Malari
Peristiwa Malari (Malapetaka Limabelas Januari) adalah demonstrasi mahasiswa dan kerusuhan yang terjadi pada tanggal 15–16 Januari 1974.[1] Sebagai reaksi atas kunjungan kenegaraan Perdana Menteri Jepang, Kakuei Tanaka, para mahasiswa melakukan demonstrasi memprotes korupsi, harga-harga yang tinggi, dan ketidaksetaraan investasi asing. Setelah provokasi oleh agent provocateur yang dicurigai, demonstrasi tersebut menjadi kerusuhan, yang akhirnya berubah menjadi pogrom. Pada akhir kejadian, sebelas pengunjuk rasa terbunuh dan ratusan mobil dan bangunan hancur. Kerusuhan tersebut menyebabkan banyak perubahan. Pemerintah Orde Baru Soeharto memberlakukan serangkaian reformasi ekonomi yang dimaksudkan untuk meningkatkan representasi penduduk asli Indonesia dalam kemitraan dengan investor asing, Jenderal Soemitro (yang saat itu menjabat sebagai Wakil Panglima ABRI dan Panglima Kopkamtib), dipaksa pensiun, dan berbagai tindakan represif dilakukan oleh pemerintah. AkibatJenderal Soemitro, Wakil Panglima Angkatan Bersenjata, dituduh menghasut para perusuh dan dipaksa mengundurkan diri. Para pendukungnya dicopot dari posisi komando, diangkat menjadi duta besar atau menerima jabatan sebagai staf.[2] Langkah ini didukung oleh "Dokumen Ramadi" yang diserahkan kepada Presiden Soeharto oleh Jenderal Ali Moertopo, saingan Sumitro. Dokumen tersebut mengisyaratkan bahwa seorang jenderal berinisial S akan melakukan kudeta antara bulan April dan Juni 1974.[3] Setelah peristiwa Malari, Orde Baru menjadi lebih represif dan lebih cepat bertindak ketika warga negara mengekspresikan perbedaan pendapat, termasuk melalui demonstrasi[4] dan media, meninggalkan "kemitraan" rapuh yang pernah mereka miliki. Dua belas surat kabar dan majalah dicabut izin terbitnya, termasuk Indonesia Raya. Wartawan, seperti Mochtar Lubis, ditahan tanpa proses pengadilan. Wartawan yang melanggar mulai dimasukkan ke dalam daftar hitam, kehilangan hampir semua kesempatan kerja.[5] Dalam waktu seminggu setelah peristiwa Malari, Orde Baru mengajukan paket peraturan yang dimaksudkan untuk mempromosikan kepentingan ekonomi orang Indonesia asli. Rencana tersebut, yang mengamanatkan kemitraan antara investor asing dan penduduk asli Indonesia serta penggunaan Bursa Efek Indonesia yang direncanakan, dan mengharuskan calon investor untuk menyerahkan rencana kepemilikan mayoritas penduduk asli Indonesia di masa depan, diterima dengan baik oleh masyarakat dan membungkam para pengkritik.[6] Namun, pada praktiknya, hal ini tidak dilaksanakan secara ketat.[7] Aspri secara resmi dibubarkan. Namun, mantan Aspri Ali Moertopo kemudian dipromosikan menjadi Kepala Badan Intelijen Negara[8] dan mereka semua tetap bertahan sebagai penasihat.[9] Referensi
|