Penembakan misterius
Penembakan Misterius (disingkat Petrus) adalah serangkaian eksekusi di luar hukum di Indonesia yang terjadi antara tahun 1983 dan 1985 di bawah rezim Orde Baru Presiden Soeharto. Tanpa melalui pengadilan, ribuan penjahat dan pelaku kejahatan lainnya (termasuk yang diduga pembangkang politik) dibunuh oleh regu pembunuh TNI Angkatan Darat yang menyamar dan pasukan polisi rahasia. Mayat mereka kemudian diletakkan di tempat umum yang meneror masyarakat yang tidak sadar.[1] Eksekusi tersebut merupakan bagian dari upaya pemerintah untuk mengurangi kejahatan dan perkiraan jumlah korban tewas berkisar antara 300 hingga 10.000 orang. Asal usul namaIstilah Petrus berasal dari akronim bahasa Indonesia yang mengandung kata penembak misterius, yang merujuk pada sifat pasukan pembunuh yang menyamar dan anonim. Istilah ini juga dikenal dalam bahasa sehari-hari sebagai “dar der dor”, yang merupakan onomatope bahasa Indonesia untuk suara tembakan.[2] Petrus juga merupakan versi bahasa Indonesia dari nama Peter. Latar belakangSoeharto berkuasa pada tahun 1967 dan menciptakan kebijakan Orde Baru untuk memisahkan rezimnya dari apa yang disebutnya Orde Lama pendahulunya, Soekarno. Kebijakan baru tersebut membawa banyak perubahan bagi Indonesia, termasuk militer yang lebih kuat dan lebih berpengaruh. Hal ini sering kali menyebabkan kekerasan dan pembunuhan Petrus merupakan salah satu contoh yang paling mengerikan.[1] Pembunuhan tersebut disebut sebagai ciri menonjol dari pemerintahan otoriter Orde Baru, dan pernah disamakan dengan darurat militer tahun 1972 di Filipina di bawah Ferdinand Marcos. SejarahPada awal tahun 1980-an, masyarakat Indonesia mulai menyaksikan peningkatan jumlah mayat di depan umum. Awalnya, pemerintah dan otoritas keamanan lainnya tidak mengungkapkan penyebab atau alasan di balik kematian tersebut. Panglima Angkatan Bersenjata Indonesia, Jenderal Leonardus Benjamin Moerdani awalnya menyalahkan pembunuhan tersebut pada perang antargeng. Moerdani kemudian mengklaim bahwa pemerintah melakukan pembunuhan tersebut, tetapi “beberapa orang ditembak mati oleh petugas keamanan, tetapi itu karena mereka melawan saat ditangkap.”[3] Tanpa diumumkan kepada publik, pembunuhan Petrus dilakukan sebagai bentuk “terapi kejut” untuk mengurangi angka kejahatan.[4] Operasi ini direncanakan pada bulan Maret 1983 oleh Komandan Garnisun Yogyakarta, Letnan Kolonel Mochamad Hasbi, dan kemudian meluas; beberapa penjahat menyerah, beberapa ditembak, beberapa melarikan diri, dan yang lainnya berhenti melakukan kejahatan.[3] Banyak korban yang bertato, yang membuat publik menyadari status mereka sebagai penjahat.[1] Pembunuhan Petrus menyebabkan kejahatan menurun drastis, yang membuat pemerintah memperluas pembunuhan. Petrus adalah pengubah keadaan di Indonesia, yang memberikan ultimatum kepada publik. Intelijen polisi memberikan komandan garnisun daftar yang berisi ratusan tersangka kriminal dan mantan tahanan di wilayah tersebut. Garnisun kemudian menyusun daftar hitam dan mengeluarkan ultimatum publik kepada semua tersangka (namun, tanpa menyebutkan nama) untuk “menyerahkan diri segera” ke markas garnisun. Mereka yang menyerah, dan jumlahnya mencapai ratusan, diminta untuk mengisi formulir terperinci, yang berisi riwayat hidup mereka serta data semua anggota keluarga dan teman-teman mereka. Mereka juga diminta untuk menandatangani pernyataan yang menyatakan tidak akan melakukan kegiatan kriminal atau akan menghadapi “tindakan tegas” dari pihak berwenang. Setiap tersangka diwajibkan membawa kartu khusus dan melapor ke garnisun secara berkala. Mereka yang tidak datang untuk didaftarkan, atau tidak menepati janji dengan garnisun, diburu dan dibunuh oleh regu-regu tentara. Karena daftar tersebut diselimuti misteri, warga harus mempertanyakan diri mereka sendiri apakah mereka “penjahat” dan berpotensi masuk dalam daftar tersebut. Taktik pengawasan diri ini membuat orang sangat menyadari tindakan mereka dan bertindak hati-hati selama periode ini. Selain itu, tidak seperti banyak masalah lain di Indonesia, tidak ada apa pun, bahkan uang atau koneksi yang kuat, yang dapat menghapus nama dari daftar misterius tersebut. Namun, beberapa pihak berpendapat bahwa tidak ada daftar yang sebenarnya dan taktik ini menyebabkan polisi mengidentifikasi penjahat berdasarkan registrasi mereka.[5] Soeharto sendiri tidak mengakui pembunuhan dan tanggung jawab militer sampai biografinya, Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya, diterbitkan pada tahun 1988. Dalam buku tersebut, Soeharto menjelaskan: “Insiden-insiden itu tidak misterius. Masalah sebenarnya adalah bahwa insiden-insiden itu didahului oleh ketakutan publik.” Karena beberapa orang telah melampaui norma-norma dalam masyarakat, “kami harus melakukan beberapa tindakan, beberapa tindakan tegas,” kata Soeharto. “Tindakan seperti apa? Ya, kami harus menggunakan kekerasan. Tetapi itu bukan sekadar eksekusi dengan penembakan. Tidak! Mereka yang melawan harus ditembak. Mereka ditembak mati karena mereka melawan.”[1][3] AkibatTidak ada angka pasti jumlah korban tewas akibat pembunuhan Petrus. Pada tahun 1983, diperkirakan ada 300 mayat yang ditemukan di seluruh Indonesia. Karena masih banyak penjahat yang hilang, angka tersebut kemungkinan tidak akurat dan diremehkan. Kriminolog Indonesia, Mulyana W. Kusumah memperkirakan jumlah korban tewas lebih dari 2.000. Pada tahun 1984, Hans van den Broek, mantan Menteri Luar Negeri Belanda, meminta pemerintah Indonesia untuk memperkirakan jumlah korban tewas sekitar 3.000. Laporan lain memperkirakan jumlah korban tewas sekitar 10.000.[1] Penelitian terus mengungkap sejauh mana Pembunuhan Petrus dan bagaimana hal itu diterapkan pada upaya antikejahatan di banyak kota besar di Indonesia.[3] Operasi terhadap penjahat pada akhir tahun 1980-an membuat polisi mengklaim bahwa mereka tidak akan mengikuti pola sebelumnya.[6] Tanggapan
Referensi
Pranala luar
|