Sunni
Sunni (/ˈsuːni, ˈsʊni/, KBBI: Suni) adalah cabang (firkah) terbesar Islam, yang dianut 85–90% populasi penduduk Muslim. Namanya berasal dari kata Sunnah, yakni meneladani apa yang telah diajarkan Nabi Islam Muhammad.[1] Perbedaan Sunni dengan Syiah berkaitan dengan pertentangan tentang siapa yang pantas sebagai penerus Muhammad yang berujung pada perbedaan antara akidah dan fikih.[2] Menurut tradisi Sunni, Muhammad tidak memiliki penerus dan orang-orang yang terlibat dalam peristiwa Saqifah menunjuk Abu Bakar sebagai khalifah.[2][3][4] Hal ini berbeda dengan pandangan Syiah, yang menganggap bahwa Muhammad menunjuk Ali bin Abi Thalib sebagai penerusnya.[5] Orang yang menganut cabang Islam ini lebih menyebut dirinya sebagai "ahli sunah", atau lebih lengkapnya ahlussunnah wal-jamāʻah ("orang yang mengikuti Sunnah dan berada dalam golongan Jamaah"). Pengikut dari ahlus-sunnah dikenal dengan sebutan Sunni. Sunni sering dijuluki sebagai "Islam Ortodoks",[6][7][8] meski banyak ulama dan pakar agama menentangnya.[9] Al-Qur'an dan hadis (utamanya yang berada dalam Kutubussittah) dan ijma', menjadi landasan fikih Sunni. Syariah diturunkan dengan mempertimbangkan sumber-sumber tersebut, bersama dengan qiyas, istislah, dan istihsan, menggunakan metode ijtihad yang dikembangkan imam-imam mazhab. Terkait dengan akidah, Sunni berpegang teguh pada rukun iman. Terdapat dua golongan mazhab akidah dalam tradisi Sunni, yaitu Asy'ariyah dan Maturidiyah yang menganut pemahaman ilmu kalam, serta Atsariyah yamg menganut pemikiran tekstual. TerminologiSunnahSunnah, secara bahasa bermakna "jalan, cara, atau perilaku walaupun tidak diridai".[10] Kata bahasa Arab sunnah sudah tua dan berakar pada bahasa pra-Islam. Kata tersebut merujuk pada tradisi yang diikuti mayoritas orang.[11] Istilah tersebut mendapat signifikansi politik yang lebih besar setelah pembunuhan Khalifah ketiga Utsman bin ʿAffan . Dikatakan Malik al-Asytar, seorang sahabat terkenal Ali bin Abi Thalib, didorong selama pertempuran Shiffin melawan Muawiyah bin Abu Sufyan. Setelah pertempuran usai, dirumuskan bagaimana "Sunnah yang benar sebagai alat pemersatu umat, bukan pemecah belah umat" (as-sunna al-ʿādila al-jāmiʿa gairal-mufarriqah) untuk menyelesaikan konflik. Waktu ketika sunnah adalah bentuk pendek dari “sunnah nabi” masih belum diketahui.[12] Pada masa Kekhalifahan Umayyah, gerakan politik seperti Syiah dan Khawarij yang memberontak terhadap pembentukan negara; memimpin pertempuran mereka atas nama "kitab Allah (al-Qur'an) dan Sunnah Nabi-Nya".[13] Selama Perang Saudara Islam Kedua (680–92), istilah sunnah menerima konotasi yang kritis terhadap doktrin Syi'ah. Hal ini dicatat oleh Masrūq bin al-Ajdaʿ (w. 683), yang merupakan seorang Mufti Kufah, bahwa dua khalifah pertama, Abū Bakar ash-Shiddiq dan ʿUmar bin Khattab wajib dicintai dan diakui prioritasnya (Fadā'il). Seorang murid Masruq, asy-Sya'bi (meninggal antara 721 dan 729), yang awalnya memihak Syiah di Kufah selama Perang Saudara, tetapi membelot karena fanatisme mereka dan akhirnya memutuskan untuk bergabung dengan Khalifah Umayyah ʿAbdul-Malik bin Marwan, mempopulerkan konsep sunnah.[14] Juga diriwayatkan oleh asy-Sya'bi, bahwa dia mengutuk orang-orang yang membenci ʿAisyah dan menganggapnya sebagai pelanggaran sunnah.[15] Istilah sunnah berbeda dengan frasa yang lebih panjang panjang ahlussunnah wal-jamāʻah atau ahlussunnah, karena kedua tersebut relatif lebih muda. Kemungkinan merujuk kepada Ibnu Taimiyyah, yang menggunakan bentuk pendek tersebut untuk pertama kalinya.[16] Kemudian dipopulerkan oleh ulama pan-Islam seperti Muhammad Rasyid Ridha dalam risalahnya as-Sunnah wasy-Syiʿah au al-Wahhābīyah war-Rāfiḍah: Ḥaqāʾiq Dīnīya Taʾrīḫīyah Ijtimaʿīyah Iṣlaḥīyah ("Sunnah dan Syiah, atau Wahhabisme dan Rafidhah: Sejarah, Fakta Sosiologis, dan Orientasi Reformasinya“) yang diterbitkan pada tahun 1928–29.[17] Istilah "sunnah" biasanya sering digunakan dalam wacana Arab sebagai sebutan bagi Muslim Sunni, serta untuk membedakannya dengan Syiah. Pasangan kata "Sunnah-Syiah" juga digunakan dalam literatur penelitian Barat untuk menunjukkan kontras Sunni-Syiah.[18] AhlussunnahAhl berarti "keluarga-keluarga, pengikut, penduduk." Dengan demikian ahlussunnah berarti "orang yang mengikuti Sunnah."[19] Salah satu dokumen pendukung paling awal untuk ahlussunnah berasal dari sarjana Bashrah, Muhammad bin Siri (wafat 728). Namanya disebutkan dalam Shahih Muslim bin al-Hajjaj: "Sebelumnya seseorang tidak bertanya tentang sanad. Tetapi saat fitnah bermula, seseorang berkata: 'Sebutkan kami perawi Anda'. Seseorang kemudian akan menjawabnya: jika mereka adalah ahlussunnah, terimalah hadis mereka. Namun jika mereka adalah ahlul-bid'ah, tolaklah hadis mereka."[20] G.H.A. Juynboll menduga, istilah fitnah dalam pernyataan ini tidak terkait dengan Perang Saudara pertama (665–661) setelah pembunuhan Utsman bin Affan, tetapi Perang Saudara kedua (680–692)[21] ketika umat Islam terpecah. menjadi empat pihak (Abdullah bin Zubair, Bani Umayyah, Syiah di bawah al-Mukhtar bin Abi Ubaid, dan Khawarij). Istilah ahlussunnah ditunjuk dalam situasi ini yang menjauh dari ajaran sesat dari berbagai pihak yang bertikai.[22] Istilah ahlussunnah selalu dipuji. Abu Hanifah (w. 769), menegaskan bahwa orang-orang ini adalah "orang-orang saleh dan orang-orang Sunnah" (ahlul-ʿadl wa-ahlus-sunnah).[23] Menurut Josef van Ess istilah ini tidak berarti lebih dari "orang beriman yang terhormat dan benar".[24] Di kalangan mazhab Hanafi, sebutan ahlus-sunnah dan ahlul-ʿadl (orang-orang terhormat) dapat dipertukarkan untuk waktu yang lama. Oleh karena itu ulama mazhab Hanafi, Abul-Qāsim as-Samarqandī (w. 953), yang menyusun katekismus untuk Samaniyah, terkadang menggunakan satu ungkapan dan terkadang ungkapan lain untuk kelompoknya sendiri.[25] Bentuk tunggal dari ahlus-sunna adalah ṣāḥib sunnah (individu pengikut sunnah).[26] Ungkapan ini digunakan misalnya oleh ʿAbdallāh bin al-Mubārak (w. 797) untuk seseorang, yang berlepas diri dari ajaran Syiah, Khawarij, Qadariyah, dan Murji'ah.[27] Selain itu, kata sifat nisbah sunni juga digunakan untuk individu. Demikian tercatat, ulama Quran dari Kufah Abu Bakar bin 'Auyasy (wafat 809) ditanya, bagaimana dia menjadi seorang sunni. Ia menjawab, "Orang yang, ketika firkah-firkah sesat disebutkan, tidak tertarik mengikutinya."[28] Ulama Andalusia, Ibnu Hazm (w. 1064) kemudian mengajarkan, bahwa mereka yang mengaku Islam dapat dibagi menjadi empat kelompok: Ahlussunnah, Muktazilah, Murji'ah, Syiah, dan Khawarij.[29] Pada abad ke-9, sejumlah orang mulai menambah istilah ahlussunnah dengan tambahan-tambahan positif lainnya. Abu al-Hasan al-Asy'ari merumuskan frasa untuk kelompoknya seperti seperti ahlussunnah wal-istiqāmah ("orang-orang yang mengikuti Sunnah dan teguh pendiriannya"), ahlussunnah wal-ḥadīṡ "orang-orang yang mengikuti Sunnah dan Hadis"),[30] atau ahlul-ḥaqq was-sunnah[31] (“orang-orang yang benar dan mengikuti Sunnah”). Ahlussunnah wal-jama'ahAl-Jama'ah, berasal dari kata al-jam'u artinya mengumpulkan sesuatu, dengan mendekatkan sebagian ke sebagian lain, atau mengumpulkan yang bercerai-berai. Kata jama'ah juga berasal dari kata ijtima' (perkumpulan), yang merupakan lawan kata tafaruq (perceraian) dan lawan kata dari furqah (perpecahan). Jama'ah adalah sekelompok orang banyak dan sekelompok manusia yang berkumpul berdasarkan satu tujuan. Selain itu, Jama'ah juga berarti kaum yang bersepakat dalam suatu masalah, atau orang-orang yang memelihara kebersamaan dan kolektifitas dalam mencapai satu tujuan.[32] Kemunculan ungkapan ahlussunnah wal-jama'ah tidak sepenuhnya jelas. Khalifah Abbasiyah Al-Ma'mūn (memerintah tahun 813–33) mengeluarkan dekrit tentang sekelompok orang, yang mengaku teguh kepada sunnah (nasabū anfusahum ilās-sunnah) dan mengeklaim, mereka adalah "orang-orang pengikut kebenaran, agama dan masyarakat” (ahlul-ḥaqq wad-dīn wal-jamāʿah).[33] Sunnah dan jama'ah sudah terhubung di sini. Sebagai pasangan, istilah-istilah ini sudah muncul pada abad ke-9. Tercatat bahwa murid Ahmad bin Hanbal, Harb bin Ismail (wafat 893) menulis kitab berjudul as-Sunnah wal-Jamāʿah, yang kemudian dibantah oleh ulama Muktazilah, Abu Al-Qasim al-Balkhi.[34] Al-Jubba'i (w. 916) mengisahkan dalam Kitāb al-Maqālāt nya, bahwa Ahmad bin Hanbal menggelari murid-muridnya dengan predikat sunnah wal-jama'ah.[35] Hal ini menunjukkan bahwa pengikut mazhab Hambali adalah yang pertama kali menggunakan frasa ahlus-sunnah wal-jamāʿah sebagai sebutan diri.[36] Akan tetapi, kelompok Karramiyyah yang didirikan oleh Muhammad bin Karram (wafat 859) mengklaim sebagai as-sunnah wal-jama'ah. Mereka menyebut itu karena mereka memuji pendiri mazhab ini setelah memahami sebuah hadis, yang menurutnya nabi Muhammad menubuwatkan bahwa pada akhir zaman akan muncul seorang laki-laki bernama Muhammad bin Karram, yang akan memulihkan sunnah dan jamāʿah dan berhijrah dari Khorasan ke Yerusalem, seperti ketika Muhammad hijrah dari Makkah ke Madinah.[36] Menurut kesaksian ulama Transoksiana, Abul-Yusr al-Bazdawi (w. 1099), Kullabiyah (pengikut ulama Basrian bin Kullab (w. 855)) juga mengeklaim sebagai ahlus-sunnah wal-jama'ah.[37] Abu al-Hasan al-Asy'ari jarang menggunakan ungkapan ahlus-sunna wal-jama'ah,[38] dan lebih menyukai kombinasi yang lain. Belakangan orang-orang Asy'ariyah seperti al-Isfaranini (w. 1027) dan Abdul-Qahir al-Baghdadi (w. 1078) juga menggunakan ungkapan ahlussunnah wal-jama'ah dan menggunakannya dalam karya-karya mereka untuk merujuk pada mazhab mereka sendiri.[39] Menurut al-Bazdawi semua orang Asy'ari pada masanya mengatakan mereka termasuk ahlus-sunnah wal-jama'ah.[37] Selama ini, istilah tersebut telah digunakan sebagai sebutan diri oleh pengikut Maturidi dan Hanafi di Transoksiana, serta sering digunakan oleh Abu al-Laits as-Samarqandi (wafat 983), Abu Syakur (wafat 1086) dan al-Bazdawi.[25] Mereka menggunakan istilah itu untuk melawan musuh mereka,[40] seperti pengikut Muktazilah.[41] Al-Bazdawī juga membedakan ahlussunnah wal-jama'ah dengan ahli hadis, "karena mereka akan menganut ajaran yang bertentangan dengan Al-Qur'an".[42] Menurut Syamsuddin al-Maqdisī (hidup akhir abad ke-10), ungkapan ahlussunnah wal-jama'ah menjadi pujian pada masanya, mirip dengan ahlul-ʿadl wat-tauḥīd ("orang-orang yang mengikuti keadilan dan tauhid"), yang digunakan untuk Muktazilah atau sebutan umum seperti Mukminun (“Orang Beriman“) atau aṣḥābul-hudā (“orang-orang yang mendapat petunjuk”) untuk orang Muslim, yang dipandang sebagai orang-orang beriman yang benar.[43] Karena ungkapan ahlussunnah wal-jama'ah digunakan dengan tuntutan keyakinan yang benar, maka dalam penelitian akademis digunakan istilah yang diterjemahkan sebagai "ortodoks".[44] Mengenai apa sebenarnya istilah jama'ah dalam frasa ahlussunnah wal-jama'ah ini terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama. Ath-Thahawi (wafat 933), dalam rangkumannya terhadap akidah Sunni, istilah jama'ah berbeda dengan istilah Arab furqah ("golongan yang berpecah belah").[45][46] Ath-Thahawi menjelaskan bahwa kata jama'ah dianggap benar dan lurus (ḥaqq wa-ṣawāb) dan furqah sebagai menyimpang dan menyesatkan (zaig wa-ʿaḍāb).[47] Ibnu Taimiyyah berpendapat, bahwa jama'ah sebagai lawan kata dari firqah mengandung makna ijtimāʿ ("kesepakatan bersam"). Selanjutnya ia menghubungkannya dengan prinsip ijmak, sumber hukum ketiga Islam setelah Al-Qur'an dan Sunnah.[48] Ulama Utsmaniyah Muslih ad Din al-Qastallani (wafat 1495) berpendapat bahwa jama'ah berarti "jalan para Sahabat” (ṭarīqat aṣ-ṣaḥābah).[49] Teolog Indonesia modern Nurcholish Madjid (w. 2005) menafsirkan jamaah sebagai konsep inklusif: terbuka untuk pluralisme dan dalam dialog tetapi tidak terlalu menekankan.[50] SejarahSalah satu kesalahan yang sering terjadi adalah berasumsi bahwa Islam Sunni mewakili Islam normatif yang muncul selama periode setelah kematian Muhammad, dan bahwa Sufisme dan Syiah bercabang dari Islam Sunni.[51] Persepsi ini sebagian disebabkan oleh ketergantungan pada sumber-sumber yang sangat ideologis yang telah diterima sebagai karya sejarah yang dapat diandalkan, dan juga karena sebagian besar umat Islam adalah Sunni. Baik Sunni maupun Syiah adalah produk akhir dari persaingan antara ideologi selama beberapa abad. Kedua firkah tersebut menggunakan satu sama lain untuk memperkuat identitas dan doktrin mereka sendiri.[52] Empat khalifah pertama yang dikenal di kalangan Sunni dikenal sebagai Khulafaurrasyidin. Khalifah yang pertama adalah Abu Bakar, kedua Umar, ketiga Utsman, dan keempat Ali.[53] Sunni mengakui penguasa setelahnya sebagai khalifah, meski mereka tidak memasukkan siapa pun dalam daftar Rasyidin setelah kematian Ali, hingga kekhalifahan secara konstitusional dihapuskan di Turki pada 3 Maret 1924. Transisi kekhalifahan menjadi dinasti monarkiBenih transisi kekhalifahan menjadi monarki kedinastian telah muncul, seperti yang ditakutkan oleh khalifah kedua Umar, sejak rezim khalifah ketiga Utsman, yang mengangkat banyak kerabatnya dari klan Bani Umayyah, seperti Marwan bin al-Hakam dan Walid bin Uqbah pada jabatan-jabatan penting di pemerintahan, sehingga menjadi penyebab utama kekacauan yang mengakibatkan pembunuhan dan pertikaian berikutnya selama masa Ali dan pemberontakan oleh Muawiyah bin Abu Sufyan, salah satu kerabat Utsman. Hal ini menyebabkan pembentukan pemerintahan kedinastian yang kuat dari Bani Umayyah setelah Husain, putra bungsu Ali dari Fatimah az-Zahra, gugur dalam Pertempuran Karbala. Bangkitnya kekuasaan Bani Umayyah, suku elite Makkah yang menentang keras Muhammad di bawah kepemimpinan Abu Sufyan, ayah Muawiyah, hingga penaklukan Makkah oleh Muhammad, sebagai penggantinya dengan diangkatnya Utsman sebagai khalifah, yang semula dihuni masyarakat egaliter yang muncul sebagai hasil revolusi Muhammad, berubah menjadi masyarakat yang terstratifikasi antara yang kaya dan yang miskin sebagai akibat dari nepotisme, dan dalam kata-kata El-Hibri melalui "penggunaan pendapatan zakat untuk menyubsidi kepentingan keluarga, yang dibenarkan Utsman sebagai ash-shilah".[54][55][56] Ali, selama masa pemerintahannya yang agak singkat, berupaya untuk mengembalikan sistem egaliter dan supremasi hukum atas penguasa yang dicita-citakan dalam dakwah Muhammad, tetapi terus menghadapi tentangan, dari perang Jamal melawan Aisyah, Thalhah, dan Zubair; perang Shiffin melawan Muawiyah; dan akhirnya Ali dibunuh oleh orang Khawarij. Setelah Ali dibunuh, para pengikutnya segera memilih Hasan bin Ali putra sulung Ali dari Fatimah untuk menggantikannya. Hasan kemudian menandatangani perjanjian dengan Muawiyah melepaskan kekuasaan demi yang terakhir, dengan syarat antara lain, bahwa salah satu dari dua yang akan hidup lebih lama dari yang lain akan menjadi khalifah, dan bahwa khalifah ini tidak akan menunjuk seorang penerus tetapi akan meninggalkan soal pemilihan khalifah kepada publik. Selanjutnya, Hasan diracun sampai mati dan Muawiyah menikmati kekuasaan yang tak tertandingi. Tidak menghormati perjanjiannya dengan Hasan, ia mencalonkan putranya Yazid untuk menggantikannya. Setelah kematian Muawiyah, Yazid meminta Husain, adik laki-laki Hasan, putra Ali dan cucu Muhammad, untuk memberikan kesetiaannya kepada Yazid, yang ditolaknya dengan jelas. Kafilahnya dikepung oleh tentara Yazid di Karbala dan dia dibunuh bersama semua rekan prianya – total 72 orang, dalam pertempuran sehari penuh setelah Yazid memantapkan dirinya sebagai penguasa, meskipun pemberontakan publik yang kuat meletus setelah kematiannya melawan dinastinya untuk membalas dendam, tetapi Bani Umayyah mampu dengan cepat menekan mereka semua dan memerintah dunia Muslim, hingga akhirnya digulingkan oleh Bani Abbās.[57][58][59][60] Kekhalifahan dan monarki Bani AbbasKekuasaan dan "kekhalifahan" Bani Umayyah berakhir di tangan Bani Abbas, yang merupakan cabang dari Bani Hasyim, suku Muhammad, hanya untuk mengantarkan monarki dinasti lain yang disebut sebagai kekhalifahan dari tahun 750 M. Periode ini adalah masa-masa formatif Islam Sunni dengan lahirnya empat mazhab dari para fukaha: Abu Hanifah, Malik bin Anas, Muhammad bin Idris asy-Syafi'i, dan Ahmad bin Hanbal, begitu juga Jafar ash-Shadiq yang menguraikan doktrin imamah, dasar pemikiran keagamaan Syiah. Tidak ada rumusan yang diterima dengan jelas untuk menentukan suksesi kekhalifahan Abbasiyah. Dua atau tiga putra atau kerabat lain diusulkan sebagai calon pemimpin baru, masing-masing didukung oleh partai pendukungnya sendiri. Uji kepatutan terjadi, dan pihak yang paling kuat menang serta mengharapkan bantuan dari khalifah yang mereka dukung begitu dia diangkat sebagai khalifah. Kekhalifahan dinasti ini berakhir dengan wafatnya Khalifah al-Ma'mun pada tahun 833 M, ketika periode dominasi Turki dimulai.[61] Pada zaman modernSetelah Perang Dunia I, Kesultanan Utsmaniyah, sebuah kekhalifahan Sunni terbesar selama enam abad, runtuh dan menandai berakhirnya kekhalifahan. Hal ini menyebabkan protes Sunni di tempat-tempat yang jauh termasuk Gerakan Khilafat di India, yang kelak memperoleh kemerdekaan dari Inggris serta terbagi menjadi Pakistan yang didominasi Sunni dan India yang sekuler. Pakistan, negara Sunni terpadat, kemudian dipisah menjadi Pakistan dan Bangladesh. Runtuhnya kekhalifahan tersebut juga mengakibatkan lahirnya Arab Saudi, sebuah monarki absolut berbasis dinasti yang terus memperjuangkan doktrin reformis Muhammad bin Abdul-Wahhab.[62][63][64][65] Hal ini juga dibarengi oleh berkembangnya gerakan Wahhabi, Salafiyah, Islamisme, dan Jihadisme yang memperjuangkan doktrin Ibnu Taimiyyah (1263–1328 M/661–728 H), seorang ulama Hambali. Perang Dingin mengakibatkan radikalisasi para pengungsi Afganistan di Pakistan yang berjuang melawan komunisme yang didukung pasukan Uni Soviet di Afganistan, sehingga lahirlah gerakan Taliban. Setelah jatuhnya rezim komunis di Afganistan dan perang saudara, Taliban merebut kekuasaan dari faksi Mujahidin di Afganistan dan membentuk pemerintahan di bawah kepemimpinan Mohammed Omar, yang disebut sebagai Amirul-Mukminin, cara yang terhormat untuk menyapa khalifah. Taliban diakui oleh Pakistan dan Arab Saudi hingga setelah Serangan 11 September 2001, yang diotaki oleh Usamah bin Ladin—seorang warga negara Saudi yang mendapat suaka oleh Taliban—terjadi, memantik perlawanan terhadap teror, termasuk melawan Taliban.[66][67][68] Pada abad ke-20, telah banyak kebencian di beberapa kalangan komunitas Sunni karena hilangnya keunggulan di beberapa wilayah yang sebelumnya didominasi Sunni seperti Syam, Mesopotamia, Balkan, Kaukasus Utara, dan anak benua India.[69] Upaya terbaru oleh kelompok radikal jihadisme salafi untuk mendirikan kembali kekhalifahan Sunni terlihat dalam munculnya kelompok militan NIIS, dengan pemimpinnya Abu Bakar al-Baghdadi yang dikenal di kalangan pengikutnya sebagai khalifah dan Amirulmukminin, "Pemimpin Kaum Beriman".[70] Jihadisme menjadi salah satu kelompok yang selalu dilawan dari dalam umat Islam di seluruh penjuru dunia yang dibuktikan dengan kehadiran hampir 2% populasi Muslim di London yang memprotes NIIS.[71] Mengikuti pendekatan yang lebih puritan dari Ibnu Katsir, Muhammad Rasyid Ridha, dll. banyak tafsir kontemporer mengabaikan signifikansi cerita Israiliyat, cerita yang bersumber dari Alkitab dan riwayat orang-orang Yahudi dan Nasrani. Setengah dari tafsir Arab menolak menggunakan cerita Israiliyat secara umum, sedangkan tafsir Turki biasanya sebagian membolehkan merujuk pada cerita Israiliyat. Akan tetapi, sebagian besar mufassir non-Arab menganggap Israiliyat tidak berguna atau tidak dapat diterapkan.[72] Rujukan langsung ke konflik Israel-Palestina tidak pernah ditemukan. Masih belum jelas apakah penolakan Israiliyat memiliki motif politik atau hanya sebatas pemikiran tradisionalis.[72] Penggunaan tafsir 'ilmi adalah karakteristik penting lainnya dari tafsir Sunni modern. Tafsir 'ilmi singkatan dugaan keajaiban ilmiah yang ditemukan dalam Al-Qur'an. Singkatnya, idenya adalah bahwa Al-Qur'an mengandung pengetahuan tentang hal-hal yang tidak mungkin dimiliki oleh seorang penulis abad ke-7. Penafsiran semacam itu populer di antara banyak mufassir. Beberapa ulama mufassir Universitas Al-Azhar, menolak pendekatan ini, dengan alasan Al-Qur'an adalah teks untuk petunjuk agama, bukan untuk sains dan teori ilmiah yang dapat dibantah nantinya; dengan demikian tafsir 'ilmi dapat mengarah pada penafsiran yang keliru pada ayat-ayat Al-Qur'an.[73] Kecenderungan tafsir Islam modern umumnya dipandang untuk menyesuaikan dengan audiens modern serta memurnikan Islam dari dugaan perubahan, beberapa di antaranya diyakini sebagai bentuk tahrif yang sengaja dibawa ke dalam Islam untuk melemahkan dan merusak dakwahnya.[72] PenganutPara pengikut Sunni meyakini bahwa sahabat Muhammad adalah penyebar Islam yang andal, karena Allah dan Muhammad meridai mereka. Sumber abad pertengahan bahkan melarang kutukan atau fitnah mereka.[75] Keyakinan ini didasarkan pada hadis yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Mas'ud, bahwa Muhammad bersabda: "Yang terbaik dari manusia adalah generasiku, kemudian generasi setelah mereka, kemudian generasi setelah mereka." Dukungan untuk pandangan ini juga ditemukan dalam Al-Qur'an, menurut Sunni.[76] Oleh karena itu, riwayat para sahabat juga diperhitungkan untuk pengetahuan iman Islam. Sunni juga percaya bahwa para sahabat adalah mukmin sejati karena para sahabatlah yang diberi tugas untuk memushafkan Al-Qur'an. Sunni tidak memiliki hierarki formal. Pemimpin agama bersifat nonformal, dan menuntut ilmu untuk menjadi ulama di bidang hukum (syariat) atau akidah (kalam). Kepemimpinan agama dan politik pada prinsipnya terbuka untuk semua umat Islam.[77] Menurut Islamic Center of Columbia, Carolina Selatan, setiap orang yang memiliki kecerdasan dan kemauan bisa menjadi ulama. Selama Salat Jumat, jemaah akan memilih orang berilmu untuk memimpin salat, yang dikenal sebagai khatib (orang yang berkhotbah).[78] Sebuah studi yang dilakukan Pew Research Center pada tahun 2010 dan dirilis Januari 2011 [79] menemukan bahwa terdapat 1,62 miliar Muslim di seluruh dunia, dan diperkirakan lebih dari 85–90% adalah Sunni.[80] Mazhab akidahTidak ada kesepakatan di antara para ulama mengenai bagaimana pandangan dogmatis yang harus dipegang oleh Sunni. Sejak periode modern awal, ada gagasan bahwa ada tiga mazhab akidah yang diakui sebagai Sunni:
Ulama Suriah Abdul-Baqi bin Faqih Fussa (w. 1661) menyebut kelompok tradisionalis ketiga ini mazhab Hambali.[81] Pemikir Ottoman İsmail Hakkı İzmirli (w. 1946), yang setuju untuk membagi Sunni menjadi tiga kelompok ini, menyebut kelompok ketiga ini sebagai "tradisionalis" atau "Salafiyah", tetapi juga menggunakan Atsariyah sebagai istilah alternatif. Untuk Maturidiyah dia memberikan Nasafiyah sebagai kemungkinan nama alternatif.[82] Istilah lain yang digunakan untuk kelompok berorientasi tradisionalis adalah "ahli hadis". Ini digunakan, misalnya, dalam dokumen akhir Muktamar Grozny. Hanya orang-orang "ahli Hadis" yang tergolong Sunni yang mempraktikkan tafwidh, yaitu yang menahan diri untuk tidak menafsirkan pernyataan-pernyataan Al-Qur'an yang rancu.[83] Asy'ariyahDigagas oleh Abu al-Hasan al-Asy'ari (873–935), mazhab akidah ini dianut oleh banyak ulama dan terus berkembang di belahan dunia Islam sepanjang sejarah; al-Ghazali menulis tentang akidah yang membahasnya dan menyepakati beberapa prinsipnya.[84] Akidah Asy'ariyah menekankan wahyu ilahi atas akal manusia. Berbeda dengan Mu'tazilah, mereka mengatakan bahwa etika tidak dapat diturunkan dari akal manusia, tetapi bahwa perintah Tuhan, sebagaimana diwahyukan dalam Al-Qur'an dan Sunnah (praktik-praktik Muhammad dan para sahabatnya sebagaimana dicatat dalam hadis), adalah satu-satunya sumber dari semua moralitas dan etika. Mengenai sifat-sifat Ketuhanan, Asy'ariyah menolak posisi Muktazilah bahwa semua rujukan Al-Qur'an tentang Allah beserta sifat-sifat-Nya adalah majaz (metafor). Kaum Asy'ari menganggap bahwa sifat-sifat ini adalah "sesuai dengan sifat Ketuhanan". Karena bahasa Arab merupakan bahasa yang luas mengingat satu kata dapat memiliki 15 arti yang berbeda, Asy'ariyah berusaha untuk menemukan makna yang paling sesuai dengan Allah tanpa bertentangan dengan Al-Qur'an. Oleh karena itu, ketika Allah berfirman, "Allah tidak serupa dengan sesuatu pun", ini jelas bermakna Allah tidak berjisim karena Dia-lah yang menciptakan bagian-bagian tubuh. Asy'ariyah cenderung menekankan kemahakuasaan ilahi atas kehendak bebas manusia dan mereka percaya bahwa Al-Qur'an itu abadi dan bukan makhluk. MaturidiyahDigagas oleh Abu Mansur al-Maturidi (w. 944), Maturidiyah merupakan mazhab akidah utama umat Islam di Asia Tengah[85] berdasarkan fikih mazhab Hanafi. Mazhab akidah ini dipengaruhi oleh penafsiran orang Persia tentang Islam dan sedikit tradisi yang berasal dari budaya Arab.[86] Berbeda dengan pendekatan tradisionalis, Maturidiyah memungkinkan untuk menolak hadis berdasarkan akal saja.[87] Akan tetapi, wahyu tetap penting untuk menjelaskan kepada manusia tentang hal-hal yang berada di luar batas akal, seperti akhirat. Etika di sisi lain, tidak membutuhkan wahyu, tetapi dapat dipahami dengan akal saja. Salah satu suku, Turki Seljuk, bermigrasi ke Turki, tempat kelak berdirinya Kesultanan Utsmaniyah.[88] Mazhab akidah ini umumnya diikuti oleh pengikut mazhab Hanafi sementara pengikut mazhab Syafii dan Maliki di dalam kesultanan mengikuti mazhab Asy'ariyah dan Atsariyah. Dengan demikian, di mana pun dapat ditemukan pengikut Hanafi, di situ dapat ditemukan akidah Maturidiyah.[89][90] AtsariyahMazhab akidah tradisionalis serta teologi skriputralis, dikenal sebagai Atsariyah, adalah mazhab akidah Islam yang menolak teologi Islam rasionalistik (ilmu kalam) dan mendukung tekstualisme yang ketat dalam menafsirkan Al-Qur'an dan Sunnah.[91] Kadang-kadang juga disebut sebagai Atsariyah, juga dengan beberapa nama lain. Penganut mazhab akidah ini meyakini bahwa makna lahiriah Al-Qur'an dan hadis memiliki otoritas tunggal dalam masalah keyakinan dan hukum; dan bahwa penggunaan perdebatan rasional dilarang bahkan jika hanya dipakai untuk membuktikan kebenarannya.[92] Mereka memaknai Al-Qur'an secara literal, dan tidak boleh ditakwil (penafsiran majazi/metaforis). Mereka tidak berusaha mengkonseptualisasi makna ayat Al-Qur'an secara rasional, dan meyakini bahwa hal-hal semacam ini harus diserahkan kepada Allah saja (tafwidh).[93] Intinya, teks Al-Qur'an dan hadis diterima apa adanya tanpa menanyakan "bagaimana memaknainya" (bi-la kaifa). Mazhab akidah tradisionalis muncul di kalangan ulama hadis yang akhirnya bergabung menjadi gerakan yang disebut ahli hadis, dengan Ahmad bin Hanbal sebagai pemimpinnya.[94] Dalam masalah akidah, mereka beradu dengan Muktazilah dan mazhab akidah lainnya, mengutuk banyak poin doktrin mereka serta metode rasionalistik yang mereka gunakan dalam mempertahankannya.[94] Pada abad ke-10 M al-Asy'ari dan al-Maturidi menemukan jalan tengah antara rasionalisme Muktazilah dan literalisme Hambali, dengan menggunakan metode rasionalistik yang diperjuangkan oleh Muktazilah untuk mempertahankan sebagian besar ajaran doktrin tradisionalis.[95][96] Meskipun sebagian besar ulama Hambali yang menolak sintesis ini minoritas, pendekatan mereka yang berbasis narasi dan emosional terhadap iman tetap berpengaruh di kalangan massa perkotaan di beberapa daerah, khususnya di Bagdad zaman Abbasiyah.[97] Meskipun Asy'ariyah dan Maturidiyah sering disebut "Sunni ortodoks", mazhab akidah tradisionalis telah berkembang pesat bersamanya serta terus bersaing untuk mendapatkan predikat "Sunni Ortodoks".[98] Pada zaman modern, mazhab akidah ini memiliki dampak yang tidak proporsional pada teologi Islam, yang telah diapropriasi oleh aliran Wahhabi dan Salafi tradisionalis lainnya dan telah menyebar jauh melampaui batas-batas mazhab Hambali.[99] Pengertian sempitAda ulama yang ingin membatasi istilah Sunni untuk Asy'ariyah dan Maturidiyah saja. Misalnya, Murtadha az-Zabidi (w. 1790) menulis dalam tafsir tentang kitab al-Ghazali, Ihya' 'Ulumuddin: "Kapankah ahlussunnah wal-jama'ah digunakan, yakni ketika Asy'ariyah dan Maturidiyah (digagas)".[49] Pernyataan ini juga dilontarkan Kantor Fatwa Mesir pada Juli 2013.[100] Pada masa Utsmaniyah, banyak upaya dilakukan untuk membangun keselarasan yang baik antara ajaran Asy'ariyah dan Maturidiyah.[100] Ada juga ulama yang menganggap Sunni adalah Asy'ariyah saja. Misalnya, tokoh Sufi Maroko Ahmad ibn ʿAjibah (w. 1809) menyatakan dalam tafsir Surah Al-Fatihah: “Terkait Sunni, merekalah yang mengikut Asy'ariyah serta mengikuti keyakinan yang benar.“[101] Sebaliknya, ada juga ulama yang mendepak Asy'ariyah dari Sunni. Ulama Andalusia, Ibnu Hazm (w. 1064) mengatakan bahwa Abu al-Hasan al-Asy'ari mengikuti Murji'ah, sebuah mazhab akidah yang banyak didepak dari Sunni.[102] Ulama Suriah-Albania penganut Atsariyah-Salafiyah, Muhammad Nashiruddin al-Albani, menolak ekstremisme dalam mendepak Asy'ariyah dari Sunni. Ia meyakini bahwa meski pemahamannya berbeda dengan Atsariyah, ulama Asy'ari tidak pantas didepak dari ahlussunnah wal-jama'ah, kecuali bagi mereka yang tidak mengikuti manhaj salaf. Menurut Albani:
Sunni dalam pengertian umum dan khususUlama mazhab Hambali, Ibnu Taimiyyah (w. 1328) dalam karyanya membedakan manhaj as-sunnah antara Sunni dalam pengertian umum (ahlussunnah al-ʿāmma) dan Sunni dalam pengertian khusus (ahlus-sunnah al-khāṣṣa). Sunni dalam pengertian umum adalah semua Muslim yang mengakui kekhalifahan tiga khalifah (Abu Bakar, Umar bin Khattab, dan Utsman bin 'Affan). Menurutnya, ini termasuk semua kelompok Islam kecuali Syiah Rafidhah. Sunni dalam arti khusus hanyalah "ahli hadis".[104] İsmail Hakkı İzmirli, yang melanjutkan pembedaan lingkaran Sunni yang lebih luas dan lebih sempit dari Ibnu Taimiyyah, mengatakan bahwa Kullabiyah dan Asy'ariyah adalah Sunni dalam pengertian umum, sedangkan Salafiyah mewakili Sunni dalam pengertian khusus. Tentang Maturidiyah, ia hanya mengatakan bahwa mereka lebih dekat dengan Salafiyah daripada Asy'ariyah karena mereka unggul dalam fikih daripada kalam.[82] Ulama Saudi, Muhammad bin Shalih al-Utsaimin (w. 2001), seperti Ibnu Taimiyyah, juga membedakan antara Sunni secara umum dan khusus, juga mengecualikan Asy'ariyah dari lingkaran Sunni dalam pengertian khusus dan berpandangan bahwa hanya pengikut salafusshalih yang menyepakati sunnah termasuk golongan ini.[105] MuktazilahMuktazilah umumnya tidak dimasukkan sebagai Sunni. Ibnu Hazm, misalnya, membandingkan mereka dengan Sunni sebagai kelompok terpisah dalam karya heresiografinya al-Faṣl fil-Milal wal-Ahwāʾ wan-Niḥal.[102] Dalam banyak teks abad pertengahan, Ahlussunnah dibedakan dengan Muktazilah.[106] Pada tahun 2010, kantor fatwa Yordania mengeluarkan fatwa bahwa Muktazilah, seperti halnya Khawarij, merupakan doktrin yang bertentangan dengan Sunni.[107] Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa kaum Muktazilah adalah Sunni dalam pengertian umum karena mereka mengakui kekhalifahan dari tiga khalifah pertama.[108] Mistisisme
Terdapat kesepakatan luas bahwa para Sufi juga merupakan bagian dari Sunni. Pandangan ini sudah dapat ditemukan pada ulama Syafi'i, Abu Mansur al-Baghdadi (wafat 1037). Dalam karya heresiografinya al-Farq bainal-Firaq ia membagi Sunni ke dalam delapan kategori (asnāf) orang yang berbeda:
Menurut klasifikasi ini, para Sufi adalah salah satu dari total delapan kelompok dalam Sunni, yang didefinisikan menurut spesialisasi agama mereka. Ulama Tunisia Muhammad bin al-Qasim al-Bakki (w. 1510) juga memasukkan kaum Sufi ke dalam Sunni. Dia membagi Sunni menjadi tiga kelompok berikut menurut pengetahuan mereka (istiqrāʾ):
Demikian pula, Murtadha az-Zabidi menyatakan di tempat lain dalam tafsirnya tentang Ihya Ulumuddin karya Imam Ghazzali bahwa Sunni terdiri dari empat kelompok yaitu ulama hadis, Sufi, Asy'ariyah, dan Maturidiyah.[111] Beberapa ulama ingin mendepak Sufi dari Sunni. Ulama Yaman ʿAbbās bin Mansūr as-Saksakī (w. 1284) menjelaskan dalam karya doksografisnya al-Burhān fī Maʿrifat ʿAqāʾid Ahlul-Adyān ("Bukti Pengetahuan Keyakinan Pengikut berbagai Agama") tentang Sufi: "Mereka menamakan diri mereka pengikut Sunni, tetapi mereka tidak berhak mengeklaimnya, karena bertentangan dengan keyakinan, tindakan, dan ajaran mereka.” Hal inilah yang membedakan kaum Sufi dengan Sunni, yang menurut as-Saksakī berorientasi pada makna batin yang tersembunyi dari Al-Qur'an dan Sunnah. Dalam hal ini, menurutnya, mereka menyerupai orang Batiniyyah.[112] Menurut dokumen akhir Muktamar Grozny, hanya para Sufi yang dianggap sebagai Sunni yang merupakan "orang-orang Sufisme murni" (ahlut-taṣawuf aṣ-ṣāfī) dalam pengetahuan, etika, dan pemurnian batin, menurut metode tarekat seperti yang diajarkan oleh al-Junaid Al-Baghdadi dan "Imam Pemberi Petunjuk" (aʾimma al-hudā) yang mengikuti jalannya.[83] Pada abad ke-11, tasawuf yang sebelumnya merupakan aliran yang kurang “dikodifikasikan”, mulai “diatur dan dikristalkan” [113] menjadi tarekat yang terus berlangsung hingga saat ini [113] Semua tarekat ini didirikan oleh seorang wali besar Islam Sunni, dan beberapa tarekat terbesar dan tersebar luas termasuk Qadiriyah (oleh Abdul Qadir al-Jailani [w. 1166]), Rifa'iyah (oleh Ahmad ar-Rifa'i [w. .1182]), Chishtiyah (oleh Mu'inuddin Chishti [w. 1236]), Syadziliyah (oleh Abu al-Hasan asy-Syadzili [w. 1258]), dan Naqsyabandiyah (oleh Bahaud-Din Naqsyband [w. 1389]).[113] Berbeda dengan pandangan penggambaran orientalis populer,[114] baik pendiri tarekat maupun pengikutnya tidak menganggap diri mereka sebagai apa pun selain Muslim Sunni ortodoks,[114] Banyak pembela ortodoksi Islam yang paling terkemuka, seperti Abdul Qadir al-Jailani, al-Ghazali, Sultan Salahuddin al-Ayyubi (Saladin) sering dikaitkan tasawuf."[115] Aliran Sunni seperti Salafi dan Wahhabi tidak menerima banyak praktik mistis yang terkait dengan tarekat Sufi kontemporer.[116] FikihFikih merupakan yurisprudensi Islam, yakni menafsirkan hukum Islam dengan menurunkan aturan-aturan tertentu – seperti tata cara salat. Semua mazhab memiliki tata cara sendiri tersendiri dalam menafsirkan fikih. Mazhab-mazhab ini merepresentasikan metodologi yang dijabarkan dengan rinci untuk menafsirkan hukum Islam, ada sedikit perbedaan metodologis. Meski konflik antarmazhab pernah diwarnai kekerasan di masa lalu,[117] keempat mazhab Sunni mengakui kesahihannya satu sama lain dan mereka telah berinteraksi dalam perdebatan fikih selama berabad-abad.[118][119] Mazhab fikihTelah banyak tradisi intelektual dalam bidang syariat (hukum Islam), sering disebut sebagai mazhab (aliran hukum). Tradisi-tradisi ini mencerminkan sudut pandang yang berbeda tentang hukum dan kewajiban dalam beragama. Meski satu mazhab dapat memandang satu tindakan tertentu sebagai kewajiban agama, mazhab yang lain mungkin memandangnya sebagai mustahab. Mazhab-mazhab ini bukanlah firkah; mereka mewakili sudut pandang yang berbeda tentang isu-isu yang tidak dianggap sebagai inti dari keyakinan Islam. Sejarawan berbeda pendapat tentang penggambaran yang tepat dari mazhab berdasarkan prinsip-prinsip dasar yang mereka ikuti. Banyak ulama tradisional membagi Islam Sunni dalam dua kelompok: Ahlur-Ra'y, atau "mereka yang menggunakan akal", karena menekankan penilaian dan wacana ilmiah; serta Ahlul-Hadits, atau "ahli hadis", karena menekankan pembatasan pemikiran hukum sesuai kitab suci.[120] Ibnu Khaldun mendefinisikan mazhab Sunni menjadi tiga: mazhab Hanafi yang mengikuti akal, mazhab Zhahiri yang melambangkan tradisi, dan mazhab menengah yang lebih luas yang mencakup mazhab Syafi'i, Maliki, dan Hambali.[121][122] Pada Abad Pertengahan, Kesultanan Mamluk di Mesir menetapkan bahwa mazhab Sunni yang boleh diikuti hanya Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hambali, tidak termasuk mazhab Zhahiri.[123] Kesultanan Utsmaniyah kemudian menegaskan lagi status resmi empat mazhab sebagai tanggapan terhadap pengaruh Syiah dari lawan ideologis dan politik mereka, Dinasti Safawiyah.[117] Di era kontemporer, mantan Perdana Menteri Sudan Al-Sadiq al-Mahdi, serta Risalah Amman yang dikeluarkan oleh Raja Abdullah II dari Yordania, mengakui Zhahiri dan mempertahankan lima mazhab Sunni.[124][125] Rukun iman
Landasan keimanan Sunni disebut akidah, yang meringkas hal-hal penting dalam bentuk daftar. Poin pengajaran individu berbeda tergantung pada afiliasi penulis dengan tradisi pengajaran tertentu. Akidah terpenting yang secara eksplisit mengklaim mewakili ajaran Sunni meliputi:
Mayoritas yang disebutkan mengakui tentang enam poin penting tentang keimanan, yang dikenal sebagai enam rukun iman.[135] Keenam rukun ini telah disepakati Sunni hingga sekarang. Selain itu, Islam Sunni klasik juga menguraikan banyak doktrin utama lainnya sejak abad ke-8, seperti Aqidah Thahawiyah. Secara tradisional, enam rukun iman Sunni ini adalah:
Pandangan terhadap hadisAl-Qur'an seperti yang ada sekarang ini, dibukukan oleh sahabat Muhammad beberapa bulan setelah kematian Muhammad, dan diterima oleh semua firkah Islam.[136] Banyak persoalan akidah dan kehidupan sehari-hari yang tidak secara langsung ditentukan dalam Al-Qur'an, tetapi merupakan tindakan yang pernah dialami Muhammad dan komunitas Muslim awal. Generasi berikutnya mencari tradisi lisan tentang sejarah awal Islam, berkaitan dengan apa yang pernah dilakukan Muhammad dan pengikut pertamanya, dan menuliskannya agar dapat dilestarikan. Tradisi lisan yang tercatat ini disebut hadis.[137] Para cendekiawan Muslim selama berabad-abad telah menyaring hadits dan mengevaluasi sanad-sanad riwayat dari setiap hadits, mencermati tingkat kepercayaan para perawi dan menilai kekuatan masing-masing hadis.[138] KutubussittahKutubussittah adalah enam kitab yang berisi kumpulan hadis. Muslim Sunni menerima koleksi hadis Bukhari dan Muslim sebagai yang paling shahih, serta menerima semua hadis shahih, dan memberikan status yang sedikit lebih rendah pada koleksi ulama hadis lainnya. Empat koleksi hadis lainnya juga digunakan secara khusus oleh Muslim Sunni, sehingga total menjadi enam:
Ada juga kumpulan hadis lainnya yang juga memuat banyak hadis shahih dan sering digunakan oleh para ulama dan ahli. Contoh koleksi ini meliputi:
KelembagaanSalah satu lembaga pendidikan penting dalam Islam Sunni adalah Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir. Pasal 32b, ayat 7 Statuta Universitas Al-Azhar Mesir Tahun 1961 menegaskan bahwa Al-Azhar mengikuti manhaj Ahlussunnah wal-Jama'ah, menyepakati dasar-dasar agama dan penerapan fikih, dengan empat mazhabnya. Hanya orang yang berpegang teguh pada keilmuan serta akhlakulkarimah yang dapat menjadi "Anggota Dewan Ulama Besar" (haiʾat kibār al-ʿulamāʾ), seperti Imam Besar al-Azhar.[139] Universitas Zaitunah di Tunisia dan Universitas al-Qarawiyyin di Maroko, juga diakui. Keduanya disebut bersama Al-Azhar dalam dokumen Muktamar Grozny.[140] Lembaga lainnya yang juga mengakui sebagai Sunni adalah Dewan Ulama Senior Arab Saudi, dibentuk 1971. Pada awal berdirinya, majelis tersebut telah mengeluarkan banyak sekali fatwa mengenai kriteria orang yang layak disebut Sunni. Pada 1986, dewan tersebut mengeluarkan fatwa untuk mendepak Al-Ahbash dari Sunni.[141] Liga Muslim Arab di Makkah, yang juga didanai Saudi, membuat resolusi tahun 1987 bahwa Sunni merupakan ajaran yang murni pada masa Rasulullah serta kekhalifahan.[142] Direktorat Agama Turki (Diyanet İşleri Başkanlığı), meneruskan kebijakan keagamaan pada masa Utsmaniyah serta menjelaskan apa yang dimaksud Sunni.[143] Pada 1960-an, muncul rencana Komite Penyatuan Nasional untuk mengubah Diyanet menjadi lembaga nondenominasi yang juga merangkul Alevi. Akan tetapi, rencana ini gagal karena adanya resistensi dari ulama Sunni di dalam maupun di luar DIyanet.[144] Sejak 1990-an, Diyanet menyatakan dirinya sebagai lembaga yang berdiri di atas denominasi (mezhepler üstü)[143] Pendidikan keagamaan di sekolah-sekolah Turki dirancang khusus berdasarkan Islam Sunni.[145] CitraSebagai cabang Islam yang selamatSebuah hadis terkenal, yang ditafsirkan sebagai Vaticinium ex eventu, mengatakan bahwa umat Islam akan terpecah menjadi 73 golongan, hanya satu yang akan selamat.[146] Kaum Sunni berpendapat bahwa merekalah yang merupakan firqatun-najiyah (golongan yang diselamatkan). Misalnya, Abu Mansur al-Baghdadi (w. 1037) menjelaskan di awal karya heresiografinya al-Farq bainal-firaq ("Perbandingan Firqah-FIrqah") bahwa ada 20 Rafidhah 20 Khawarij, 20 Qadariyah, 3 Murji'ah, 3 Najjariyah, 3 Karramiyyah, dan terakhir Bakriyyah, Dirariyyah, dan Jahmiyah. Ini adalah 72 sekte yang sesat. Sekte ke-73 yang merupakan “sekte yang diselamatkan” adalah Sunni (ahlussunnah wal-jamaʿah). Menurut al-Baghdadi, mereka terdiri dari dua kelompok, yaitu pengikut Ra'y dan pengikut hadis. Mereka menyepakati dasar-dasar agama (uṣūluddīn). Yang ada hanyalah perbedaan derivasi (furūʿ) dari norma-norma mengenai pertanyaan tentang halal-haram dalam perkara fikih. Perbedaan ini tidak begitu besar sehingga mereka menganggap satu sama lain telah menyimpang dari jalan yang benar.[147] Sebagai pusat komunitas IslamBanyak ulama Sunni juga menjadikan Sunni sebagai pusat komunitas Muslim. Gagasan tersebut telah muncul sampai batas tertentu menurut ulama Asy'ariyah, ʿAbdul-Qāhir al-Baghdādī, yang menekankan pada beberapa pertanyaan dogmatis bahwa posisi Sunni berada di tengah-tengah antara posisi kelompok Islam lainnya.[148] Contohnya adalah pertanyaan tentang Qadar, yang menurut teori Kasb, berada tepat di tengah antara dua posisi ekstrem Jabariyah dan Qadariyah. Ulama Hanbali Ibnu Taimiyyah (w. 1328), yang selain dikenal karena sikapnya yang tidak kenal kompromi, juga menganut pandangan ini. Ia mengatakan bahwa Sunni mewakili "bagian tengah di antara firkah umat" (al-wasaṭ fī firaq al-ummah), seperti halnya Umat Islam adalah tengah di antara komunitas agama lainnya. Ia mengilustrasikan ini dengan contoh-contoh berikut:
Ulama Hanafi Ali al-Qari (w. 1606) melanjutkan gagasan ini kemudian. Dalam kampanye anti-Syiah Syamm al-Alawāriḍ fī ḍamm ar-Rawāfiḍ dia mengutip sebuah riwayat yang dinisbatkan kepada Ali bin Abi Thalib: "Dua kelompok yang akan dibinasakan karena aku: orang yang mencintaiku berlebihan dan orang yang membenciku berlebihan." Ia mencatat bahwa pecinta berlebihan adalah Rafidhah dan pembenci berlebihan adalah Khawarij. Sunni, di sisi lain, sangat mencintai Ali serta berada di tengah yang seimbang (al-wasaṭ allażī huwal-qisṭ ). Dalam surah Al-Baqarah 2:143, Allah berfirman bahwa Dia akan menjadikan umat Islam sebagai komunitas yang berdiri di tengah (umma wasaṭ). Karena Sunni menjauhi pernyataan berlebihan yang dijelaskan dalam riwayat, al-Qari percaya bahwa Sunni juga sebenarnya adalah "Pengikut Ali" (syīʿat ʿAlī).[150] Sebagai pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan IslamʿAbdul-Qāhir al-Baghdādī menjelaskan Sunni dalam karyanya al-Farq bainal-firaq sebagai garda terdepan dalam ilmu pengetahuan dan kebudayaan Islam. Dalam perkembangan ilmu pengetahuan, usaha, dan kebudayaan yang dibanggakan umat Islam, al-Baghdadi menjelaskan bahwa Sunni memiliki andil yang besar.[151] Dalam bab terakhir bukunya, al-Baghdadi juga mengkaitkan hal ini dengan aktivitas pembangunan di negara-negara Islam. Dia percaya bahwa Sunni dengan banyaknya amal usaha seperti masjid, madrasah, istana, industri, dan rumah sakit, telah mencapai posisi yang tidak mampu dicapai firkah lainnya karena tidak ada firkah lain yang mampu menyelenggarakan amal usaha sebanyak Sunni.[152] Persaingan antara Asy'ariyah, Maturidiyah dan SalafiSejak paruh kedua abad ke-20, timbul persaingan antara kelompok Asy'ariyah dan Salafiyah, yang saling mengeluarkan lawan-lawannya dari firkah Sunni. Di Indonesia, ulama Asy'ariyah Sirajuddin Abbas (w. 1980) menulis kitab pada masa 1960-an, yang menyatakan dengan tegas bahwa Ahli Salaf (Salafiyah) bukan bagian dari Sunni. Selain itu, ia menganggap bahwa tidak ada "mazhab Salafi" pada 300 tahun pertama Islam. Sejak saat itu, ia menyimpulkan bahwa orang-orang yang menganut "mazhab Salafi" dianggap "memperkenalkan mazhab yang tidak pernah ada sebelumnya".[153] Menurutnya, hanya Asya'irah yang benar merupakan Sunni. Tulisan-tulisan Abbas sering menjadi rujukan bagi kampanye antisalafi di Aceh pada 2014.[154] Selama kampanye tersebut, banyak sekolah dan madrasah Salafi di Aceh ditutup pemerintah provinsi.[155] Dengan adanya keraguan atas status Salafi sebagai bagian dari Sunni, Lajnah Daimah di Arab Saudi memutuskan fatwa bahwa Salafi termasuk dalam kelompok Sunni.[156] Seperti halnya Asy'ariyah, Salafi meyakini bahwa Salafi adalah ajaran Islam Sunni yang benar, dan menolak Asya'irah dan Maturidiyah sebagai bagian dari Sunni.[157] Contohnya adalah Syekh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, dalam tafsirnya terhadap Aqidah Wasithiyah karya Ibnu Taimiyyah pada 2001 menyatakan bahwa Asya'irah dan Maturidiyah bukanlah bagian dari Sunni, karena doktrin akidahnya bertentangan dengan Nabi Muhammad dan para sahabat. Dengan alasan ini pula, kelompok-kelompok ini tidak dibenarkan menggunakan nama Sunni. Sunni adalah orang yang benar-benar mengikuti manhaj salaf, menurut pandangan mereka.[158] Anggapan Wahhabisme bahwa Asy'ariyah bukan kelompok Sunni menjadi pokok bahasan fatwa oleh "Lembaga Fatwa Mesir" pada Juli 2013. Dalam fatwanya itu, lembaga tersebut menolak anggapan tersebut, serta menetapkan bahwa Asy'ariyah masih mewakili jumhur ulama, dan menekankan bahwa mereka adalah orang-orang yang di masa lalu menolak argumen ateis (syubuhāt al-malāḥidah). Barang siapa menyatakan mereka tidak beriman atau yang meragukan ortodoksi mereka harus takut akan agama mereka.[159] Pada hari yang sama, lembaga fatwa tersebut juga menegaskan bahwa ahlussunnah wal-jama'ah hanya berlaku bagi mereka yang mengikuti pemahaman Asya'irah maupun Maturidiyah.[160] Kompetisi antara kelompok Salafi dan Asy'ariyah muncul lagi dalam dua muktamar Sunni tahun 2016, dalam rangka menanggapi terorisme NIIS. Muktamar yang pertama pada 2016 membahas judul "Siapakah ahlussunnah wal-jama'ah?" dilaksanakan di Grozny, Chechnya, pada Agustus 2016 dan didanai oleh Ramzan Kadyrov. Ulama Mesir, India, Syria, Yaman, dan Rusia ikut serta, seperti Imam Besar al-Azhar Ahmed el-Tayeb, serta Mufti Agung India, Sheikh Abubakr Ahmed. Menurut penyelenggara, muktamar ini diharapkan "memperbaiki penyimpangan agama yang serius dan berbahaya oleh para ekstremis yang mencoba mencoreng kehormatan ahlussunnah wal-jama'ah."[161] Muktamar ini menghasilkan deklarasi bahwa kelompok Salafi dan Islamisme seperti Ikhwanul Muslimin, Hizbut Tahrir, dll. serta organisasi Takfiri seperti NIIS bukan Islam Sunni.[162] Menanggapi ini, ulama Salafi menggelar muktamar tandingan di Kuwait pada November 2016 dengan judul "Makna Sesungguhnya dari Ahlussunnah wal-Jama'ah" (al-Mafhūm aṣ-ṣaḥīḥ li-ahlussunnah wal-jama'ah). Dalam muktamar ini, mereka juga sepakat menjauhkan diri dari kelompok ekstremis, serta bersikeras bahwa Salafi bukan hanya bagian dari Sunni, melainkan mewakili Sunni sendiri. Muktamar ini dipimpin oleh Ahmad bin Murabit, Mufti Agung Mauritania.[163][164] Beberapa hari kemudian, Imam Besar al-Azhar Ahmed el-Tayeb secara terbuka undur diri dari deklarasi Muktamar Grozny, menegaskan kembali bahwa dia tidak berpartisipasi di dalamnya dan menekankan bahwa dia secara alami memandang kaum Salafi sebagai Sunni.[165] Referensi
Daftar pustaka
Daring
Lihat pula
Pranala luar
|