Insiden ToyadoInsiden Toyado atau Kasus penculikan Toyado adalah sebuah peristiwa penculikan 7 warga muslim yang terjadi pada babak akhir Kerusuhan Poso pada tanggal 2 Desember 2001 di desa Toyado, kecamatan Lage, Kabupaten Poso. Setelah berbagai serangan di bulan November dan serangkaian kunjungan dari tokoh-tokoh penting, Tentara Nasional Indonesia dituduh telah melakukan pelanggaran HAM yang serius, termasuk peristiwa "menghilangnya" sejumlah warga dan eksekusi ekstra-yudisial.[1] Latar belakangMarah karena pihak mereka menderita banyak korban luka pada pertempuran di Sepe pada tanggal 1 Desember, para prajurit TNI dituduh telah melakukan penculikan terhadap tujuh pria dan pemuda Muslim dari desa Toyado di kecamatan Lage, dengan lima diantaranya kemudian ditemukan tewas. Bersamaan dengan kasus sebelumnya di Mapane, yang melibatkan unit paramiliter Polri (Brimob), Dave McRae berpendapat bahwa insiden Toyado merefleksikan pola pembalasan, daripada penegakkan hukum yang ketat, oleh pasukan keamanan. Sebuah tuduhan lebih lanjut yang menyatakan bahwa salah satu korban penculikan diserahkan kepada pihak Kristen untuk dibunuh, meningkatkan rasa curiga antar kaum Muslim dan menganggap bahwa pasukan keamanan berat sebelah.[2] KorbanTujuh orang yang diculik kemudian diidentifikasikan sebagai:[3][4]
InvestigasiLaporan berikutnya dari investigasi mengenai insiden ini, memasukkan korban kedelapan bernama Riyadi atau Aswat. Saat isu penculikan tersebar, termasuk tuduhan bahwa para korban dibawa ke sebuah rumah di desa Kristen Tagolu, sekelompok orang berkumpul di markas militer Kodim Bonesompe dan menuntut pembebasan mereka. Kelompok bersenjata tersebut dihalangi untuk membakar sebuah gereja yang terletak di sebelah markas Kodim, mengakibatkan bentrokan antara kelompok tersebut dengan pasukan keamanan. Seorang pria bernama Syarifuddin dilaporkan tewas dalam insiden tersebut, sedangkan rangkaian tembakan dan ledakan melukai yang lainnya. Komandan Kodim membantah bahwa pihaknya mengetahui lokasi para korban dan berjanji untuk secepatnya menyelesaikan peristiwa yang dideskripsikannya sebagai kasus orang hilang.[5] Peristiwa ini berubah dari kasus orang hilang menjadi kasus pembunuhan saat salah satu korban hilang, seorang pria berusia sekitar 60 tahun bernama Syuaib Lamarati, ditemukan dengan luka tusuk di sungai. Polisi mengatakan bahwa mereka belum bisa menentukan apakah pelakunya berasal dari TNI. Tidak lama kemudian, prajurit menemukan empat tubuh lainnya di sebuah lubang yang dalam di dekat Tagolu. Seorang reporter yang mendampingi delegasi dari Jakarta mengatakan bahwa Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono menolak untuk melihat jenazah Lamarati, tetapi berjanji, "Kita sedang berusaha untuk membawa mereka yang bertanggungjawab ke pengadilan."[6] B. S. Marbun dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, salah seorang tokoh dari Jakarta yang berada di Poso pada saat itu, berkomentar, "Beberapa masyarakat mengatakan bahwa pihak militer telah melakukan sejumlah kekerasan yang brutal. Dan mereka (TNI) membantahnya. Jadi, kami masih harus melakukan verifikasi lanjutan." Tidak ada komentar lebih lanjut dari komisi yang diumumkan kepada publik. PengadilanSeorang perwira TNI Angkatan Darat mengatakan kepada media bahwa tim gabungan dari polisi militer dan Komando Daerah Militer Wirabuana telah melakukan wawancara terhadap 62 saksi (kebanyakan prajurit) dan mengidentifikasi empat tersangka dari Peleton B Kompi 711 di Kawua, dan menyatakan bahwa jumlah tersangka kemungkinan masih bisa bertambah. Dia mengatakan bahwa mereka akan menjalani pengadilan militer, tetapi tidak akan menyebutkan nama mereka.[7] Berbagai laporan dari investigasi mencatat bahwa setidaknya 50 prajurit terlibat dalam insiden ini, termasuk komandan peleton. Tidak banyak laporan mengenai kasus ini, hingga bulan Juni 2002, saat sepuluh prajurit dari Batalyon Infanteri 711, termasuk dua perwira, ditetapkan sebagai tersangka. Kapolres Palu menyatakan bahwa seluruh bukti, termasuk rekomendasi dari Komnas-HAM, telah dikirimkan ke Editorial Jenderal untuk mendapatkan ulasan lebih lanjut. Proses pengadilan direncanakan untuk dilaksanakan pada akhir tahun 2002.[8] Referensi
Sumber
|