Bahasa Belanda Indonesia
Bahasa Belanda Indonesia (bahasa Belanda: Indonesisch-Nederlands) adalah varietas regional dari bahasa Belanda yang dituturkan di Indonesia. Dalam perkembangannya, bahasa Belanda menjadi bahasa yang digunakan oleh para penjajah selama berabad-abad di Kepulauan Indonesia, baik ketika masih dijajah, atau sebagian dijajah oleh Belanda. Bahasa ini merupakan bahasa resmi di Hindia Belanda, dan juga di Nugini Belanda, sebelum penyerahan Nugini Barat ke Indonesia pada tahun 1963. SejarahEra VOCPenggunaan bahasa Belanda secara umum baru dimulai pada akhir masa kolonial di Indonesia. Pada masa VOC, bahasa Belanda hampir tidak berarti, dan banyak daerah benar-benar menggunakan bahasa Melayu Rendah sebagai bahasa pergaulan dan bahasa perdagangan. Orang yang bisa berbicara bahasa Belanda memiliki lebih banyak hak. Hanya penduduk asli yang dapat berbicara bahasa Belanda yang diizinkan mengenakan topi dan wanita penduduk asli hanya diizinkan menikah dengan orang Eropa jika mereka dapat berbicara bahasa Belanda. Sekolah-sekolah Belanda didirikan di Ambon dan Batavia. Akan tetapi, tidak semua orang diperbolehkan bersekolah di sekolah-sekolah ini, jumlahnya sangat sedikit, dan biasanya hanya dapat diakses oleh kalangan elit dan bangsawan. Di sekolah orang-orang berbicara bahasa Belanda, tetapi di rumah mereka lebih sering berbicara bahasa Melayu atau bahasa Jawa. Pada tahun 1641, armada kolonial Belanda mengambil alih kendali Melaka setelah mengambilnya dari Portugis, yang kemudian menjadi pelabuhan penting dalam jaringan perdagangan Hindia Timur. Hingga tahun 1795, Malaka diduduki oleh Perusahaan Hindia Timur Belanda (VOC).[3] Oleh karena itu, bahasa Belanda juga memengaruhi bahasa kreol berbasis Portugis yang berkembang di sana, yaitu bahasa Kristang, yang kemudian juga berkembang menjadi bahasa Kreol Mardijker di Batavia.[4] Orang Ambon dan Minahasa terkenal dengan kesetiaannya kepada penjajah Belanda, sebagian besar kaum prianya bergabung dengan Tentara Kerajaan Hindia Belanda (KNIL), dan juga menyerap gaya hidup dan bahasa Belanda. Hal ini juga memberikan warisan bahwa sampai masa kemerdekaan Indonesia, kedua kelompok etnis ini adalah yang paling fasih atau setidaknya sedikit mampu berbicara bahasa Belanda dibandingkan dengan kelompok etnis asli lainnya. Banyak komunitas mereka sekarang membentuk diaspora Maluku yang besar di Belanda, khususnya suku Ambon dan suku-suku asal Maluku lainnya.[5] Era abad ke-20Bahasa Melayu, seperti halnya bahasa Belanda, menjadi semakin penting. Namun, selain sebagai bahasa daerah, bahasa Melayu juga digunakan di negara-negara jajahan Inggris seperti Malaya, Singapura, dan Brunei, di mana bahasa Melayu juga digunakan sebagai bahasa pergaulan.[6] Sejak abad ke-20, bahasa Belanda telah memperoleh status riil di Indonesia. Banyak orang Indonesia sekarang juga menggunakan bahasa Belanda di antara keluarga dan teman yang memiliki keturunan Belanda. Pada tahun 1942, ketika Jepang menduduki Hindia Belanda, mereka melarang penggunaan bahasa Belanda dan hanya bahasa-bahasa asli Asia, seperti bahasa Melayu dan bahasa Jepang yang diperbolehkan untuk digunakan. Era setelah 1949Setelah Indonesia merdeka pada tahun 1945, tetapi baru diakui oleh Belanda pada tahun 1949, banyak orang yang tetap berbicara bahasa Belanda dalam waktu yang lama, terutama mereka yang memiliki hubungan sejarah dengan Belanda. Di beberapa daerah, kemampuan berbahasa Belanda masih menjadi tolak ukur bukti pendidikan yang baik. Meskipun orang Indonesia sangat bermusuhan terhadap Belanda setelah aksi polisionil (termasuk agresi militer I dan II), banyak yang tetap menghormati bahasa Belanda, bahkan setelah pecahnya periode Bersiap. Sukarno, presiden pertama dan proklamator Republik Indonesia, juga terus berbicara bahasa Belanda dan membaca banyak buku Belanda setiap tahunnya. Tentu saja bahasa Belanda tidak punah di wilayah tersebut, karena Belanda masih mempertahankan koloninya setelah tahun 1949, Nugini Belanda. Namun Sukarno mengklaim bahwa wilayah tersebut adalah milik Indonesia dan sudah lama berunding dengan Belanda. Melalui sekolah-sekolah kolonial di Nugini Belanda, banyak orang Papua, penduduk asli Papua saat ini, juga mempelajari bahasa tersebut. Dimana orang Indonesia atau orang campuran yang berorientasi ke Belanda, atau mempunyai hubungan romantis dengan Belanda di masa lalu, disebut dengan istilah diskriminatif dan merendahkan, Londo Ireng, dari istilah Jawa londo 'pirang' atau 'Belanda', dan ireng 'hitam'. Ini merujuk kepada Belanda Hitam, istilah di Indonesia untuk orang Indonesia yang orang tua, atau kakek-neneknya berpihak pada pemerintah kolonial Belanda di masa lalu.[7] Penggunaan saat iniSetelah kemerdekaan Indonesia, ini tidak berarti bahasa Belanda tidak lagi digunakan. Bahasa Belanda adalah bahasa sumber di Indonesia; dan beberapa dokumen dalam bahasa ini mempertahankan status resmi sebagai dokumen pemerintah.[8] Bahasa ini juga mempunyai fungsi sebagai bahasa perdagangan di masa lalu, meskipun bahasa Inggris jauh lebih penting dalam hal itu untuk saat ini.[9] Padahal, penguasaan bahasa Belanda secara penuh saat ini hanya dimiliki oleh orang-orang tua dan sebagian dari kerabat mereka yang lebih muda, terutama di kota-kota besar di Jawa, Minahasa, Maluku, dan Papua (karena kehadiran Belanda di Papua hingga tahun 1963), yang mempelajari bahasa tersebut di sekolah dan masih menggunakannya satu sama lain, di reuni, atau dengan orang asing.[10] Sejak tahun 1971, Universitas Indonesia di Jakarta merupakan satu-satunya universitas di Indonesia yang mempunyai "Bagian Bahasa Belanda". Minat untuk mempelajari bahasa Belanda didorong oleh fakta bahwa hukum Indonesia sebagian didasarkan pada hukum Belanda, dan banyak tulisan dari era kolonial masih relevan hingga saat ini. Sumber-sumber sejarah, linguistik, filologi, dan medis yang lebih tua juga sering ditulis dalam bahasa Belanda. Ada pula motif lain yang menyebabkan lembaga pendidikan kejuruan dapat ditemukan di Semarang, Bandung, Surabaya, dan Yogyakarta. Lembaga-lembaga ini sering ditujukan untuk khalayak yang lebih luas. Generasi muda belajar bahasa Belanda untuk memahami bahasa nenek mereka, untuk mempelajari sejarah Indonesia atau untuk tujuan pariwisata (misalnya, ingin menjadi pemandu). Selain bahasa Inggris, Arab, Jepang, dan Mandarin, bahasa Belanda adalah bahasa studi yang populer dan setiap tahun lebih dari 10.000 orang Indonesia mempelajarinya di sekolah dan kursus swasta.[11] Secara keseluruhan, bahasa Belanda belum sepenuhnya hilang dari Indonesia. Bahasa ini masih digunakan dalam bidang sejarah, linguistik, pertanian, kehutanan, antropologi, dan yurisprudensi. Pengacara sering kali dituntut untuk bisa membaca bahasa Belanda. Karena banyak undang-undang dan dokumen administrasi belum diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia atau belum diperbarui secara hukum. Bahasa Belanda masih merupakan bahasa penting di beberapa tempat, seperti Depok (kota lama), Ambon, dan Manado. Di kota-kota besar di Indonesia, bahasa Belanda sebagian besar digunakan oleh orang Indo-Eropa dan sebagian kecil oleh minoritas Tionghoa yang berorientasi ke Barat di Bandung, Malang, Semarang, Surabaya, dan di beberapa bagian Jakarta masih kadang-kadang digunakan. Jumlah penuturJumlah penuturnya sekitar 500.000 pada tahun 1984, menurut M.C. van den Toorn (1985), mengacu pada de Vries (1983). Kebanyakan penuturnya adalah orang-orang tua yang masih memiliki ingatan tentang bahasa Belanda. Jumlahnya spekulatif, jumlah mereka sulit diperkirakan – mereka hanya merupakan minoritas yang dapat diabaikan di tengah populasi yang berjumlah lebih dari 130 juta orang pada tahun itu. Namun, jika melihat lebih jauh ke belakang, khususnya pada awal pecahnya Perang Dunia II pada tahun 1940-an, jumlah penuturnya tidak jauh berbeda. Dari 400.000 orang yang fasih berbahasa Belanda, sebagian besar dari mereka adalah keturunan campuran dan asli Belanda, dengan 200.000 orang lainnya mungkin memiliki setidaknya sedikit pengetahuan atau mungkin bisa berbicara sedikit dalam bahasa Belanda.[2] Statistik sensus
Hubungan dengan bahasa Indonesia/MelayuHubungan dengan bahasa Indonesia atau bahasa Melayu biasanya terdiri dari kata-kata serapan yang berasal dari/dalam kedua bahasa tersebut. Pengaruh bahasa BelandaBahasa Belanda juga memiliki pengaruh dan kontribusi kosakata yang besar terhadap bahasa Indonesia, Jawa, dan bahasa-bahasa lain di Indonesia. Terdapat sekitar 10.000 kata dalam bahasa Belanda yang telah diserap ke dalam bahasa Indonesia, seperti:[13]
Akan tetapi, beberapa kata tersebut tidak lagi digunakan. Misalnya, hutspot tidak lagi umum, dan sigaret telah banyak digantikan oleh rokok. Kata terakhir ini pada dasarnya berasal dari bahasa Belanda roken yang berarti merokok. Ada juga kata-kata yang ditulis berbeda tetapi sering diucapkan sama:
Setelah Indonesia merdeka, beberapa kata serapan tersebut sengaja diubah agar sesuai dengan pelafalan bahasa Indonesia. Misalnya, universitet dan kwalitet diganti dengan universitas dan kualitas, yang sedikit mengurangi karakter Belanda. Kata-kata lain tampaknya berasal dari bahasa Belanda. Misalnya, berikut padanannya dalam bahasa Belanda:
Akan tetapi, banyak kata-kata yang disebutkan di atas juga merupakan kata serapan dalam bahasa Belanda dari bahasa lain. Pengaruh dari bahasa Indonesia/MelayuDi sisi lain, bahasa Belanda dan bahasa Afrikaans juga memiliki kata-kata yang dipinjam dari bahasa Indonesia/Melayu. Beberapa di antaranya terkait dengan hidangan:
Kosakata lainnya termasuk, misalnya:
Beberapa kata dalam bahasa Afrikaans juga berasal dari bahasa Melayu.
Bahasa kreol berbasis BelandaAda beberapa bahasa kreol berbasis Belanda, yang sebagian besar saat ini digunakan oleh penutur yang bermigrasi ke Belanda, dan juga perlahan tapi pasti punah seiring dengan menghilangnya generasi pertama orang Indo-Belanda, bahasa Petjo dan Javindo yang semula digunakan di Jawa. Lihat jugaReferensiCatatan
Kutipan
Pranala luar
|