda GAM dipandang sebagai pewahyuan Islam dan banyak yang merasakan momen kebangkitan Islam.[76] Kemungkinan faktor konflik berkepanjanganDaya tahan jaringan GAMBanyak anggota GAM adalah entah anggota pemberontakan Darul Islam atau anak-anak dari mereka. Aspinall mencatat bahwa hubungan kekerabatan, antara ayah dan anak serta antara saudara, telah menjadi penting dalam membentuk solidaritas GAM sebagai sebuah organisasi.[77] Banyak yang merasa bahwa mereka sedang melanjutkan aspirasi ayah, paman, saudara atau sepupu laki-laki yang biasanya adalah orang-orang yang melantik mereka menjadi anggota GAM; dan orang-orang yang aktivitas atau kematiannya di tangan aparat keamanan negara telah mengilhami mereka untuk bergabung dengan GAM.[77] Konstituen GAM juga sering merupakan penduduk masyarakat pedesaan di mana semua orang tahu dan kenal erat dengan tetangga mereka.[77] Adanya pertalian erat ini memungkinkan kesinambungan serta resistensi tingkat tinggi terhadap infiltrasi oleh aparat intelijen negara. Aspinall juga mengakui kuatnya ketahanan GAM ada pada strukturnya yang seperti sel pada tingkat yang lebih rendah. Tingkat di bawah komandan militer regional (atau panglima wilâyah) adalah satuan yang diperintah oleh komandan junior (panglima muda) dan bahkan komandan tingkat yang lebih rendah (Panglima Sagoe dan Ulee Sagoe) yang tidak mengetahui identitas rekan-rekan mereka di daerah tetangga dan hanya mengenal mereka yang langsung berpangkat di atas mereka.[78] Karakter ini memungkinkan GAM untuk bertahan sebagai sebuah organisasi meskipun ada di bawah upaya penekanan kuat oleh aparat keamanan negara Indonesia. Pelanggaran HAM oleh militer IndonesiaRobinson mengatakan bahwa penggunaan teror oleh militer Indonesia dalam aksi kontra-pemberontakan melawan GAM dalam periode rezim Orde Baru pertengahan 1990 (dalam tahap kedua pemberontakan) telah menyebabkan meluasnya dukungan dari masyarakat Aceh yang terpengaruh oleh kebijakan militer Indonesia tersebut, dan mendorong mereka untuk menjadi lebih simpatik dan mendukung GAM.[79] Ia menilai bahwa metode militer tersebut malah memiliki efek meningkatkan tingkat kekerasan, mengganggu masyarakat Aceh, dan luka yang ditimbulkan terbukti sulit untuk disembuhkan.[79] Amnesty International mencatat:
Amnesty International mendokumentasikan penggunaan penangkapan sewenang-wenang, penahanan di luar legalitas, eksekusi, perkosaan dan pembumi-hangusan sebagai karakter operasi militer Indonesia terhadap GAM sejak tahun 1990. Di antara tindakan yang lebih mengerikan diamati oleh Amnesty International adalah pembuangan publik mayat-mayat korban eksekusi (atau Penembakan Misterius) yang dilakukan sebagai peringatan untuk orang Aceh untuk menahan diri dari bergabung atau mendukung GAM. Berikut ini adalah deskripsi tindakan tersebut oleh Amnesty International:
Taktik TNI lain yang dipertanyakan adalah aktivitas yang disebut "operasi sipil-militer" di mana warga sipil dipaksa untuk berpartisipasi dalam intelijen dan operasi keamanan. Sebuah contoh terkenal dari hal ini adalah Operasi Pagar Betis seperti yang dijelaskan oleh Amnesty International berikut:
Kepentingan militer Indonesia di AcehDamien Kingsbury, yang menjabat sebagai penasihat informal pimpinan GAM di Swedia selama Perundingan Damai Helsinki 2005, menyatakan bahwa militer Indonesia memiliki kepentingan tersembunyi di Aceh sehingga mereka sengaja menjaga konflik supaya tetap terjadi di tingkat yang akan membenarkan kehadiran mereka di provinsi bergolak tersebut.[81] ICG juga menegaskan dalam sebuah laporan tahun 2003 bahwa, "Aceh (adalah) tempat yang terlalu menguntungkan untuk para perwira militer yang sangat bergantung pada pendapatan yang bersumber non-anggaran ."[82] Kingsbury menguraikan berikut sebagai kegiatan usaha yang diduga dilakukan oleh militer Indonesia di Aceh:[83]
Kemungkinan faktor resolusi damaiMelemahnya posisi militer GAMDinyatakannya status darurat militer di Aceh oleh pemerintah Indonesia pada Mei 2003 menghasilkan perlawanan terpadu oleh militer Indonesia terhadap GAM. ICG melaporkan bahwa pada pertengahan 2004, jalur pasokan dan komunikasi GAM terganggu secara serius.[85] GAM juga makin sulit berpindah-pindah dan keberadaan mereka di kawasan perkotaan hilang sepenuhnya.[85] Akibatnya, komando GAM di Pidie menginstruksikan kepada semua komandan lapangan melalui telepon agar mundur dari sagoe (subdistrik) ke daerah (distrik) dan aksi militer hanya dapat dilaksanakan jika ada perintah dari komandan daerah disertai izin komandan wilayah.[85] Sebelumnya, saat GAM masih kuat, satuan tingkat sagoe-nya memiliki otonomi komando yang lebih besar sehingga mampu melancarkan aksi militer atas kemauannya sendiri.[85] Menurut Endriartono Sutarto yang saat itu menjabat Komandan Jenderal ABRI, pasukan keamanan Indonesia berhasil mengurangi jumlah pasukan GAM sebanyak 9.593 orang — yang diduga mencakup anggota yang menyerahkan diri, ditangkap, dan tewas dalam baku tembak.[86] Meski meragukan keakuratan jumlah tersebut, banyak pemantau sepakat bahwa tekanan militer yang baru terhadap GAM pasca penerapan darurat militer memberikan pukulan telak bagi GAM.[87] Akan tetapi, Aspinall mencatat bahwa sebagian besar petinggi GAM yang ia wawancarai, terutama petugas lapangan, bersikeras bahwa mereka mengakui MoU Helsinki bukan karena militer mereka semakin lemah.[88] Mantan pemimpin GAM Irwandi Yusuf, yang kelak menjadi Gubernur Aceh melalui pilkada langsung tanggal 11 Desember 2006, mengaku bahwa bukannya bubar, situasi GAM justru membaik sejak anggota yang sakit dan lemah ditangkap militer Indonesia sehingga anggota di lapangan tidak terbebani oleh mereka.[88] Walaupun pasukan GAM tetap komit melanjutkan perjuangan mereka, para petinggi GAM mungkin sudah putus asa membayangkan mungkinkah mencapai kemenangan militer atas pasukan pemerintah Indonesia.[88] Kata mantan perdana menteri GAM Malik Mahmud kepada Aspinall bulan Oktober 2005: "Strategi yang diterapkan oleh kedua pihak berujung pada kebuntuan yang sangat merugikan".[89] Saat diwawancarai Jakarta Post tentang apakah mengakui MoU Helsinki adalah tindakan pencitraan oleh GAM pasca kemunduran militernya, Malik menjawab:
Tekanan internasionalOpini internasional pasca-tsunami juga lebih condong ke dialog damai Helsinki yang dilaksanakan antara pemerintah Indonesia dan GAM. Kedua pihak mengirimkan pejabat tertingginya sebagai negosiator, sementara perwakilan pada dialog Cessation of Hostilities Agreement (CoHA) yang ditandatangani bulan Desember 2002 adalah perwakilan yang cenderung masih di tingkat junior. Para petinggi GAM juga menilai bahwa selama dialog damai Helsinki tidak ada komunitas internasional yang mendukung aspirasi kemerdekaan Aceh.[91] Tentang hal ini, Malik berkata:
Saat menjelaskan kepada para komandan GAM mengenai penerimaan tawaran pemerintahan sendiri alih-alih melanjutkan perjuangan kemerdekaan, para petinggi GAM menegaskan bahwa jika mereka terus memaksa menuntut kemerdekaan setelah tsunami 2004, mereka akan terancam dikucilkan oleh komunitas internasional.[92] Pergantian kepemimpinan Indonesia 2004Pada Oktober 2004, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Wakil Presiden Jusuf Kalla dilantik setelah memenangkan pemilu presiden 2004, pemilu langsung pertama di Indonesia. Aspinall berpendapat bahwa sebelum pemilu langsung ini, ada keseimbangan posisi antara pejabat pemerintahan Indonesia, yaitu antara pejabat yang percaya bahwa kemenangan militer mustahil tercapai dan negosiasi sangat diperlukan, dengan pihak pejabat garis keras yang percaya bahwa GAM dapat sepenuhnya dilenyapkan. Terpilihnya SBY dan Kalla mendorong kebijakan pemerintah untuk condong ke posisi pertama.[93] Aspinall menunjukkan bahwa ketika SBY masih menjabat sebagai menteri dalam kabinet Presiden Megawati Soekarnoputri, ia mendukung "pendekatan terintegrasi" berupa penyertaan upaya militer dengan negosiasi terhadap GAM.[94] Kalla, yang saat itu kolega SBY di kementerian, juga mendukung dimulainya kembali dialog dengan GAM pada awal 2004 (yaitu ketika darurat militer masih diberlakukan di Aceh dan operasi militer masih berlangsung).[95] Saat itu, Kalla, melalui orang kepercayaannya, mendekati komandan GAM di lapangan sekaligus pemimpinnya di Swedia.[94] Posisi presiden dan wakil presiden Indonesia yang lebih memilih jalur negosiasi sebagai solusi pemberontakan Aceh memberikan jalan untuk mencapai keberhasilan dialog perdamaian Helsinki. Kingsbury, penasihat resmi untuk GAM, juga menyebut terpilihnya SBY dan Kalla tahun 2004 sebagai prawarsa upaya damai yang berakhir dengan perjanjian resmi.[37] Selain itu, ia menyebut penunjukan Kalla menjadi pengawas delegasi Indonesia pada dialog damai sebagai faktor penting, dikarenakan status Kalla yang merupakan ketua umum Golkar, partai mayoritas di DPR saat itu, sehingga pemerintahan SBY mudah menghadapi penolakan dari anggota DPR lainnya.[96] Laporan Time To Face The PastPada April 2013, Amnesty International meluncurkan laporan Time To Face The Past ("Saatnya Menghadapi Masa Lalu") yang isinya pernyataan mereka bahwa "sebagian besar korban dan kerabatnya sudah lama dijauhkan dari kebenaran, keadilan, dan pemulihan, dan Indonesia telah melanggar kewajibannya menurut hukum internasional. Mereka masih menunggu otoritas lokal dan nasional Indonesia untuk mengakui dan memperbaiki apa yang telah mereka dan keluarganya alami pada masa konflik." Dalam perumusan laporannya, Amnesty International menggunakan hasil penelitiannya saat berkunjung ke Aceh pada Mei 2012. Pada kunjungan tersebut, perwakilan organisasi tersebut mewawancarai lembawa swadaya masyarakat (LSM), organisasi masyarakat, pengacara, anggota dewan, pejabat pemerintah setempat, jurnalis, dan korban dan perwakilan mereka mengenai situasi di Aceh pada saat wawancara dilaksanakan. Korban menyatakan apresiasi mereka terhadap proses perdamaian dan meningkatnya keamanan di provinsi Aceh, tetapi juga menyatakan frustrasi atas tidak adanya tindakan dari pemerintah Indonesia sesuai nota kesepahaman 2005 yang mencantumkan rencana pembentukan Pengadilan Hak Asasi Manusia di Aceh dan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh.[97] Selain itu, laporan Time To Face The Past berisi peringatan potensi munculnya kekerasan baru di Aceh jika pemerintah Indonesia tetap stagnan dalam pelaksanaan komitmennya yang tercantum pada MoU 2005. Wakil direktur Asia Pasifik Amnesty International Isabelle Arradon menjelaskan saat peluncuran laporan tersebut: "Situasi yang sedang terjadi adalah munculnya benih-benih ketidakpuasan yang bisa tumbuh menjadi aksi kekerasan baru". Per 19 April 2013, pemerintah Indonesia belum menanggapi laporan ini. Juru bicara presiden SBY memberitahukan BBC bahwa ia belum bisa memberi komentar karena belum membaca laporan tersebut.[butuh rujukan] Lihat jugaReferensiKutipan
Referensi umum
Pranala luar
|