Hubungan Indonesia dengan Israel
Hubungan Indonesia–Israel mengacu pada hubungan bilateral dulu dan kini antara Israel dan Indonesia. Kedua negara ini tidak punya hubungan diplomatik resmi,[1][2][3] tetapi memiliki hubungan tidak resmi yang meliputi hubungan dagang, pariwisata, dan keamanan. Pada tahun 2012, Indonesia sepakat menaikkan status hubungannya dengan Israel dan membuka konsulat kehormatan di Ramallah yang dipimpin seorang diplomat sederajat duta besar. Diplomat tersebut juga bertugas secara tidak resmi sebagai perwakilan Indonesia saat membina hubungan dengan Israel.[4] Namun, karena permasalahan politik di kedua belah pihak, perjanjian ini tidak pernah terwujud dan sampai sekarang tidak ada perwakilan Indonesia di Israel atau Otoritas Palestina. Menurut jajak pendapat BBC World Service tahun 2013, 70% responden Indonesia melihat pengaruh Israel secara negatif dan 12% secara positif.[5] SejarahMeski tidak sepenuhnya menentang Israel, Indonesia cenderung tidak mau mencari masalah dengan elemen-elemen di dalam negeri sebagai dukungan terhadap Palestina. Alasan ini pertama kali diungkapkan oleh Presiden Sukarno yang tidak meladeni pendekatan pejabat-pejabat Israel dan mengadopsi kebijakan pro-Arab sebagai bagian dari sikap antikolonialisnya.[7] Insiden besar yang melibatkan kedua negara ini adalah penolakan delegasi Israel dan Republik Tiongkok (Taiwan) dalam ajang Asian Games 1962 di Jakarta. Atas desakan negara-negara Arab dan Republik Rakyat Tiongkok, pemerintah Indonesia menolak menerbitkan visa untuk delegasi Israel dan Taiwan.[8] Hubungan militer dan intelijen dibuka lewat jalur tidak resmi, khususnya Iran dan Turki, pada tahun 1968. Tahun 1971, pejabat militer Indonesia dan Israel diyakini merintis negosiasi transfer alutsista militer dan intelijen kelompok teroris komunis global. Pada November 1972, militer Indonesia membeli sejumlah radar kontrabaterai untuk akurasi artileri dari BUMN Israel, Israel Military Industries. Bulan Maret 1974, 27 perwira dan 90 anggota ABRI dikirim untuk belajar radar artileri dan pengintaian darat beserta ELINT dan SIGINT bersama Pasukan Pertahanan Israel selama dua bulan. Bulan Januari 1975, TNI-AL dan TNI-AU mengirim 60 orang ke Israel untuk belajar penyusupan khusus dan operasi rahasia bersama Shayetet 13 dan AL Israel. Pusat Pelatihan Pasukan Khusus didirikan untuk melatih unit-unit kecil Kopassus dalam operasi udara dan laut pada November 1975. Bulan Agustus 1976, Kepala Staf Angkatan Udara Indonesia dan Israel bertemu dalam kunjungan dadakan di Teheran untuk membahas pembelian 35 pesawat tempur Douglas A-4 Skyhawk dari Israel yang dikirim pada tahun 1981-82. Pada tahun 1993, Perdana Menteri Israel Yitzhak Rabin bertemu Presiden Suharto di kediaman resminya di Jakarta. Pertemuan tidak terjadwal ini terjadi ketika Suharto masih memimpin Gerakan Non-Blok dan tidak lama setelah Persetujuan Damai Oslo. Ini merupakan pertemuan tingkat tinggi pertama antara kedua pemimpin negara tersebut.[9] Tahun 1999, usai jatuhnya Orde Baru, Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan Menteri Luar Negeri Alwi Shihab menyatakan ingin membina hubungan dengan Israel meski hanya di sektor ekonomi dan perdagangan.[10] Tahun 2002, Gus Dur menjelaskan rasa hormatnya terhadap Israel dan memaparkan sebuah pernyataan untuk ditelaah oleh masyarakat Muslim:
Setelah Gus Dur diturunkan dari kursi kepresidenan bulan Agustus 2001, belum ada lagi upaya untuk memperbaiki hubungan antara Indonesia dan Israel.[7] Tahun 2005, pemerintah Indonesia mengatakan bahwa pembukaan hubungan diplomatik penuh dengan Israel hanya akan terwujud apabila solusi dua negara sudah tercapai antara Israel dan Palestina.[12] Menteri Luar Negeri Israel Silvan Shalom mengadakan rapat rahasia pertama dengan Menteri Luar Negeri Hassan Wirayuda di tengah KTT PBB di New York City, Amerika Serikat pada September 2005. Namun, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menolak membuka hubungan diplomatik resmi dan mengatakan, "Komunikasi apapun antara pejabat Indonesia dan Israel harus membahas upaya membantu kemerdekaan bangsa Palestina".[3] Pada Juli 2006, pemerintah Indonesia dan beberapa ormas Islam Indonesia mengutuk operasi militer Israel di Gaza dan menuntut dibebaskannya sejumlah pejabat Palestina.[2] Dalam kunjungan ke Singapura tahun 2006, diplomat Arab Israel Ali Yahya mendukung hubungan langsung antara Israel dan Indonesia. Dalam wawancara dengan The Jakarta Post, ia mengatakan,
Pada Perang Lebanon 2006, Indonesia mendesak Israel menarik pasukannya dari Lebanon. Kementerian Luar Negeri menyatakan bahwa tim nasional tenis Indonesia ditarik dari Fed Cup di Israel. Juru bicara Desra Percaya mengatakan: "kami menyaksikan invasi militer oleh Israel dan penangkapan beberapa pejabat Palestina... Kami tidak mungkin bertanding di sana."[14][15] Pada tahun 2008, The Jakarta Post menerbitkan surat dari Wakil Menteri Luar Negeri Israel, Majalli Wahabi, yang meminta Indonesia ikut serta memperjuangkan perdamaian di Timur Tengah. Sejumlah analis menilai penerbitan surat ini sebagai tanda mencairnya hubungan antara kedua negara.[16] Namun, Perang Gaza yang berlangsung sejak akhir 27 Desember 2008 sampai 18 Januari 2009 berdampak terhadap hubungan ini. Indonesia mengutuk keras "agresi" Israel dan mendukung kemerdekaan Palestina. Pada Maret 2016 dan Oktober 2018, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mendukung normalisasi hubungan dengan Indonesia. Ia melihat "banyak kesempatan kerja sama bilateral" dan mengatakan bahwa alasan yang menghambat hubungan ini sudah tidak relevan lagi.[17] Akan tetapi, Indonesia menolak dan menyatakan bahwa normalisasi akan dipertimbangkan apabila Palestina meraih kemerdekaan.[18] Pada tahun 2024, ketika Indonesia berupaya untuk bergabung dalam Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD), media Israel memberitakan bahwa Indonesia telah berkomitmen untuk menjalin hubungan diplomatik dengan Israel untuk pertama kalinya.[19] Sekretaris Jenderal OECD Mathias Cormann menegaskan Indonesia harus menjalin hubungan diplomatik dengan seluruh negara anggota OECD sebelum mengambil keputusan untuk masuk ke OECD.[20] Namun, Pemerintah Indonesia membantah laporan adanya rencana pengembangan hubungan diplomatik dengan Israel dan menegaskan dukungannya terhadap kemerdekaan Palestina.[21] PerjanjianTahun 2008, Indonesia menyepakati perjanjian kerja sama medis dengan layanan kesehatan darurat Israel senilai US$200.000.[1] Tahun 2012, Indonesia sepakat meningkatkan hubungannya dengan Israel dan membuka konsulat di Ramallah yang dipimpin oleh diplomat setara duta besar. Diplomat ini secara tidak resmi juga bertugas sebagai duta besar Indonesia untuk Israel. Keputusan yang disetujui setelah negosiasi lima tahun ini menjadi bukti pulihnya hubungan antara Israel dan negara mayoritas Muslim terpadat di dunia. Indonesia pernah berencana membuka konsulat di Tepi Barat sebagai bukti dukungannya untuk kemerdekaan Palestina. Walaupun diplomat ini seharusnya mewakili Indonesia untuk Otoritas Palestina/PLO, ia juga menangani urusan antara Indonesia dan Israel. Karena itu, konsulat Indonesia bisa dikatakan memenuhi persyaratan diplomatik sekaligus tanggung jawab konsuler. Setelah Israel menolak Menteri Luar Negeri Indonesia berkunjung ke Ramallah tahun 2012, Indonesia menarik diri dari perjanjian tersebut dan konsulat Ramallah tidak dibuka. Meski tidak ada hubungan diplomatik resmi, Israel dan Indonesia diam-diam membangun hubungan di sektor perdagangan, keamanan, dan lain-lain, tetapi semakin memburuk sejak proses perdamaian Timur Tengah buntu. Visa kunjunganSeperti biasa, warga negara Israel dapat memperoleh visa ke Indonesia untuk perjalanan wisata kelompok dan bisnis. Untuk warga negara Indonesia, visa wisata ke Israel hanya tersedia untuk perjalanan kelompok melalui agen perjalanan. Sekitar 11.000 sampai 15.000 orang Indonesia berziarah ke Israel setiap tahun.[4] Pada 9 Juni 2018, Israel melarang pemegang paspor Indonesia memasuki negara tersebut.[22] Dan pada tanggal 27 Juni 2018, Israel mencabut larangan pemegang paspor Indonesia memasuki negaranya.[23] Hubungan di bidang pendidikan dan ketenagakerjaanMeskipun tidak mempunyai hubungan diplomatik, namun ada warga negara Indonesia yang dapat tinggal untuk studi di Israel. Ada yang menjadi dosen[24] dan mahasiswa[25]. Bahkan ada juga yang bekerja di Israel[26]. Orang Indonesia dapat mempelajari agrikultur di Arava International Center for Agriculture Training[27]. Israel juga menjadi salah satu tujuan wisata rohani populer terutama di kalangan Protestan dan Katolik di Indonesia yang melakukan napak tilas tempat-tempat di dalam Alkitab. Biasanya daerah yang dikunjungi meliputi Yerusalem, Nazaret, Danau Galilea, dan Sungai Yordan. Lihat pulaReferensi
|