Hari Ibu adalah hari peringatan atau perayaan terhadap peran ibu dalam keluarganya, baik untuk suami, anak-anak, maupun lingkungan sosialnya.
Peringatan dan perayaan biasanya dilakukan dengan membebastugaskan ibu dari tugas domestik yang sehari-hari dianggap merupakan kewajibannya, seperti memasak, merawat anak, dan urusan rumah tangga lainnya.
Di Indonesia, hari ibu dirayakan tiap 22 Desember dan ditetapkan sebagai perayaan nasional.
Hari ibu di Amerika Serikat dirayakan pertama kali pada 1908, ketika Anna Jarvis mengadakan peringatan atas kematian ibunya di Grafton, West Virginia.[1] Pada 1908, Kongres Amerika Serikat menolak proposal untuk menjadikan Hari Ibu sebagai hari libur nasional.[2] Pada 1911, seluruh negara bagian di Amerika Serikat menjadikan Hari Ibu sebagai hari libur.[2] Pada 1914, Woodrow Wilson menandatangani deklarasi untuk menjadikan Hari Ibu sebagai hari libur nasional.[3]
Hari Ibu di berbagai negara
Indonesia
Wikisumber memiliki naskah asli yang berkaitan dengan artikel ini:
Hari Ibu di Indonesia dirayakan secara nasional pada tanggal 22 Desember. Tanggal ini diresmikan oleh Presiden Soekarno di bawah Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 316 Tahun 1959 tanggal 16 Desember 1959, pada ulang tahun ke-25 Kongres Perempuan Indonesia 1928. Tanggal tersebut dipilih untuk merayakan semangat wanita Indonesia dan untuk meningkatkan kesadaran berbangsa dan bernegara. Kini, arti Hari Ibu telah banyak berubah, dimana hari tersebut kini diperingati dengan menyatakan rasa cinta terhadap kaum ibu. Orang-orang saling bertukar hadiah dan menyelenggarakan berbagai acara dan kompetisi, seperti lomba memasak dan memakai kebaya.[4]
Hari Ibu [5] di Indonesia dirayakan pada ulang tahun hari pembukaan Kongres Perempuan Indonesia yang pertama, yang digelar dari 22 hingga 25 Desember 1928.[6][7] Kongres ini diselenggarakan di sebuah gedung bernama Dalem Jayadipuran,[8] yang kini merupakan kantor Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional di Jl. Brigjen Katamso, Yogyakarta. Kongres ini dihadiri sekitar 30 organisasi wanita dari 12 kota di Jawa dan Sumatra. Di Indonesia, organisasi wanita telah ada sejak 1912, terinspirasi oleh pahlawan-pahlawan wanita Indonesia pada abad ke-19 seperti Kartini, Martha Christina Tiahahu, Cut Nyak Meutia, Maria Walanda Maramis, Dewi Sartika, Nyai Ahmad Dahlan, Rasuna Said, dan sebagainya.[6] Kongres dimaksudkan untuk meningkatkan hak-hak perempuan di bidang pendidikan dan pernikahan.[9]
Indonesia juga merayakan Hari Kartini pada 21 April, untuk mengenang aktivis wanita Raden Ajeng Kartini. Ini merupakan perayaan terhadap emansipasi perempuan.[7] Peringatan tanggal ini diresmikan pada Kongres Perempuan Indonesia 1938.[9] Pada saat Presiden Soekarno menetapkan Kartini sebagai pahlawan nasional emansipasi wanita dan hari lahir Kartini sebagai memperingati hari emansipasi wanita nasional, tetapi banyak warga Indonesia yang memprotes dengan berbagai alasan, di antaranya Kartini hanya berjuang di Jepara dan Rembang, Kartini lebih pro-Belanda daripada tokoh wanita seperti Cut Nyak Dien, dll. Karena Soekarno sudah terlanjur menetapkan Hari Kartini maka Soekarno berpikir bagaimana cara memperingati pahlawan wanita selain Kartini seperti Martha Christina Tiahahu, Cut Nyak Meutia, Maria Walanda Maramis, Dewi Sartika, Nyai Ahmad Dahlan, Rasuna Said, dll. Akhirnya Soekarno memutuskan membuat Hari Ibu Nasional sebagai hari mengenang pahlawan wanita alias pahlawan kaum ibu-ibu dan seluruh warga Indonesia menyetujuinya.[butuh rujukan]
India
Hari Ibu telah berasimilasi dengan kultur India,[10] dan dirayakan setiap hari Minggu kedua bulan Mei.[11] Di India, para ibu dianggap sebagai dewi atas anak-anak mereka.[12]
^Karena Kalender Islam menggunakan Kalender lunar, yang jumlah harinya lebih pendek daripada kalender solar, hari tersebut bergantung pada musimnya. Setiap tahunnya, hari yang bersangkutan jatuh pada hari yang berbeda-beda dalam kalender Gregorian, sehingga tercantum secara terpisah.
^TTN (13 March 2004). "Social change in India discussed". Times of India. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-10-27. Diakses tanggal 2013-12-22. Prof Bradley Hartel from Virginia, USA, reiterated that cultural and artistic exchanges have led to a confluence of ideas and traditions between India and USA. He said that India is unique in it's [sic] adaptability of new cultures as is exemplified by integrating Valentine's Day or Mother's Day, etc, into it's [sic] list of numerous festivals despite the many protests. He stressed that many traditions are being universalised in a global world.
^Charu Amar (1 May 2009), "Kyunki saas bhi toh maa hai!", The Times of India, diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-05-18, diakses tanggal 2013-12-22, Mention Mother's Day and everyone goes on a thinking spree to find the most innovative way to pamper their mommy dearest.
^"Calendario Cívico Escolar". Dirección Regional de Educación de Lima Metropolitana. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2015-09-09. Diakses tanggal 2008-06-07.
Helsloot, John (2007), "10. Vernacular Authenticity: Negotiating Mother's Day and Father's Day in the Netherlands", dalam Margry, Peter Jan; Roodenburg, Herman, Reframing Dutch Culture: Between Otherness and Authenticity, Progress in European Ethnology (edisi ke-illustrated), Ashgate Publishing, hlm. 6–7, 203–224, ISBN978-0-7546-4705-8Pemeliharaan CS1: Banyak nama: editors list (link)