Hubungan Katolik–Protestan
Hubungan Katolik–Protestan mengacu kepada relasi sosial, politik, dan teologi, serta dialog antara umat Kristen Katolik dan Protestan. Relasi ini bermula pada abad ke-16 dengan munculnya Reformasi dan Protestantisme. Ada lebih dari satu faktor yang berkontribusi bagi kemunculan Reformasi Prostestan, khususnya ketidaksepamahan mengenai hakikat keselamatan, dan dengan demikian juga ketidaksepahaman dalam beberapa doktrin, antara lain penjualan indulgensi. Ketidaksepahaman ini bermuara pada skisma ketika golongan Protestan memutuskan untuk berpisah dari Gereja Katolik, sehingga diselenggarakanlah Konsili Trente (tahun 1545–1563) yang memperjelas pendekatan Katolik terhadap Protestantisme semenjak saat itu, dengan menakrifkan segala bentuk Protestantisme sebagai haeresis. Serentet peristiwa penting menyusul dan memecah-belah Eropa, menyebabkan beberapa negara mengganti agama resminya dari Katolik menjadi Protestan. Meskipun demikian, banyak orang di negara-negara itu tetap teguh memeluk agama Katolik, bahkan di beberapa tempat terjadi arus balik ke dalam Gereja Katolik sebagai buah Kontra Reformasi. Sebagian besar skisma dan peristiwa yang ditimbulkan Reformasi Protestan dapat dikatakan penuh dengan kekerasan dan gejolak. Sengketa teologisSengketa teologis Katolik–Protestan tercipta pada tahun 1517 dengan terbitnya Sembilan Puluh Lima Dalil Martin Luther, berisi sembilan puluh lima gugatan terhadap doktrin Katolik, antara lain pembedaan rohaniwan dan awam, monopoli Gereja atas tafsir Kitab Suci, penjualan indulgensi, dan hakikat keselamatan.[3] KeselamatanPemahaman Martin Luther tentang keselamatan merupakan salah satu penyimpangan radikal dari dogma Katolik. Martin Luther menegaskan bahwa keselamatan orang Kristen adalah anugerah cuma-cuma dari Allah. Bertolak dari pemahaman inilah Martin Luther mengecam penjualan indulgensi sebagai sarana yang dapat digunakan orang untuk mencapai surga. Ia menitikberatkan pentingnya suatu proses keselamatan yang berkiblatkan iman, berbeda dari keselamatan berkiblatkan amal saleh yang menurutnya diajarkan oleh Gereja Katolik. Pendirian tersebut juga menimbulkan pergeseran dalam pemahaman tentang rahmat.[3] Doktrin Protestan ini dikenal dengan sebutan sola fide (iman saja).[4] Advokat Prancis Yohanes Kalvin merumuskan teologi keselamatan Kalvinis. Jika Martin Luther berpendirian bahwa keselamatan tersedia bagi semua orang, maka Yohanes Kalvin memperkenalkan doktrin predestinasi. Bertolak dari gagasan bahwa kehendak bebas insani sudah menjadi hamba dosa, dan keselamatan adalah karya Allah semata-mata (bukan usaha manusia), Yohanes Kalvin menegaskan bahwa orang-orang tertentu sudah ditakdirkan untuk masuk surga, dan orang-orang selain mereka sudah ditakdirkan untuk tidak masuk surga.[5] KewenanganDasar penting bagi doktrin-doktrin kedua belak pihak adalah hakikat kewenangan mereka. Dalil-dalil Protestan bertumpu pada pendirian bahwa Kitab Suci adalah satu-satunya landasan doktrin Kristen (sebagaimana diyakini oleh golongan Lutheran) atau pendirian bahwa Kitab Suci adalah sumber utama doktrin Kristen (sebagaimana diyakini oleh golongan Anglikan dan Metodis).[6][7][8][9][10] Semuanya itu telah memunculkan kecaman keras terhadap pendirian Gereja Gerej katolik yang menyejajarkan Kitab Suci dengan Tradisi Suci, dan menganggap kedua-duanya sama-sama diwahyukan Allah dan sama-sama mengikat.[10] Gereja Katolik memandang dirinya sendiri sebagai "satu-satunya Gereja sejati" yang didirikan Yesus demi keselamatan umat manusia. SejarahAbad ke-16 – Reformasi
Pada abad ke-16, timbul gerakan Reformasi yang melahirkan Protestantisme sebagai suatu entitas yang berbeda dari Katolik. Gereja Katolik menanggapi dengan mencetuskan proses reformasinya sendiri yang disebut "Kontra Reformasi" dan berpuncak pada Konsili Trento. Konsili inilah yang bertanggung jawab atas beberapa perubahan amalan dan klarifikasi doktrin.[11] Meskipun demikian, kedua belah pihak tetap sangat berlainan satu sama lain. Sesudah bertahun-tahun gagasan Martin Luther tersebar, golongan Protestan mengajukan pernyataan iman mereka dalam Diet Augsburg tahun 1530.[12] Pada tahun 1540, Paus Paulus III memberikan persetujuan atas ordo Serikat Yesus (atau "Yesuit"), yang dibentuk dengan tujuan utama untuk memberantas Protestantisme.[13] Islah Regensburg tahun 1541 adalah ikhtiar yang gagal mempersatukan kembali umat Katolik dan umat Protestan Lutheran.[12] Di negara-negara yang "secara tradisional bersifat Roma", yaitu Prancis, Spanyol, dan Italia, dilaksanakan Inkuisisi Roma tahun 1542. Inkuisisi ini mengincar semua pihak yang dicap bidat oleh Gereja Katolik, tetapi secara khusus menyasar golongan Protestan. Secara teknis, Gereja sendiri tidak pernah menghukum mati ahli-ahli bidat (lantaran Hukum Kanon melarang penumpahan darah), tetapi menyerahkan ahli-ahli bidat kepada pemerintah untuk dihukum.[14] Pertikaian Kaisar Jerman yang beragama Katolik dengan para Pangeran Praja yang beragama Protestan menyulut Perang Schmalkalden tahun 1547. Pihak Protestan kalah, tetapi kemudian hari Protestantisme diakui secara hukum sebagai agama yang sah.[12] Perjanjian Damai Augsburg tahun 1555 mengizinkan umat Katolik dan umat Lutheran di Jerman untuk menganut agama pemimpinnya, apa pun agamanya.[15] PrancisBerbeda dari negara-negara lain di Eropa, gerakan Reformasi di Prancis tidak didukung masyarakat, negara, maupun Gereja. Umat Protestan perdana di Prancis menjadi korban aniaya dalam bentuk hukuman mati atau pengasingan. Mulai dari tahun 1562, timbul konflik antara umat Protestan Hugenot dan umat Katolik. Pada tahun 1589, penobatan Henri IV yang beragama Protestan menjadi Raja Prancis melambungkan harapan umat Protestan Prancis. Meskipun demikian, setiap perombakan yang diikhtiarkannya dibuyarkan oleh persekutuan antara umat Katolik Prancis dengan Raja Spanyol yang memaksanya untuk masuk Katolik. Maklumat Nantes tahun 1598 memberi hak kepada kaum Hugenot untuk mengamalkan agamanya secara leluasa, sembari mengekalkan agama Katolik sebagai agama resmi negara.[16] Negeri BelandaNegeri Belanda dengan cepat menyambut Reformasi dan tidak lama kemudian sudah memeluk agama Protestan. Kendati ditentang penguasa Negeri Belanda pada masa itu (Spanyol), pergerakan kemerdekaan Belanda mengenyahkan tekanan Spanyol sehingga memungkinkan Protestanisme untuk tumbuh dan berkembang.[16] SkandinaviaSeantero Skandinavia mengadopsi Lutheranisme pada abad ke-16, ketika kepala negara Denmark (sekaligus Norwegia dan Islandia) dan kepala negara Swedia (sekaligus Finlandia) menjadi penganut Lutheranisme. SwediaDi Swedia, Reformasi dipelopori oleh Gustav Vasa, yang terpilih menjadi raja pada tahun 1523. Tokoh yang besar andilnya dalam usaha Reformasi di Swedia adalah Olaus Petri, seorang rohaniwan Swedia. Sengketa dengan Sri Paus seputar campur tangan Olaus Petri di dalam urusan-urusan gerejawi in Swedia bermuara pada penghentian segala hubungan resmi antara Swedia dengan kepausan mulai tahun 1523. Empat tahun kemudian, di dalam Diet Västerås, raja berhasil memaksa para peserta sidang untuk mengakui kedaulatannya atas gereja nasional. Raja diserahi kepemilikan atas seluruh harta benda gereja, pengangkatan pejabat gereja wajib dilakukan atas seizin raja, kaum rohaniwan harus menaati hukum sipil, serta "Firman Allah yang murni" harus dikhotbahkan di gereja-gereja dan diajarkan di sekolah-sekolah. Keputusan-keputusan Diet Västerås tersebut secara efektif memberikan persetujuan resmi kepada gagasan-gagasan Lutheran. Suksesi apostolik dipertahakan di Swedia selama berlangsungnya Reformasi. Adopsi Lutheranisme juga menjadi salah satu alasan utama meletusnya Perang Dacke, pemberontakan rakyat tani di Småland. DenmarkPada masa pemerintahan Raja Frederik I (tahun 1523–1533), Denmark secara resmi tetap Katolik.[17] Raja Frederik mula-mula berikrar untuk menindas golongan Lutherans[18] tetapi dengan cepat mengadopsi kebijakan melindungi para pengkhotbah dan reformator Lutheran, yang paling terkenal adalah Hans Tausen.[17] Sepanjang masa pemerintahannya, Lutheranisme berhasil menggaet cukup banyak pengikut dari kalangan masyarakat Denmark.[17] Pada tahun 1526, Raja Frederik mengharamkan penyelenggaraan upacara investitur uskup di Denmark oleh lembaga kepausan. Pada tahun 1527, ia mewajibkan uskup-uskup baru untuk menyetor bea kepada raja, dan dengan demikian menjadikan dirinya kepala gereja Denmark.[17] Putra Frederik, Pangeran Christian, secara terang-terangan menganut Lutheranisme, sehingga membuatnya tidak terpilih menjadi raja sepeninggal ayahnya. Pada tahun 1536, sesudah memenangkan Perang Bupati, Pangeran Christian naik takhta menjadi Raja Christian III dan meneruskan usaha reformasi gereja negara dengan bantuan Johannes Bugenhagen. Pada masa reses Kopenhagen bulan Oktober 1536, kewenangan uskup-uskup Katolik ditiadakan.[19] IslandiaPengaruh Martin Luther lebih dulu sampai ke Islandia ketimbang titah Raja Christian III. Nelayan-nelayan Jerman menangkap ikan di dekat pesisir Islandia, dan saudagar-saudagar Liga Hansa berdagang dengan orang-orang Islandia. Orang-orang Jerman tersebut membentuk sebuah jemaat Lutheran di Hafnarfjörður seawal-awalnya pada tahun 1533. Melalui hubungan dagang dengan Jerman, banyak pemuda Islandia berkesempatan menuntut ilmu di Hamburg.[20] Pada tahun 1538, ketika titah raja tentang ordinansi gereja yang baru akhirnya sampai ke Islandia, Uskup Ögmundur beserta para rohaniwannya menyuarakan penentangan, mengancam akan mengekskomunikasi siapa saja yang mengikuti "bidat" Jerman.[21] Pada tahun 1539, Raja mengutus gubernur baru ke Islandia, Klaus von Mervitz, mengemban amanat untuk menghadirkan perubahan dan mengambil alih harta benda gereja.[21] Klaus Von Mervitz menyita sebuah biara di Viðey dengan bantuan sheriff-nya, Dietrich Von Minden, beserta para serdadu yang dipimpinnya. Lantaran mendepak para rahib dan menyita semua harta benda biara, mereka langsung diekskomunikasi oleh Uskup Ögmundur. Inggris RayaInggris dan Skotlandia menjadi negara-negara Eropa yang paling lama bertransformasi dalam menanggapi Reformasi. Raja Henry VIII mendapuk dirinya sebagai kepala gereja Inggris pada tahun 1534 sebagai tanggapan terhadap penolakan Roma untuk membatalkan perkawinannya dengan Prameswari Katerina. Meskipun demikian, ia tetap Katolik sampai akhir hayatnya. Reformasi di Inggris secara resmi dimulai pada masa pemerintahan Raja Edward VI (tahun 1547–1553) dipimpin Uskup Agung Canterbury, Thomas Cranmer. Ratu Mary (tahun 1553–1558) menindas umat Protestan demi menegakkan kembali agama Katolik di negeri Inggris. Ironisnya, kebijakannya justru membuat umat Protestan semakin teguh berpegang kepada keimanan mereka. Ratu Elizabeth I mengikuti arah angin bertiup dan mengukuhkan Protestantisme sebagai agama negara Inggris untuk selama-lamanya.[22] Secara keseluruhan, reformasi di Inggris mengakibatkan penyitaan seluruh harta benda Gereja Katolik di Britania, aniaya terhadap kaum rohaniwan, dan tumbangnya agama Katolik sebagai sebuah kekuatan sosial politik yang penting kawasan itu.[4] Abad ke-17Pada tahun 1618, perang kemerdekaan Belanda berakhir, dan Kerajaan Katolik Spanyol kehilangan kedaulatannya atas Negeri Belanda. Bagian terbesar dari perang kemerdekaan Belanda dianggap sebagai perang atas dasar agama.[16] Pada abad ke-17, ketegangan hubungan Protestan-katolik meningkat, khususnya di Jerman, sehingga menyulut Perang Tiga Puluh Tahun dari tahun 1618 sampai 1648. Perang ini meluluhlantakkan sebagian besar Eropa Tengah dan memecah-belah benua Eropa menjadi negeri-negeri Katolik dan negeri-negeri Protestan. Baik bangsa Swedia, Denmark, maupun Prancis terlibat dalam perang ini. Perang Tiga Puluh Tahun berpuncak pada Perjanjian Damai Westfalen tahun 1648 yang memberi golongan Kalvinis dan golongan Lutheran hak-hak yang sama dengan umat Katolik.[23] Warga koloni New England benar-benar sarat dengan kecurigaan terhadap agama Katolik, sehingga akhirnya mengundang-undangkan pengusiran semua rohaniwan katolik pada tahun 1647. Pada tahun 1689, sidang wakil rakyat koloni Maryland mengharamkan tindakan membaptis orang menjadi Katolik di luar dari keluarga-keluarga yang memang sudah beragama Katolik, mengharamkan perayaan Misa, dan lain-lain.[10] Pada tahun 1685, Raja Louis XIV mencabut Maklumat Nantes, sehingga menimbulkan aniaya terhadap umat Protestan di Prancis.[23] Abad ke-18Inggris dan koloni-koloninya yang beragama Protestan terus-menerus merasa was-was terhadap Gereja Katolik. Amerika Utara secara khusus memusuhi Gereja Katolik. Pada tahun 1700, semua rohaniwan Katolik yang berimigrasi ke Amerika dipenjarakan begitu menjejakkan kakinya di New England. Pada tahun 1725, warga London keturunan Spanyol, Antonio Gavin, menulis buku A Master Key to Popery, yang diadopsi sekte-sekte Protestan di seluruh Kemaharajaan Inggris. Gavin menyifatkan rohaniwan Katolik sebagai "serigala berbulu domba", sengaja mengajarkan doktrin sesat, haus akan kekuasaan, dan sebagainya. Sentimen-sentimen yang sama dikhotbahkan di seluruh Kemaharajaan Inggris, baik dalam ruang lingkup hukum, akademis, maupun keagamaan. Pada tahun 1731, Hakim Agung Massachusetts, Paul Dudley, menulis An Essay on the Merchandize of Slaves and Souls of Men: With Application thereof to the Church of Rome, yang menyifatkan Gereja Katolik sebagai Gereja Roma yang mata duitan. Di samping karya-karya tulis yang lain, esai Paul Dudley tersebut kelak dijadikan sumber acuan dalam penyusunan materi kuliah umum tahunan mengenai "Deteksi, Pembuktian, dan Pembentangan Penyembahan Berhala Gereja Roma". Jonathan Mayhew, gembala jemaat Gereja Barat Boston, juga berkhotbah tentang penyembahan berhala transubstansiasi dan tindakan menyetarakan tradisi lisan dengan Kitab Suci. Pada akhir abad ke-18, seperangkat undang-undang baru diperkenalkan di Amerika Utara jajahan Inggris guna membendung arus imigrasi umat katolik dan mencabut hak milik umat Katolik yang sudah berdiam di kawasan itu. Pada tahun 1757, umat Katolik dicabut haknya untuk memiliki senjata. Antikatolisisme dengan segera erat dikaitkan dengan nasionalisme. Itulah sebabnya ketika desas-desus hubungan gelap Gereja Katolik dengan monarki Inggris merebak, warga koloni lebih memilih untuk berontak melepaskan diri dari Inggris. Sikap semacam ini berkontribusi terhadap Revolusi Amerika (tahun 1765–1783). Meskipun demikian, para revolusionaris pada akhirnya meninggalkan sikap tersebut karena mereka bergantung kepada aliran dana dari negara Katolik Prancis, juga demi menghindari konflik dengan warga koloni Katolik Maryland, Philadelphia, dan Quebec.[24] Bertolak belakang dengan sikap-sikap semacam itu, Undang-Undang Quebec tahun 1774 justru memberikan perlindungan bagi umat Protestan Inggris maupun umat Katolik Prancis di Kanada.[24] Abad ke-19Pada dasawarsa 1800-an, berlangsung suatu kurun waktu yang dikenal dengan sebutan Kebangunan Dahsyat Kedua di kalangan umat Protestan Amerika Serikat. Tokoh-tokoh utamanya, seperti Charles Grandison Finney (tahun 1792–1875), menganjurkan penentangan terhadap agama Katolik Roma sebagai salah satu wujud kedurjanaan. Lembaga Alkitab Amerika – sebuah organisasi Protestan – menganjurkan persatuan denominasi-denominasi Protestan demi memerangi agama Katolik. Ada prasangka yang mendalam di kalangan umat Protestan terhadap lembaga kepausan.[25] Pada tahun 1821, dan sekali lagi pada tahun 1825, Dewan Rakyat Inggris membahas rancangan undang-undang berkenaan dengan emansipasi umat Katolik. Baik pada tahun 1821 maupun pada tahun 1825, rancangan undang-undang tersebut ditolak lantaran mempertimbangkan hakikat Dewan Bangsawan Inggris yang sangat Protestan.[4] Negara Katolik Austria mengakui Protestantisme sebagai sebuah agama yang sah pada dasawarsa 1860-an.[26] Pada tahun 1871, para pemuka Protestan Jerman melancarkan program kulturkampf (pergumulan budaya) yang melandasi penganiayaan terhadap Gereja Katolik di Jerman. Biro Katolik di Kementerian Pendidikan Jerman ditiadakan, dan imam-imam yang terang-terangan menunjukkan sikap politiknya diterdakwakan. Pada tahun 1872, para Yesuit diusir dari Jerman.[27] Pada tahun 1895, Paus Leo XIII mengupayakan islah dengan Gereja Inggris lewat surat apostolik Ad Anglos. Meskipun demikian, pada tahun 1896, Sri Paus menegaskan superioritas Katolik dan menyatakan tahbisan Anglikan tidak sah[28] di dalam bula Apostolicae curae. Abad ke-20Banyak perkembangan terjadi di dalam relasi Katolik-Protestan pada abad ke-20. Pada tahun 1910, Konferensi Misionaris Internasional diselenggarakan di Edinburgh sebagai suatu upaya untuk mempersatukan gereja-gereja non-Roma. Denominasi-denominasi Protestan menindaklanjuti peluang untuk bersatu tersebut dengan hasil yang beragam. Wakil-wakil Katolik menghadiri konferensi tersebut, tetapi hanya sebagai pengamat.[29] Temu wicara di Mechelen (tahun 1923–1927) adalah pembicaraan-pembicaaan di antara beberapa wakil Gereja Katolik dan Gereja Inggris yang dihentikan oleh Paus Pius XI. Tidak ada perubahan nyata yang dihasilkan.[30] Pada tahun 1950, Gereja Katolik Roma kian memperlebar kesenjangan dengan Protestantisme ketika menakwilkan dan menguatkuasakan doktrin Santa Maria Diangkat ke Surga pada masa jabatan Paus Pius XII.[30] Konsili Vatikan II (tahun 1962–1965) berniat untuk bergerak menuju kesatuan Christian dari semua denominasi. Kesatuan doktrinal tercapai hingga taraf tertentu dengan bermacam-macam denominasi, dan sebuah "Alkitab bersama"[a] diperkenalkan.[30] Abad ke-21Dijiwai semangat Vatikan II, Gereja Katolik sudah mengambil pendekatan yang lebih terbuka terhadap persatuan Kristen dengan umat Protestan maupun Ortodoks Timur.[30] Meskipun demikan, banyak serpihan denominasi Protestan ala Amerika-Inggris yang teramerikanisasi masih saja sarat dengan kesangsian terhadap Gereja Katolik.[32][33] Oikumenisme dengan sekte-sekte semacam itu tampak mustahil.[24] Pada tahun 2015, Paus Fransiskus menyebut perpecahan umat Kristen sebagai "hasil karya bapa segala dusta [iblis]." Sri Paus menambahkan pula bahwa iblis tahu "semua orang Kristen adalah murid Kristus: bahwa mereka itu satu, bahwa mereka bersaudara! Dia [iblis] tidak peduli apakah mereka itu orang Injili atau Ortodoks, Lutheran, Katolik atau Apostolik… Dia tidak peduli! Pokoknya mereka adalah orang Kristen!"[30][34][35] Pada tahun 2016, Paus Fransiskus melakukan lawatan ke Lund, Swedia, dan berpartisipasi dalam perayaan yang diselenggarakan untuk menyongsong peringatan 500 tahun Reformasi.[36] Setahun kemudian, Biro Pers Vatikan menerbitkan prangko khusus untuk memperingati 500 tahun Reformasi; perangko tersebut menampilkan gambar Luther dan Melanchton berlutut di hadapan Yesus yang tersalib.[37][38] Keterangan
Baca juga
Rujukan
Kepustakaan
|