Orang utan Artikel ini telah dinilai sebagai artikel pilihan pada 20 April 2023 (Pembicaraan artikel)
Orang utan (bentuk tidak baku: orangutan) atau mawas adalah kera besar yang berasal dari hutan hujan Indonesia dan Malaysia. Sekarang hewan ini hanya ditemukan di sebagian Kalimantan dan Sumatra, tetapi selama era Pleistosen, mereka tersebar di seluruh Asia Tenggara dan Tiongkok Selatan. Orang utan diklasifikasikan dalam genus Pongo dan awalnya dianggap hanya terdiri dari satu spesies. Sejak tahun 1996, orang utan dibagi menjadi dua spesies: orang utan kalimantan (P. pygmaeus, dengan tiga subspesies) dan orang utan sumatra (P. abelii). Spesies ketiga, orang utan tapanuli (P. tapanuliensis), diidentifikasi secara definitif pada tahun 2017. Orang utan adalah satu-satunya genus yang masih hidup dari subfamili Ponginae, yang secara genetik terpisah dari Hominidae lain (gorila, simpanse, dan manusia) antara 19,3 dan 15,7 juta tahun lalu. Orang utan adalah kera besar yang paling arboreal karena mereka menghabiskan sebagian besar waktu mereka di pohon. Orang utan memiliki kaki yang relatif pendek dibandingkan lengannya yang relatif panjang dan memiliki rambut cokelat kemerahan yang menutupi tubuh mereka. Orang utan jantan dewasa memiliki berat sekitar 75 kg, sedangkan betina mencapai sekitar 37 kg. Pejantan dewasa yang dominan memiliki bantalan pipi atau flensa yang khas dan kerap mengeluarkan teriakan panjang untuk menarik perhatian betina dan mengintimidasi lawan; hal yang sama tidak dijumpai pada orang utan jantan yang lebih muda dan mereka cenderung lebih menyerupai betina dewasa. Orang utan adalah kera besar yang paling soliter; ikatan sosialnya terbatas dan terutama terbentuk antara induk dan anaknya yang bergantung padanya. Buah-buahan merupakan komponen makanan orang utan yang paling penting; tetapi mereka juga dapat memakan dedaunan, kulit kayu, madu, serangga, dan telur burung. Orang utan dapat hidup lebih dari 30 tahun, baik di alam liar maupun di penangkaran. Orang utan termasuk primata yang paling cerdas. Mereka menggunakan berbagai peralatan rumit dan membangun sarang tidur yang kompleks setiap malam dari ranting-ranting dan dedaunan. Penelitian tentang kemampuan belajar mereka telah dilakukan secara ekstensif. Para peneliti memperkirakan bahwa pada masing-masing populasi orang utan terdapat kultur-kulturnya tersendiri. Orang utan telah muncul dalam karya literatur dan seni dunia setidaknya sejak abad ke-18, terutama untuk mengomentari komunitas manusia. Seorang ahli primatologi, Birute Galdikas, memelopori studi lapangan tentang orang utan dan beberapa dari mereka telah diletakkan di fasilitas penangkaran di seluruh dunia setidaknya sejak awal abad ke-19. Ketiga spesies orang utan ditempatkan dalam kategori terancam kritis. Aktivitas manusia sangat mengurangi populasi dan sebaran mereka. Ancaman terhadap populasi orang utan liar meliputi perburuan liar (untuk dikonsumsi dagingnya dan sebagai tindakan balas dendam karena mereka memakan tanaman), perusakan habitat dan deforestasi (untuk penanaman kelapa sawit dan penebangan hutan), serta perdagangan hewan peliharaan ilegal. Sejumlah organisasi konservasi dan rehabilitasi telah didedikasikan untuk menjaga kelangsungan hidup orang utan di alam liar. EtimologiIstilah orang utan berasal dari bahasa Melayu. Awalnya istilah ini digunakan untuk menyebut manusia penghuni hutan. Namun, pada periode awal sejarah Melayu, istilah ini mengalami perluasan semantik sehingga juga digunakan untuk kera dari genus Pongo.[1][2] Istilah urang utan muncul dalam berbagai sumber dari abad ke-9 sampai abad ke-15 dalam bahasa Jawa Kuno. Salah satu sumber awal bersumber dari Kakawin Ramayana yang merupakan karya adaptasi dari Bahasa Sanskerta ke dalam bahasa Jawa dari karya Ramayana yang ditulis pada abad kesembilan atau awal abad kesepuluh. Dalam sumber Jawa Kuno ini, istilah urang utan hanya mengacu pada kera dan bukan pada manusia penghuni hutan. Istilah ini bukanlah dari kata-kata asli bahasa Jawa, tetapi diserap dari bahasa Melayu awal, setidaknya seribu tahun yang lalu. Oleh karena itu, asal mula utama istilah "orang utan" untuk kera Pongo kemungkinan besar adalah bahasa Melayu Kuno.[1] Orang Eropa pertama yang mencatat penggunaan istilah orang utan adalah Jacobus Bontius. Dia menulis kata ini di dalam bukunya yang diterbitkan pada tahun 1631 yang berjudul Historiae naturalis et medicae Indiae orientalis. Dia mencatat bahwa orang-orang Melayu memberitahunya kalau orang utan tersebut dapat berbicara, tetapi memilih untuk tidak "agar dia tidak dipaksa untuk bekerja".[3] Istilah ini juga muncul dalam beberapa deskripsi zoologi Indonesia dalam bahasa Jerman pada abad ke-17 dan mungkin juga secara khusus berasal dari ragam bahasa Melayu Banjar,[2] tetapi usia sumber-sumber Jawa Kuno yang disebutkan di atas menjadikan bahasa Melayu Kuno lebih memungkinkan sebagai asal muasal istilah ini. Namun, catatan dari Jacobus Bontius tidak merujuk pada kera (karena deskripsi ini dari Pulau Jawa yang saat itu tidak ditemukan orang utan di sana) melainkan merujuk pada manusia yang menderita kondisi medis serius (kemungkinan besar kretinisme) dan bahwa penggunaan istilah ini disalahpahami oleh Nicolaes Tulp, yang pertama kali menggunakan istilah ini dalam sebuah publikasi satu dekade kemudian.[4] Istilah orang utan pertama kali dicantumkan dalam catatan berbahasa Inggris pada tahun 1693 oleh dokter John Bulwer dalam bentuk Orang-Outang.[5][6] Hilangnya "h" dalam utan dan pergeseran dari -n ke -ng telah dianggap menunjukkan bahwa kata tersebut masuk ke bahasa Inggris melalui bahasa Portugis.[7] Varian yang diakhiri dengan -ng juga ditemukan dalam banyak bahasa.[8][9] Dalam bahasa Melayu, istilah ini pertama kali dikonfirmasi pada tahun 1840, bukan sebagai nama asli tetapi mengacu pada bagaimana orang Inggris menyebut hewan tersebut. Kata 'orang utan' dalam bahasa Melayu dan Indonesia saat ini diserap dari bahasa Inggris atau Belanda pada abad ke-20, yang menjelaskan mengapa huruf 'h' awal dari 'hutan' juga hilang.[7] Nama genus orang utan yakni, Pongo, berasal dari catatan abad ke-16 oleh Andrew Battel, seorang pelaut Inggris yang ditawan oleh Portugis di Angola, yang mendeskripsikan dua "monster" berbentuk menyerupai manusia bernama Pongo dan Engeco. "Monster" yang ia lihat tersebut sekarang diyakini adalah gorila, tetapi pada abad ke-18, istilah orang utan dan pongo digunakan untuk semua kera besar. Naturalis Prancis Bernard Germain de Lacépède menggunakan istilah Pongo untuk genus orang utan pada 1799.[4][10] Kata pongo yang digunakan oleh Battel berasal dari bahasa Kongo yakni mpongi[11][12] atau bahasa lainnya yang serumpun: bahasa Lumbu pungu, bahasa Vili mpungu, atau bahasa Yombi yimpungu.[13] Taksonomi dan filogeniOrang utan pertama kali dideskripsikan secara ilmiah pada tahun 1758 dalam Systema Naturae oleh Carolus Linnaeus sebagai Homo troglodytes.[4] Nama ini kemudian diganti menjadi Simia pygmaeus pada tahun 1760 oleh muridnya, Christian Emmanuel Hopp, dan kemudian dinamai sebagai Pongo oleh Lacépède pada tahun 1799.[4] Naturalis Perancis, René Lesson mengusulkan bahwa populasi orang utan di Sumatra dan Kalimantan merupakan dua spesies yang berbeda ketika dirinya mendeskripsikan P. abelii pada tahun 1827.[14] Pada tahun 2001, P. abelii diresmikan sebagai spesies tersendiri berdasarkan bukti molekuler yang diterbitkan pada tahun 1996,[15][16][17] sementara tiga populasi yang berbeda di Kalimantan ditingkatkan taksonnya menjadi subspesies (P. p. pygmaeus, P. p. morio dan P. p. wurmbii).[18] Pendeskripsian pada tahun 2017 dilakukan untuk spesies ketiga, yakni P. tapanuliensis yang hidup di Sumatra, tepatnya di wilayah selatan Danau Toba. Pongo tapanuliensis memiliki hubungan kekerabatan yang lebih dekat dengan spesies orang utan kalimantan, P. pygmaeus, dibandingkan dengan sesama spesies yang berasal dari Sumatra, P. abelii.[17] Pengurutan genom orang utan sumatra diselesaikan pada Januari 2011,[19][20] dan hal ini menjadikan P. abelii sebagai spesies kera besar ketiga yang genomnya berhasil diurutkan setelah manusia dan simpanse. Selanjutnya, spesies orang utan kalimantan juga diurutkan genomnya. Orang utan kalimantan (P. pygmaeus) memiliki keragaman genetik yang lebih sedikit dibandingkan dengan orang utan sumatra (P. abelii), meskipun populasinya berjumlah enam hingga tujuh kali lebih banyak. Temuan ini mungkin dapat membantu para konservasionis melestarikan kera yang terancam punah tersebut, serta mempelajari lebih lanjut tentang penyakit genetik manusia.[20] Sama halnya dengan gorila dan simpanse, orang utan memiliki 48 kromosom diploid, berbeda dengan manusia yang memiliki 46 kromosom diploid.[21] Berdasarkan penelitian pada tingkat molekuler untuk garis keturunan kera (superfamili Hominoidea), owa berpisah menjadi spesies yang berbeda pada awal periode Miosen, yaitu sekitar antara 24,1 dan 19,7 juta tahun lalu. Sementara itu, orang utan diperkirakan berpisah antara 19,3 dan 15,7 juta tahun lalu. Sebuah penelitian pada 2011 memperkirakan bahwa orang utan sumatra dan orang utan kalimantan berpisah antara 4,9 dan 2,9 juta tahun yang lalu bila merujuk pada lokus-lokus pada DNA mitokondria, kromosom X, dan kromosom Y pada kedua spesies ini.[22] Sebaliknya, studi genom lain pada tahun yang sama menunjukkan bahwa kedua spesies ini baru saja berpisah sekitar 400.000 tahun yang lalu. Studi ini juga menemukan bahwa orang utan berevolusi lebih lambat daripada simpanse dan manusia.[20] Sebuah studi genom pada tahun 2017 menemukan bahwa orang utan kalimantan dan tapanuli berpisah dari orang utan sumatra sekitar 3,4 juta tahun yang lalu dan dari satu sama lain sekitar 2,4 juga tahun yang lalu. Jutaan tahun yang lalu, orang utan melakukan perjalanan dari daratan Asia ke Sumatra dan kemudian ke Kalimantan karena pulau-pulau tersebut dihubungkan oleh jembatan darat selama periode glasial kuarter, ketika permukaan air laut jauh lebih rendah. Sebaran orang utan tapanuli saat ini diperkirakan dekat dengan tempat leluhur orang utan pertama kali memasuki wilayah yang sekarang menjadi Indonesia dari daratan Asia.[17][23]
Catatan fosilTiga spesies orang utan merupakan sisa anggota subfamili Ponginae yang masih sintas. Subfamili ini juga mencakup kera-kera yang telah punah seperti Lufengpithecus, yang hidup 8–2 juta tahun lalu di Tiongkok selatan dan Thailand.[16] Indopithecus, yang hidup di India dari 9,2–8,6 juta tahun lalu; dan Sivapithecus, yang hidup di India dan Pakistan dari 12,5 juta tahun lalu hingga 8,5 juta tahun lalu.[25] Hewan-hewan ini kemungkinan hidup di lingkungan yang lebih kering dan lebih dingin daripada lingkungan orang utan saat ini. Khoratpithecus piriyai, yang hidup 5–7 juta tahun lalu di Thailand, diyakini sebagai kerabat terdekat orang utan dan mendiami lingkungan yang sama.[16] Primata terbesar yang diketahui, Gigantopithecus, juga merupakan anggota Ponginae dan hidup di Tiongkok, dari 2 juta hingga 300.000 tahun yang lalu.[16][26] Catatan fosil tertua dari Pongo yang diketahui berasal dari zaman Pleistosen Awal di Chongzuo, yang terdiri dari gigi yang dianggap berasal dari spesies P. weidenreichi yang telah punah.[27][28] Di sekumpulan gua Pleistosen di Vietnam, Pongo ditemukan bersama dengan Giganopithecus sebagai bagian dari kelompok fauna, meskipun hanya diketahui dari giginya. Beberapa fosil di Vietnam telah dideskripsikan dengan nama P. hooijeri, sedangkan beberapa subspesies fosil lain telah dideskripsikan di beberapa bagian Asia Tenggara. Namun, tidak jelas apakah fosil-fosil ini termasuk dalam P. pygmaeus atau P. abelii atau malah mewakili spesies yang berbeda.[29] Selama Pleistosen, Pongo memiliki daerah sebaran yang jauh lebih luas daripada saat ini, membentang di seluruh daratan Sunda dan Asia Tenggara daratan dan Tiongkok Selatan. Di Semenanjung Malaysia, ditemukan gigi orang utan yang berasal dari 60.000 tahun yang lalu. Pada akhir Pleistosen, daerah sebaran orang utan telah menyusut secara signifikan, yang kemungkinan besar disebabkan oleh berkurangnya habitat hutan selama Glasial Maksimum Terakhir, meskipun mereka mungkin selamat hingga Holosen di Kamboja dan Vietnam.[27][30] KarakteristikOrang utan menunjukkan dimorfisme seksual yang signifikan; orang utan betina biasanya memiliki tinggi 115 cm dan berat sekitar 37 kg, sementara orang utan jantan dewasa memiliki tinggi 137 cm dan berat 75 kg. Mereka memiliki lengan yang secara proporsional lebih panjang dibandingkan dengan manusia; orang utan jantan memiliki rentang lengan sekitar 2 m dan kaki yang pendek. Tubuh mereka ditutupi rambut kemerahan panjang yang dimulai dengan warna oranye terang dan menggelap menjadi merah marun atau cokelat seiring bertambahnya usia, sementara kulitnya berwarna abu-abu kehitaman. Meskipun sebagian besar dari wajah orang utan tidak berambut, wajah hewan jantan dapat ditumbuhi rambut sehingga mereka memiliki janggut.[16][31][32] Orang utan memiliki telinga dan hidung yang kecil; daun telinganya tidak memiliki lobus yang menggantung seperti manusia.[31] Volume endokranialnya rata-rata berukuran 397 sentimeter kubik.[33] Tempurung kepala orang utan lebih tinggi dibandingkan dengan wajahnya yang melengkung dan prognatik.[31] Dibandingkan dengan simpanse dan gorila, tonjolan alis orang utan kurang berkembang.[34] Orang utan betina dan remaja memiliki tengkorak yang relatif melingkar dan wajah yang tipis, sementara orang utan jantan dewasa memiliki jambul sagittal yang menonjol, bantalan pipi atau flensa yang besar,[31] kantung tenggorokan yang luas, dan gigi taring yang panjang.[16][31] Bantalan pipi sebagian besar terbuat dari jaringan lemak dan ditopang oleh otot-otot wajah.[35] Kantung tenggorokan berfungsi sebagai ruang resonansi untuk membuat seruan panjang.[36] Tangan orang utan memiliki empat jari yang panjang dengan jempol yang jauh lebih pendek dari jari lainnya untuk menghasilkan cengkeraman yang kuat pada cabang-cabang saat mereka berayunan di pepohonan. Saat tangan beristirahat, jari-jarinya melengkung dan menciptakan cengkeraman menggantung. Dengan ibu jari yang lebih pendek, jari-jari (dan tangan)-nya dapat mencengkeram dengan aman di sekeliling benda-benda berdiameter kecil dengan menempatkan ujung jari-jari mereka ke bagian dalam telapak tangan mereka sehingga menciptakan cengkeraman kunci ganda. Kaki mereka memiliki empat jari kaki yang panjang dan jempol kaki yang dapat ditekuk melintang dengan jari-jari yang lain sehingga memberikan kaki-kaki mereka ketangkasan seperti tangan mereka. Sendi pinggulnya juga memberikan kemampuan berputar pada kaki seperti lengan dan bahunya.[16] Orang utan berpindah dari pohon ke pohon dengan cara memanjat secara vertikal dan menggantung. Dibandingkan dengan kera besar lainnya, mereka jarang turun ke tanah karena membuat mereka kurang leluasa bergerak. Orang utan memanfaatkan kaki dan tangannya untuk berjalan sebagaimana simpanse, bonobo, dan gorila. Namun, tidak seperti ketiga kera besar tersebut yang menggunakan buku jari tangan mereka ketika berjalan, orang utan membengkokkan jari-jarinya dan berjalan menggunakan bagian sisi tangan dan kakinya.[37][38] Dibandingkan dengan kerabatnya di Kalimantan, orang utan sumatra lebih ramping dengan rambut yang lebih panjang dan pucat serta wajah yang lebih panjang.[32] Orang utan tapanuli lebih mirip orang utan sumatra daripada orang utan kalimantan dalam hal bentuk tubuh dan warna rambut.[17] Mereka memiliki rambut yang lebih berantakan, tengkorak yang lebih kecil, dan wajah yang lebih datar daripada dua spesies lainnya.[39]. Ekologi dan perilakuOrang utan umumnya beraktivitas dari pohon ke pohon. Mereka mendiami hutan hujan tropika, terutama dataran rendah yang ditumbuhi pepohonan dipterokarpa dan hutan sekunder tua.[32][40] Populasi orang utan lebih banyak hidup di dekat habitat tepi sungai, seperti air tawar dan hutan rawa gambut, sementara hutan yang lebih kering yang jaraknya jauh dari daerah berair akan memiliki populasi orang utan yang lebih sedikit. Kepadatan populasi juga menurun seiring elevasi yang bertambah tinggi.[21] Orang utan terkadang memasuki padang rumput, lahan pertanian, kebun, hutan sekunder muda, dan danau dangkal.[40] Mereka menghabiskan sebagian besar waktu untuk mencari makan, beristirahat, dan bepergian.[41] Mereka memulai hari dengan makan selama dua hingga tiga jam pada pagi hari, lalu beristirahat selama tengah hari, dan kemudian melakukan perjalanan di sore hari. Ketika malam tiba, mereka mempersiapkan sarangnya untuk bermalam.[40] Pemangsa potensial orang utan antara lain harimau, macan dahan, dan anjing liar.[21] Parasit yang banyak ditemukan pada orang utan adalah nematoda dari genus Strongyloides dan ciliata Balantidium coli. Di antara Strongyloides, spesies S. fuelleborni dan S. stercoralis dilaporkan menjangkit beberapa individu orang utan muda.[42] Orang utan juga mengunyah spesies tumbuhan Dracaena cantleyi dan kemudian mengoleskannya ke bagian tubuh untuk dijadikan antiinflamasi.[43] MakananMakanan utama orang utan adalah buah-buahan. Konsumsi buah-buahan menghabiskan 57–80% waktu mencari makanan. Bahkan saat musim ketersediaan buah-buahan sedang sedikit, mengonsumsi buah tetaplah menghabiskan sekitar 16% dari waktu mencari makan mereka. Buah dengan salut biji dan daging yang lembut adalah makanan kesukaan orang utan, khususnya buah ara, selain itu mereka juga suka buah drupa dan buah beri.[21] Dedaunan juga menjadi salah satu sumber makanan orang utan. Konsumsinya menghabiskan rata-rata 25% waktu mencari makanan. Mereka lebih banyak memakan dedaunan ketika buah-buahan tersedia dalam jumlah yang sedikit. Namun, ketika buah sedang melimpah pun, mereka tetap memakan dedaunan yang menghabiskan waktu sekitar 11–20% waktu makan mereka. Mereka tampaknya bergantung pada daun dan batang dari Borassodendron borneensis saat persediaan buah berada dalam jumlah yang sedikit. Makanan lain yang dikonsumsi oleh orang utan di antaranya kulit kayu, madu, telur burung, serangga, dan vertebrata kecil termasuk kukang.[21][40] Di beberapa daerah, orang utan bisa melakukan praktik geofagi, yaitu memakan tanah dan zat-zat yang berbentuk tanah. Mereka akan mengambil tanah dari permukaan serta memakan sarang rayap di batang pepohonan. Orang utan juga suka mengunjungi sisi tebing atau cekungan tanah untuk menjilat mineral. Orang utan mengonsumsi tanah demi memperoleh mineral kaolin yang bersifat antiracun karena makanan mereka mengandung tanin dan asam fenolik yang beracun.[21] Kehidupan sosialStruktur sosial orang utan dapat dideskripsikan sebagai soliter tetapi memiliki hubungan sosial karena mereka menjalani gaya hidup yang lebih soliter daripada kera besar lainnya.[44] Orang utan kalimantan umumnya lebih soliter daripada orang utan sumatra.[32] Sebagian besar ikatan sosial terjadi antara orang utan betina dewasa dengan anaknya yang masih bergantung dan disapih. Sejumlah orang utan betina hidup menetap; mereka tinggal bersama anaknya di daerah jelajah yang tumpang tindih dengan betina dewasa lainnya. Betina dewasa lain ini mungkin merupakan kerabat dekat mereka. Satu hingga beberapa daerah jelajah betina dewasa yang menetap berada di dalam daerah jelajah jantan dewasa, yang merupakan pasangan kawin utama mereka.[44][45] Interaksi antara betina-betina dewasa bervariasi, mulai dari bersahabat, menghindar, hingga antagonis. Jantan yang berbantalan pipi umumnya memusuhi jantan yang berbantalan pipi lain dan jantan yang tidak berbantalan pipi,[46] sementara jantan yang tidak berbantalan pipi lebih damai terhadap satu sama lain.[47] Orang utan mulai menyebar dan membangun daerah jelajahnya pada usia 11 tahun. Orang utan betina cenderung tinggal di dekat daerah jelajah kelahirannya, sedangkan orang utan jantan menyebar lebih jauh tetapi masih dapat mengunjungi daerah jelajah kelahirannya di dalam daerah jelajahnya yang lebih luas.[45][48] Mereka kemudian akan memasuki fase peralihan (transien), yang berlangsung hingga orang utan jantan dapat menantang dan menyingkirkan orang utan jantan dominan yang menetap di daerah jelajahnya.[49] Baik orang utan yang menetap maupun yang masih dalam fase peralihan berkerumun di pohon-pohon besar yang berbuah untuk mencari makan. Buah-buahan cenderung berlimpah sehingga persaingan tidak terlalu ketat dan tiap-tiap mereka dapat terlibat dalam interaksi sosial.[50][51][52] Orang utan juga akan membentuk kelompok bepergian dengan anggotanya yang berpindah-pindah dari satu sumber makanan ke sumber makanan lainnya.[49] Kelompok ini sering kali merupakan persekutuan antara jantan dewasa dan betina.[50] Perawatan sosial jarang terjadi di kalangan orang utan.[53] KomunikasiOrang utan berkomunikasi dengan beragam vokal dan suara. Orang utan jantan akan membuat seruan panjang, baik untuk menarik perhatian betina maupun untuk mempromosikan diri kepada jantan lainnya.[36] Seruan ini memiliki tiga komponen; dimulai dengan gerutuan, puncaknya dengan detupan, dan diakhiri dengan suara gelembung. Kedua jenis kelamin akan mencoba untuk mengintimidasi lawan jenisnya dengan serangkaian suara frekuensi rendah yang dikenal secara kolektif sebagai "seruan bergulir". Ketika merasa tidak nyaman, orang utan akan menghasilkan "decit kecupan", yang dilakukan dengan cara menghisap udara melalui bibir yang dikerucutkan. Induk orang utan akan mengeluarkan bunyi gemeretak tenggorokan untuk menjaga kontak dengan anaknya. Bayi orang utan mengeluarkan lengkingan halus ketika tertekan. Ketika membangun sarang, orang utan akan mengeluarkan suara celetukan atau tiupan dengan lidah.[54] Seruan orang utan menampilkan komponen seperti konsonan dan vokal dan mereka mempertahankan maknanya dalam rentang jarak yang sangat jauh.[55] Induk orang utan dan anaknya juga menggunakan beberapa gerakan dan ekspresi yang berbeda seperti memberi isyarat, menginjak, mendorong bibir bawah, mengguncang objek, dan " mempresentasikan" bagian tubuh. Hal-hal ini mengkomunikasikan tujuan seperti "dapatkan objek", "panjat saya", "panjat kamu", "panjat", "menjauh", "perubahan permainan: kurangi intensitas", "lanjutkan permainan", dan "hentikan itu".[56] Reproduksi dan perkembanganOrang utan jantan menjadi dewasa secara seksual sekitar usia 15 tahun. Mereka mungkin menunjukkan perkembangan yang tertahan dengan tidak mengembangkan bantalan pipi yang khas, kantong tenggorokan yang menonjol, rambut panjang, atau seruan panjang sampai tidak ada jantan dominan yang tinggal. Transformasi dari tidak berbantalan pipi menjadi berbantalan pipi dapat terjadi dengan cepat. Jantan berbantalan pipi menarik perhatian betina yang sedang berovulasi dengan seruan panjangnya yang khas, yang juga dapat menghambat perkembangan jantan yang lebih muda.[16][36] Jantan yang tidak berbantalan pipi berkeliaran secara luas untuk mencari betina yang sedang berovulasi. Setelah menemukannya, ia akan memaksakan kopulasi dengannya, yang kejadiannya luar biasa tinggi di antara mamalia. Betina lebih suka kawin dengan pejantan yang lebih bugar, membentuk pasangan dengan mereka, dan mendapat manfaat dari perlindungan mereka.[49][57][58] Betina yang tidak berovulasi biasanya tidak menolak kopulasi dengan jantan yang tidak berbantalan pipi karena kemungkinan pembuahannya rendah.[58] Perilaku homoseksual telah terekam dalam konteks interaksi afiliatif dan agresif.[59] Tidak seperti betina dari spesies kera besar nonmanusia lainnya, orang utan tidak menunjukkan pembengkakan seksual untuk menandakan kesuburan.[58][60] Orang utan betina pertama kali dapat melahirkan pada usia sekitar 15 tahun dan mereka memiliki interval melahirkan antara enam hingga sembilan tahun; terlama di antara kera besar lainnya.[61] Masa kehamilan sekitar sembilan bulan dan bayi lahir dengan berat 1,5–2 kg.[16] Biasanya hanya satu bayi yang lahir; kembar jarang terjadi.[62] Tidak seperti primata lainnya, orang utan jantan tampaknya tidak melakukan pembunuhan bayi. Hal ini mungkin karena mereka tidak dapat memastikan bahwa apakah mereka masih bisa menjadi bapak bagi anak berikutnya karena betina tidak segera mulai berovulasi lagi setelah bayinya mati.[63] Ada bukti bahwa orang utan betina yang memiliki anak berusia di bawah enam tahun umumnya menghindari jantan dewasa.[60] Pengasuhan anak paling banyak dilakukan oleh induk betina. Induk betina akan menggendong bayinya saat bepergian, menyusuinya, dan tidur bersamanya.[16] Selama empat bulan pertama, bayi hampir tidak pernah kehilangan kontak fisik dan selalu menempel di perut induknya. Pada bulan-bulan berikutnya, jumlah kontak fisik bayi dengan induknya menurun. Ketika orang utan mencapai usia satu setengah tahun, keterampilan memanjatnya meningkat dan ia akan melakukan perjalanan melalui cabang-cabang pepohonan sambil bergandengan tangan dengan orang utan lain, sebuah perilaku yang dikenal sebagai "perjalanan dengan teman".[53] Setelah usia dua tahun, orang utan remaja akan mulai menjauh dari induknya untuk sementara waktu. Mereka mencapai usia remaja pada usia enam atau tujuh tahun dan mampu hidup sendiri tetapi tetap memiliki hubungan dengan induknya.[16] Orang utan betina dapat menyusui anaknya hingga delapan tahun, lebih lama dari mamalia mana pun.[64] Biasanya, orang utan hidup lebih dari 30 tahun baik di alam liar maupun di penangkaran.[16] BersarangOrang utan membangun sarang yang khusus digunakan pada siang hari saja atau malam hari saja. Sarang-sarang ini dibangun dengan hati-hati; orang utan muda belajar dari mengamati perilaku pembuatan sarang oleh induknya. Pada faktanya, membangun sarang memungkinkan orang utan muda menjadi tidak terlalu bergantung pada induknya. Sejak usia enam bulan dan seterusnya, orang utan berlatih membuat sarang dan menjadi mahir pada saat mereka berusia tiga tahun.[65] Pembangunan sarang malam dilakukan dengan urutan langkah tertentu. Awalnya, orang utan menemukan pohon yang cocok. Hewan ini sangat pemilih mengenai lokasi, meskipun sarang dapat ditemukan di banyak spesies pohon. Untuk membangun fondasi, orang utan mengambil cabang-cabang besar di bawahnya dan membengkokkannya sehingga saling menyatu. Orang utan kemudian melakukan hal yang sama pada cabang-cabang yang lebih kecil dan lebih berdaun untuk membuat "matras". Setelah itu, mereka berdiri dan menjalin ujung-ujung ranting ke dalam matras untuk meningkatkan stabilitas sarang. Orang utan membuat sarang mereka lebih nyaman dengan membuat "bantal", "selimut", "atap" dan "tempat tidur susun".[65] KecerdasanOrang utan adalah salah satu primata nonmanusia yang paling cerdas. Eksperimen menunjukkan bahwa mereka dapat melacak perpindahan benda baik yang terlihat maupun yang tersembunyi.[67][68] Kebun Binatang Atlanta memiliki komputer layar sentuh dengan permainan video yang digunakan oleh dua orang utan sumatra mereka.[69] Sebuah studi tahun 2008 terhadap dua orang utan di Kebun Binatang Leipzig menunjukkan bahwa orang utan dapat mempraktikkan "resiprositas yang diperhitungkan", yang melibatkan satu individu membantu individu lain dengan harapan mendapatkan imbalan atas apa yang dilakukan. Orang utan adalah spesies nonmanusia pertama yang didokumentasikan melakukannya.[70] Dalam sebuah studi tahun 1997, dua orang utan dewasa dalam penangkaran diuji dengan paradigma penarikan kooperatif. Tanpa pelatihan apa pun, orang utan berhasil menarik sebuah objek untuk mendapatkan makanan pada sesi pertama. Dalam kurun waktu 30 sesi, kera-kera tersebut berhasil melakukannya dengan lebih cepat, setelah belajar berkoordinasi.[71] Orang utan dewasa telah didokumentasikan lulus uji cermin, yang menunjukkan kesadaran diri.[72] Tes ini gagal ketika dicobakan kepada orang utan yang masih berusia 2 tahun.[73] Studi di alam liar menunjukkan bahwa orang utan jantan berbantalan pipi merencanakan gerakan mereka terlebih dahulu dan memberi sinyal kepada individu lain.[74] Eksperimen juga menunjukkan bahwa orang utan dapat berkomunikasi tentang hal-hal yang tidak hadir: induk orang utan tetap diam di tengah ancaman yang dirasakan, tetapi ketika ancaman itu lewat, induk orang utan akan mengeluarkan suara peringatan kepada anak-anaknya untuk mengajarkan mereka tentang bahaya tersebut.[75] Orang utan dan kera besar lainnya menunjukkan vokalisasi seperti tawa sebagai respons terhadap kontak fisik seperti bergulat, bermain kejar-kejaran, atau menggelitik. Hal ini menunjukkan bahwa tawa berasal dari asal usul yang sama di antara spesies primata yang menunjukkan aktivitas tawa berkembang sebelum kemunculan manusia dari evolusi.[76] Orang utan dapat belajar menirukan suara baru dengan sengaja mengendalikan getaran lipatan vokal mereka, sebuah sifat yang berkembang menjadi kemampuan berbicara pada manusia.[66][76] Bonnie, orang utan di Taman Zoologi Nasional Smithsonian, terekam bersiul secara spontan, setelah mendengar seorang penjaga. Dia tampaknya bersiul tanpa mengharapkan hadiah makanan.[77] Penggunaan peralatan dan budayaSeorang pakar primata Birutė Galdikas telah mengamati penggunaan alat oleh orang utan pada populasi yang dilepaskan dari penangkaran.[78] Orang utan di Suaq Balimbing, Kabupaten Aceh Selatan, tercatat mengembangkan perangkat alat yang digunakan dalam mencari makan. Alat ini terdiri dari tongkat pengambil serangga untuk digunakan di lubang pohon dan tongkat pengambil biji untuk memanen biji dari buah yang keras. Orang utan menyesuaikan alat mereka sesuai dengan tugas yang dihadapi dan mereka cenderung menyukai penggunaan alat yang digunakan dengan mulut.[79][80] Preferensi ini juga ditemukan dalam sebuah studi eksperimental terhadap orang utan dalam penangkaran.[81] Orang utan telah diamati menggunakan tongkat untuk menyodok ikan lele yang menyebabkan ikan lele tersebut melompat keluar dari air sehingga si orang utan dapat menangkapnya.[82][83] Orang utan juga telah tercatat menyimpan peralatan untuk keperluan mendatang.[84] Ketika membangun sarang, orang utan tampaknya mampu menentukan cabang mana yang lebih baik untuk menopang berat badan mereka.[85] Ahli primata Carel P. van Schaik dan antropolog biologi Cheryl D. Knott menyelidiki lebih lanjut penggunaan alat pada populasi orang utan liar yang berbeda. Mereka membandingkan variasi geografis dalam penggunaan alat yang terkait dengan pengolahan buah bengang. Orang utan dari Suaq Balimbing ditemukan lebih gemar menggunakan alat pengambil serangga dan biji-bijian jika dibandingkan dengan orang utan liar lainnya.[86][87] Para ilmuwan berpendapat bahwa perbedaan-perbedaan ini bersifat kultural karena tidak berkorelasi dengan habitat. Orang utan di Suaq Balimbing memiliki jarak antarindividu yang dekat dan relatif toleran satu sama lain; hal ini menciptakan kondisi yang menguntungkan untuk menyebarnya perilaku-perilaku baru.[86] Studi tentang perilaku membawa daun yang dilakukan orang utan yang sedang direhabilitasi di Pulau Kaja, Kalimantan Tengah menunjukkan bukti lebih lanjut bahwa orang utan yang sangat sosial lebih mungkin menunjukkan perilaku kultural.[88] Orang utan liar di Tuanan, Kabupaten Kapuas, dilaporkan menggunakan alat dalam komunikasi akustik. Mereka menggunakan dedaunan untuk memperkuat suara decit kecupan yang mereka hasilkan. Mereka mungkin menggunakan metode amplifikasi ini untuk menipu pendengar agar meyakini bahwa mereka adalah hewan yang lebih besar.[89] Pada tahun 2003, para peneliti dari enam lokasi lapangan orang utan yang berbeda yang menggunakan skema pengodean perilaku yang sama membandingkan perilaku orang utan dari setiap lokasi. Mereka menemukan tiap-tiap populasi orang utan menggunakan alat yang berbeda. Bukti-bukti ini menunjukkan bahwa perbedaan-perbedaan tersebut bersifat kultural: pertama, tingkat perbedaan meningkat seiring dengan jarak, yang menunjukkan bahwa difusi budaya sedang terjadi, dan kedua, ukuran repertoar kultural orang utan meningkat sesuai dengan jumlah kontak sosial yang ada di dalam kelompok. Kontak sosial memfasilitasi transmisi kultural.[90] Hak asasiPada bulan Juni 2008, Spanyol menjadi negara pertama yang mengakui hak asasi beberapa kera besar nonmanusia. Berdasarkan pedoman Proyek Kera Besar, simpanse, bonobo, orang utan, dan gorila tidak boleh digunakan untuk eksperimen hewan.[91][92] Pada bulan Desember 2014, pengadilan di Argentina memutuskan bahwa orang utan bernama Sandra di Kebun Binatang Buenos Aires harus dipindahkan ke tempat perlindungan di Brasil untuk memberikan "kebebasan parsial atau terkontrol". Kelompok-kelompok hak asasi hewan seperti Proyek Kera Besar Argentina berpendapat bahwa keputusan tersebut harus berlaku untuk semua spesies di penangkaran, sementara spesialis hukum dari Dewan Kasasi Pidana Federal Argentina menganggap keputusan tersebut hanya berlaku untuk Hominidae nonmanusia.[93] Orang utan dan manusiaOrang utan dikenal oleh penduduk asli Sumatra dan Kalimantan selama ribuan tahun. Kera ini disebut maias di Sarawak dan mawas di bagian lain Kalimantan dan Sumatra. Sebagian masyarakat dulunya memburu mereka untuk makanan dan hiasan, sementara yang lain menganggap hal tersebut sebagai praktik yang tabu.[94] Di Kalimantan Tengah, beberapa kepercayaan rakyat tradisional menganggap bahwa menatap wajah orang utan merupakan kesialan. Beberapa cerita rakyat mengisahkan orang utan kawin dengan manusia dan menculik manusia. Bahkan terdapat cerita tentang pemburu yang ditangkap oleh orang utan betina.[16] Orang Eropa menyadari keberadaan orang utan pada abad ke-17.[16] Para penjelajah di Kalimantan memburu mereka secara ekstensif selama abad ke-19. Pada tahun 1779, ahli anatomi Belanda Petrus Camper, yang mengamati mereka dan membedah beberapa spesimen, memberikan deskripsi ilmiah pertama tentang orang utan.[16] Camper secara keliru mengira bahwa orang utan jantan yang berbantalan pipi dan yang tidak adalah spesies yang terpisah. Setelah kematian Camper, kesalahpahaman ini dikoreksi.[95] Awalnya tidak banyak yang diketahui tentang perilaku orang utan hingga dilakukannya studi lapangan oleh Birutė Galdikas,[96] yang menjadi pakar terkemuka terkait orang utan. Ketika tiba di Kalimantan pada tahun 1971, Galdikas menetap di sebuah gubuk primitif berbahan kulit kayu dan rumbia di sebuah tempat yang ia namakan Kamp Leakey, di Tanjung Puting. Dia melakukan studi terhadap orang utan selama empat tahun dan mengembangkannya menjadi sebuah disertasi untuk program doktoralnya di Universitas California, Los Angeles.[97] Galdikas menjadi advokat yang vokal terkait isu orang utan serta pelestarian hutan hujan sebagai habitat tempat tinggal mereka. Hutan hujan dengan cepat mengalami kerusakan karena aktivitas penebangan hutan, penanaman kelapa sawit, penambang emas, dan kebakaran hutan yang tidak terjadi secara alamiah.[98] Bersama Jane Goodall dan Dian Fossey, Galdikas dianggap sebagai salah satu ''Leakey's Angels'', yang diadaptasi dari nama antropolog Louis Leakey.[99] Dalam fiksiOrang utan pertama kali muncul dalam fiksi Barat pada abad ke-18 dan telah dipakai untuk mengomentari kehidupan manusia. Mereka pertama kali ditulis oleh A. Ardra dalam karyanya berjudul Tintinnabulum naturae pada tahun 1772. Buku ini menceritakan sudut pandang seorang hibrida manusia-orang utan yang menyebut dirinya sebagai "pakar metafisika hutan". Sekitar 50 tahun kemudian, karya yang ditulis secara anonim, The Orang Outang yang menceritakan orang utan murni di penangkaran di Amerika Serikat, yang menulis surat yang mengkritik masyarakat Boston kepada temannya di Jawa.[4] Novel karya Thomas Love Peacock yang terbit pada tahun 1817, berjudul Melincourt, menampilkan Sir Oran Haut Ton, seekor orang utan yang hidup di antara orang-orang Inggris dan menjadi calon anggota Parlemen. Novel ini menyindir sistem kelas dan politik Inggris. Kemurnian dan status Oran sebagai "manusia alami" sangat kontras dengan amoralitas dan kebobrokan manusia "beradab".[4] Dalam The Curse of Intellect (1895) karya Frank Challice Constable, tokoh protagonis Reuben Power melakukan perjalanan ke Kalimantan dan menangkap seekor orang utan untuk dilatih berbicara sehingga dia bisa "tahu apa yang mungkin dipikirkan binatang buas seperti mereka tentang manusia".[4] Orang utan ditampilkan secara menonjol dalam novel fiksi ilmiah Planet of the Apes tahun 1963 karya Pierre Boulle dan waralaba media yang bersumber dari novel tersebut. Orang utan secara khusus digambarkan sebagai birokrat seperti Dr. Zaius yang berprofesi sebagai menteri ilmu pengetahuan.[4] Orang utan terkadang ditampilkan sebagai antagonis, terutama dalam novel Walter Scott tahun 1832 Count Robert of Paris dan cerita pendek Edgar Allan Poe tahun 1841 The Murders in the Rue Morgue.[4] Adaptasi musikal animasi Disney tahun 1967 dari The Jungle Book menambahkan orang utan yang ceria bernama King Louie yang mencoba untuk membuat Mowgli mengajarinya cara membuat api.[4] Film horor tahun 1986, Link menampilkan orang utan cerdas yang melayani seorang profesor universitas tetapi memiliki motif jahat; ia berencana melawan kemanusiaan dan menguntit seorang asisten mahasiswa perempuan.[4] Kisah-kisah lain menggambarkan orang utan yang membantu manusia, seperti sebagai The Librarian dalam novel fantasi Terry Pratchett berjudul Discworld dan dalam novel karya Dale Smith pada tahun 2004, What the Orangutan Told Alice.[4] Beberapa penggambaran yang lebih komikal dari orang utan juga terdapat seperti di dalam film Dunston Checks In pada tahun 1996.[4] Dalam penangkaranPada awal abad ke-19, orang utan telah mulai dirawat di penangkaran. Pada tahun 1817, seekor orang utan bergabung dengan beberapa hewan lain di Exeter Exchange di London. Orang utan tersebut tercatat menolak hidup bersama dengan hewan lain, selain seekor anjing, dan lebih suka berada bersama manusia. Dia kadang-kadang dibawa naik kereta dengan mengenakan baju berjenis smok dan sebuah topi, dan bahkan diberi minuman di penginapan saat dia berperilaku sopan kepada pemilik penginapan.[4] Kebun Binatang London menampung seekor orang utan betina bernama Jenny, yang mengenakan pakaian manusia dan belajar minum teh. Jenny dikenang karena pertemuannya dengan Charles Darwin yang membandingkan reaksi Jenny dengan reaksi seorang anak manusia.[100][101] Kebun-kebun binatang dan sirkus-sirkus di dunia Barat menggunakan orang utan dan simian lainnya sebagai sumber hiburan, melatih mereka untuk berperilaku seperti manusia di pesta minum teh, dan melakukan berbagai trik. Ada banyak orang utan yang terkenal dan menjadi aktor karakter seperti Jacob dan Rosa dari Tierpark Hagenbeck pada awal abad ke-20 , Joe Martin dari Universal City Zoo pada dekade 1910-an dan 1920-an serta Jiggs dari Kebun Binatang San Diego pada tahun 1930-an dan 1940-an.[4] Kelompok-kelompok pembela hak asasi hewan telah mendesak penghentian tindakan semacam itu karena dianggap sebagai tindakan yang eksploitatif.[102] Mulai dekade 1960-an, kebun binatang menjadi lebih peduli dengan pendidikan dan pameran orang utan dirancang menyerupai lingkungan alaminya dan menampilkan perilaku alami mereka.[4] Orang utan di Kebun Binatang San Diego bernama Ken Allen menjadi terkenal di dunia pada tahun 1980-an karena beberapa kali melarikan diri dari kandangnya. Dia dijuluki "Houdini berambut lebat" dan menjadi subjek dari klub penggemar, kaus oblong, stiker bumper, dan sebuah lagu berjudul The Ballad of Ken Allen.[103] Galdikas melaporkan bahwa juru masaknya diserang secara seksual oleh orang utan jantan yang ditangkarkan.[104] Si kera mungkin menderita kemiringan identitas spesies dan sanggama paksa adalah standar strategi kawin untuk orang utan jantan berperingkat rendah.[105] Pedagang satwa Amerika Frank Buck mengaku pernah melihat beberapa ibu manusia menyusui bayi-bayi orang utan yatim piatu dengan harapan bisa menjaga mereka tetap hidup cukup lama untuk dijual ke pengepul yang menjadi praktik salah satu contoh penyusuan hewan–manusia.[106] KonservasiStatus dan ancamanMenurut Daftar Merah IUCN, ketiga spesies orang utan terancam punah.[107][108][109] Mereka dilindungi secara hukum dari penangkapan, penganiayaan, ataupun pembunuhan di Malaysia dan Indonesia,[110] dan terdaftar dalam Apendiks I oleh CITES, yang melarang perdagangan tanpa izin di bawah hukum internasional.[111] Sebaran orang utan kalimantan menjadi lebih terfragmentasi, dengan sedikit atau tidak ada dari spesies ini yang terdokumentasi di wilayah bagian tenggara.[108] Populasi terbesar yang tersisa ditemukan di hutan sekitar Sungai Sabangau, tetapi lingkungan di sini terancam.[112] Orang utan sumatra hanya ditemukan di bagian utara Sumatra, yang sebagian besar populasinya menghuni Ekosistem Leuser.[107] Orang utan tapanuli hanya ditemukan di hutan Batang Toru di Sumatra.[109] Birutė Galdikas menulis bahwa saat ia mulai mempelajari orang utan pada tahun 1971, orang utan sudah terancam oleh perburuan liar dan deforestasi.[113] Pada dekade 2000-an, habitat orang utan menurun dengan cepat karena penebangan, penambangan, dan fragmentasi oleh jalan. Faktor utama penurunan ini adalah pengalihan kawasan hutan tropis yang luas menjadi perkebunan kelapa sawit sebagai respons atas permintaan internasional. Perburuan juga merupakan salah satu masalah utama, seperti halnya perdagangan hewan peliharaan eksotis ilegal.[107][108] Beberapa pembunuhan terhadap orang utan juga terjadi untuk perdagangan daging semak dan tulang belulangnya secara diam-diam dijual di toko-toko suvenir di beberapa kota di Kalimantan Indonesia.[114] Konflik antara penduduk setempat dan orang utan juga menjadi ancaman. Orang utan yang kehilangan tempat tinggalnya sering menyerbu daerah pertanian dan akhirnya dibunuh oleh penduduk desa. Penduduk setempat juga mungkin termotivasi untuk membunuh orang utan untuk makanan atau karena mereka dianggap berbahaya.[115] Induk orang utan dibunuh agar anaknya dapat dijual sebagai hewan peliharaan. Antara tahun 2012 dan 2017, pihak berwenang Indonesia, dengan bantuan Pusat Informasi Orang utan, menyita 114 orang utan, 39 di antaranya adalah peliharaan.[116] Sementara itu, dari tahun 2007 hingga 2019 tercatat 2.229 tindak kejahatan terhadap orang utan.[117] Pada dasawarsa 2000-an, populasi orang utan di alam liar diperkirakan terdiri atas 6.500 orang utan sumatra dan antara 54.000 orang utan kalimantan.[118] Sebuah studi tahun 2016 memperkirakan terdapat 14.613 orang utan sumatra di alam liar, dua kali lipat dari perkiraan populasi sebelumnya.[119] Sementara itu, orang utan tapanuli diperkirakan berjumlah kurang dari 800 ekor, yang menjadikan spesies ini paling terancam punah di antara para kera besar.[39][120] Organisasi dan pusat konservasiSejumlah organisasi bekerja untuk menyelamatkan, merehabilitasi, dan melakukan perkenalan kembali orang utan ke lingkungan alaminya. Organisasi terbesar terkait isu ini adalah Borneo Orangutan Survival (BOS), yang didirikan oleh konservasionis Willie Smits, dan proyek-proyek seperti Program Rehabilitasi Nyaru Menteng yang didirikan oleh konservasionis Lone Drøscher Nielsen.[121][122][123] Seekor orang utan betina diselamatkan dari rumah bordil di desa Kareng Pangi, Kalimantan Tengah, pada tahun 2003. Orang utan itu dicukur dan dirantai untuk tujuan seksual. Sejak dibebaskan, orang utan yang diberi nama Pony ini tinggal bersama BOS. Ia telah disosialisasikan kembali untuk hidup bersama orang utan lainnya.[124] Pada bulan Mei 2017, BOS menyelamatkan orang utan albino dari penangkaran. Primata langka ini dipelihara di sebuah desa terpencil di Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Menurut para sukarelawan di BOS, orang utan albino sangat langka (satu dari sepuluh ribu). Ini adalah orang utan albino pertama yang pernah dilihat organisasi ini selama 25 tahun kegiatannya.[125] Pusat konservasi besar lainnya di Indonesia beberapa di antaranya adalah Taman Nasional Tanjung Puting, Taman Nasional Sebangau, Taman Nasional Gunung Palung, dan Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya di Kalimantan, serta Taman Nasional Gunung Leuser dan Bukit Lawang di Sumatra. Di Malaysia, kawasan konservasi orang utan mencakup Semenggoh Wildlife Rehabilitation Center dan juga Matang Wildlife Centre di Sarawak, dan Pusat Rehabilitasi Orang Utan Sepilok di Sabah.[126] Pusat-pusat konservasi utama yang berkantor pusat di luar negara asal orang utan meliputi Frankfurt Zoological Society,[127] Orangutan Foundation International, yang didirikan oleh Galdikas,[128] dan Australian Orangutan Project.[129] Organisasi konservasi seperti Orangutan Land Trust bekerja sama dengan industri kelapa sawit untuk meningkatkan keberlanjutan dan mendorong agar perusahaan tersebut membangun kawasan perlindungan untuk orang utan.[130][131] Lihat pulaReferensi
Pranala luarWikimedia Commons memiliki media mengenai Pongo. Wikispecies mempunyai informasi mengenai Pongo.
|