Seni Budaya dan Sastra di Kabupaten Maros

Indonesia merupakan salah satu negara dengan ragam suku, budaya dan adat yang begitu melimpah. Puluhan bahkan ratusan budaya terdapat dalam satu negara Indonesia. Dan salah satunya, yaitu budaya Sulawesi Selatan dan terkhusus budaya yang ada di Kabupaten Maros. Kabupaten Maros selain menjadi perlintasan dari Makassar ke Toraja, juga merupakan daerah peralihan dan pertemuan dari dua kebudayaan dari etnis Bugis dan Makassar. Budaya masyarakat Maros diwarnai oleh budaya Bugis dan Makassar itu sendiri, yang saling isi mengisi dan akhirnya menjadi tipikal perpaduan atau akulturasi yang memunculkan kekhasan budaya baru. Nuansa budaya Bugis dapat ditemukan di bagian timur, utara, dan tengah dari wilayah Maros, sedangkan nuansa budaya Makassar dapat ditemukan di bagian selatan dan barat dari wilayah Maros. Di desa Labuaja, kecamatan Cenrana, Maros, terdapat penggunaan tutur bahasa Dentong yang mana begitu berbeda dengan bahasa Bugis dan bahasa Makassar.

Kabupaten Maros melahirkan unsur-unsur budaya yang berupa perpaduan antara nilai-nilai agama dan lingkungan alamnya yang dilatarbelakangi dan diwarnai dua etnis besar Makassar dan Bugis. Kedua etnis ini telah membentuk watak dan karakteristik masyarakat Kabupaten Maros yang mudah berinteraksi terhadap masyarakat pada umumnya di Sulawesi Selatan. Jika dilihat dari sejarah Kabupaten Maros yang termasuk keturunan dari kerajaan-kerajaan Bugis dan Makassar melalui suatu kaitan perkawinan. Hal inilah yang melahirkan suatu nilai-nilai budaya dan tradisi yang sampai saat ini masih dijunjung tinggi oleh kalangan masyarakatnya. Sebagai tanda-tanda tersebut dapat dilihat dari nama-nama kegiatan budaya yang pada dasarnya berasal dari bahasa Makassar dan/atau Bugis. Kekayaan budaya Kabupaten Maros juga memiliki potensi dan bahkan menjadi bagian dari kegiatan pariwisata karena budaya dan pariwisata adalah suatu bagian yang tidak dapat terpisahkan. Beberapa ekspresi budaya yang dituangkan dalam suatu bentuk kegiatan-kegiatan yang mencerminkan kehidupan manusia masa lampau di Kabupaten Maros.

Budaya Siri' Na Pacce atau Siri' Sibawang Pesse adalah salah satu filosofi budaya Masyarakat Bugis-Makassar yang harus dijunjung tinggi. Bagi masyarakat Bugis-Makassar di Kabupaten Maros, siri' mengajarkan moralitas dalam bentuk nasihat kesusilaan, pelarangan, hak dan kewajiban yang mendominasi tindakan manusia untuk melestarikan dan membela diri dan kehormatannya. Siri' adalah rasa malu yang terurai dalam dimensi martabat manusia, siri' adalah sesuatu yang ‘tabu’ bagi orang-orang Bugis-Makassar dalam berinteraksi dengan orang lain. Sementara itu, Pacce/Pesse mengajarkan solidaritas dan kepedulian sosial secara tidak egois dan ini adalah salah satu konsep yang membuat orang Bugis-Makassar mampu bertahan dan dihormati diperantauan, pasrah dengan welas asih dan merasakan beban dan penderitaan orang lain.

Masyarakat Bugis dan Makassar yang mendiami Kabupaten Maros tinggal di sebuah kampung yang terdiri atas 10 – 20 buah rumah. Kampung pusat ditandai dengan pohon beringin besar yang dianggap keramat dan dipimpin oleh kepala kampung disebut matowa. Gabungan kampung disebut wanua sama dengan kecamatan. Lapisan masyarakat Bugis dan Makassar sebelum kolonial Belanda adalah:

  1. Ana' karung: yaitu lapisan kaum kerabat raja,
  2. To-maradeka: yaitu lapisan orang merdeka, dan
  3. Ata: yaitu lapisan budak.

Sistem Kekerabatan

Sistem kekerabatan Suku Bugis dalam hal perkawinan yang ideal di Kabupaten Maros sebagai berikut:

  1. Assialang Marola: adalah perkawinan antara saudara sepupu sederajat ke satu baik dari pihak ayah/ibu.
  2. Assialanna Memang: adalah perkawinan antara saudara sepupu sederajat ke dua baik dari pihak ayah/ibu.

Perkawinan yang dilarang adalah perkawinan anak dengan ayah/ibu dan menantu dengan mertua. Kegiatan-kegiatan sebelum perkawinan, meliputi:

  1. Mappuce-puce : meminang gadis,
  2. Massuro : menentukan tanggal pernikahan,
  3. Maddupa : mengundang dalam pesta perkawinan.

Pagelaran Seni Rakyat Maros

  • Festival Gendang dan Kecapi Bugis-Makassar[1]
  • Pertunjukan Gendang Kalompoang
  • Pertunjukan Seni Bela Diri Pammenca' Maros
  • Pertunjukan Seni Angngaru' Maros
  • Seni Tradisional Ganrang Tallua

Permainan Tradisional Khas Maros

  • Santo-santo (permainan dengan instrumen batu sungai)
  • Ma'baguli (bermain kelereng secara umum)
  • Rutta-rutta (jenis permainan kelereng yang diikuti sekumpulan pemain dimana menggunakan tanah lapang dan digaris berbentuk lingkaran)
  • Pontu-pontu (jenis permainan kelereng yang diikuti sekumpulan pemain dimana menggunakan tanah lapang dan digaris berbentuk persegi panjang)
  • Maccule Oto-oto (bermain mobil-mobilan yang dibuat sendiri dari kayu)
  • Tingko-tingko
  • Dende-dende
  • Asing-asing
  • Mappadende
  • Bong-bong (permainan benteng yang diikuti oleh 2 tim, berlomba untuk menyentuh benteng yang dijaga masing-masing tim)
  • Boi-boi
  • Lopi-lopi (permainan perahu)
  • Patte-patte (permainan karet yang saling bersusun)
  • Temba'-temba' (permainan tembak dari bambu)
  • Ma'wayang (permainan kertas bergambar)
  • Tolu-tolu (kejar-kejaran)
  • Bareccung bulo (permainan mercon dari bambu, menggunakan minyak tanah atau karbit)
  • Lengga-lengga (permainan sejenis enggrang, tetapi menggunakan kaleng bekas)
  • Pukul Bantal
  • Lojo-Lojo
  • Bong-Bong
  • Pasodo Tompong-Tompong
Permainan ini menyerupai permainan bola basket. Untuk membawa bola digunakan Pasodo, yaitu sejenis jala untuk menangkap ikan dan memasukkan bola takraw ke dalam keranjang yang terbuat dari anyaman bambu. Permainan tradisional ini telah eksis di pesisir pantai Maros.
  • Paraga
Dilakukan dengan memainkan bola raga dengan konstruksi bola berpindah-pindah dari kaki ke kaki, merupakan aktualisasi Akrannu-rannu, kegiatan yang dilakukan ketika waktu senggang atau dalam arti lain bermain dan bersenang-senang. Tampak pemain dengan lincah memainkan bola raga sambil berdiri di atas pundak dua orang rekannya. Pa'raga merupakan permainan kesenian asli Bugis-Makassar. Diyakini bahwa sebagai asal muasal permainan sepak takraw yang telah mendunia. Sepak takraw atau sepakbola rotan telah digandrungi masyarakat dunia. Perlu diketahui, takraw pertama kali muncul di Sulawesi Selatan. Asal muasal olahraga sepak takraw adalah sepak raga, yakni sebuah permainan yang memainkan bola rotan yang dipadu dengan gerakan mirip akrobat. Ma'raga atau gerakan melakukan raga dengan menggunakan bola rotan ini, pada dasarnya adalah terdiri dari gerakan-gerakan seni bela diri. Berdasarkan cerita turun-temurun di Dusun Kaemba, Desa Nisombalia, Kabupaten Maros bahwa permainan raga ini dulunya muncul dari sebuah kampung yang dahulu disebut Ujung Bulo, sebuah kampung Pa'raga di wilayah Maros. Sebuah sejarah juga mencatat perkembangan Ma'raga, ketika dari kedatangan seorang Karaeng (raja) dari Gowa yang menyebarkan islam dengan memperkenalkan alat-alat musik tradisional seperti gendang dan gong membuat ma'raga tidak lagi dilakukan dengan hanya gerakan-gerakan seperti biasa, namun diiringi dengan alat-alat musik tradisional. Hal ini dipastikan ma'raga adalah salah satu medium penyebaran agama islam di Kaemba. Sebuah catatan sejarah terawal tentang sepak raga juga terdapat dalam Sejarah Melayu. Ketika pemerintahan Sultan Mansur Shah Ibni Almarhum Sultan Muzzaffar Shah (1459 – 1477), sejalan dengan perkembangan, maka pada tahun 1940-an, pola permainan raga ini berubah dengan menggunakan jaring dan peraturan angka. Olahraga ini kemudian berkembang di kawasan Asia, tercatat sampai di Filipina yang dikenal dengan nama Sipa, di Burma dengan nama Chinlone, di Laos dengan nama Kator, dan di Thailand dengan nama Takraw. Di Kabupaten Maros, dalam berbagai seremonial atau pesta rakyat, permainan pa'raga masih digelar sebagai pendukung acara. Para pemain pa'raga biasanya adalah para pemuda yang terampil dan terlatih baik. Mereka mengenakan pakaian adat yang terdiri dari passapu (penutup kepala khas Suku Makassar berbentuk segi tiga), baju tutup (jas tradisional), dan lipa sabbe (sarung khas Makassar yang terbuat dari kain sutera), para pemuda ini beratraksi. Hingga kini, kentalnya corak islami masih melekat pada atraksi pa'raga, setiap kali melakukan atraksi ma'raga, para pemainnya kerap melafalkan Lailahaillalah dengan nada yang teratur. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga konsentrasi permainan yang tingkat kesulitannya sangat tinggi. Kini gerakan ma'raga mampu dilakukan dengan formasi tingkat tiga, dimana gerakan membentuk tingkatan manusia sambil terus memainkan bola raga hingga pemain yang berada paling atas telah berdiri di posisinya. Gerakan inilah yang sekarang pada setiap penampilannya membuat penonton cemas bercampur kagum menyaksikan kepiawaian para pa'raga memadukan seni, kemampuan fisik, dan nuansa religius.

Adat dan Tradisi

  • Adat Musyawarah Tudang Sipulung
  • Adat Pindah Rumah Baru Lette Bola
  • Adat Kehormatan Diri Siri' Na Pacce (Makassar) / Siri' Na Pesse (Bugis)
  • Adat Pernikahan Mappuce-puce
Kunjungan dari keluarga si laki-laki kepada keluarga si gadis untuk mengadakan peminangan.
  • Adat Pernikahan Massuro
Kunjungan dari utusan pihak keluarga laki-laki kepada keluarga si gadis untuk membicarakan waktu pernikahan, jenis sunreng (maskawin), dan sebagainya.
  • Adat Pernikahan Maduppa
Pemberitahuan kepada seluruh kaum kerabat mengenai perkawinan yang akan datang.
  • Adat Pernikahan Mappacci/Mappaccing
  • Adat Pernikahan Madduta
  • Adat Pernikahan Marola
  • Adat Pernikahan Assialang marola
Perkawinan antara saudara sepupu sederajat kesatu, baik dari pihak ayah maupun dari pihak ibu.
  • Adat Pernikahan Assialana memang
Perkawinan antara saudara sepupu sederajat kedua, baik dari pihak ayah maupun dari pihak ibu.
  • Adat Pernikahan Ripanddeppe' mabelae
Perkawinan antara saudara sepupu sederajat ketiga, baik dari pihak ayah maupun dari pihak ibu.
  • Adat Lamaran Doe Panai'/Dui Paenre
  • Adat Penghormatan Tamu Agung Aru/Angngaru'
  • Adat Penobatan Raja Mala Lise' Tana Menroja
  • Adat Penobatan Raja Lekka Wae Loppo
  • Adat Penobatan Raja Cemme Majeng
  • Adat Penobatan Raja Pasitekkereng Lawolo
  • Adat Penobatan Raja Makkatenning Ade' Loponna Turikale
  • Adat Penobatan Raja Ilise Sumange'na Turikale
  • Adat Penobatan Raja Ripasessu ri Menrawe
  • Adat Penobatan Raja Ripallejja Tana Menroja
  • Adat Penobatan Raja Ripabissa Aje
  • Adat Penobatan Raja Lantunan Sureq Lawolo/Syair Lawolo
  • Adat Penobatan Raja Riompori Benno' Ulaweng
  • Adat Penobatan Raja Ripatuddu' Umpa Sikati
  • Adat Penobatan Raja Ripallejja Lebba Janna
  • Adat Penobatan Raja Ripatudang ri Lamming Ulaweng
  • Adat Penobatan Raja Penggantian Sigara' Ke Songkok Recca Ulaweng
  • Adat Penobatan Raja Ripakkuru' Sumange'
  • Adat Rasa Syukur Massikkiri'
  • Tradisi Ritual Mannempu'/Mannampu' Wette sebagai ungkapan rasa syukur dan berikhtiar memohon berkah kepada Tuhan Yang Maha Esa, agar mendapat hasil panen yang melimpah di Lingkungan Baniaga, Kelurahan Taroada
  • Passoppo Botting (memikul pengantin mempelai pria) di Desa Ampekale
  • Prosesi pengantin sunat yang ditandu di Kecamatan Tanralili
  • Barisan berkuda di Kecamatan Mandai
  • Simponi kecapi di Kecamatan Lau
  • Tradisi Adu Betis Mallanca
Tradisi Adu Betis sebagai bentuk rasa syukur atas keberhasilan panen. Adu betis biasanya dilakukan di Kecamatan Moncongloe, Kabupaten Maros, seusai panen besar. Tradisi ini sebagai ucapan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas keberhasilan panen. Sawah-sawah di Moncongloe umumnya sawah tadah hujan dan hanya panen sekali dalam setahun. Jadi tidak heran kalau Mallanca diadakan hanya setahun sekali. Dan biasanya pada bulan agustus. Akibatnya, tradisi ini juga sering kali dirayakan berbarengan dengan peringatan Hari Kemerdekaan Indonesia. Sesuai nama tradisinya, setiap pria di Maros menunjukkan kekuatan dengan cara saling menendangkan betis mereka. Tradisi ini tidak dilakukan di tempat sembarangan. Adu betis dilakukan di dekat makam Gallarang Moncongloe, leluhur Desa Moncongloe yang juga pamannya Raja Gowa, Sultan Alauddin. Mallanca dilakukan secara kelompok. Dengan membentuk lingkaran besar, adu betis dilakukan di dalam lingkaran tersebut. Masyarakat Maros juga melakukan tradisi ini untuk mengingat jasa leluhur mereka yang telah menjaga Kerajaan Gowa dengan jiwa patriot pada dahulu kala. Lebih unik lagi, adu betis ternyata bukan lomba. Tidak ada pemenang pada tradisi adu betis karena tradisi ini hanya untuk menunjukkan kekuatan peserta. Setelah adu betis selesai, tidak jarang ada peserta yang mengalami patah tulang. Meski begitu, tradisi ini tetap dinantikan kehadirannya setiap tahun oleh masyarakat Maros.
  • Tradisi Penentuan Tanggal Pernikahan Kutika Bilangeng Duappulo

Rumah Adat Tradisional

Sebuah rumah panggung yang tidak jauh dari lokasi Air Terjun Bantimurung sekitar tahun 1900-1920.
Bangunan rumah panggung tradisional Bugis-Makassar yang beratapkan daun nipah di wilayah Maros pada tahun 1929 (bagian 1).
Bangun rumah panggung tradisional Bugis-Makassar yang beratapkan daun nipah di wilayah Maros pada tahun 1929 (bagian 2).
Bangunan arsitektur rumah tradisional suku Bugis-Makassar yang telah mengalami perubahan (warna dengan cat, material paku besi dan seng) di Kabupaten Maros.

Setiap budaya memiliki ciri khas rumah adatnya masing-masing. Macam budaya Kabupaten Maros lain yang tak kalah terkenalnya adalah arsitektur khasnya. Dimana arsitektur tradisional Kabupaten Maros ini diperlihatkan dalam bentuk rumah adat. Nama dari rumah adat suku Bugis dan Makassar sendiri disebut dengan Bola dan Balla. Kedua rumah adat ini memiliki kesamaan dalam segi bentuknya, yaitu berupa rumah panggung yang memiliki kolong bawah rumah.

Rumah adat suku Bugis di Kabupaten Maros memiliki keunikan tersendiri, dibandingkan dengan rumah panggung dari suku yang lain (Sumatra dan Kalimantan). Bentuknya biasanya memanjang ke belakang, dengan tanbahan disamping bangunan utama dan bagian depan, orang bugis menyebutnya lego. Berikut adalah bagian-bagian utamanya:

  1. Tiang utama (alliri): Biasanya terdiri dari 4 batang setiap barisnya. Jumlahnya tergantung jumlah ruangan yang akan dibuat. Tetapi pada umumnya, terdiri dari 3/4 baris alliri. Jadi totalnya ada 12 batang alliri.
  2. Padongko' : Yaitu bagian yang bertugas sebagai penyambung dari alliri di setiap barisnya.
  3. Pattoppo: Yaitu bagian yang bertugas sebagai pengait paling atas dari alliri paling tengah tiap barisnya.

Orang Bugis suka dengan arsitektur rumah yang memiliki kolong. Konon, orang Bugis, jauh sebelum islam masuk ke Tanah Bugis (Tana Ugi), orang Bugis memiliki kepercayaan bahwa alam semesta ini terdiri atas 3 bagian, yaitu bagian atas/perkawinan di langit yang dilakukan oleh We Tenriabeng (botting langi' ), bagian tengah/di bumi/keadaan-keadaan yang terjadi di bumi (alang tengnga/ale kawa' ), dan bagian bawah atau dunia bawah tanah/laut (paratiwi/peretiwi/buri liu/). Mungkin itulah yang mengilhami orang Bugis (terutama yang tinggal di kampung) lebih suka dengan arsitektur rumah yang tinggi.

Bagian-bagian dari rumah adat tradisional Bugis ini sebagai berikut:

  1. Rakkeang: adalah bagian di atas langit-langit (eternit). Dahulu biasanya digunakan untuk menyimpan padi yang baru di panen.
  2. Ale Bola: adalah bagian tengah rumah. dimana kita tinggal. Pada ale bola ini, ada titik sentral yang bernama pusat rumah (posi' bola).
  3. Awa Bola: adalah bagian di bawah rumah, antara lantai rumah dengan tanah.

Awa bola ialah kolong yang terletak pada bagian bawah, yakni antara lantai dengan tanah. Kolong ini biasa pada zaman dulu dipergunakan untuk menyimpan alat pertanian, alat berburu, alat untuk menangkap ikan dan hewan-hewan peliharaan yang dipergunakan dalam pertanian. Ale bola ialah badan rumah yang terdiri dari lantai dan dinding yang terletak antara lantai dan loteng. Pada bagian ini terdapat ruangan-ruangan yang dipergunakan dalam aktivitas sehari-hari seperti menerima tamu, tidur, bermusyawarah, dan berbagai aktivitas lainnya. Badan rumah terdiri dari beberapa bagian rumah seperti: lotang risaliweng, pada bagian depan badan rumah disebut yang berfungsi sebagai ruang menerima tamu, ruang tidur tamu, tempat bermusyawarah, tempat menyimpan benih, tempat membaringkan mayat sebelum dibawa ke pemakaman. Lotang ritenggah atau Ruang tengah, berfungsi sebagai tempat tidur kepala keluarga bersama istri dan anak-anaknya yang belum dewasa, hubungan sosial antara sesama anggota keluarga lebih banyak berlangsung di sini. Lontang rilaleng atau ruang belakang, merupakan merupakan tempat tidur anak gadis atau orang tua usia lanjut, dapur juga di tempatkan pada ruangan ini yang dinamakan dapureng atau jongke. Rakkeang ialah loteng yang berfungsi sebagai tempat menyimpan hasil pertanian seperti padi, jagung, kacang dan hasil perkebunan lainnya. Sebagaimana halnya unsur-unsur kebudayaan lainnya maka teknologi arsitektur tradisional pun senantiasa mengalami perubahan dan perkembangan.

Yang lebih menarik sebenarnya dari rumah Bugis ini adalah bahwa rumah ini dapat berdiri bahkan tanpa perlu satu paku pun orang dahulu kala menggantikan fungsi paku besi menjadi paku kayu. Semuanya murni menggunakan kayu. Dan uniknya lagi adalah rumah ini dapat di angkat/dipindah.

Sementara Rumah adat tradisional suku Makassar di Kabupaten Maros berupa panggung yang terdiri atas 3 bagian sebagai berikut:

  1. Kalle balla: untuk tamu, tidur, dan makan.
  2. Pammakkang: untuk menyimpan pusaka.
  3. Passiringang: untuk menyimpan alat pertanian.

Rumah adat suku Bugis-Makassar berdasarkan status sosial orang yang menempatinya:

  1. Rumah Saoraja (Sallasa) berarti rumah besar yang ditempati oleh keturunan raja (kaum bangsawan)
  2. bola/balla adalah rumah yang ditempati oleh rakyat biasa

Tipologi kedua rumah ini adalah sama-sama rumah panggung, lantainya mempunyai jarak tertentu dengan tanah, bentuk denahnya sama yaitu empat persegi panjang. Perbedaannya adalah saoraja dalam ukuran yang lebih luas begitu juga dengan tiang penyangganya, atap berbentuk prisma sebagai penutup bubungan yang biasa disebut timpak laja yang bertingkat-tingkat antara tiga sampai lima sesuai dengan kedudukan penghuninya.

Hal juga mempengaruhi arsitektur tradisional suku bangsa Bugis antara lain bola ugi yang dulunya berbentuk rumah panggung sekarang banyak yang diubah menjadi rumah yang berlantai batu. Agama Islam juga memberi pengaruh kepada letak dari bagian rumah sekarang yang lebih banyak berorientasi ke Kabah yang merupakan kiblat umat Islam di seluruh dunia. Hal tersebut dikarenakan budaya Islam telah membudaya di kalangan masyarakat Bugis-Makassar, simbol-simbol yang dulunya dipakai sebagai pengusir mahluk halus yang biasanya diambil dari dari jenis tumbuh-tumbuhan dan binatang tertentu diganti dengan tulisan dari ayat-ayat suci Al-Qur'an.

Alat Musik Tradisional

  • Pui-Pui: Alat musik dengan cara ditiup dengan bentuk yang cukup unik seperti terompet. Bentuk dan cara memainkan alat musik ini sama persis dengan beberapa alat musik dari daerah lain di Indonesia, seperti serunai di Sumatera, Sronen di Jawa Timur, dan Tarompet di Jawa Barat.
  • Keso-Keso/kesong-Kesong: Alat musik tradisional ini memiliki nama “keso” karena memang cara memainkannya digesek, sehingga disebut “Keso-Keso” dan beberapa orang juga ada yang menyebutnya “Kere-Kere Galang”. Pada bagian tubuh Keso-Keso yang digunakan sebagai resonatornya terbuat dari kayu nangka yang dipilih dengan cara khusus dan dibentuk menyerupai jantung pisang dengan rongga di tengahnya agar menciptakan suara yang maksimal. Setelah dipahat sedemikian rupa sehingga berbentuk cekungan, kekosongan dari kayu nangka tersebut ditutup dengan membran yang terbuat dari kulit kambing pilihan. Dari alat menggeseknya tidak diperlukan kayu khusus karena asalkan kuat, kayu tersebut bisa digunakan sebagai busur yang digunakan untuk menggesek Keso-Keso. Namun yang terpenting terletak pada benda yang terlihat seperti tali busur tersebut yang ternyata menggunakan rambut ekor kuda sebagai bahannya. Bunyi yang dihasilkan berasal dari gesekan antara senar pada Keso-Keso dan juga rambut ekor kuda pada busur.
  • Kacaping/Kecapi Maros: Kacaping merupakan alat musik tradisional yang dimainkan dengan cara dipetik. Kacaping juga memiliki dua dawai yang dikaitan ke kayu yang sudah dibentuk menyerupai perahu. Kecapi Maros biasanya ditampilkan sebagai musik pengiring pada acara penjemputan para tamu pada pesta perkawinan, hajatan, bahkan hiburan pada hari ulang tahun.
  • Gendang Bulo: Ukurannya cukup kecil dan panjang. Dimainkan pada perayaan adat atau acara tertentu. Gendang ini dimainkan oleh kaum laki-laki.
  • Genrang/Ganrang/Gendang Bugis: Alat musik perkusi yang mempunyai bentuk bulat panjang.
  • Gendang Makassar
  • Ganrang Tallua/Gendang Tiga
  • Ana Baccing: Alat musik ini terbuat dari logam, dimainkan dengan cara dipukulkan satu sama lain. Bentuknya seperti dayung, dan selalu dimainkan pada saat karnaval atau upacara adat.
  • Basi-Basi: Ada perbedaan penyebutan antara masyarakat Bugis dan juga Makassar untuk alat musik ini. Bagi orang Makassar alat musik ini disebut klarinet. Basi-Basi ini dimainkan dengan cara ditiup, dan didalamnya terdapat sebuah sekat berupa membran yang dapat menghasilkan bunyi.
  • Jalappa: Merupakan alat musik yang bentuknya seperti simbal. Terbuat dari logam kuningan, dimainkan pada saat upacara adat persembahan sesaji kepada para dewata. Alat musik ini juga dipercayai sebagai peralatan dukun di beberapa daerah.
  • Alosu: Alat musik tradisional ini terbuat dari anyaman daun kelapa dan berbentuk kotak-kotak kecil yang tersusun rapi. Di bagian dalamnya terdapat biji-bijian yang jika kita goyangkan akan menimbulkan suara seperti beras yang terdapat dalam botol plastik. Alat musik ini dimainkan dengan cara digoyang-goyangkan. Biji yang berada didalam kotak Alosu akan menghasilkan bunyi gemerincing, layaknya seperti kecrek modern.
  • Rebana Bugis: Merupakan gendang terbuat dari kayu. Baik kayu cendana, pohon nangka, pohon kelapa, maupun kayu jati. Saat ini, Rebana digunakan untuk mengiringi tarian atau qasidah.
  • Suling Panjang/Suling Lampe: suling yang memiliki lima lubang nada.
  • Suling Calabai/Suling Ponco: suling jenis ini sering dipadukan dengan biola, kecapi dan dimainkan bersama penyanyi.
  • Suling Dupa Samping: suling ini digunakan pada acara karnaval atau acara penjemputan tamu.

Tari

Penari Pajoge di Maros pada zaman Hindia Belanda (sekitar tahun 1870)
Tar Paraga, ciri khas tari Suku Makassar di Kecamatan Marusu Kabupaten Maros.
  • Tari Appalili: Merupakan tarian yang dimainkan oleh 3 orang pria dan 6 orang perempuan untuk menyambut datangnya musim tanam padi, didahului dengan musyawarah adat, kemudian dilakukan pembersihan dan perbaikan alat pertanian diiringi tabuhan gendang dan pui-pui.
  • Tari Bias Muharram: Merupakan tarian kolosal yang diiringi alat-alat musik tradisional dan modern untuk menyambut Tahun Baru Islam dan biasanya diiringi oleh kesenian lslami lain seperti qasidah, puisi, dan lagu lslami.
  • Tari Bunting Berua: Sebuah tradisi seni tari yang diciptakan untuk menyemarakkan suatu pesta adat perkawinan Bugis-Makassar maknanya adalah memberi suasana gembira dan bahagia bagi kedua mempelai dan segenap keluarga. Karena itu, Tari Bunting Berua ini hanya khusus dipersembahkan di dalam acara-acara pesta perkawinan adat Bugis-Makassar, lebih khusus perkawinan sebuah keluarga terpandang (bangsawan). Tarian ini dimainkan oleh 5–7 orang putri, alat musik yang digunakan adalah kecapi, suling, gendang, gong, katto-katto, dan anak baccing. Seni tari ini dapat dijumpai di Lingkungan Kassi Kebo Kelurahan Baju Bodoa Kecamatan Maros Baru.
  • Tari Dengka Ase Lolo: Tarian yang dimainkan secara kolosal yang diiringi musik Mappadendang sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas berhasilnya panen, berlangsung 3 hari berturut-turut. Tarian ini dapat dijumpai di Tana Didi Dusun Batubassi, Desa Jenetaesa Kecamatan Simbang. Kegiatan ini berlangsung 3 (tiga) hari berturur-turut dengan kegiatan pagelaran musik tradisional yaitu Mappadendang. Kegiatan ini dilaksanakan untuk menyatakan rasa syukur kepada Tuhan atas keberhasilan panen. Alat musik pengiring selama kegiatan ini adalah antang kayu dan alu. Pesertanya memakai baju bodo.
  • Tari Gambus Pesisir: Dimainkan oleh 4 sampai 7 penari laki-laki dengan mengenakan pakaian adat dan dimainkan pada saat terang bulan. Alat musik yang digunakan adalah gambus, rebana, dan kecapi. Tarian ini terdapat di daerah pesisir Maros Utara (Kecamatan Bontoa).
  • Tari Ganrang Bulo: Merupakan sebuah pertunjukan kesenian berupa tari dengan perpaduan musik dan tutur kata. Nama "Ganrang Bulo" berarti gendang dari bambu. Tari ini mengungkapkan kritikan dan dikemas dalam bentuk lelucon atau banyolan. Tari Ganrang bulo ini dimainkan oleh beberapa laki-laki. Tarian ini biasanya dimainkan dalam kegiatan-kegiatan rakyat Suku Makassar. Tak ada gerakan baku dalam tarian ini. Yang pasti para penari akan berputar-putar melakonkan beberapa gerakan jenaka demi mengundang tawa penonton, seperti melakonkan gerakan seperti kera, gerakan pincang, dan lain-lain.
  • Tari Kalabbirang: Tarian ini sesuai dengan namanya “Kalabbirang” yang berarti keanggunan/anggun/mulia. Tarian ini diiringi nyanyian dipersembahkan di kalangan raja/bangsawan tinggi kerajaan. Melambangkan keanggunan putra-putri raja yang ikut menari. Tari Kalabbirang dimainkan oleh 7 orang putri dan 6 orang putra. Alat musik pengiring antara lain gendang, suling, dan katto-katto. Di Lingkungan Kassi Kebo Kelurahan Baju Bodoa Kecamatan Maros Baru dapat di nikmati kesenian tari ini.
  • Tari Kalubampa: Tarian yang dimainkan 3 orang laki-laki dan 6 orang perempuan berhiaskan sayap kupu-kupu yang bertujuan untuk menggugah hati manusia agar menyayangi dan melestarikan kupu-kupu yang mulai terancam punah. Diiringi gendang, gong, pui-pui, dan kecapi. Tarian ini menceritakan tentang beberapa ekor kupu-kupu yang sedang terbang kesana-kemari dengan riangnya sambil mencari makanan dan pada saat itulah ada seorang laki-laki yang mencoba menangkapnya. Setelah usaha yang keras akhirnya laki-laki itu berhasil menangkap seekor kupu-kupu. Tapi karena kecerdikannya, kupu-kupu itu berhasil meloloskan diri lagi dan kembali ke alamnya. Tarian ini dimainkan oleh 3 (tiga) orang laki-laki dan 6 (enam) orang perempuan. Perempuan berpakaian baju bodo berwarna yang dilengkapi dengan sepasang sayap. Pria berpakaian adat passapu. Alat musik yang digunakan adalah gendang, gong, pui-pui, dan kecapi. Tarian ini dapat dijumpai di Kecamatan Bantimurung, tujuannya untuk menggugah hati manusia agar menyayangi dan bahkan melestarikan habitat kupu-kupu yang mulai terancam punah.
  • Tari Katto Bokko: Tarian yang dilakukan untuk menyambut panen perdana yang dimainkan secara kolosal diiringi gendang, gong, pui-pui, alu, lesung kayu, dan bacing-bacing. Si penari membawa padi yang diikat lalu diarak beramai-ramai.
  • Tari Kesong-Kesong: Tarian ini ditampilkan untuk memeriahkan acara-acara tertentu bertema kepahlawanan yang dimainkan oleh 2 orang. Pesan yang terkandung dalam tarian adalah tentang sikap kepahlawanan dan kejantanan dalam menghadapi musuh atau penjajah. Penampilan Pakesong-Kesong dengan penyanyi sinrilik duduk berdampingan, dimulai dengan pengantar dari sang penyanyi tentang lagu yang akan didendangkannya. Setelah itu maka dimulailah Pakesong-Kesong memainkan kesong-kesongnya lalu menyusul penyanyi melagukan sinrilik-nya yang biasanya berkisah tentang sikap kepahlawanan dan kejantanan. Kesenian ini dimainkan oleh 2 (dua) orang laki-laki berpakaian adat passapu, sedangkan alat musiknya adalah sebuah kesong-kesong dan penggeseknya. Kesenian tradisional ini dapat dijumpai di Bonto Kapetta Kelurahan Allepolea Kecamatan Lau untuk memeriahkan acara-acara tertentu yang dianggap sesuai dengan semangat lagu-lagu kepahlawanan.
  • Tari Kipas: Merupakan tarian yang mempertunjukan kemahiran para gadis dalam memainkan kipas dengan gemulai alunan lagu.
  • Tari Lomba Perahu Hias: Tarian ini dimainkan secara kolosal diiringi alat musik gendang, gong, pui-pui, dan paccing-paccing. Tarian ini merupakan rangkaian lomba perahu dan kapal motor hias. Atraksi ini biasanya diadakan dalam rangka peringatan hari-hari besar.
  • Tari Ma'kampiri: Tarian yang dimainkan oleh 3 orang laki-laki dan 7 orang wanita diiringi alat musik gendang, kecapi, pui-pui, dan gong sebagai ucapan syukur atas panen kemiri. Dimulai dengan tampilnya seorang gadis belia yang menari dengan membawa keranjang bambu. Tarian ini sebagai pernyataan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa karena berhasilnya panen kemiri. Gadis belia menari-nari dengan gerakan seperti memungut buah kemiri. Tarian ini dimainkan oleh 3 (tiga) orang laki-laki dan 7 (tujuh) orang perempuan. Alat musik yang digunakan adalah keranjang bambu, gendang, kecapi, pui-pui, dan gong. Taraian ini dapat dijumpai di Kecamatan Camba.
  • Tari Ma'raga/Paraga: Tarian berupa permainan bola raga dengan gerakan dan atraksi yang beragam, dimainkan oleh laki-laki 6 orang berpakaian adat passapu. Alat musik yang digunakan untuk mengiringi tarian adalah gendang, Gong, pui-pui, dan sebagainya. Tarian ini menggambarkan keterampilan dalam mempermainkan bola raga, dengan gerakan atau atraksi yang beragam termasuk pada saat seorang atau dua orang pemain yang menaiki pundak temannya sambil tetap memainkan raga, atau memasukkan raga ke dalam passapu-nya melalui tendangan kaki. Tarian ini dimainkan olehg 6 (enam) orang laki-laki dengan berpakaian adat passapu. Alat yang digunakan; gendang, gong, pui-pui dan sebagainya. Tersebar di Kabupaten Maros. Tujuan dari tarian ini untuk menyambut acara tertentu seperti pesta panen, menyambut tamu, dan lain-lain.
  • Tari Ma'royong: Ditampilkan dengan nyanyian yang berisi nasihat atau petuah, dimainkan oleh 5 orang dengan menggunakan alat musik anak baccing dan alat tradisional lainnya. Penarinya mengenakan baju bodo. Tarian ini dijumpai di daerah Masale, Desa Tompobulu Kecamatan Tompobulu.
  • Tari Mallangiri: Tarian kolosal yang dimaksudkan sebagai penanda masa panen yang diawali dengan ritual pencucian benda-benda pusaka berupa batu mulia. Konon, pencucian benda pusaka dipercaya untuk memicu hasil panen supaya melimpah. Ini merupakan suatu prosesi pencucian benda-benda pusaka dan prapanen sekaligus menjadi penanda panen. Benda pusaka berupa batu mulia, konon mempunyai empat buah anakan yang bila pada proses pencuciannya bertambah maka dipercaya panen akan melimpah demikian pula sebaliknya. Upacara ini juga diiringi oleh alat musik tradisional dan upacara ini dilaksanakan di Masale Kecamatan Tompobulu.
  • Tari Mamuri-Muri: Tarian yang menggambarkan rasa gembira dan syukur kepada Allah SWT atas tibanya tahun baru Islam setiap tanggal 1 Muharram tahun Hijriah. Tarian ini dimainkan oleh 7 (tujuh) orang perempuan. Alat musik yang digunakan untuk mengiringi tarian adalah gong, pui-pui, kecapi, dan gendang. Tarian ini dilakukan tersebar di Kabupaten Maros.
  • Tari Mappadendang/Padendang: Tarian yang dilakukan oleh 4 pria dan 6 wanita berpakaian adat passapu baju bodo yang mengelilingi lesung, kemudian mappadendang dengan memukulkan ujung alu pada pinggiran lesung secara bergiliran dengan irama tertentu, dalam suasana gembira dan penuh semangat sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan atas keberhasilan panen. Tarian ini dilakukan dalam upacara Mappadendang dalam rangka menyatakan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena keberhasilan panen. Tarian ini dilakukan dengan mengelilingi lesung sambil memegang alu/antan. Setelah beberapa gerakan tarian maka dimulailah acara “Mappadendang” yaitu dengan memukulkan ujung alu pada pinggiran lesung secara bergiliran dengan irama tertentu, bergembira, dan bersemangat. Tarian ini dimainkan oleh 4 pria dengan 6 wanita yang memakai pakaian adat, Passapu (untuk pria) dan Baju Bodo (untuk wanita). Adapun musik pengiringnya dimainkan dengan alu dan lesung berisi padi yang ditumbuk. Tempat tujuan objek wisata seni ini di Lingkungan Kassi Kebo Kecamatan Maros Baru.
  • Tari Paddupa Bosara' : Merupakan sebuah tarian yang menggambarkan bahwa orang Bugis kedatangan atau dapat dikatakan sebagai tari selamat datang dari Suku Bugis. Orang Bugis jika kedatangan tamu senantiasa menghidangkan bosara sebagai tanda syukur dan penghormatan. Tari Paduppa Bosara sering ditarikan pada setiap acara penting untuk menyambut raja dengan suguhan kue-kue sebanyak dua kasera. Tarian ini juga sering ditarikan saat menyambut tamu agung, pesta adat, dan pesta perkawinan. Budaya Bosara merupakan peninggalan budaya khas Sulawesi Selatan dari zaman kerajaan dulu, khususnya Kerajaan Gowa dan Kerajaan Bone. Kata bosara tidak terlepas dari kue-kue tradisional sebagai hal yang saling melengkapi. Bosara merupakan piring khas suku Bugis-Makasar di Sulawesi Selatan. Biasanya Bosara diletakkan ditengah meja dalam acara tertentu, terutama dalam acara tradisional yang sarat dengan nilai-nilai budaya. Bosara terbuat dari besi dengan tutupan seperti kobokan besar, yang dibalut kain berwarna terang, yang diberi ornamen kembang keemasan di sekelilingnya. Menyebut Bosara sebenarnya meliputi satu kesatuan yaitu piring, yang diatasnya diberi alas kain rajutan dari wol, lalu di atasnya diletakan piring sebagai tempat kue dan diberi penutup Bosara. Kue-kue yang biasanya disajikan dengan menggunakan bosara adalah kue cucur, barongko, kue lapis, biji nangka, dan sebagainya, yang umumnya terbuat dari tepung beras. Dan berbagai kue kering seperti banang-banang, umba-umba, roko-roko, dan berbagai macam kue putu. Kue tersebut biasanya disajikan dalam acara-acara adat.
  • Tari Pajoge
  • Tari Pamanca
  • Tari Peringatan Maulid Rasulullah SAW: Tarian untuk memperingati hari lahirnya Nabi Muhammad SAW yang dimainkan oleh 3 orang laki-laki dan 6 orang perempuan dengan iringan rebana. Diawali dengan membaca barzanji, kemudian membagi ember yang berisi makanan dan telur maulid.
  • Tari Pepe-Pepe: Merupakan tarian yang sakral karena terdapat didalamnya unsur magis, dilakukan dengan memperlihatkan kesaktian atau kekebalan terhadap api. Penarinya berjumlah 5 laki-laki dan berpakaian passapu. Alat musik yang digunakan adalah gendang pammancak, gong, pui-pui, dan baccing-baccing. Setelah melakukan tarian dengan gerakan pencak silat diiringi gendang pammancak, gong, dan pui-pui yang bersemangat, maka para pemain mulai membakar tubuh mereka (tangan dan bagian lainnya) dengan obor, tetapi tidak terbakar (kebal api). Tarian ini dilakukan oleh 5 laki-laki dengan berpakaian Passapu. Objek tujuan seni ini di Dusun Batubassi Desa Jenetaesa Kecamatan Simbang. Tubuh disulut api namun tidak terbakar, bahkan baju yang dikenakan pun tidak terbakar. Tarian ini biasanya ditampilkan di acara-acara rakyat, seperti upacara hajatan, sunatan, dan perkawinan. Tari ini dilakonkan oleh laki-laki tua dan muda. Tidak ada tarian yang baku. berputar-putar sambil melakukan gerakan-gerakan jenaka untuk mengundang tawa penonton. Contohnya ada penari yang mencontohkan gerakan Seekor kera. berjalan terpincang-pincang, menggeleng anggukkan kepala bak lelaki renta, atau mendelik-delikkan mata sambil menjulur-julurkan lidah bagai orang kepedasan. Namun dalam beberapa tampilan tarian ini sangat teratur. Tari ini tidak mempunyai mantra khusus penangkal api. Namun mereka melakukan tarian seraya diiringi nyanyian Selama ini sering diintrepretasikan penonton sebagai ucapan mantra anti apinya Nabi Ibrahim AS yang disadur dalam bahasa Makassar. Padahal, menurut sejumlah pemain, kalimat-kalimat itu hanya pengulangan dari apa-apa yang sudah pernah diucapkan secara spontan ketika melakukan tarian ini oleh para penari terdahulu. Pada saat puncak tarian maka para pemain akan memegang obor dan akan mengarahkan api ke tubuh temannya atau dirinya sendiri. Bahkan tidak jarang para penari mengundang penonton lalu disulut menggunakan api. Namun anehnya para penari tidak sama sekali merasakan Kepanasan atau melepuh terbakar. semua tampak seperti biasa saja.
  • Tari Salonreng': Tarian ini dimainkan oleh 6 wanita yang memakai baju bodo dan 6 pria yang memakai passapu dilengkapi dengan keris, serta membawa bakul berisi padi, gula merah, pinang, daun sirih, dan beras sambil mengelilingi seekor kerbau yang dijadikan persembahan sambil menabur beras, lalu diakhiri dengan mangaru serta berdo'a memohon keselamatan. Tarian ini dilaksanakan untuk melepas hajat seperti berhasilnya panen atau sembuh dari penyakit dan terhindar dari malapetaka. Tarian ini dilaksanakan dengan mengelilingi satu ekor kerbau yang akan dijadikan persembahan dengan berbagai gerakan sambil menabur beras kemudian bermain pencak silat dengan menggunakan tombak dan diakhiri dengan Mangaru yang kemudian dilanjutkan dengan acara pemotongan kerbau sebagai rasa syukur dan memohon kepada Tuhan Yang Maha Kuasa untuk keselamatan.Tari ini dimainkan oleh 6 wanita dengan mengenakan baju bodo dan 6 pria menggunakan passapu dan dilengkapi dengan tombak, keris serta bakul yang berisi padi, gula merah, pinang, daun sirih dan beras. Alat musik yang digunakan untuk mengiringi tarian ini adalah dua buah gendang dan sebuah suling dengan lagu-lagu yang membangkitkan semangat. Tarian ini dapat dijumpai di Dusun Tanete Desa Bonto Somba Kecamatan Tompobulu.
  • Tari Tubaranina Marusu: Tarian yang dimainkan oleh 15 orang laki-laki dan 15 orang perempuan berpakaian adat, diiringi alat musik gendang Bugis dalam bentuk gerakan-gerakan yang heroik dan penuh semangat yang menggambarkan sikap kepahlawanan dan gagah berani dalam menghadapi musuh. Pemain tampil dengan gerakan-gerakan heroik dan bersemangat dan diiringi dengan bunyi gendang dan gemuruh. Tarian ini dimainkan oleh 15 orang laki-laki dan 15 orang perempuan dengan pakaian adat. Alat musik yang digunakan; gendang Bugis. Tarian ini bertujuan untuk menggambarkan sikap kepahlawanan dan gagah berani dalam menghadapi musuh. Tarian ini tersebar di Kabupaten Maros.

Atraksi Kesenian

  • Bias Muharram: Acara ini adalah suatu cara yang dilaksanakan untuk menyambut tahun baru Islam dengan melibatkan berbagai acara kesenian yang bersifat islami, seperti; qasidah, membaca puisi Islami, dan lagu/ musik islami. Alat musik yang digunakan baik alat musik tradisional maupun modern. Acara ini dilaksanakan di Lingkungan Kassi Kelurahan Pettuadae Kecamatan Turikale.
  • Lomba Perahu Hias: Setelah semua perahu peserta bahkan kapal motor dihias dengan meriah berkumpul di depan dermaga, maka mulailah para penumpangnya melakukan atraksi kesenian seperti Mappadendang dan ganrang bulo bahkan pencak silat. Setelah pelepasan secara resmi oleh pejabat maka lomba pun dimulai. Tibanya di finish para penumpang yang berpakaian adat/tradisional turun satu persatu dan melakukan atraksi di depan pejabat. Kegiatan ini dilaksanakan di jembatan Sungai Maros, dalam rangka memperingati Hari Ulang Tahun (HUT) Republik Indonesia.
  • Maulid Rasulullah SAW: Untuk menyatakan rasa syukur kehadirat Allah SWT atas diutusnya Nabi Muhammad SAW membawa ajaran Islam sebagai berkah kepada seluruh alam raya. Acara ini adalah pembacaan sejarah kelahiran Nabi Muhammad Saw. (membaca Barzanji) secara bergantian dan setelah itu dibagi-bagikanlah ember maulid yang berisi makanan dan telur. Alat musik pengiringnya adalah rebana. Acara maulid ini dilaksanakan di seluruh Kabupaten Maros dengan pusat kegiatan adalah Dusun Pattene Desa Temmapadduae yang dikenal dengan nama Khawaltiah Sammang.
  • Upacara Adat Appalili: Appalili adalah suatu rangkaian upacara adat sebelum memasuki musim tanam padi (bulan November). Para petani sebelum turun ke sawah mengambil perkakas kerajaan Karaengga yang disimpan di dalam sebuah loteng rumah adat yang disebut Balla Lompoa ke tempat khusus yang sudah tersedia. Peralatan tersebut diantaranya adalah Batang Pajjekko yang akan dipakai untuk membajak sawah. Batang Pajjekko yang kedatangannya memiliki sejarah tertentu juga merupakan lambang kebesaran bagi Kabupaten Maros. Setelah semua perkakas lengkap, Ganrang Kalompoang dibunyikan sebagai pertanda acara adat sudah dimulai dan dimulai pula proses penjahitan kelambu Kalompoangnga setelah itu hasil jahitan yang terdiri dari kelambu, sprei, pembungkus dan alas disiapkan yang dilaksanakan setelah shalat Ashar. Pada malam harinya diadakan perjamuan adat atau paempo adat yang dihadiri oleh Pemangku adat, Penasihat adat dan Gallarang Tujua (Kepala Dusun), tokoh tani dan pemerintah yang bertujuan untuk membicarakan masalah pertanian. Sekitar Pukul 05.00 barang-barang kerajaan tersebut diarak menuju sawah milik Kerajaan Marusu yang bergelar Torannu. Prosesi bajak sawah menggunakan Batang Pajjekko yang dibantu oleh Tedong (sapi atau kerbau) sebanyak dua ekor, kemudian mengelilingi sawah sebanyak 3 kali dan selesailah upacara adat ini. Rombongan inipun pulang kembali ke Balla Lompoa. Empat bulan kemudian diadakan persiapan acara adat Katto Bokko.
  • Upacara Adat Katto Bokko: Upacara adat Katto Bokko atau biasa disebut “Angngalle Ulu Ase” sebagai kelanjutan dari upacara Appalili. Acara ini adalah rangkaian acara adat sebagai rasa syukur terhadap Tuhan Yang Maha Esa akan hasil panen yang telah diraih, khususnya pada tanah Arajang yang diberi gelar Torannu. Acara Katto Bokko dimulai pagi hari dengan mengetam padi dan hasilnya diikat sesuai kebiasaan. Dengan ikatan khusus menggunakan alat tersendiri yang terdiri dari 12 ikatan kecil dan 2 buah ikatan besar. Kemudian diarak keliling kampung menuju Balla Lompoa. Setelah itu, dilakukan penjemputan sesuai adat Kerajaan Marusu oleh Pemangku Adat, para Dewan Adat, Penasihat Adat, Pemerintah setempat, para petani serta para undangan. Dengan berakhirnya acara penyambutan ini berakhir pulalah acara adat Katto Bokko. Pada malam harinya diadakan acara Mappadendang. Tradisi ini juga memiliki tujuan melestarikan padi lokal Maros. Pagi hari, usai serangkaian tahapan rembuk bersama antara para pemangku adat dan masyarakat menentukan hari pelaksanaan panen perdana secara adat di Balla Lompoa. Masyarakat berkumpul menuju sawah tanah adat kerajaan (Torannu) membawa anai-anai (Katto) untuk mengikuti upacara adat tahunan “Katto Bokko” sebagai bentuk rasa syukur atas panen raya padi jenis "Ase Lapang". Padi Varietas lokal yang telah dibudidayakan secara turun temurun oleh pewaris Kerajaan (Karaeng) Marusu sejak sekitar abad ke-15. Sedikit demi sedikit masyarakat secara sukarela memadati petak sawah seluas sekitar satu hektar itu. Mulai dari anak-anak, orang dewasa, hingga orang tua, baik laki-laki dan perempuan dari berbagai kalangan sosial turun bersama mengumpulkan padi berbulu ini. Keberadaan sawah kerajaan ini menjadi acuan, sebelum ritual ini dilaksanakan, sawah-sawah yang berada di sekitar dan dalam kawasan adat Marusu tidak dibolehkan memanen, begitu pun saat masa tanam tiba.
  • Upacara Mappadendang: Mappadendang adalah pagelaran atraksi kesenian tradisional, seperti tarian tradisional, pencak silat dan lain-lain. Untuk memberikan hiburan bagi masyarakat, khususnya petani setelah lelah bekerja. Dahulu acara ini biasanya dijadikan momen gadis-gadis dan pemuda untuk mencari jodoh. Besarnya pengaruh kebudayaan di daerah ini melahirkan berbagai bentuk seni budaya tradisional yang sarat dengan nuansa agraris dan bahari.

Pakaian Khas Daerah

Pakaia adat pernikahan Bugis-Makassar di Kabupaten Maros dengan nuansa kekinian.
Baju Bodo yang dipakai oleh perempuan Bugis Maros di acara pernikahan.
Baju Bodo yang dipakai oleh perempuan Bugis Maros di acara aqiqahan.

Kabupaten Maros dihuni oleh penduduk dari latar belakang yang heterogen. Di antara penduduk-penduduk tersebut, Suku Makassar dan Suku Bugis adalah yang paling dominan. Masing-masing suku yang hidup dan tinggal di Kabupaten Maros mempunyai ciri khas adat dan kebudayaannya masing-masing, salah satunya adalah dalam gaya berpakaian. Dengan demikian, pakaian adat tradisional Kabupaten Maros bermacam-macam karena tergantung budaya suku tersebut. Baju bodo adalah kostum tradisional wanita Suku Bugis dan Makassar Sulawesi Selatan, Indonesia. Baju bodo persegi panjang, biasanya lengan pendek, yaitu setengah di atas siku. Baju bodo juga diakui sebagai salah satu busana tertua di dunia. Perkiraan itu didukung oleh sejarah kain Muslin yang menjadi bahan dasar baju bodo. Jenis kain yang dikenal dengan sebutan kain Muslin (Eropa), Maisolos (Yunani Kuno), Masalia (India Timur), atau Ruhm (Arab) pertama kali diperdagangkan di Kota Dhaka, Bangladesh. Hal ini merujuk pada catatan seorang pedagang Arab bernama Sulaiman pada abad ke-19. Sementara pada tahun 1298, dalam buku yang berjudul “The Travel of Marco Polo”, Marco Polo menggambarkan kalau kain Muslin dibuat di Mosul (Irak) dan diperdagangkan oleh pedagang yang disebut Musolini. Namun kain yang ditenun dari pilihan kapas yang dijalin dengan benang katun ini sudah lebih dahulu dikenal oleh masyarakat Sulawesi Selatan, yakni pada pertengahan abad ke-9, jauh sebelum masyarakat Eropa yang baru mengenalnya pada abad ke-17, dan populer di Prancis pada abad ke-18. Kain Muslin memiliki rongga-rongga dan jarak benang-benangnya yang renggang membuatnya terlihat transparan dan cocok dipakai di daerah tropis dan daerah-daerah yang beriklim panas. Sesuai dengan namanya “bodo” yang berarti pendek, baju ini memang berlengan pendek. Dahulu Baju Bodo dipakai tanpa baju dalaman sehingga memperlihatkan payudara dan lekuk-lekuk dada pemakainya, dan dipadukan dengan sehelai sarung yang menutupi bagian pinggang ke bawah badan. Namun seiring dengan masuknya pengaruh Islam di daerah ini, baju yang tadinya memperlihatkan aurat pun mengalami perubahan. Busana transparan ini kemudian dipasangkan dengan baju dalaman berwarna sama, namun lebih terang. Sedangkan busana bagian bawahnya berupa sarung sutera berwarna senada. Menurut adat Bugis, setiap warna pakaian yang dikenakan oleh wanita Bugis menunjukkan usia atau martabat pemakainya. Busana ini sering digunakan untuk upacara-upacara seperti upacara pernikahan. Tapi sekarang, baju bodo mulai direvitalisasi melalui acara lain seperti kompetisi tari atau menyambut tamu. Secara lebih luas, baju bodo telah menjadi pakaian adat resmi yang digunakan sebagai ciri khas Provinsi Sulawesi Selatan terutama bagi para wanitanya. Baju Bodo dianggap sebagai pakaian adat Sulawesi Selatan paling pertama dikenal oleh masyarakatnya. Dalam kitab Patuntung, kitab suci ajaran Animisme dan Dinamisme nenek moyang Suku Makassar, baju ini bahkan disebutkan dengan jelas, mulai dari bentuk, jenis hingga cara pemakaiannya. Ilmu tekstil yang telah dikenal sejak zaman batu muda oleh nenek moyang Suku Makassar membuat baju bodo begitu nyaman dikenakan. Baju ini sengaja dibuat dari bahan kain muslin. Kain ini adalah kain hasil pintalan kapas yang dijalin bersama benang katun. Rongga dan kerapatan benang yang cukup renggang, menjadikan kain ini sejuk dikenakan sehingga cocok dipakai di iklim tropis Sulawesi Selatan.

Sebagian masyarakat Suku Makassar menyebut baju bodo dengan nama bodo gesung. Alasannya adalah karena pakaian ini memiliki gelembung di bagian punggungnya. Gelembung tersebut muncul akibat baju bodo dikenakan dengan ikatan yang lebih tinggi. Secara sederhana, baju bodo merupakan baju tanpa lengan. Jahitan hanya digunakan untuk menyatukan sisi kanan dan kiri kain, sementara pada bagian bahu dibiarkan polos tanpa jahitan. Bagian atas baju bodo digunting atau dilubangi sebagai tempat masuknya leher. Lubang leher ini pun dibuat tanpa jahitan. Sebagai bawahan, sarung dengan motif kotak-kotak akan dikenakan dengan cara digulung atau dipegangi menggunakan tangan kiri. Pemakainya juga akan mengenakan beragam pernik aksesoris seperti kepingan-kepingan logam, gelang, kalung, bando emas, dan cincin. Dalam kitab Patuntung, ada aturan yang menyebutkan penggunaan warna khusus bagi tingkatan usia wanita yang akan mengenakan baju bodo ini. Aturan warna tersebut antara lain: (a) Warna jingga dipakai oleh perempuan umur kurang dari 10 tahun, (b) Warna jingga dan merah darah dipakai oleh perempuan umur 10 hingga 14 tahun, (c) Warna merah darah dipakai oleh untuk 17 hingga 25 tahun, (d) Warna putih dipakai oleh para inang dan dukun, (e) Warna hijau dipakai oleh puteri bangsawan, dan (f) Warna ungu dipakai oleh para janda. Kendati aturan tersebut pada masa silam wajib dipatuhi, namun sekarang ini para wanita yang akan menggunakan pakaian adat baju bodo bebas hendak mengenakan dengan warna apapun, mengingat kepercayaan animisme dan dinamisme yang dianut oleh warga Kabupaten Maros semakin luntur setelah masuknya islam ke Indonesia.

Baju bodo hanya dikenakan oleh wanita Bugis-Makassar, sementara para prianya mengenakan pakaian adat yang bernama baju bella dada. Baju ini dikenakan bersama paroci (celana), lipa garusu' (kain sarung), dan passapu (tutup kepala seperti peci). Model baju bela dada adalah baju bentuk jas tutup berlengan panjang dengan kerah dan kancing sebagai perekat. Baju ini juga dilengkapi dengan saku di bagian kiri dan kanannya. Berbeda dengan baju bodo yang dibuat dari kain muslin, pakaian adat khusus untuk laki-laki ini justru dibuat dari bahan yang lebih tebal. Seperti dari kain lipa sabbe atau lipa garusu'. Sementara untuk warnanya biasanya tidak ada ketentuan alias bisa disesuaikan dengan selera para penggunanya. Passapu atau tutup kepala yang digunakan sebagai pelengkap baju bella dada umumnya dibuat dari anyaman daun lontar dengan hiasan miring atau benang emas yang disusun. Passapu dapat pula tidak diberi hiasan. Passapu polos atau biasa disebut passapu guru ini lazimnya digunakan oleh para dukun atau tetua kampung. Selain passapu, para laki-laki juga tak ketinggalan untuk mengenakan aksesoris pelengkap pakaian yang digunakan. Beberapa aksesoris di antaranya adalah gelang, keris, selempang atua rante sembang, saputangan, dan sigarak atau hiasan penutup kepala. Gelang yang digunakan adalah gelang dengan motif naga dan terbuat dari emas, sehingga gelang ini dinamai gelang ponto naga. Keris yang dipakai adalah keris dengan kepala dan sarung terbuat dari bahan emas. Keris ini disebut pasattimpo atau tatarapeng. Saputangan yang dikenakan adalah saputangan dengan hiasan khusus. Saputangan ini dinamai passapu ambara. Nah, demikianlah penjelasan tentang pakaian adat Sulawesi Selatan, baik untuk kaum pria maupun wanitanya. Pakaian ini dahulu digunakan sebagai pakaian sehari-hari. Akan tetapi, saat ini biasanya hanya digunakan saat-saat tertentu saja, seperti saat upacara adat atau acara-acara resmi kepemerintahan.

Pakaian Khas Maros

  • Batik Kupu-Kupu Maros[2]
  • Baju bodo payet

Pakaian Adat Suku Bugis Maros

Pria:

  • Jase Tutu' (Jas Tutup)/Waju Bella Dada berupa jas berlengan panjang dengan leher tanpa kerah dan dihiasi dengan kancing yang dibuat dari emas atau perak, yang mana dipasangkan pada leher baju tersebut. Jas ini berwarna polos yang dilengkapi dengan untaian rantai emas pada kancing yang bersambung pada saku jas.
  • Lipa' Sabbe atau sarung tenun dari sutera terlihat polos namun berwarna mencolok seperti warna merah dan hijau.
  • Paroci atau celana
  • Songkok Pamiring/Songkok Recca'/Peci Bugis atau songkok yang terbuat dari serat pelepah lontar dan dipadukan dengan benang sutera berwarna emas.
  • Pabekkeng/Pabbekkeng atau ikat pinggang sarung dari kain yang juga berlapis ornamen warna emas atau perak.
  • Tope
  • Songkok Pute
  • Pakambang
  • Waju kasa
  • Sarung Kawali (sebagai aksesoris)
  • Sepatu Kulit Hitam
  • Kawali (sebagai aksesoris)
  • Gelang (sebagai aksesoris)
  • Selempang Atua Rante Sembang (sebagai aksesoris)
  • Sapu Tangan (sebagai aksesoris)

Wanita:

  • Baju Bodo
  • Tope
  • Jempang
  • Waju ponco/waju pella-pella
  • Lipa' Sabbe atau sarung tenun dari sutera terlihat polos namun berwarna mencolok seperti warna merah dan hijau.
  • Kepingan-Kepingan Logam (sebagai aksesoris)
  • Potto/Gelang (sebagai aksesoris)
  • Bando Emas (sebagai aksesoris)
  • Cincin (sebagai aksesoris)

Pakaian Adat Suku Makassar Maros

Pria:

  • Salawik
  • Passapu atau jenis tutup kepala seperti tutup kepala dari Pahlawan Nasional Sultan Hasanuddin.
  • Songkok Guru atau songkok bangsawan Suku Makassar.
  • Lipa' Garusuk atau sarung tenun bermotif dari sutera terlihat polos namun berwarna mencolok seperti warna merah dan hijau.
  • Songkok Gaduk
  • Songkok Biring
  • Sarung Badik berwarna emas (sebagai aksesoris)
  • Baju Bella Dada/Jas Tutup
  • Paroci/Celana
  • Pasattimpo/Tatarapeng atau badik berwarna emas (sebagai aksesoris)
  • Ponto Naga atau gelang dengan motif naga dan terbuat dari emas (sebagai aksesoris)
  • Selempang Atua Rante Sembang (sebagai aksesoris)
  • Passapu Ambara atau Sapu Tangan (sebagai aksesoris)
  • Sigarak atau Hiasan Penutup Kepala (sebagai aksesoris)
  • Sepatu Kulit Hitam

Wanita:

  • Baju Labbu
  • Baju Bodo/Bodo Gesung
  • Jempang
  • Salawik
  • Baju Rawang
  • Lipa' Garusuk atau sarung tenun bermotif dari sutera terlihat polos namun berwarna mencolok seperti warna merah dan hijau.
  • Baju Assusun
  • Baju Kasa
  • Kepingan-Kepingan Logam (sebagai aksesoris)
  • Gelang (sebagai aksesoris)
  • Bando Emas (sebagai aksesoris)
  • Cincin (sebagai aksesoris)

Senjata Tradisional

Model Badik Bugis Khas Maros
Model Badik Makassar Khas Maros

Dalam kehidupan masyarakat Kabupaten Maros di masa silam, senjata tradisional memiliki peranan penting dalam fungsi praktisnya sebagai sarana perlindungan diri, alat perang, maupun sebagai alat untuk mempertahankan hidup. Akan tetapi, senjata-senjata tersebut kini telah beralih kegunaan dan lebih menonjolkan fungsi estetisnya sebagai pelengkap pakaian adat. Masyarakat Kabupaten Maros mengangkat badik sebagai senjata tradisionalnya. Badik adalah pisau bermata tunggal yang bentuknya asimetris seperti keris dengan bilah berhias pamor. Dahulu, badik digunakan para petani untuk berburu atau membunuh hewan hutan yang merusak tanamannya. Pada perkembangannya, ia juga digunakan sebagai sarana perlindungan diri bagi mereka yang sering merantau. Seperti diketahui, orang Bugis-Makassar adalah orang yang dikenal sangat gemar merantau. Dengan menyematkan badik di pinggangnya, mereka akan merasa terlindungi meski masuk ke wilayah kampung yang asing. Badik bagi masyarakat Kabupaten Maros, selain dianggap sebagai benda pusaka juga pelindung. Badik digunakan untuk membela harga diri baik sifatnya individu maupun keluarga. Badik telah menjadi salah satu simbol pada logo Kabupaten Maros. Harga diri bagi masyarakat Maros secara umum disebut dengan istilah Siri' Na Pacce (Makassar) atau Siri' Na Pesse (Bugis).

Kabupaten Maros memiliki beberapa senjata tradisional sebagai berikut:

Kuliner Khas

Masakan

Masakan khas Kabupaten Maros adalah sebagai berikut:

Burasa' adalah masakan khas dan wajib ada bagi masyarakat Maros pada hari lebaran.
Masakan Sop saudara khas Kabupaten Maros dengan pilihan daging dan jeroan serta racikan bumbu khas.
  • Burasa'/Buras khas Maros[4]
  • Coto Maros (sop dari jeroan/daging sapi)
  • Gogoso' Khas Maros
  • Kaddo Minnya'
  • Kapurung Khas Maros
  • Konro Bakar Khas Maros
  • Labu Palu
  • Mie Titi Khas Maros[4]
  • Nasi Kuning Sanggalea
  • Pallu Kacci Khas Maros
  • Pallu Mara Khas Maros
  • Pallubasa khas Maros[4]
  • Sokko' Manu
  • Songkolo Bagadang Khas Maros
  • Sup Konro Khas Maros (sop dari tulang iga sapi)[4]
  • Sop saudara Khas Maros
  • Sup Ubi Khas Maros
  • Tumbu' Camba Khas Maros: Sejenis ketupat, namun bentuknya seperti kotak besar.
  • Tumpi-Tumpi (isi ikan bandeng yang digoreng)

Jajanan

Roti Maros, jajanan khas dari Kabupaten Maros yang banyak digemari pelbagai wisatawan yang datang ke Maros.

Jajanan khas Kabupaten Maros adalah sebagai berikut:

  • Apang (kue basah)
  • Baje Canggoreng/Tenteng Canggoreng Utuh (kue kering)
  • Baje Khas Maros (kue kering)
  • Baje Baddong (kue kering)
  • Bannang-Bannang: Merupakan kue yang terbuat dari tepung beras dicampur dengan gula merah dan air, kemudian dicetak menggunakan mangkuk dan digoreng. Kue ini hanya dibuat pada saat ada pesta perkawinan untuk menjamu para tamu.
  • Bandang-Bandang (kue basah)
  • Baroncong/Buroncong Khas Maros
  • Barongko: Penganan ini terbuat dari buah pisang, telur ayam, dan gula pasir, dibuat dengan cara dikukus setelah dibungkus daun pisang. Kue ini dihidangkan pada saat pesta perkawinan, hari raya, dan acara yang diadakan bersama masyarakat.
  • Bella Bue: Sejenis bubur kedelai dengan campuran bulatan-bulatan kecil dari tepung terigu
  • Baruasa' Khas Maros (kue kering)
  • Beppa Oto
  • Bessang/Bassang Khas Maros (bubur jagung)
  • Bipang Maros (kue kering)
  • Bolu
  • Bolu Peca'
  • Canti' Manis
  • Cucuru' Madingkking: Penganan ini terbuat dari tepung beras yang dicampur dengan gula merah kemudian digoreng. Kue ini biasanya dihidangkan untuk acara perjamuan pengantin.
  • Cucuru' Te'ne
  • Cucuru' Tello/Cucuru' Bayao (Cucur Telur)
  • Dadara' Cembulo (Dadar Guling Hijau)
  • Dange Khas Maros
  • Donat Gula
  • Dodol Maros
  • Doko-Doko Cangkuli
  • Doko-Doko Utti/Roko-Roko Unti
  • Gambang: Sejenis tape yang terbuat dari beras ketam
  • Jalangkote khas Maros:[4] Sejenis kue yang terbuat dari tepung terigu yang dicampur dengan telur, ditengahnya diisi potongan kentang, irisan telur, dan mi. Penjual kue jalangkote banyak kita jumpai di sepanjang Jalan Poros Makassar-Maros dengan harga yang murah.
  • Jamur Crispy
  • Kacang Sembunyi Khas Maros
  • Kulapisi': Sejenis kue lapis dengan warna putih, kue ini merupakan kue wajib bagi masyarakat Bugis-Makassar pada acara-acara adat
  • Nyo'nyang/Nyuknyang
  • Onde-Onde Jawa Wijen/Onde-Onde Kacang Hijau
  • Onde-Onde Panyyu: Merupakan kue yang terbuat dari tepung beras ketan, gula merah, dan kelapa parut. Adonan tepung beras ketan dibentuk bulat-bulat dan diisi dengan irisan gula merah, lalu dimasukkan ke dalam air mendidih hingga matang, kemudian ditiriskan dan ditaburi kelapa parut.
  • Panada Khas Maros
  • Pallu Butung Khas Maros
  • Pawa'
  • Pisang Epe Khas Maros[4]
  • Pisang Peppe/Sanggara' Peppe Khas Maros
  • Poteng: Sejenis tape yang terbuat dari singkong/ubi kayu
  • Putu Bugis (kue putu dengan beras ketan hitam tanpa gula)
  • Putu Cangkiri' (kue putu dengan bentuk menyerupai cangkir)
  • Putu Kacang Khas Maros
  • Putu Maros (kue putu dengan lumuran parutan kelapa bentuk menyerupai tabung)
  • Roti Berre': Merupakan roti beras dan menyerupai serabi yang terbuat dari tepung beras
  • Roti Maros:[4] Roti ini terbuat dari tepung terigu yang diberi ragi agar mengembang kemudian diberi isi selai lalu dipanggang.
  • Sanggara' Balanda
  • Surabeng: Kue ini terbuat dari tepung beras dicampur dengan kelapa parut dan garam kemudian digoreng. Kue ini biasanya dihidangkan pada saat selesai panen padi, dimakan dengan air gula merah.
  • Tahu Isi Maros
  • Tara'jo (bahan baku ubi kayu)
  • Taripang Khas Maros (kue kering)
  • Tenteng Pipih Canggoreng: Jenis kue yang terbuat dari kacang tanah yang dihaluskan dengan kombinasi gula merah.
  • Tenteng Maros (kue kering)

Minuman

Minuman khas Kabupaten Maros adalah sebagai berikut:

  • Ballo Maros
  • Kopi Santan Khas Rammang-Rammang Maros[5]
  • Sarabba (Mak)/Sarebba (Bug) Khas Maros
  • Sirup Buah Nipa[5]
  • Teh Bunga Telang[5]
  • Teh Serai[5]

Oleh-oleh Khas

Oleh-oleh khas Kabupaten Maros adalah sebagai berikut:

  • Tepung Ketan Hitam Khas Maros
  • Kelapa Sangrai Khas Maros
  • Tepung Beras Merah Khas Maros
  • Kayu Kaeng Ta' Khas Maros
  • Kacang Tanah Khas Maros
  • Kacang Telur Khas Maros
  • Kacang Krispi Khas Maros
  • kripik Pisang Khas Maros
  • Beras Hitam Khas Maros
  • Beras Merah Khas Maros
  • Madu Hutan Maros
  • Songkok Recca
  • Alat Musik Kecapi Bugis-Makassar
  • Souvenir Kupu-Kupu

Bahasa dan Kesusasteraan

Penerapan mata pelajaran muatan lokal baca tulis aksara Lontara telah diterapkan dari jenjang pendidikan dasar dan menengah di Kabupaten Maros.

Bahasa merupakan salah satu pemersatu bangsa yang juga merupakan sarana untuk berkomunikasi antar sesama warga. Nah di Kabupaten Maros sendiri bahasa daerah yang digunakan adalah Bahasa Bugis (Basa Ugi), Bahasa Makassar (Basa Mangkasara'), dan Bahasa Dentong. Bahasa Bugis ini dituturkan oleh orang Bugis yang ada di Kabupaten Maros. Bahasa Bugis yang ada di Kabupaten Maros memiliki dialek tersendiri yang dinamakan Bahasa Bugis Dialek Maros. Perbedaan ini terletak pada perbedaan segi fonetis dan fonemis dimana berbeda dengan Bahasa Bugis Dialek Bone, Wajo, Soppeng, Luwu, Sidrap, Barru, Sawitto (Pinrang), Pangkep, dan masih banyak lainnya. Sementara untuk suku Makasar yang ada di Kabupaten Maros menggunakan bahasa daerah Bahasa Makassar. Bahasa Makassar yang ada di Kabupaten Maros juga memiliki dialek tersendiri yang dinamakan Bahasa Makassar Dialek Maros. Bahasa Makassar Dialek Maros berbeda dengan Bahasa Makassar Dialek Lakiung (Gowa), Pangkep, Turatea (Jeneponto), Takalar, dan lain sebagainya.

Etnik Bugis-Makassar mempunyai aksara tulisan bernama aksara Lontara yang berdasarkan tulisan Brahmi. Orang Bugis-Makassar mengucapkan Basa Ugi/Mangkasara' dan telah memiliki kesusasteraan tertulis sejak berabad-abad lamanya dalam bentuk lontar. Huruf yang dipakai adalah aksara lontara, sebuah sistem huruf yang berasal dari Sanskerta. Seperti halnya dengan wujud-wujud kebudayaan lainnya. Penciptaan tulisan pun diciptakan karena adanya kebutuhan manusia untuk mengabdikan hasil-hasil pemikiran mereka. Kata “ lontara' ” berasal dari Bahasa Bugis/Makassar yang berarti “daun lontar”. Karena pada awalnya tulisan tersebut dituliskan di atas daun lontar. Tiap-tiap daun lontar disambungkan dengan memakai benang lalu digulung pada jepitan kayu, yang bentuknya mirip gulungan pita kaset. Cara membacanya dari kiri ke kanan. Lontara Bugis dan Makassar merupakan sebuah huruf yang sakral bagi masyarakat Bugis-Makassar klasik di Kabupaten Maros. Tidak heran apabila nama-nama jalan dan tempat-tempat pemerintahan di wilayah Kabupaten Maros bertuliskan aksara Lontara.

Lontara adalah aksara tradisional masyarakat Bugis-Makassar. Lontara sendiri berasal dari kata “lontar” yang merupakan salah satu jenis tumbuhan yang ada di Sulawesi Selatan. Istilah lontara juga mengacu pada literatur mengenai sejarah dan geneologi masyarakat Bugis, salah satunya terdapat pada Sureq La Galigo. Menurut profesor Mattulada, bentuk dasar aksara Lontara berasal dari bentuk filosofis sulapa' appa' walasuji. Sulapa' appa' (empat sisi) adalah bentuk mistis kepercayaan Bugis-Makassar klasik yang menyimbolkan unsur pembentukan manusia, yaitu api (pepe') – air (je'ne) – angin (anging) – tanah (butta). Sedangkan walasuji berarti sejenis pagar bambu yang biasa digunakan pada acara ritual.

Aksara Lontara terdiri dari 23 huruf untuk Lontara Bugis dan 19 huruf untuk Lontara Makassar. Selain itu, perbedaan Lontara Bugis dengan Lontara Makassar yaitu pada Lontara Bugis dikenal huruf ngka, mpa, nca, dan nra sedangkan pada Lontara Makassar huruf tersebut tidak ada. Para leluhur Bugis pun memberikan nasihat kepada anak cucunya yang hendak merantau dengan aksara lontara. Nasihat ini berpesan mengenai empat hal tentang kekayaan dan kesuksesan. Engkau bersiap-siap meninggalkan negerimu menuju ke sebuah negeri yang lain. Semoga engkau menjadi orang kaya dan sejahtera di negeri orang. Pahamilah dengan baik bahwa kaya itu memiliki empat tanda-tanda. Pertama-tama, kaya dalam berbahasa dan berkomunikasi. Kedua, kaya dalam pemikiran dan imajinasi. Ketiga, kaya dalam dunia usaha (memiliki banyak keahlian dan relasi bisnis). Keempat, kaya dalam keuangan.

Partikel-Partikel Bahasa Bugis-Makassar Di Kabupaten Maros

  1. ji
  2. ki
  3. mi
  4. pi
  5. mo
  6. ma'
  7. di'
  8. tonji
  9. tawwa
  10. pale

Dialek Maros

No. Bahasa Inggris Bahasa Indonesia Dialek Maros
Bahasa Bugis Bahasa Makassar
1. to eat makan anre kanre
2. to walk jalan jokka jappa
3. to take ambil ala alle
4. to see lihat kita cini
5. house rumah bola balla
6. sourness rasa asam kecci kacci
7. red merah cella eja
8. cat kucing meong miong
9. one satu se'di se're
10. two dua duwa ruwa
11. money uang doi doe
12. to laugh ketawa macawa makkala
13. water air wae je'ne
14. day hari/siang esso allo
15. three tiga tellu tallu
16. fart kentut ettu' attu'
17. banana pisang utti unti
18. younger sister/brother adik anri andi'
19. name nama aseng areng
20. four empat eppa' appa'
21. monday senin seneng sanneng
22. ten sepuluh seppulo sampulo
23. time waktu wettu wattu
24. lucky mujur upe' upa'
25. snake ular ula' ulara'
26. arrogant sombong tempo tampo
27. to tie ikat sio' sikko'
28. with dengan sibawang siagang
29. to kick sepak sempe' sempa'
30. sandal sendal sendala' sandala'
31. sand pasir kessi kassi
32. bracelet gelang potto ponto
33. plate piring penne panne
34. black hitam lotong le'leng
35. deterrent jera jerra jarra
36. big besar loppo lompo
37. lumpy kental kentala' gantala'
38. even genap genne' ganna'
39. to want ingin elo ero
40. frog katak tuppang cuppang
41. blood darah dara cera'
42. mirror cermin camming carammeng
43. toothless ompong cemmo cammo
44. sewage comberan cemme cammara'
45. gold emas ulaweng bulaeng
46. man pria urane bura'ne
47. paper kertas ujang bujang
48. rice beras berre berasa'
49. iron besi bessi bassi
50. yarn benang wennang bannang

Kata-Kata Mutiara Khas Daerah

  • Ampedecengngi makkatenning ri lempu'e, nasaba puangnge passabakeng: berilah persangkaan baik dan berpegang teguh pada kejujuran karena Tuhan adalah segala sebab.
  • Taro ada taro gau: satu kata satu perbuatan. Artinya, apa yang diucapkan itu yang juga dilakukan. Bukan lain yang diucapkan, lain juga yang dilakukan. Kata-kata mutiara ini juga merupakan simbol loyalitas terhadap apa yang menjiwai masyarakat Bugis-Makassar itu sendiri dalam bertindak.
  • Sipakatau: memanusiakan manusia. Artinya, sebagai manusia kita harus saling menghormati, berbuat santun, dan tidak membeda-bedakan dalam kondisi apapun tanpa memandang suku, agama, ras, dan golongan kepada sesama manusia.
  • Sipakalebbi: saling memuliakan atau menghargai. Sifat menghargai artinya manusia merupakan makhluk yang senang jika dipuji dan diperlakukan dengan baik dan layak. Dan sifat memuliakan memiliki arti sebagai larangan untuk melihat kekurangan yang ada pada diri orang lain.
  • Sipakainge' : saling mengingatkan sesama manusia. Hal ini tidak terlepas dari kekurangan yang dimiliki oleh manusia itu sendiri yang terkadang lupa. Oleh karena itu, sudah sepatutnya kita untuk saling mengingatkan satu sama lain ketika mereka lupa.
  • Sipatokkong: saling bekerja sama/saling membantu. Sudah sepantasnya kita sebagai manusia saling membantu ketika ada orang lain yang membutuhkan bantuan kita, tanpa memandang siapa aku dan siapa dia.
  • Salama'ki tapada salama' dan Salama'ki: ucapan salam khas lokal (familiar untuk masyarakat Sulawesi Selatan)
  • Siri' mate siri' : Siri' yang berhubungan dengan iman. Dalam pandangan orang Bugis/Makassar, orang yang mate siri'-nya adalah orang yang di dalam dirinya sudah tidak ada rasa malu (iman) sedikit pun. Orang seperti ini diapakan juga tidak akan pernah merasa malu, atau yang biasa disebut sebagai bangkai hidup yang hidup.
  • Siri' tappela' siri' (Bugis Teddeng siri' ): rasa malu seseorang itu hilang “terusik” karena sesuatu hal. Misalnya, ketika seseorang memiliki utang dan telah berjanji untuk membayarnya maka si pihak yang berutang berusaha sekuat tenaga untuk menepati janjinya atau membayar utangnya sebagaimana waktu yang telah ditentukan (disepakati). Ketika sampai waktu yang telah ditentukan, jika si berutang ternyata tidak menepati janjinya, itu artinya dia telah mempermalukan dirinya sendiri.
  • Siri' na pacce (Bugis Siri' na pesse): Kecerdasan emosional untuk turut merasakan kepedihan atau kesusahan individu lain dalam komunitas (solidaritas dan empati)
  • Siri' Ripakasiri' : Siri' yang berhubungan dengan harga diri pribadi, serta harga diri atau harkat dan martabat keluarga. Siri' jenis ini adalah sesuatu yang tabu dan pantang untuk dilanggar karena taruhannya adalah nyawa.
  • Siri' Mappakasiri'-siri' : Siri' yang berhubungan dengan etos kerja.
  • Narekko degaga siri'mu, inrengko siri' : Kalau Anda tidak punya malu maka pinjamlah kepada orang yang masih memiliki rasa malu (siri').
  • Narekko engka siri'mu, aja' mumapakasiri'-siri' : Kalau Anda punya malu maka jangan membuat malu (malu-maluin).
  • Siri' paranreng, nyawa palao: Apabila harga diri telah terkoyak, maka nyawalah bayarannya.
  • Naia tau de'e siri'na, de lainna olokolo'e. Siri' e mitu tariaseng tau.: Barang siapa yang tidak punya siri', maka dia bukanlah siapa-siapa, melainkan hanya seekor binatang.

Petuah

Pesan para leluhur Bugis memberikan nasihat kepada anak cucunya yang hendak merantau dengan aksara lontara. Nasihat ini berpesan mengenai empat hal tentang kekayaan dan kesuksesan.

Engkau bersiap-siap meninggalkan negerimu menuju ke sebuah negeri yang lain. Semoga engkau menjadi orang kaya dan sejahtera di negeri orang. Pahamilah dengan baik bahwa kaya itu memiliki empat tanda-tanda. Pertama-tama, kaya dalam berbahasa dan berkomunikasi. Kedua, kaya dalam pemikiran dan imajinasi. Ketiga, kaya dalam dunia usaha (memiliki banyak keahlian dan relasi bisnis). Keempat, kaya dalam keuangan.

Cerita Rakyat

  • Legenda Toakala
  • Legenda Biseang Labboro'
  • Legenda Tomanurung Maros
  • Legenda Pa'jekko Tradisi Appalili
  • Cerita Nene' Pakande
  • Cerita Longga'

Rujukan

  1. ^ Anthony, Rio (2019-06-24). "Disbupar Maros Gelar Festival Gendang dan Kecapi". www.tagar.id. Diakses tanggal 2019-06-25. 
  2. ^ Fadli, Andi Chaerul (2015-03-17). "Batik Maros Kini Punya HKI". Tribunnews.com. Diakses tanggal 2019-09-21. 
  3. ^ a b "Motela, Bumerang Asli Indonesia yang Bisa 'Lumpuhkan' Mangsa Seperti Milik Suku Aborigin". www.boombastis.com. Diakses tanggal 2019-09-12. 
  4. ^ a b c d e f g Sulistiarmi, Wike. "7 Kuliner Maros yang Wajib Dicicipi Wisatawan". phinemo.com. Diakses tanggal 2019-06-25. 
  5. ^ a b c d Bakrie, Moehammad (2019-02-28). "Gurih Wangi Paduan Kopi dan Santan Khas Rammang-rammang Maros". detikcom. Diakses tanggal 2019-09-18. 
Kembali kehalaman sebelumnya