Keuskupan Amboina
Keuskupan Amboina adalah adalah salah satu keuskupan yang terletak di Indonesia, serta merupakan keuskupan sufragan dari provinsi gerejawi yang juga berada dalam kesatuan dengan Keuskupan Agung Makassar dan Keuskupan Manado. Wilayah keuskupan ini mencakup seluruh wilayah geografis Kepulauan Maluku seluas 77.990 km².[6] Keuskupan Amboina diperkirakan menampung sekitar 114 ribu umat Katolik dan dilayani oleh setidaknya 90 imam. Sebelum Belanda, melalui VOC, membawa pengaruh di Maluku pada awal tahun 1600-an, pulau-pulau yang ada di Kepulauan Maluku awalnya merupakan tanah misi bangsa Portugis dan Spanyol yang mayoritas menganut Katolik. Maluku merupakan salah satu titik persinggahan Santo Fransiskus Xaverius sebelum melanjutkan perjalanan ke Jepang. Sesudah sempat terhenti karena larangan Belanda, misi di tanah Keuskupan Amboina berlanjut lagi sejak 1890-an, dan bahkan sebuah prefektur apostolik di Maluku dapat berdiri tahun 1902. Pada dekade 1890-an hingga 1900-an, seluruh kegiatan misi awalnya dipusatkan di Kepulauan Kei. Pada tahun 1949, prefektur yang telah naik tingkat menjadi vikariat sejak saat itu berganti nama menjadi Vikariat Apostolik Amboina dan memindahkan pusat misinya di Ambon. SejarahMisi Katolik di MalukuPeritsiwa pembaptisan beberapa penduduk asli dan seorang kepala desa oleh Baltasar Veloso, ipar dari Sultan Hairun, terjadi pada tahun 1534 di Mamuya, Galela, Halmahera Utara.[7] Peristiwa ini merupakan peristiwa pembaptisan pertama yang terjadi di wilayah Kevikepan Maluku Utara. Adapun peristiwa pembaptisan pertama masyarakat Maluku di wilayah Kevikepan Ambon terjadi pada tahun 1538 saat setidaknya 400 warga Ternate datang ke Hative untuk dibaptis oleh misionaris Portugis.[8] Beberapa waktu setelah 14 Februari 1546, Fransiskus Xaverius singgah di Hative dan membangun sebuah kapel.[8] Datangnya Fransiskus Xaverius di tahun 1546 sempat membuat Sultan Khairun terkesima dan mempertimbangkan niatnya untuk menjadi Katolik meskipun, pada akhirnya, ia mengurungkan niat tersebut karena, menurutnya, Kristen dan Islam menyembah Tuhan yang sama.[9] PelaranganPergolakan politik antara Portugis dengan sejumlah Kesultanan di Maluku Utara membuat karya misi Yesuit terhambat pada tahun 1573,[10] terutama setelah terbunuhnya Sultan Khairun pada tahun 1570.[11] Adapun Gereja terakhir yang masih eksis pada tahun 1576 hanyalah gereja yang terletak di Kevikepan Ambon dan Kepulauan Sangihe.[12] Karya Keuskupan Amboina berakhir pada tahun 1605 manakala pendudukan VOC membubarkan pendudukan Portugal di Ambon. Missi dari Keuskupan Agung Manila sempat singgah di Ternate pada 1606 namun tidak berjalan dengan lancar.[12] Pada tahun 1606 dan 1610, sejumlah misionaris dari Ordo Fransiskan dan Dominikan datang dan membangun Gereja di Ternate.[13] Datangnya misionaris Fransiskan dan Dominikan menciptakan persaingan di antara misionaris Fransiskan dengan misionaris Yesuit. Sulitnya misi di Keuskupan Amboina membuat misi di Moro terhenti pada tahun antara tahun 1613 atau 1614.[14] Kembalinya misiCatatan misi pertama setelah pencabutan larangan bermisi dari pemerintah Belanda terjadi pada tahun 1888 dan 1889. Pada saat itu, Serikat Jesus membangun dua stasi di Langgur dan Kota Tual sebagai titik persiapan masuknya Injil ke Tanah Papua sebelum dikunjungi oleh Matthias Neijens, M.S.C, pada tahun 1904 untuk daerah Fakfak dan 1905.[15][16][17] Pembaptisan pertama di Kevikepan Kei Kecil terjadi di Bulan Agustus 1889.[18] Peristiwa tersebut terjadi tak hanya karena ada persetujuan dari Badan Permusyawaratan Desa (BPD) semata tetapi juga karena ada dorongan dari Dewan Desa tersebut. Dorongan dan persetujuan untuk melakukan pembaptisan di Gereja Katolik juga terjadi di Desa Faan dan Kelurahan Pulau Duroa (1890),[18] Dusun Iso dan Dusun Rewav, Desa Rewav (1892),[18] Kolseer/Kolser, Rumadian, Namar, dan Ngilngof (1894).[18] Kembali aktifnya Keuskupan Amboina juga dimanfaatkan oleh R.P. Cornelis Johannes Franciscus Le Cocq d’Armandville, S.J.[19][20] Setelah bermisi di Sikka, Keuskupan Maumere, Le Cocq memulai misi di Bomfia/Boinfia, kaki bukit Seram Timur, pada tahun 1891.[21] Tahun 1893, ia melanjutkan misi ke Kepulauan Watubela.[21] Bersama dengan R.D. W. Hellings dan Br. J. Zinken, S.J., ia membangun Kevikepan Seram–Buru dalam waktu singkat, khusunya di daerah Watubela dan Kepulauan Kesui/Kasui.[22] Pada Mei 1894, ia meninggalkan Kevikepan Seram–Buru lalu bertolak ke Fakfak, Keuskupan Manokwari-Sorong.[22] Akhir Juli 1895, Le Cocq d'Armandville masih sempat memberi perhatian pada penduduk Kesui/Kasui dan Geser.[22] Pembentukan keuskupanSecara kelembagaan, sejarah Keuskupan Amboina bermula pada pendirian Prefektur Apostolik Nugini/Nouva Guinea Olandese pada 22 Desember 1902. Prefektur Apostolik ini merupakan wilayah yang terpisah dari Vikariat Apostolik Batavia. Misi Jesuit dihentikan pada tahun 1905 dan pimpinan Yesuit di Hindia Belanda menyerahkan karya kerasulan kepada Misionaris Hati Kudus.[23] Pada 14 Agustus 1905,[24] datanglah relijius dari Papua Nugini yang ditunjuk untuk menjadi imam di Kepulauan Kei/Kai,[25] yakni R.P. Philipus Braun, M.S.C.,[24] dan Br. Adrian[24] Dionysius[26] van Roesel, M.S.C.[24][27][28] Tahun 1910, sebelum ditunjuk menjadi uskup, Henri Nollen ditugaskan sebagai superior kongregasi Misionaris Hati Kudus setelah sempat bekerja di Keuskupan Agung Merauke sejak 1905.[26] Neijens mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Uskup Amboina setelah kalah gugatan dari seorang ekonom di Pengadilan Negeri Ambon tahun 1907 dan setelah adanya perselisihan antara Misionaris Hati Kudus wilayah Maluku dan Papua dengan Misionaris Hati Kudus Provinsi Belanda.[29] Pengembangan Keuskupan Amboina berdampak pada Keuskupan lain. Pada November 1921, Keuskupan Amboina mengirim dua guru agama dari Kei/Kai, yakni Kassimirus Maturbongs untuk Merauke dan Adrianus Dumatubun untuk Okaba. Pada tahun 1923, Imam Johannes van der Kooij berkarya di Dekenat Wendu, Keuskupan Agung Merauke, setelah sempat bertugas di Kei/Kai sejak 1915.[30] Status Prefektur Apostolik Nugini Belanda, kemudian, berubah menjadi Vikariat Apostolik Nouva Guinea Olandese/Nugini Belanda pada 29 Agustus 1920. Beberapa tahun sebelum Arnoldus Johannes Hubertus Aerts dibunuh, yakni pada tahun 1940; sejumlah Kevikepan di Keuskupan Amboina terus berkembang. (1) Kevikepan Kei Kecil terbagi atas empat stasi yang tiap-tiap stasinya memiliki wisma pastoral sebagai berikut:[31]
(2) Kevikepan Kei Besar terbagi atas empat stasi, lengkap dengan wisma pastoral, sebagai berikut:[31] (3) Kevikepan Maluku Tenggara Barat terbagi atas lima stasi dengan wisma pastoral sebagai berikut:[31]
Namanya berubah menjadi Vikariat Apostolik Amboina pada 12 Mei 1949. Adapun wilayah Vikariat Apostolik Amboina pada 24 Juni 1950 dipecah sebagai persiapan pembangunan Keuskupan Agung Merauke. Ketika hierarki Gereja Katolik di Indonesia didirikan Paus Yohanes XXIII dengan konstitusi apostolik Quod Christus pada 3 Januari 1961, statusnya meningkat lagi menjadi keuskupan. Garis waktu
WaligerejaOrdinaris
Prelat tituler
ParokiWilayah Ambon
Wilayah Seram
Wilayah Buru
Wilayah Maluku Utara
Wilayah Talimas
Wilayah Kepulauan Aru
Wilayah Maluku Tenggara BaratWilayah Kei Kecil
Wilayah Kei Besar
CatatanReferensi
Pustaka
Pranala luar |