Turunnya Kristus ke neraka
Dalam teologi Kristen, peristiwa turunnya Kristus ke neraka (bahasa Latin: Descensus Christi ad Inferos) atau peristiwa Geger Neraka adalah peristiwa lawatan mulia Kristus ke neraka yang berlangsung pada selang waktu antara wafat dan kebangkitan-Nya. Pada selang waktu tersebut, Kristus diyakini turun ke neraka, membawa anugerah keselamatan bagi semua arwah orang sadik yang wafat mendahului-Nya semenjak manusia diciptakan.[1] Umat Kristen di Indonesia sekarang ini lazimnya menerjemahkan kata "Hades" atau "Inferos" dalam Syahadat Para Rasul menjadi "Tempat Penantian" (Kristen Katolik) atau "Alam Maut" (Kristen Protestan). Sejumlah teolog Kristen menggunakan istilah Syeol atau Limbo sebagai sebutan bagi neraka yang didatangi Yesus, guna membedakannya dari neraka tempat arwah orang-orang yang dilaknat.[2] Keyakinan mengenai peristiwa Geger Neraka diungkapkan dalam Syahadat Para Rasul dan Syahadat Atanasius (Quicumque Vult) dengan pernyataan bahwa Yesus Kristus "turun ke neraka". Turunnya Kristus ke neraka tersirat dalam nas Alkitab Perjanjian Baru (1 Petrus 3:19–20) yang menyatakan bahwa Yesus "pergi memberitakan Injil kepada roh-roh yang di dalam penjara" (Menurut Katekismus Gereja Katolik, nas Efesus 4:9, yang menyatakan bahwa Kristus "telah turun ke bagian bumi yang paling bawah", juga mendukung keyakinan mengenai peristiwa Geger Neraka).[3] Langkanya ayat-ayat semacam ini dalam Alkitab telah menimbulkan kontroversi dan bermacam-macam tafsir.[4] Menurut Ensiklopedia Katolik, peristiwa Geger Neraka pertama kali diriwayatkan secara jelas dalam Injil Nikodemus, pada bagian yang disebut Kisah Pilatus, yang juga diriwayatkan lebih awal dalam Kisah Petrus dan Paulus.[5] Peristiwa turun ke neraka ini diriwayatkan dalam syair-syair Inggris Kuno karya Cædmon dan Cynewulf. Peristiwa ini diriwayatkan kembali dalam khotbah Ælfric dari Eynsham pada ca. 1000 M, yang pertama kali menggunakan istilah "geger" (bahasa Inggris: harrowing). Sastra naskah sandiwara Inggris Pertengahan memuat bentuk paripurna dan paling dramatis dari subjek ini.[1] Dalam seni rupa Kristen, tema Geger Neraka dikenal pula dengan sebutan Anastasis (kata Yunani yang berarti "kebangkitan"). Seni rupa bertema Anastasis adalah hasil reka cipta budaya Bizantin dan pertama kali muncul di Gereja Barat pada permulaan abad ke-8.[6] PeristilahanFrasa Yunani yang digunakan dalam Syahadat Para Rasul adalah κατελθόντα εἰς τὰ κατώτατα, (kateltonta eis ta katôtata), dan frasa Latin yang digunakan adalah descendit ad inferos. Kata Yunani τὰ κατώτατα (ta katôtata, paling bawah) dan kata Latin inferos (yang di bawah) dapat pula diterjemahkan menjadi alam bawah, alam maut, alam barzah, atau dunia orang mati. Kata "geger"[7] digunakan sebagai padanan untuk kata Inggris "harrow", dari kata "hergian" dalam bahasa Inggris Kuno yang berarti serbu atau rayah. Kata ini muncul dalam naskah khotbah Ælfric pada ca. 1000 M.[8] Istilah Geger Neraka bukan sekadar mengacu pada gagasan mengenai turunnya Kristus ke neraka, sebagaimana yang dinyatakan dalam syahadat Kristen, melainkan juga mengacu pada tradisi-tradisi yang berkembang di kemudian hari, yakni keyakinan bahwa Yesus berjaya menundukkan inferos, melepaskan tawanan-tawanan dari neraka, teristimewa Adam dan Hawa serta semua laki-laki dan perempuan budiman dari zaman Perjanjian Lama. Sumber-sumber rujukanAlkitabDalam mitologi Klasik, Hades adalah alam bawah yang dihuni oleh jiwa-jiwa orang yang sudah wafat, dan diperintah oleh Dewa Pluto. Alkitab Perjanjian Baru menggunakan istilah "Hades" sebagai sebutan bagi alam barzah. Di beberapa bagian dari Alkitab Perjanjian Baru, istilah ini tampaknya bermakna suatu lingkungan yang netral, tempat orang-orang mati menanti-nantikan saatnya Yesus wafat, dimakamkan, dan bangkit kembali. Sejumlah ayat Alkitab Perjanjian Baru diyakini menyiratkan bahwa Kristus turun ke alam barzah ini untuk membawa orang-orang sadik ke surga. Ayat-ayat Alkitab Perjanjian Baru lainnya menyiratkan bahwa Hades adalah tempat penyiksaan orang-orang fasik, sehingga menimbulkan dugaan bahwa Hades terdiri atas dua bagian yang berlainan. Ayat-ayat yang memuat kata "hades"Dalam Alkitab Perjanjian Baru versi Terjemahan Baru dari Lembaga Alkitab Indonesia, ada 11 ayat yang mengacu pada "Hades", yakni:
Ayat-ayat yang mendukung ajaran tentang Hades namun tanpa kata "hades"Meskipun ayat-ayat berikut ini tidak memuat kata "hades", namun para teolog menyimpulkan bahwa istilah-istilah yang digunakan di dalamnya memiliki makna yang sama:
Ajaran Gereja perdanaPara teolog Gereja perdana yang pernah mengemukakan ajaran mengenai peristiwa Geger Neraka melalui karya-karya tulis adalah Santo Melito dari Sardis (dalam Homili Perihal Kisah Sengsara), Tertulianus (dalam Risalah Perihal Jiwa, 55), Hipolitus (dalam Risalah Perihal Kristus dan Anti-Kristus) Origenes (dalam Melawan Selsus, 2:43), dan Santo Ambrosius (wafat 397). Para ahli bidah terdahulu, yakni Markion dan para pengikutnya, juga pernah membahas mengenai peristiwa Geger Neraka, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Tertulianus, Ireneus, dan Epifanius. Bidah Kristolit yang muncul pada abad ke-6, sebagaimana diriwayatkan oleh Yohanes dari Damaskus, percaya bahwa Yesus meninggalkan jiwa dan raga-Nya di Neraka, dan hanya bangkit dan naik ke surga dalam keilahian-Nya.[10] Injil Matius meriwayatkan bahwa segera sesudah Kristus wafat, terjadi gempa bumi, langit menjadi gelap, tabir kenisah tercabik menjadi dua bagian, dan banyak orang mati yang bangkit berkeliaran di Yerusalem disaksikan oleh banyak orang. Menurut riwayat dalam karya tulis apokrif, Injil Nikodemus, peristiwa Geger Neraka sudah diisyaratkan terlebih dahulu ketika Kristus membangkitkan Lazarus dari kematian sebelum Ia sendiri disalibkan. Syair dalam madah-madah yang digubah untuk dinyanyikan pada akhir pekan menyiratkan bahwa sebagaimana yang telah ia perbuat semasa hidup, Yohanes Pembaptis sekali lagi merintis jalan bagi Yesus di Neraka dengan bernubuat kepada arwah-arwah bahwa Kristus akan segera datang untuk menyelamatkan mereka. Dalam Kisah Pilatus—lazimnya digabungkan dengan Injil Nikodemus buatan Abad Pertengahan yang banyak dibaca orang—teks-teks yang merupakan hasil pengembangan dari sebuah karya tulis asli yang mungkin saja berasal dari abad ke-3 dengan banyak perbaikan dan interpolasi, bab 17 sampai bab 27 dinamakan riwayat Decensus Christi ad Inferos. Bagian ini berisi sebuah dialog dramatis antara Hades dan penghulu setan, serta peristiwa lawatan agung Sang Raja Kemuliaan, dibayangkan seolah-olah si periwayat berada di dalam Tartarus. Uraian-uraian yang paling kaya dan terperinci mengenai peristiwa Geger Neraka terdapat dalam sastra drama Abad Pertengahan, misalnya keempat kumpulan besar drama misteri Inggris yang masing-masing memiliki satu adegan terpisah untuk menggambarkan peristiwa Geger Neraka. Contoh lainnya adalah ulasan-ulasan singkat mengenai peristiwa Geger Neraka dalam Inferno karya Dante. Subjek ini juga terdapat dalam drama-drama misteri Cornwall dan kumpulan-kumpulan drama York dan Wakefield. Kisah-kisah peristiwa Geger Neraka versi Abad Pertengahan ini bukan bersumber dari kalimat-kalimat yang mengisyaratkan tentang peristiwa Geger Neraka dalam Epistola yang dinisbahkan kepada Petrus (1 Petrus 3:19–20), melainkan dari Injil Nikodemus.[11] Gagasan mengenai akhiratMenurut pandangan mengenai akhirat dalam Perjanjian Lama, semua orang, baik orang sadik maupun orang fasik, akan turun ke Syeol bila wafat. Tidak ada tokoh Ibrani yang pernah turun ke Syeol kemudian kembali lagi, meskipun ada riwayat dalam Perjanjian lama tentang penampakan arwah Samuel yang belum lama wafat kepada Saul ketika dipanggil oleh perempuan tukang tenung di Endor. Dalam sejumlah karya tulis dari zaman kenisah kedua konsep Syeol dijabarkan secara lebih teperinci. Menurut karya-karya tulis ini, Syeol terbagi menjadi dua tempat penampungan arwah; satu bagian diperuntukkan bagi arwah orang-orang sadik, dan satu bagian lagi diperuntukkan bagi arwah orang-orang fasik. Dalam Perjanjian Baru, Syeol, penampungan umum bagi arwah-arwah, dibedakan dari takdir abadi yang menunggu arwah orang-orang terlaknat pada hari pengadilan terakhir, yakni tempat yang disebut Gehena, kegelapan yang paling gelap, atau lautan api abadi. Pandangan-pandangan Helenistik mengenai sikap kepahlawanan yang terwujud dalam tindakan turun ke Alam Barzah dan berhasil kembali sesungguhnya mengikuti tradisi-tradisi yang jauh lebih tua daripada agama-agama misteri yang populer pada masa hidup Kristus. Kisah kunjungan ke Alam Barzah juga terdapat dalam wiracarita Gilgames dan bagian ke-11 dari wiracarita Odiseus. Vergilius, pujangga Romawi yang berkarya menjelang permulaan tarikh Masehi, juga memasukkan kisah semacam ini dalam karya tulisnya, wiracarita Aeneis. Segelintir keterangan mengenai peribadatan agama-agama misteri semisal agama misteri Eulesis dan agama misteri Mitras menyiratkan bahwa ritual kematian dan kelahiran kembali yang dijalani oleh pemeluk baru merupakan bagian penting dari tata ibadatnya. Ritual semacam ini serupa dengan ritual-ritual yang lebih tua, khususnya ritual dalam kultus penyembahan Osiris. Khotbah kuno mengenai turunnya Tuhan ke neraka mungkin mencerminkan tradisi-tradisi ini dengan mengacu pada baptisan sebagai lambang kematian dan kelahiran kembali (Kol 2:9–15), atau mungkin pula tradisi-tradisi agama misteri Mitras yang sesungguhnya bersumber dari khotbah-khotbah Kristen perdana. Tafsir-tafsir mengenai doktrin iniKatolikAda sebuah naskah homili kuno mengenai perstiwa turunnya Kristus ke Neraka yang tidak diketahui jati diri pengarangnya. Homili ini lazimnya dijuduli Turunnya Tuhan ke Neraka, sama dengan judul bacaan kedua dalam ibadat sabda pada hari Sabtu Suci di Gereja Katolik Roma.[12] Katekismus Gereja Katolik (KGK) menyatakan bahwa "dengan ungkapan 'Ia turun ke Neraka', Syahadat Para Rasul mengakui bahwa Yesus sungguh-sungguh wafat, dan melalui wafat-Nya Ia menaklukkan maut serta iblis 'yang berkuasa atas maut' (Ibrani 2:14). Dalam jiwa insani-Nya yang bersatu dengan pribadi ilahi-Nya, Kristus yang telah wafat itu turun ke dunia orang mati. Ia membukakan pintu-pintu surga bagi orang sadik yang telah wafat mendahului-Nya."[13] Kata "Neraka" berasal dari bahasa Sanskerta, नरक, naraka. Kata "Neraka" telah digantikan dengan frasa "Alam Maut" sebagai padanan bagi kata Latin, infernus, infernum, inferi, dan kata Yunani, ᾍδης, Hades, serta kata Ibrani, שאול, Syeol, dalam terjemahan Alkitab dan Syahadat Para Rasul (Syahadat Para Rasul versi Katolik menggunakan istilah "tempat penantian") ke dalam bahasa Indonesia sebagai sebutan bagi tempat berdiam semua arwah, baik arwah orang-orang sadik maupun arwah orang-orang fasik, kecuali atau sampai mereka diterima masuk ke surga (KGK 633). Alam arwah inilah yang disebut dalam syahadat dengan kata "Neraka", "Tempat Penantian", dan "Alam Maut", tempat Kristus turun setelah wafat di kayu salib. Wafat Kristus memungkinkan orang-orang sadik yang telah wafat mendahului-Nya untuk masuk ke surga: "Inilah sesungguhnya arwah-arwah suci yang menantikan Juru Selamat mereka di pangkuan Abraham dan yang dibebaskan oleh Kristus Tuhan ketika Ia turun ke neraka (tempat penantian)" (KGK 633). Ajaran katekismus ini menggaungkan kembali perkataan-perkataan dalam Katekismus Roma, 1,6,3. Wafat-Nya tidak berfaedah bagi orang-orang yang dilaknat. Konseptualisasi alam arwah sebagai suatu tempat, meskipun mungkin saja dan sudah lumrah dilakukan, bukanlah suatu hal yang wajib sifatnya (dokumen-dokumen Gereja, misalnya katekismus, menggunakan istilah "keadaan atau tempat"). Sejumlah pihak meyakini bahwa Kristus tidak turun ke tempat arwah orang-orang yang dilaknat, yang sekarang ini pada umumnya dipahami sebagai makna dari kata "neraka". Sebagai contoh, Tomas Aquinas mengajarkan bahwa Kristus tidak turun ke "neraka orang-orang yang tersesat" dalam esensi-Nya tetapi hanya melalui dampak dari wafat-Nya. Melalui wafat-Nya "Ia membuat mereka merasa malu akan ketidakpercayaan dan kefasikan mereka: tetapi bagi orang-orang yang terkurung di purgatorium, Ia memberikan harapan untuk beroleh kemuliaan: sementara bagi para bapa leluhur suci yang terkurung di neraka semata-mata karena dosa asal, Ia membawa terang kemuliaan abadi."[14] Meskipun sebagian pihak meyakini bahwa Kristus hanya turun ke "limbo bapa-bapa leluhur", kalangan lain, terutama teolog Hans Urs von Balthasar (terinspirasi oleh penglihatan-penglihatan Adrienne von Speyr), meyakini bahwa Kristus tidak sekadar turun ke limbo saja, dan bahwasanya peritiwa lawatan itu melibatkan sengsara yang harus ditanggung Yesus.[15] Sebagian pihak berpendapat bahwa pokok bahasan tergolong pokok bahasan di mana perbedaan pandangan dan spekulasi teologi masih dapat diberi ruang tanpa harus melanggar batas-batas keyakinan yang ortodoks.[15] Meskipun demikian, keyakinan Hans Urs von Balthasar ini dengan keras dikutuk oleh corong-corong Katolik konservatif.[16][17] OrtodoksSanto Yohanes Krisostomus dalam khotbah Paskahnya juga membahas tentang peristiwa Geger Hades. Khotbah ini biasanya dibacakan dalam ibadat Tuguran Paskah, ibadat puncak dalam perayaan Paskah di Gereja Ortodoks. Dalam Gereja Ortodoks Timur, peristiwa Geger Hades diperingati setiap tahun pada hari Sabtu Suci dalam perayaan Liturgi Suci Santo Basileios saat malam hari, sesuai dengan aturan Ritus Bizantin. Pada awal Liturgi Suci, warna dari seluruh taplak penutup altar dan vestimentum yang dikenakan para rohaniwan adalah warna dukacita masa Prapaskah (lazimnya warna ungu atau warna hitam). Tepat sebelum pembacaan Injil, warna liturgi beralih ke warna putih, diakon melakukan pendupaan, dan imam menebar daun-daun dafnah ke sekeliling gereja sebagai lambang hancurnya gerbang neraka; ritual ini dilakukan untuk memperingati peristiwa Geger Hades yang berlangsung menjelang kebangkitan Kristus. Geger Hades jauh lebih umum dijumpai dan ditonjolkan dalam ikonografi Ortodoks dibanding dalam tradisi Gereja Barat. Geger Hades merupakan ikon tradisional untuk perayaan Sabtu Suci, dan digunakan selama masa Paskah dan pada setiap hari minggu sepanjang tahun. Ikon Ortodoks tradisional yang menggambarkan peristiwa kebangkitan Yesus juga terilhami oleh Kisah Pilatus, sebuah karya tulis apokrif dari abad ke-4. Ikon ini tidak sekadar menggambarkan keluarnya Yesus secara fisik dari dalam makam, malah menampilkan realitas rohaniah dari capaian wafat dan kebangkitan Yesus sebagaimana yang diyakini oleh umat Kristen Ortodoks. Ikon ini menampilkan sosok Yesus, dalam jubah putih dan keemasan yang melambangkan kodrat ilahi-Nya, berdiri di atas daun-daun pintu Hades (disebut pula "daun-daun pintu maut"), yang sudah terlepas dari sendi-sendinya dan jatuh tergeletak membentuk sebuah salib, gambaran dari keyakinan bahwa melalui wafat-Nya di kayu salib, Yesus "dengan mati-Nya telah menginjak-injak kematian" (lihat Troparion Paskah). Ia menggenggam tangan Adam dan Hawa, serta menarik keluar keduanya dari dalam hades. Menurut tradisi, Yesus digambarkan bukan menggenggam tangan melainkan memapah siku mereka, sebagai gambaran dari ajaran teologi bahwasanya umat manusia tidak mampu mengentaskan diri sendiri dari dosa asal atau dosa pusaka, karena hanya dapat terentaskan oleh kuasa (energia) Allah semata-mata. Yesus tampak dikelilingi oleh orang-orang sadik dari zaman Perjanjian Lama (Abraham, Daud, dan lain-lain); Hades digambarkan sebagai sebuah jurang gelap di sebelah bawah ikon, sering kali disertai gambar induk kunci dan rantai belenggu yang sudah hancur dan berserakan di sekitarnya. Seringkali satu atau dua sosok digambarkan terbelenggu dalam kegelapan, dan pada umumnya dianggap sebagai gambar perwujudan Maut atau Iblis. LutheranDalam khotbahnya di Torgau pada 1533, Martin Luther menegaskan bahwa Kristus benar-benar turun ke neraka. Rumusan Kesepahaman (salah satu rumusan pengakuan iman Lutheran) menyatakan bahwa, "kami percaya bahwasa bahwa keseluruhan pribadi Kristus, ilahi maupun insani, turun ke alam maut setelah dimakamkan, mengalahkan iblis, menghancurkan kuasa alam maut, dan melucuti segenap kuasa yang dimiliki iblis." (Maklumat Teguh, Pasal IX) Berbagai upaya dilakukan sepeninggal Martin Luther untuk menyusun secara sistematis ajaran teologinya mengenai turunnya Kristus ke alam maut, apakah Kristus turun dalam keadaan jaya ataukah dalam keadaan hina. Meskipun demikian, bagi Martin Luther, kekalahan atau "kehinaan" Kristus tidak pernah sepenuhnya dapat dipisahkan dari kemuliaan-Nya yang jaya. Sebagian pihak berpendapat bahwa sengsara Kristus berakhir secara paripurna ketika Ia mengucapkan kalimat "sudah selesai" dari atas salib. Ketika didesak untuk menguraikan pendapatnya mengenai apakah Kristus turun ke alam maut dalam kehinaan ataukah dalam kejayaan, Martin Luther sendiri menjawab bahwa "cukup khotbahkan saja pasal ini kepada umat awam karena mereka sudah mempelajarinya pada masa lalu melalui kaca-kaca patri dan sumber-sumber lain." KalvinisYohanes Kalvin mengungkapkan keprihatinannya melihat banyak umat Kristen "tidak pernah sungguh-sungguh menginsyafi makna ditebus dari penghakiman Allah. Akan tetapi inilah hikmat kita: sudah sepatutnya diinsyafi betapa mahalnya keselamatan kita sampai-sampai harus ditebus dengan nyawa Putra Allah." Yohanes Kalvin menyimpulkan bahwa "Kristus memang perlu turun ke neraka demi atonement umat Kristen, karena Kristus sungguh-sungguh menanggung hukuman atas dosa-dosa yang telah diperbuat oleh orang-orang yang ditebus."[18] Yohanes Kalvin menentang keras pendapat yang mengatakan bahwa Kristus turun ke neraka guna membebaskan para tawanan, dan justru berpendapat bahwa Kristus turun ke neraka guna menggenapi seluruh penderitaan yang harus Ia tanggung (Institutio Christianae religionis, buku ke-2, bab 16, bagian 8-10). Menurut tafsiran gereja Kalvinis, frasa "Ia turun ke neraka" mengacu pada derita dan hinaan yang ditanggung Kristus menjelang wafat, dan bahwasanya penghinaan ini memiliki dimensi rohani sebagai bagian dari ganjaran Allah atas dosa yang ditanggung Kristus demi menebus umat Kristen. Doktrin tentang penghinaan Kristus ini juga dimaksudkan untuk meyakinkan orang-orang percaya bahwa Kristus telah menebus mereka dari rasa sakit dan sengsara yang merupakan ganjaran Allah atas dosa.[19] MormonPeristiwa Geger Neraka telah menjadi suatu doktrin yang unik dan penting di kalangan umat Gereja Yesus Kristus dari Orang-Orang Suci Zaman Akhir (gereja Mormon) sejak gereja ini didirikan pada 1830 oleh Joseph Smith, meskipun umat gereja Mormon menyebutnya dengan istilah lain, misalnya "lawatan Kristus ke dunia arwah". Sebagaimana para mufasir Kristen membedakan Syeol dari Gehena, gereja Mormon juga membedakan alam barzah ("dunia arwah") dari tempat (atau keadaan) arwah orang-orang fasik ("penjara arwah"). Tempat atau keadaan arwah orang-orang sadik sering kali disebut "firdaus". Mungkin aspek yang paling menonjol dari keyakinan-keyakinan gereja Mormon terkait peristiwa Geger Neraka adalah pandangannya mengenai maksud dari peristiwa ini, baik bagi orang sadik maupun bagi orang fasik. Joseph F. Smith, presiden ke-6 gereja Mormon, menjelaskan bahwa ketika Kristus wafat, "arwah orang-orang sadik yang tak terbilang banyaknya berhimpun di satu tempat, ... bersukacita bersama-sama karena hari pembebasan mereka sudah dekat. Mereka berhimpun sambil menanti-nantikan kedatangan Putra Allah ke dunia arwah, untuk memaklumkan penebusan mereka dari belenggu maut." Penjelasan J. F. Smith ini sekarang dianggap sebagai wahyu (D&C 138:12,15-16). Dalam pandangan gereja Mormon, selain untuk mempermaklumkan kebebasan dari kematian jasmaniah kepada orang-orang sadik, Kristus memiliki maksud lain terkait dengan orang-orang fasik dengan turun ke neraka. "Tuhan bukannya pergi secara pribadi ke tengah-tengah orang fasik dan pemberontak yang telah menolak kebenaran guna mengajari mereka; melainkan lihatlah, dari antara orang-orang sadik, Ia mengatur bala tentara-Nya…dan mengutus mereka untuk maju membawa cahaya Injil kepada orang-orang yang berdiam di dalam kegelapan, bahkan kpeada seluruh arwah; dan demikianlah Injil diberitakan kepada orang-orang mati ... kepada orang-orang yang mati dalam dosanya, tanpa mengenal kebenaran, atau dalam pelanggaran, karena menolak para nabi" (D&C 138:29–30,32). Dari sudut pandang gereja Mormon, penyelamatan arwah-arwah bukanlah satu peristiwa tunggal melainkan suatu proses berkelanjutan yang masih terus berjalan (D&C 138; 1 Peter 4:6). Konsep ini selaras dengan doktrin baptisan bagi orang mati, yang didasarkan atas keyakinan gereja Mormon bahwa arwah orang-orang yang memilih untuk menerima Injil di dunia arwah tetap wajib menerima ordinansi yang menyelamatkan untuk daoat berdiam di Kerajaan Allah (Mark 16:16; John 3:5; 1 Peter 3:21). Baptisan dan ordinansi-ordinansi lain bagi orang-orang mati ini dilaksanakan di kenisah-kenisah (gedung gereja) Mormon, dengan cara membaptis salah seorang anggota jemaat sebagai pengganti atau mewakili orang-orang yang sudah wafat tanpa pernah dibaptis oleh orang yang berwenang membaptis. Dengan demikian arwah-arwah yang telah diwakili menerima baptisan ini memiliki peluang untuk menerima maupun menolak baptisan yang telah dilakukan bagi mereka.[20] Penolakan terhadap doktrin iniSebagian umat Kristen menolak doktrin "Geger Neraka" dengan alasan "tidak memiliki bukti Alkitabiah, dan bertentangan dengan kata-kata Yesus sendiri".[21] Sebagai contoh, John Piper berpendapat bahwa "tidak ada dasar tekstual (dasar Alkitabiah) untuk percaya bahwa Kristus turun ke neraka", dan oleh karena itu, John Piper sengaja tidak mengucapkan kalimat "turun ke alam maut" bilamana mendaraskan Syahadat Para Rasul (Pengakuan Iman Rasuli).[22] Wayne Grudem juga sengaja tidak mengucapkan kalimat tersebut bilamana mendaraskan syahadat; ia berpendapat bahwa "satu-satunya argumen yang ... mendukung [klausa "Geger Neraka" dalam syahadat] agaknya adalah karena sudah lama sekali ada. ... Akan tetapi kesalahan lama tetap saja kesalahan".[21] Dalam bukunya, Raised with Christ (Bangkit Bersama Kristus), Adrian Warnock yang berlatar belakang aliran Pentakosta menyetujui pendapat Grudem, dengan berpendapat bahwa, "Meskipun sejumlah terjemahan syahadat kuno (Syahadat Para Rasul) memunculkan gagasan bahwa Yesus ... 'turun ke neraka', tidak ada bukti Alkitabiah yang menunjukkan bahwa Yesus benar-benar pernah melakukannya."[23] Agustinus (354–430) berpendapat bahwa nas 1 Petrus 3:19–20, yakni ayat utama yang digunakan untuk mendukung doktrin "Geger Neraka", lebih merupakan perumpamaan ketimbang sejarah".[21] Mortalisme KristenPandangan-pandangan di atas bersesuaian dengan keyakinan Kristen tradisional akan kebakaan jiwa. Pandangan mortalis tentang keadaan antara memerlukan suatu pandangan alternatif terhadap Kisah Para Rasul 2:27 dan Kisah Para Rasul 2:31, dengan beranggapan bahwa istilah neraka dalam Perjanjian Baru semakna dengan istilah hades dalam Septuaginta, dan dengan demikian semakna pula dengan Syeol dalam Perjanjian Lama.[24] William Tyndale dan Martin Bucer dari Strassburg berpendapat bahwa hades dalam Kisah Para Rasul 2 hanyalah perumpamaan untuk liang kubur. Tokoh-tokoh reformasi lainnya, Christopher Carlisle dan Walter Deloenus di London, menghendaki agar kalimat turun ke alam maut dihilangkan dari syahadat.[25] Geger Neraka merupakan salah satu adegan utama dalam berbagai penggambaran tradisional riwayat hidup Kristus yang sengaja dihindari oleh John Milton akibat dari pandangan-pandangan mortalis yang dianutnya.[26] Tafsir-tafsir mortalis atas pernyataan terkait keberadaan Kristus di hades dalam Kisah Para Rasul 2 juga dianut oleh tokoh-tokoh Anglikan pada masa yang lebih kemudian, misalnyaE. W. Bullinger.[27] Meskipun para penganut pandangan mortalis tentang jiwa manusia sependapat dalam permasalahan "Geger Neraka" terkait arwah, bahwasanya tidak ada orang mati yang sadar sehingga dapat dilawat oleh Kristus secara harfiah, pertanyaan mengenai apakah Kristus sendiri juga mati, tidak sadar, menuai berbagai jawaban yang berlainan:
Dalam kitab Wahyu 1:18, sehubungan dengan tiga hari kematian-Nya, Kristus berkata, "Aku telah mati" (bahasa Yunani: ἐγενόμην νεκρὸς, egenomen nekros, bahasa Latin: fui mortuus). Dalam seni budayaSandiwara
Sastra
Tema yang mirip dengan Geger Neraka juga ditemukan dalam khazanah sastra Yahudi, namun tidak ada kaitannya dengan ajaran Kristen. Tema Geger Neraka terdapat dalam legenda-legenda tentang Henokh dan Abraham yang dikisahkan menggegerkan alam maut. Legenda-legenda ini dihidupkan kembali dalam cerita pendek "Ne'ilah di Gehena" (Sembahyang Penutup di Neraka Jahanam) karya Isaac Leib Peretz, yang mengisahkan tentang turunnya seorang hazan (pelantun doa, semacam muazin) ke neraka dan menggunakan suaranya yang unik untuk mempertobatkan dan melepaskan jiwa-jiwa yang terkurung di dalamnya. Seni musik
Seni rupa
Lihat pulaRujukan
Kepustakaan
Pranala luarWikimedia Commons memiliki media mengenai Geger Neraka.
|