Muawiyah bin Abu Sufyan

Muawiyah bin Abu Sufyan
معاوية بن أبي سفيان
Amirul Mukminin
Khalifatullah
Dirham Muawiyah I
Dirham perak bergaya Sasaniyah dicetak dengan nama Muawiyah, ca 674
Khalifah Kekhalifahan Umayyah ke-1
Berkuasa661–26 April 680[1]
PendahuluJabatan dibentuk
Hasan bin Ali (sebagai khalifah sementara)
PenerusYazid bin Muawiyah
Gubernur Syam
Berkuasa639–661
PendahuluYazid bin Abu Sufyan
Penerusjabatan dihapuskan
Kelahiran602
Makkah
Kematian22 Rajab[2] 60 H
26 April 680 (umur 77–78)
Damaskus, Syiria
Pemakaman
Bab ash-Shaghir, Damaskus
Keturunan
  • Yazid
  • Abdurrahman
  • Abdullah
  • Hindun
  • Shafiyyah
  • Ramlah
  • Atikah
  • Aisyah
Nama lengkap
Muʿāwiyah bin Abī Sufyān
(معاوية ابن أبي سفيان)
WangsaUmayyah (Sufyani)
AyahAbu Sufyan bin Harb
IbuHindun binti 'Utbah
AgamaIslam

Muawiyah bin Abu Sufyan (602 (umur -79–-78); bahasa Arab: معاوية بن أبو سفيان) atau Muawiyah I adalah khalifah yang berkuasa pada tahun 661 sampai 680. Dia merupakan salah satu sahabat Nabi dan juga merupakan saudara tiri dari Ummu Habibah Ramlah, salah satu istri dari nabi Islam Muhammad. Meski Utsman bin Affan yang sebenarnya merupakan khalifah pertama dari Bani Umayyah, Muawiyah adalah khalifah yang menjadikan Umayyah sebagai dinasti di kekhalifahan. Muawiyah merupakan khalifah pertama dari Bani Umayyah yang berasal dari garis Sufyani, sebutan untuk keturunan Abu Sufyan bin Harb.

Muawiyah memulai karier politiknya sebagai penguasa setelah ditunjuk menjadi Gubernur Syria pada 639 oleh Khalifah 'Umar bin Khattab dan membuktikan dirinya sebagai pemimpin yang cakap. Salah satu capaiannya adalah pembentukan angkatan laut Muslim pertama. Pembunuhan Khalifah 'Utsman bin 'Affan pada tahun 656 dan perbedaan pendapat mengenai status pembunuhnya menjadikan terjadinya perselisihan antara pihak Muawiyah dan Khalifah 'Ali bin Abi Thalib yang berujung pada Pertempuran Shiffin. Sepeninggal 'Ali mangkat dan putranya, Hasan, melepas jabatan khalifah setelah disandang selama sekitar enam atau tujuh bulan, Muawiyah resmi menjadi khalifah pada tahun 661.

Pada masanya, Muawiyah melakukan berbagai upaya penaklukan. Pengepungan Konstantinopel pada masanya merupakan upaya penaklukan pertama Konstantinopel oleh umat Muslim. Dalam bidang pemerintahan, Muawiyah lebih mengedepankan kecakapan dan kesetiaan daripada sistem kebangsawanan lama. Secara kepribadian, Muawiyah juga termasuk Muslim yang saleh dan menjaga ibadahnya meski dia menanggung beban memimpin kekhalifahan yang wilayahnya sudah sangat luas.

Perselisihannya dengan 'Ali bin Abi Thalib, juga penunjukkan putranya untuk menjadi khalifah sepeninggalnya, merupakan tema utama yang menjadikan Muawiyah sebagai sosok yang kontroversial dalam sejarah Islam. Literatur Madinah awal dan Abbasiyah awal memiliki gambaran yang baik terkait Muawiyah, tetapi tidak demikian dengan literatur Abbasiyah pada masa belakangan yang lebih cenderung bersifat anti-Umayyah.

Asal-usul Muawiyah

Nama lengkap

Nama lengkap Muawiyah adalah Muawiyah bin Abu Sufyan bin Harb bin Umayyah bin Abdi Syams bin Abdi Manaf bin Qushay bin Kilab.[3] Ia berasal dari bani (klan) Umawiyah.

Julukan

Muawiyah memiliki atau julukan. Julukannya adalah Abu Abdurrahman dan Al-Quraisyi al-Umawi Al-Makki.[3]

Ciri fisik Muawiyah

Muawiyah adalah laki-laki yang berperawakan tinggi, berkulit putih, tampan, dan penuh wibawa.[3]

Umar bin Khattab juga berkata bahwa Muawiyah suka makan makanan yang lezat[4] dan bergaya seperti raja.[5] Umar berkata begitu bukan bermaksud menjelekkan Muawiyah tapi hanya menginformasikan ciri khas Muawiyah. Bisa dimengerti mengapa Muawiyah melakukan hal itu karena ia memang berasal dari kabilah terpandang di masyarakat.

Sifat Muawiyah

Muawiyah adalah orang yang menyukai kebersihan.[6]

Keluarga Muawiyah

Orang tua Muawiyah

Ayahnya Muawiyah adalah Abu Sufyan bin Harb, seorang pembenci Nabi Muhammad dan akhirnya masuk Islam yang diikuti juga dengan istrinya Hindun binti Utbah. Sedangkan ibunya adalah Hindun binti Utbah, seorang pemakan jantung Paman nabi Muhammad karena saking bencinya dengan Islam dan Nabi Muhammad.

Harapan orang tuanya

Saat kecil, Abu Sufyan pernah melihat Muawiyah yang sedang merangkak, lalu berkata, "anakku ini berkepala besar, dia pantas memimpin kaumnya". Hindun menjawab, "hanya memimpin kaumnya saja? Seharusnya ia memimpin bangsa Arab seluruhnya"[7]

Saudara-Saudara Muawiyah

Muawiyah memiliki beberapa saudara. Mereka adalah sebagai berikut:

  1. Yazid bin Abu Sufyan
  2. Utbah bin Abu Sufyan
  3. Anbasah bin Abu Sufyan
  4. Ummu Habibah binti Abu Sufyan
  5. Ummul Hakam binti Abu Sufyan
  6. Azzah binti Abu Sufyan
  7. Umaimah binti Abu Sufyan[8]

Saudara-saudaranya yang lain adalah:

  1. Muhammad bin Abu Sufyan
  2. Hanzhalah bin Abu Sufyan
  3. Amr bin Abu Sufyan
  4. Juwairiyah binti Abu Sufyan
  5. Hindun binti Abu Sufyan
  6. Sakhra binti Abu Sufyan

Istri-istri Muawiyah

Muawiyah memiliki beberapa orang istri. Ada yang diceraikannya dan ada pula yang meninggal.[9] Berikut adalah nama-nama mereka:

  1. Maysun binti Bahdal al-Kalbiyah. Muawiyah menceraikannya karena Maysun tidak betah tinggal di istana Muawiyah yang besar dan lebih mencintai desanya.
  2. Fakhitah binti Qarazhah bin Abd Amr bin Naufal bin Abdi Manaf
  3. Kanud binti Qarazhah. Kanud adalah saudara Fakhitah. Muawiyah menikahinya setelah Fakhitah wafat. Dia lah yang bersama Muawiyah saat pembebasan Cyprus.
  4. Na'ilah binti Imarah al-Kalbiyah. Muawiyah mentalaknya karena sebuah persoalan.

Anak-anak Muawiyah

Muawiyah juga memiliki beberapa anak.[9] Ini adalah nama-namanya yang tercatat:

  1. Yazid bin Muawiyah. Ia lahir dari Maysun binti Bahdal. Saat Muawiyah menceraikan Maysun dan kembali ke desanya, Yazid mengikuti ibunya. Jadi, masa kecilnya dihabiskan di desa ibunya, menghirup udara segar dan bahasa Arab fasih.
  2. Abdurrahman bin Muawiyah. Ibunya adalah Fakhitah. Abdurrahman meninggal sewaktu masih kecil.
  3. Abdullah bin Muawiyah. Abdullah adalah anak dari Fakhitah. Ia anak yang terbelakang mental dan sangat lemah.
  4. Ramlah binti Muawiyah. Setelah dewasa, Ramlah dinikahi oleh Amr bin Utsman bin Affan.
  5. Hindun binti Muawiyah. Hindun ini kemudian dinikahi oleh Abdullah bin Amir.
  6. Aisyah binti Muawiyah
  7. Atikah binti Muawiyah
  8. Shafiyyah binti Muawiyah

Masuk Islam

Pendapat yang terkenal mengatakan bahwa Muawiyah masuk Islam pada masa Penaklukkan Makkah. Namun, Muawiyah sendiri mengatakan bahwa, "aku masuk Islam dalam peristiwa Umrah Qadha tahun 7 H, tetapi aku menyembunyikannya dari bapakku". Hal itu dapat dimengerti karena situasi saat itu masih mencekam. Selain itu posisi Muawiyah cukup sulit, mengingat Abu Sufyan pada waktu itu masih kafir, bahkan Abu Sufyan adalah pemimpin Quraisy dalam melawan Nabi Muhammad. Muawiyah juga ikut perang Hunain dan Nabi Muhammad memberinya seratus unta dan 40 uqiyah emas dari harta rampasan perang Hunain.[10]

Hadist Nabi tentang Muawiyah

Baca juga: Hadist palsu tentang Muawiyah

"Ya Allah jadikanlah dia sebagai orang yang bisa memberikan petunjuk dan seorang yang diberi petunjuk (Mahdi) dan berikanlah hidayah (kepada manusia) melaluinya.” [11]

Hadist di atas adalah hadist shahih yang diriwayatkan oleh banyak ahli hadist dan membicarakan tentang kebaikan Muawiyah[12]

Muawiyah di zaman Abu Bakar Ash-Shiddiq

Zaman Abu Bakar adalah zaman kritis di mana benih kemurtadan mulai merebak. Abu Bakar bertindak tegas dengan memerangi mereka. Muawiyah ikut salah satu pertempuran itu, yakni Perang Yamamah, perang melawan Musailamah si nabi palsu.[13] Setelah pemberontakan internal selesai, kaum Muslimin mengalihkan pandangan mereka ke luar, yakni pembebasan negeri di sekitar mereka dari pemimpin zalim. Abu Bakar mengirim pasukan ke banyak tempat, salah satunya adalah Syam. Dalam kontingen pasukan Syam, ada salah satu pasukan yang dikomandani oleh Muawiyah.[14]

Muawiyah di zaman Umar bin Khattab

Pembebasan Qaisariyah (Caesarea)

Qaisariyah (sekarang קֵיסָרְיָה Caesarea, Palestina) adalah kota dekat Tel Aviv. Pada zaman Umar, Muawiyah ditugaskan untuk membebaskan kota ini. Namun, ternyata Qaisariyah memilliki benteng pertahanan dan pasukan yang sangat kuat. Setelah Qaisariyah dikepung dalam waktu cukup lama, Muawiyah pun berhasil menerobos kota tersebut. Dikatakan prajurit Qaisariyah yang tewas mencapai 100.000 orang.[15]

Pembebasan Pesisir Syam

Mendengar keberhasilan saudaranya, Yazid bin Abi Sufyan, yang juga seorang gubernur Damaskus, meminta Muawiyah untuk ikut membebaskan pesisir Syam. Setelah bertarung melawan orang-orang Romawi, Muawiyah dan prajuritnya berhasil menang.[16]

Menjadi Gubernur Yordania

Setelah Muawiyah membuktikan kekuatannya atas dua peristiwa sebelumnya, Umar mengangkatnya sebagai gubernur Yordania pada 17 H atau 638/639 M.[17]

Menjadi Penguasa Damaskus, Ba'labak, dan Balqa

Saudara Muawiyah, Yazid bin Abi Sufyan, meninggal karena wabah Tha'un pada 18 H. Sebagian ulama berpendapat Tha'un adalah wabah pes,[18] tetapi ada pula yang berpendapat Tha'un masih belum jelas termasuk kategori penyakit apa.[19] Untuk mengisi kekosongan, Umar bin Khattab menugaskan Muawiyah untuk menggantikan posisi saudaranya memimpin Damaskus, Ba'labak (Ballbek, Yordania), dan Balqa (Yordania).[20]

Membagi pasukan Islam

Bizantium dan Persia terus menyerang daerah perbatasan kekhalifahan. Untuk menahan hal itu, Muawiyah membagi pasukan menjadi dua, yakni pasukan musim panas dan pasukan musim dingin. Selain itu, Muawiyah menutup celah-celah di kota-kota perbatasan agar tak diserang. Muawiyah sempat memimpin penyerangan musim panas melawan Bizantium di 22 H.[21]

Membangun angkatan laut Islam

Mayoritas kaum Muslimin pada saat itu adalah orang Arab. Mereka adalah orang-orang yang tidak akrab dengan laut. Namun, Muawiyah menyadari pentingnya angkatan laut dan pada zaman Umar ia mulai membangunnya. Sayangnya, Umar tidak mengizinkan Muawiyah memakai angkatan laut karena ia tidak mau kaum Muslimin habis ditelan laut (karena mereka tidak familiar dengan laut).[22] Angkatan laut baru dipergunakan pada zaman Utsman bin Affan untuk membebaskan Cyprus.[23]

Muawiyah di zaman Utsman bin Affan

Menjadi gubernur penuh Syam

Sebagaimana Umar, Utsman bin Affan tidak memakzulkan Muawiyah. Bahkan, Utsman terus memberi Muawiyah kekuasaan sehingga Muawiyah menjadi gubernur daerah mayoritas Syam. Ia menguasai daerah yang sangat luas dan telah menjadi gubernur Utsman yang paling berpengaruh. Di awal pemerintahan Utsman, di Syam ada beberapa gubernur, yakni Muawiyah bin Abu Sufyan, Umair bin Sa'ad al-Anshari (Himsh), dan Abdurrahman bin Alqamah (Palestina). Namun, karena Umair sering sakit-sakitan, ia mengundurkan diri dari jabatannya. Utsman pun memberikan Himsh kepada Muawiyah. Setelah Abdurrahman wafat, Utsman pun memberikan Palestina kepada Muawiyah. Hal ini membuat Muawiyah menjadi gubernur Syam seluruhnya. Sampai akhir hayat Utsman, Muawiyah mengontrol daerah Syam. Pada zaman modern, Syam meliputi Palestina, Yordania, Lebanon, dan Syria -bisa dibayangkan seluas apa daerah kekuasaan Muawiyah.[24]

Inspeksi militer ke perbatasan

Pada zaman Utsman, Muawiyah cukup banyak melakukan inspeksi militer ke daerah perbatasan daerah kekuasaannya di Syam. Misalnya, pada 25 H ia menuju Anthakiyah dan Tarsus, tahun 26 H ia kembali melakukannya. Tahun 31 H, Muawiyah berangkat ke Daruliyah. Perbatasan yang berbentuk kepulauan ia serahkan penjagaannya kepada Habib bin Maslamah. Muawiyah juga beberapa turun langsung memimpin pasukannya sampai merambah celah bukit di Konstantinopel.[25]

Pembebasan Cyprus

Syarat dari Utsman

Setelah sebelumnya ditolak Umar, Muawiyah kali ini mencoba meyakinkan Utsman untuk memakai angkatan laut demi membebaskan Qubrush (Cyprus). Utsman mengizinkannya dengan memberi syarat:

  • Muawiyah harus membawa istrinya
  • Pasukan yang berangkat harus dengan kemauan sendiri. Jika ada yang tidak mau berangkat maka tidak apa-apa[26]

Pembebasan dimulai

Walaupun Muawiyah mempersilahkan masyarakat untuk memilih ikut ke Cyprus atau tidak, kekhalifahan berhasil mengumpulkan armada hingga 1.700 kapal. Mereka tertarik karena sebuah hadist dari Ummu Haram binti Milhan (istri sahabat Nabi Ubadah bin Shamit) yang menyebutkan bahwa akan ada sekelompok dari umatnya yang "mengarungi laut seperti raja-raja di singgasana".[27] Pada 28 H (649 M) mereka pun berangkat. Di pelabuhan, Abdullah bin Qais al-Jasi, panglima angkatan laut bermusyawarah dengan Muawiyah dan sahabat Nabi yang lain. Pasukan segera mengepung ibu kota Cyprus dan mengatakan mereka tidak datang untuk mengambil-alih Cyprus, akan tetapi meminta mereka bekerjasama dengan kekhalifahan. Sebab selama ini Cyprus menjadi daerah kekuasaan Bizantium sehingga menjadi duri dalam daging kekhalifahan.Tidak butuh waktu lama, Cyprus pun menyerah dan menyetujui syarat-syarat berikut:

  • Bila Cyprus menyerang kaum Muslimin, ia tidak akan dibela lagi
  • Cyprus harus mengabarkan gerak-gerik Bizantium
  • Cyprus harus membayar jizyah kepada kekhalifahan sebesar 7.200 dinar per tahun
  • Cprus tidak boleh mendukung Bizantium jika mereka menyerang kekhalifahan dan tidak membocorkan rahasia kekhalifahan[28]

Cyprus mengingkari perjanjian

Pada 32 H, Cyprus mengingkari perjanjian dengan kekhalifahan karena ditekan Bizantium. Kali ini Muawiyah datang kembali dan mengambil-alih Cyprus. Setelah menguasai Cyprus, Muawiyah menyadari bahwa ternyata Cyprus hanyalah pulau yang lemah. Tradisi militer mereka lemah sekali dan sering dijadikan boneka oleh Bizantium. Oleh karena itulah, Muawiyah menempatkan 12.000 pasukan di Cyprus, mendirikan kota-kota baru, membereskan administrasi, menggaji tentara, dan melindungi kekhalifahan dari serangan Bizantium.[29]

Muawiyah membantu Utsman menghadapi badai ujian

Di akhir pemerintahannya, Utsman menerima cobaan yang berat. Ia dituduh macam-macam oleh sebagian rakyatnya, mulai dari tuduhan menggelapkan harta, boros, mengangkat keluarganya sendiri untuk menduduki jabatan penting, dan sebagainya. Pada masa-masa ini, Muawiyah terus membantu Utsman.

Mendebat perusuh

Pada suatu hari pada tahun 33 H atau 653/654 M, ada sekelompok orang yang mencari ribut di Kufah sampai hampir menyulut pertempuran. Utsman yang mendengar masalah itu menyuruh Sa'id bin al-Ash, Gubernur Kufah, mengirim mereka ke Syam untuk bertemu Muawiyah. Utsman memerintahkan Muawiyah untuk "memperingati mereka dengan tegas, membuat nyali mereka ciut, menakut-nakuti mereka, dan mendidik mereka"[30] agar tidak membuat kerusuhan lagi. Muawiyah pun berkali-kali mendebat mereka dan berkali-kali pula menang. Di akhir debat mereka kalah dan marah, lalu merenggut jenggot Muawiyah.[31] Muawiyah pun mengancam mereka agar jangan macam-macam terhadap dirinya. Ancaman itu membuat mereka mundur.

Muawiyah mengirim surat kepada Utsman dan mengatakan bahwa mereka "berbicara dengan lidah setan". Utsman mengirim mereka ke Kufah kembali. Namun, karena mereka macam-macam kembali, Utsman kemudian mengirim mereka ke Abdurrahman bin Khalid, gubernur Himsh. Di sini mereka baru tidak berani macam-macam karena Abdurrahman adalah anak Khalid bin al-Walid dan dia adalah seorang laki-laki yang berkarakter sangat keras seperti ayahnya.[32]

Pertemuan antargubernur

Kerusuhan yang makin parah menyebabkan Utsman mengundang para gubernur dan sahabat Nabi untuk berunding tentang apa yang harus dilakukannya terhadap para pemberontak ini. Di forum ini, Muawiyah mengusulkan untuk segera mengirim pasukan ke mereka dan dia sendiri akan mengatasi pemberontakan di Syam. Namun, Utsman lebih tertarik dengan perdamaian dan tidak menerima usul Muawiyah.[33]

Sebelum pulang kembali ke Syam, Muawiyah memperingatkan Utsman bahwa ia kemungkinan akan segera dibunuh oleh pemberontak dan Muawiyah menawarkan pasukan Syam untuk melindungi Utsman. Utsman mengatakan ia sudah tahu hal itu, tetapi ia menolak perlindungan dari Muawiyah karena ia tidak mau merepotkan orang-orang Madinah atas kedatangan pasukan Syam.[34]

Sikap Muawiyah atas terbunuhnya Utsman

Para perusuh yang mencapai 500 orang sudah mencapai rumah Utsman. Para sahabat Nabi mengirimkan anak-anak mereka untuk melindungi Utsman tetapi mereka kalah jumlah. Utsman dibunuh dan para sahabat yang melindunginya terluka. Dan tidak ada satu orang sahabat Nabi Muhammad yang terlibat dan menyetujui pembunuhan itu. Ummu Habibah binti Abu Sufyan mengirimkan baju Utsman yang berlumuran darah ke tangan Muawiyah.[35] Saat mendengar berita pembunuhan itu, Muawiyah berpidato di depan penduduk Syam, bersumpah akan menuntut balas kematiannya.[36] Penduduk Syam sendiri bersumpah akan membantu Muawiyah dengan mengorbankan nyawa mereka.[37]

Muawiyah di Zaman Ali bin Abi Thalib

Inti konflik Ali-Muawiyah

Setelah Utsman terbunuh, para sahabat sepakat untuk menghukum qishash pelaku pembunuhan Utsman. Namun, mereka terbagi tiga kelompok tentang hal ini:

  • Pertama, mereka harus di qishash secepatnya sebelum baiat kepada Ali. Inilah pendapat Muawiyah dan pendukungnya. Muawiyah berpendapat jika qishash ditunda, pembunuhnya akan berbaur di kehidupan sehari-hari kaum Muslimin dan mereka akan sulit dilacak. Lagi pula, Muawiyah adalah wali Utsman dan di antara saudara-saudara Utsman yang lain, Muawiyah lah yang kekuatannya paling besar.
  • Kedua, mereka harus di qishash tetapi setelah Ali bisa mengendalikan keadaan sehingga tenteram kembali. Jika qishash dilaksanakan sekarang juga, maka akan berakibat keadaan makin kacau. Para perusuh akan melipatgandakan tekanannya kepada kekhalifahan. Ini adalah pendapat Ali dan pendukungnya. Mayoritas sahabat Nabi menjadi pendukung Ali.
  • Ketiga, uzlah (mengasingkan diri). Ada sahabat-sahabat Nabi yang tidak mau terlibat dalam permasalahan ini dan mereka pun pindah dari pusat konflik. Mereka tidak mau berperang dengan saudara sesama mukmin. Mereka adalah Abdullah bin Umar, Saad bin Abi Waqqas, Usamah bin Zaid, Muhammad bin Maslamah dan lainnya.

Inti dari permasalahan Ali-Muawiyah adalah perbedaan cara qishash ini. Muawiyah sendiri tidak mengklaim bahwa dirinya khalifah umat Islam dan tidak berniat merebut kekhalifahan. Hanya saja ia dan penduduk Syam tidak mau baiat (sumpah setia) kepada Ali karena permasalahan terbunuhnya Utsman tersebut. Ketika kita melihat kondisi zaman Ali lewat kacamata abad modern, kita bisa dengan mudah menilai, tetapi bagi orang yang hidup pada zaman itu, situasi pada saat tersebut sangat pelik. Menurut mayoritas ulama, dalam persoalan rumit itu yang lebih mendekati kebenaran adalah pendapat Ali karena bagaimanapun juga perdamaian negara lebih diutamakan.

Muawiyah pernah ditanya, "Apakah kau penentang Ali?"

Muawiyah menjawab, "Tidak demi Allah. Sesungguhnya aku benar-benar mengetahui bahwa dia lebih utama dariku dan lebih berhak memegang khilafah dariku. Akan tetapi, sebagaimana yang kalian ketahui bahwa Utsman dibunuh dalam keadaan teraniaya dan aku, sepupu Utsman, akan menuntut darahnya. Datanglah kepada Ali dan katakan, 'serahkan para pembunuh Utsman kepadaku dan aku akan tunduk kepadanya"

Orang-orang segera menemui Ali dan mengatakan perkataan Muawiyah, tetapi Ali tidak mengabulkannya.[38]

Perang saudara

Karena situasi makin memanas, akhirnya terjadilah Perang Shiffin antara kubu Ali dan Muawiyah. Tebunuhnya Ammar bin Yasir menjadi kunci selesainya perang ini karena Nabi Muhammad pernah mengabarkan bahwa yang membunuh Ammar adalah kelompok pembangkang.[39] Yang membunuh Ammar bin Yasir ternyata adalah Abu al-Ghadiyah Al-Juhani dari pihak Muawiyah -ia bukanlah sahabat Nabi.[40]

Terbunuhnya Ammar membuat kedua kelompok terguncang dan sepakat untuk berdamai. Mereka juga mengkhawatirkan perbatasan yang sedang lemah dan kapan saja bisa diserang oleh Persia dan Bizantium. Perjanjian damai ini dibuat berdasarkan Al-Quran dan Sunnah dengan kedua hakimnya adalah Amr bin Ash dan Abu Musa al-Asy'ari. Tidak seperti kabar yang terkenal di masyarakat Indonesia, Amr bin Ash tidaklah menurunkan jabatan/memakzulkan Ali.[41]

Ali terbunuh dan sikap Muawiyah

Saat kabar tentang Ali yang terbunuh sampai kepada Muawiyah, ia menangis. Istrinya berkata, "Kamu menangisi orang yang memerangimu?" Muawiyah menjawab, "Diam saja lah kamu. Kamu tidak mengetahui berapa banyak manusia kehilangan keutamaan, fikih, dan ilmu karena kematian dia" Utbah berkata juga, "Jangan sampai orang-orang Syam mendengar hal itu darimu". Muawiyah menghardik, "Kamu juga diam saja lah!".[42]

Pendapat ulama terhadap konflik Ali-Muawiyah

Menurut mayoritas ulama, sikap Kaum Muslimin dalam menyikapi konflik Ali-Muawiyah adalah meyakini bahwa mereka semua sedang berijtihad merespon situasi yang sangat pelik pada masa itu. Di antara mereka ada yang benar dan mendapat dua pahala, tetapi di antara mereka ada yang salah dan mendapat satu pahala. Kita tidak boleh membicarakan sahabat Nabi dengan perasaan benci.[43]

Menjadi Khalifah

Penobatan

Setelah Ali terbunuh, Muawiyah meninggalkan Adh-Dhahhak bin Qais yang bertanggung jawab atas Suriah dan memimpin pasukannya menuju Kufah, di mana putra Ali, Hasan telah dicalonkan sebagai penggantinya.[44][45] Dia berhasil menyuap Ubaidillah bin Abbas, komandan barisan depan Hasan, untuk meninggalkan posnya dan mengirim utusan untuk bernegosiasi dengan Hasan. Sebagai imbalan atas penyelesaian keuangan, Hasan turun tahta dan Muawiyah memasuki Kufah pada bulan Juli atau September 661 dan diakui sebagai khalifah. Tahun ini dianggap oleh sejumlah sumber Muslim awal sebagai "tahun persatuan" dan umumnya dianggap sebagai awal kekhalifahan Umayyah.[46][47]

Sebelum dan atau setelah kematian Ali, Muawiyah menerima sumpah setia dalam satu atau dua upacara resmi di Yerusalem, yang pertama pada akhir 660 atau awal 661 dan yang kedua pada Juli 661.[48] Ahli geografi Yerusalem abad ke-10, al-Maqdisi berpendapat bahwa Muawiyah telah mengembangkan lebih lanjut sebuah masjid yang awalnya dibangun oleh Khalifah Umar di Bukit Bait Suci, pendahulu Masjid al-Aqsa, dan menerima sumpah resminya di sana. Menurut sumber paling awal yang masih ada tentang penobatan Muawiyah di Yerusalem, Tawarikh Maronit yang hampir sezaman, disusun oleh sebuah naskah penulia anonim Syriac, Muawiyah menerima janji dari kepala suku dan kemudian berdoa di Golgota dan Makam Bunda Maria di Getsemani, keduanya berdekatan dengan Bukit Bait Suci. Tawarikh Maronit juga menyatakan bahwa Muawiyah "tidak memakai mahkota seperti raja-raja lain di dunia".[49]

Aturan dan administrasi domestik

A black and white scan of a 7th-century stone plaque inscribed in Greek with credits to a sovereign ruler for restoring a bath facility
Sebuah prasasti Yunani yang memuji Muawiyah karena memulihkan fasilitas pemandian era Romawi di Hamat Gader pada tahun 663, satu-satunya pengesahan epigrafik pemerintahan Muawiyah di Suriah, pusat pemerintahannya Khalifah

Ada sedikit informasi dalam sumber-sumber Muslim awal tentang pemerintahan Muawiyah di Suriah, pusat kekhalifahannya.[50][51] Dia mendirikan istananya di Damaskus dan memindahkan perbendaharaan khalifah di sana dari Kufah. Ia mengandalkan tentara suku Suriahnya, berjumlah sekitar 100.000 orang, meningkatkan gaji mereka dengan mengorbankan garnisun Irak, juga gabungan sekitar 100.000 tentara. Tunjangan tertinggi dibayarkan berdasarkan warisan kepada 2.000 bangsawan suku Quda'a dan Kinda, komponen inti dari basis dukungannya, yang selanjutnya diberikan hak istimewa untuk berkonsultasi untuk semua keputusan besar dan hak untuk memveto atau mengusulkan langkah-langkah.[52][53] Masing-masing pemimpin Quda'a dan Kinda, kepala Kalb yaitu Ibnu Bahdal dan Syurahbil yang berbasis di Homs, membentuk bagian dari lingkaran dalam Suriahnya bersama dengan orang Quraisy Abdurrahman bin Khalid, putra komandan terkemuka Khalid bin Walid, dan Adh-Dahhak bin Qais.[54]

Muawiyah dikreditkan oleh sumber Muslim awal untuk mendirikan diwan (departemen pemerintah) untuk korespondensi (rasa'il), kanselir (khatam) dan rute pos (barid). Menurut Ath-Thabari, setelah upaya pembunuhan oleh Khawarij, Burak bin Abdullah terhadap Muawiyah saat dia sedang salat di masjid Damaskus pada tahun 661, Muawiyah mendirikan khalifah haras (pengawal pribadi) dan shurta (pasukan tertentu) dan maqsura (wilayah khusus) di dalam masjid.[55][56] Perbendaharaan khalifah sebagian besar bergantung pada pendapatan pajak Suriah dan pendapatan dari tanah mahkota yang dia sita di Irak dan Arab. Dia juga menerima seperlima dari rampasan perang yang diperoleh komandannya selama ekspedisi. Di Jazirah, Muawiyah mengatasi masuknya suku, yang mencakup kelompok-kelompok yang didirikan sebelumnya seperti Banu Sulaim, pendatang baru dari konfederasi Mudar dan Rabi'ah dan pengungsi perang saudara dari Kufah dan Basra, dengan memisahkan distrik militer secara administratif Qinnasrin-Jazira dari Homs, menurut sejarawan abad ke-8 Saif bin Umar.[57][58] Namun, al-Baladzuri mengaitkan perubahan ini dengan penerus Muawiyah, Yazid.[57]

Suriah mempertahankan birokrasi era Bizantium, yang dikelola oleh orang-orang Kristen termasuk kepala administrasi pajak, Sarjun bin Mansur.[59] Yang terakhir telah melayani Muawiyah dalam kapasitas yang sama sebelum mencapai kekhalifahan, dan ayah Sarjun adalah kemungkinan pemegang kantor di bawah Kaisar Heraklius. Muawiyah toleran terhadap mayoritas Kristen asli Suriah. Pada gilirannya, masyarakat umumnya puas dengan pemerintahannya, di mana kondisi mereka setidaknya sama menguntungkannya dengan di bawah Bizantium. Muawiyah berusaha mencetak koinnya sendiri, tetapi mata uang baru itu ditolak oleh orang-orang Suriah karena menghilangkan simbol salib.[60] Satu-satunya pengesahan epigrafik kekuasaan Muawiyah di Suriah, sebuah prasasti Yunani tertanggal 663 ditemukan di mata air panas Hamat Gader dekat Laut Galilea, mengacu pada khalifah sebagai Abdullah Muawiyah, amir al-mu'minin ("Hamba Allah Muawiyah, pemimpin orang-orang beriman"; nama khalifah didahului dengan salib) dan memuji dia karena memulihkan fasilitas mandi era Romawi untuk kepentingan orang sakit. Menurut sejarawan Yizhar Hirschfeld, "Dengan perbuatan ini, khalifah baru berusaha untuk menyenangkan" rakyat Kristennya.[61] Khalifah sering menghabiskan musim dinginnya diistana Sinnabra dekat Laut Galilea.[62] Muawiyah juga dipuji karena memerintahkan restorasi gereja Edessa setelah hancur akibat gempa bumi pada tahun 679.[63] Dia menunjukkan minat yang besar pada Yerusalem. Meskipun bukti arkeologi kurang, ada indikasi dalam sumber-sumber sastra abad pertengahan bahwa masjid yang belum sempurna di Bukit Bait Suci sudah ada sejak masa Muawiyah atau dibangun olehnya.[64]

Pemerintahan di provinsi

Tantangan internal utama Muawiyah adalah mengawasi pemerintah yang berbasis di Suriah yang dapat menyatukan kembali Khilafah yang retak secara politik dan sosial dan menegaskan otoritas atas suku-suku yang membentuk pasukannya. Dia menerapkan aturan tidak langsung ke provinsi-provinsi Khilafah, menunjuk gubernur dengan otoritas sipil dan militer penuh.[65] Meskipun pada prinsipnya gubernur diwajibkan untuk meneruskan surplus pendapatan pajak kepada khalifah, dalam praktiknya sebagian besar surplus didistribusikan di antara garnisun provinsi dan Damaskus menerima bagian yang dapat diabaikan. Selama kekhalifahan Muawiyah, para gubernur mengandalkan ashraf (kepala suku), yang melayani sebagai perantara antara penguasa dan anggota suku di garnisun. Tata negara Muawiyah kemungkinan besar terinspirasi oleh ayahnya, yang memanfaatkan kekayaannya untuk membangun aliansi politik. Khalifah umumnya lebih suka menyuap lawan-lawannya daripada konfrontasi langsung. Sebagai kesimpulan dari Kennedy, Muawiyah memerintah dengan "membuat kesepakatan dengan mereka yang memegang kekuasaan di provinsi, dengan membangun kekuatan mereka yang siap untuk bekerja sama dengan dia dan dengan melampirkan sebanyak mungkin tokoh penting dan berpengaruh untuknya. menyebabkan mungkin".[66]

Irak dan bagian timur

Tantangan terhadap otoritas pusat pada umumnya, dan pemerintahan Muawiyah pada khususnya, paling tajam di Irak, di mana perpecahan marak antara seseorang yang baru naik menjadi asyraf dan elit Muslim yang baru lahir, yang terakhir dibagi lebih lanjut antara partisan Ali dan Khawarij. Pendakian Muawiyah menandakan kebangkitan asyraf Kufah yang diwakili oleh mantan pendukung Ali, Asy'ats bin Qais dan Jarir bin Abdullah, dengan mengorbankan pengawal lama Ali yang diwakili oleh Hujr bin Adi dan Ibrahim, putra dari pembantu utama Ali, Malik al-Asytar. Pilihan awal Muawiyah untuk memerintah Kufah pada tahun 661 adalah Al-Mughirah bin Syu'bah, yang memiliki pengalaman administrasi dan militer yang cukup besar di Irak dan sangat akrab dengan penduduk dan masalah di kawasan itu. Di bawah pemerintahannya selama hampir satu dekade, Al-Mughirah memelihara perdamaian di kota, mengabaikan pelanggaran yang tidak mengancam pemerintahannya, mengizinkan orang-orang Kufah untuk tetap memiliki tanah mahkota Sasania yang menguntungkan di distrik Jibal dan, tidak seperti di bawah pemerintahan sebelumnya, secara konsisten dan tepat waktu membayar tunjangan garnisun.[67]

Di Basra, Muawiyah mengangkat kembali sanak Abdus Syams, Abdullah bin Amir, yang pernah bertugas di kantor di bawah Utsman. Selama pemerintahan Muawiyah, Ibnu Amir memulai kembali ekspedisi ke Sistan, mencapai Kabul. Dia tidak mampu menjaga ketertiban di Basra, di mana tumbuh kebencian terhadap kampanye jarak jauh. Akibatnya, Muawiyah menggantikan Ibnu Amir dengan Ziyad bin Abihi pada tahun 664 atau 665. Ziyad adalah loyalis Ali yang paling lama yang tidak mengakui kekhalifahan Muawiyah dan telah membarikade dirinya di benteng Estakhr di Fars. Busr telah mengancam akan mengeksekusi tiga putra muda Ziyad di Basra untuk memaksanya menyerah, tetapi Ziyad akhirnya dibujuk oleh Al-Mughirah, mentornya, untuk tunduk pada otoritas Muawiyah pada tahun 663. Dalam sebuah langkah kontroversial yang mengamankan kesetiaan Ziyad yang tidak berayah, yang dipandang khalifah sebagai calon yang paling cakap untuk memerintah Basra, Muawiyah mengadopsinya sebagai saudara tiri dari pihak ayah, untuk memprotes putranya sendiri Yazid, Ibnu Amir dan kerabat Umayyahnya di Hijaz.[68]

Setelah kematian Al-Mughirah pada tahun 670, Muawiyah menghubungkan Kufah dan ketergantungannya pada kepemimpinan Ziyad di Basra, membuatnya menjadi khalifah raja muda di bagian timur kekhalifahan. Ziyad menangani masalah ekonomi inti Irak yaitu kelebihan penduduk di kota-kota garnisun dan kelangkaan sumber daya yang diakibatkannya dengan mengurangi jumlah pasukan yang digaji dan mengirim 50.000 tentara Irak dan keluarga mereka untuk menetap di Khurasan. Ini juga mengkonsolidasikan posisi Arab yang sebelumnya lemah dan tidak stabil di provinsi paling timur Khilafah dan memungkinkan penaklukan menuju Transoxiana. Sebagai bagian dari upaya reorganisasi di Kufah, Ziyad menyita tanah mahkota garnisunnya, yang sejak saat itu menjadi milik khalifah. Penentangan terhadap penyitaan yang diajukan oleh Hujr bin Adi, yang advokasi pro Ali-nya telah ditoleransi oleh Al-Mughirah, ditekan dengan keras oleh Ziyad. Hujr dan pengiringnya dikirim ke Muawiyah untuk dihukum dan dieksekusi atas perintah khalifah, menandai eksekusi politik pertama dalam sejarah Islam dan menjadi pertanda pemberontakan pro-Ali di Kufah di masa depan. Ziyad meninggal pada tahun 673 dan putranya Ubaidillah diangkat secara bertahap oleh Muawiyah ke semua bekas kantor ayahnya. Akibatnya, dengan mengandalkan Al-Mughirah dan Ziyad dan putra-putranya, Muawiyah mewaralabakan administrasi Irak dan Khilafah timur kepada anggota klan elit Tsaqif, yang telah lama menjalin hubungan dengan Quraisy dan berperan penting dalam penaklukan Irak.[51]

Mesir

Di Mesir, Amr lebih banyak memerintah sebagai mitra Muawiyah daripada sebagai bawahan sampai kematiannya pada tahun 664. Dia diizinkan untuk mempertahankan pendapatan surplus provinsi. Khalifah memerintahkan dimulainya kembali pengiriman biji-bijian dan minyak Mesir ke Madinah, mengakhiri jeda yang disebabkan oleh Fitnah Pertama. Setelah kematian Amr, saudara laki-laki Muawiyah Utbah dan sahabat awal Muhammad, Uqbah bin Amir, berturut-turut menjabat sebagai gubernur sebelum Muawiyah mengangkat Maslamah bin Mukhallad Al-Anshari tahun 667. Maslamah tetap menjadi gubernur selama masa pemerintahan Muawiyah, secara signifikan memperluas Fustat dan masjidnya dan meningkatkan kepentingan kota pada tahun 674 dengan merelokasi galangan kapal utama Mesir ke Pulau Roda dari Alexandria karena kerentanannya terhadap serangan angkatan laut Bizantium.[69]

Kehadiran Arab di Mesir sebagian besar terbatas pada garnisun pusat di Fustat dan garnisun yang lebih kecil di Alexandria. Masuknya pasukan Suriah yang dibawa oleh Amr pada tahun 658 dan pasukan Basran yang dikirim oleh Ziyad pada tahun 673 menambah jumlah garnisun Fustat yang berkekuatan 15.000 menjadi 40.000 selama pemerintahan Muawiyah. Utbah meningkatkan garnisun Alexandria menjadi 12.000 orang dan membangun kediaman gubernur di kota itu, yang penduduk Kristen Yunaninya umumnya bermusuhan dengan pemerintahan Arab. Ketika wakil Utbah di Alexandria mengeluh bahwa pasukannya tidak dapat menguasai kota, Muawiyah mengerahkan 15.000 tentara lagi dari Syria dan Madinah. Pasukan di Mesir jauh lebih tidak memberontak daripada rekan-rekan mereka di Irak, meskipun unsur-unsur dalam garnisun Fustat kadang-kadang menimbulkan penentangan terhadap kebijakan Muawiyah, memuncak selama masa Maslamah dengan protes luas di Muawiyah perampasan dan penjatahan tanah mahkota di Fayyum untuk putranya Yazid, yang memaksa khalifah untuk membalikkan perintahnya.[70]

Arab

Meskipun balas dendam atas pembunuhan Utsman telah menjadi dasar di mana Muawiyah mengklaim hak kekhalifahan, dia tidak meniru pemberdayaan Utsman terhadap klan Umayyah atau menggunakannya untuk menegaskan kekuasaannya sendiri. Dengan pengecualian kecil, anggota klan tidak diangkat ke provinsi kaya atau istana khalifah, Muawiyah sebagian besar membatasi pengaruh mereka ke Madinah, ibukota lama Khilafah di mana sebagian besar Bani Umayyah dan wilayah yang lebih luas Bekas aristokrasi Quraisy tetap bermarkas. Hilangnya kekuatan politik membuat Bani Umayyah di Madinah marah terhadap Muawiyah, yang mungkin telah menjadi waspada terhadap ambisi politik cabang Abu al-Ash yang jauh lebih besar yang pernah dimiliki Utsman di bawah kepemimpinan Marwan bin al-Hakam. Khalifah berusaha melemahkan klan dengan memprovokasi perpecahan internal. Di antara langkah-langkah yang diambil adalah penggantian Marwan dari jabatan gubernur Madinah pada tahun 668 dengan pemimpin Umayyah lainnya, Sa'id bin al-Ash. Yang terakhir diperintahkan untuk menghancurkan rumah Marwan, tetapi menolak dan ketika Marwan dipulihkan pada tahun 674, dia juga menolak perintah Muawiyah untuk menghancurkan rumah Sa'id. Muawiyah memecat Marwan sekali lagi pada tahun 678, menggantikannya dengan keponakannya sendiri, Al-Walid bin Utbah. Selain klannya sendiri, hubungan Muawiyah dengan Bani Hasyim (klan Muhammad dan Khalifah Ali), keluarga sahabat terdekat Muhammad, Bani Makhzum yang dulu terkenal, dan Anshar umumnya ditandai dengan kecurigaan atau permusuhan langsung.[71]

Meskipun pindah ke Damaskus, Muawiyah tetap menyukai tanah kelahirannya dan mengungkapkan kerinduannya akan "musim semi di Jeddah, musim panas di Ta'if, dan musim dingin di Makkah". Dia membeli beberapa traktat besar di seluruh Arabia dan menginvestasikan sejumlah besar uang untuk mengembangkan tanah untuk penggunaan pertanian. Menurut tradisi sastra Muslim, di dataran Arafah dan lembah tandus Makkah dia menggali banyak sumur dan kanal, membangun bendungan dan tanggul untuk melindungi tanah dari banjir musiman, dan membangun air mancur dan waduk. Usahanya melihat ladang gandum yang luas dan kebun kurma bermunculan di pinggiran kota Makkah, yang tetap dalam keadaan ini sampai memburuk selama era Abbasiyah yang dimulai pada 750. Di wilayah Yamamah di Arabia tengah, Muawiyah menyita tanah Hadarim dari Bani Hanifah, di mana ia mempekerjakan 4.000 budak, kemungkinan untuk mengolah ladangnya. Khalifah memperoleh kepemilikan perkebunan di dan dekat Ta'if yang bersama dengan tanah saudara-saudaranya Anbasah dan Utbah, membentuk sekelompok besar properti.[72]

Salah satu prasasti Arab paling awal yang diketahui dari masa pemerintahan Muawiyah ditemukan di bendungan konservasi tanah yang disebut Sayisad, 32 kilometer (20 mil) timur Ta'if, yang memuji Muawiyah atas pembangunan bendungan pada tahun 677 atau 678 dan memohon kepada Tuhan memberinya kemenangan dan kekuatan. Muawiyah juga dianggap sebagai pelindung bendungan kedua yang disebut al-Khanaq 15 kilometer (9,3 mi) timur Madinah, menurut sebuah prasasti yang ditemukan di situs tersebut. Ini mungkin bendungan antara Madinah dan tambang emas suku Bani Sulaim yang dikaitkan dengan Muawiyah oleh sejarawan al-Harbi (w. 898) dan al-Samhudi (w. 1533).[73]

Perang dengan Bizantium

Muawiyah memiliki lebih banyak pengalaman pribadi daripada khalifah lain dalam memerangi Bizantium, yang merupakan ancaman eksternal utama bagi Khilafah, dan mengejar perang melawan Kekaisaran dengan lebih bersemangat dan terus-menerus daripada para penerusnya. Fitnah Pertama menyebabkan orang-orang Arab kehilangan kendali atas Armenia oleh pangeran-pangeran asli yang pro-Bizantium, tetapi pada tahun 661, Habib bin Maslamah kembali menginvasi wilayah tersebut. Tahun berikutnya, Armenia menjadi anak sungai Khilafah dan Muawiyah mengakui pangeran Armenia, Grigor Mamikonia sebagai komandannya. Tidak lama setelah perang saudara, Muawiyah memutuskan gencatan senjata dengan Bizantium, dan hampir setiap tahun atau dua tahun sekali, khalifah melibatkan pasukan Suriahnya dalam serangan melintasi perbatasan pegunungan Anatolia, zona penyangga antara Kekaisaran dan Khilafah. Setidaknya sampai kematian Abdurahman bin Khalid pada tahun 666, Homs dipakai sebagai titik komando utama untuk serangan tersebut, dan setelah itu Antiokhia juga melayani tujuan ini. Sebagian besar pasukan yang bertempur di front Anatolia dan Armenia berasal dari kelompok suku yang tiba dari Arabia selama dan setelah penaklukan. Selama kekhalifahannya, Muawiyah melanjutkan upaya masa lalunya untuk memukimkan kembali dan membentengi kota-kota pelabuhan Suriah. Karena keengganan suku Arab untuk mendiami daerah pesisir, pada tahun 663 Muawiyah memindahkan warga sipil dan personel Persia yang sebelumnya ia tinggali di pedalaman Suriah ke Acre dan Tirus, dan memindahkan Asawira, tentara elit Persia, dari Kufah dan Basrah ke garnisun di Antiokhia. Beberapa tahun kemudian, Muawiyah menetap di Apamea dengan 5.000 orang Slavia yang membelot dari Bizantium selama salah satu kampanye pasukan Anatolia. [74]

Berdasarkan sejarah Ath-Thabari (w. 923) dan Agapius dari Hierapolis (w. 941), serangan pertama kekhalifahan Muawiyah terjadi pada tahun 662 atau 663, di mana pasukannya membuat kekalahan telak pada tentara Bizantium dengan banyak bangsawan dibunuh. Pada tahun berikutnya serangan yang dipimpin oleh Busr mencapai Konstantinopel dan pada tahun 664 atau 665, Abdurrahman bin Khalid menyerbu Koloneia di timur laut Anatolia. Pada akhir tahun 660-an, pasukan Muawiyah menyerang Antiokhia Pisidia atau Antiokhia Isauria. Setelah kematian Konstans II pada Juli 668, Muawiyah mengawasi kebijakan perang laut yang semakin agresif melawan Bizantium. Menurut sumber Muslim awal, serangan terhadap Bizantium mencapai puncaknya antara tahun 668 dan 669. Pada setiap tahun itu terjadi enam kampanye darat dan kampanye angkatan laut besar, yang pertama oleh armada Mesir dan Mediterania dan yang kedua oleh armada Mesir dan armada Suriah. Puncak dari kampanye tersebut adalah serangan ke Konstantinopel, tetapi kronologi sumber-sumber Arab, Syria, dan Bizantium saling bertentangan. Pandangan tradisional oleh sejarawan modern adalah serangkaian besar serangan angkatan laut terhadap Konstantinopel di c. 674–678, berdasarkan sejarah penulis sejarah Bizantium, Teofanis Sang Pengaku Iman (w. 818).[75]

Namun, penanggalan dan historisitas pandangan ini telah ditentang; sarjana Oxford James Howard-Johnston menganggap bahwa tidak ada pengepungan Konstantinopel yang terjadi, dan bahwa cerita tersebut diilhami oleh pengepungan yang sebenarnya satu generasi kemudian. Sejarawan Marek Jankowiak di sisi lain, dalam rekonstruksi revisionis dari peristiwa bergantung pada sumber-sumber Arab dan Syria, menegaskan bahwa serangan itu datang lebih awal dari apa yang dilaporkan oleh Teofanis, dan bahwa banyak kampanye yang dilaporkan selama 668–669 mewakili upaya terkoordinasi oleh Muawiyah untuk menaklukkan ibu kota Bizantium. Ath-Thabari melaporkan bahwa putra Muawiyah, Yazid, memimpin kampanye melawan Konstantinopel pada tahun 669 dan Ibnu Abdul Hakam melaporkan bahwa angkatan laut Mesir dan Suriah bergabung dalam serangan yang dipimpin oleh Uqbah bin Amir dan Fadhalah bin Ubaid. Menurut Jankowiak, Muawiyah kemungkinan besar memerintahkan invasi selama kesempatan yang diberikan oleh pemberontakan jenderal Bizantium Armenia, Saborios, yang membentuk perjanjian dengan khalifah, pada musim semi 667. Khalifah mengirim pasukan di bawah Fadhalah bin Ubaid, tetapi sebelum bisa bergabung dengan orang-orang Armenia, Saborios meninggal. Muawiyah kemudian mengirimkan bala bantuan yang dipimpin oleh Yazid yang memimpin invasi tentara Arab di musim panas. Sebuah armada Arab mencapai Laut Marmara pada musim gugur, sementara Yazid dan Fadhalah, setelah menyerbu Kals edonselama musim dingin, Konstantinopel dikepung di musim semi 668, tetapi karena kelaparan dan penyakit, mengangkat pengepungan pada akhir Juni. Orang-orang Arab melanjutkan kampanye mereka di sekitar Konstantinopel sebelum mundur ke Suriah kemungkinan besar pada akhir tahun 669.[76]

Pada tahun 669, angkatan laut Muawiyah menyerbu sampai ke Sisilia. Tahun berikutnya, benteng Aleksandria berskala luas selesai dibangun. Sementara sejarah Ath-Thabari dan al-Baladzuri melaporkan bahwa pasukan Muawiyah merebut Rhodes pada tahun 672–674 dan menjajah pulau itu selama tujuh tahun sebelum mundur pada masa pemerintahan Yazid I, sejarawan modern Clifford Edmund Bosworth meragukannya pada peristiwa ini dan menyatakan bahwa pulau itu hanya diserbu oleh letnan Muawiyah Junadah bin Abi Umayyah al-Azdi pada tahun 679 atau 680. Di bawah Kaisar Konstantinus IV (memerintah 668–685), Bizantium memulai serangan balasan terhadap Khilafah, pertama menyerang Mesir pada tahun 672 atau 673, sementara di musim dingin 673, laksamana Muawiyah Abdullah bin Qais memimpin armada besar yang menyerbu Smirna dan pesisir Kilikia dan Lycia. Bizantium meraih kemenangan besar melawan tentara dan armada Arab yang dipimpin oleh Sufyan bin Auf, kemungkinan di Sillyon, pada tahun 673 atau 674. Tahun berikutnya, Abdullah bin Qais dan Fadhalah mendarat di Kreta dan pada tahun 675 atau 676, armada Bizantium menyerang Maraqiya, membunuh gubernur Homs.[77]

Pada tahun 677, 678, atau 679 Muawiyah menggugat perdamaian dengan Konstantinus IV, kemungkinan sebagai akibat dari penghancuran armadanya atau pengerahan Mardaites oleh Bizantium di pesisir Suriah selama waktu itu. Sebuah perjanjian tiga puluh tahun ditandatangani, mewajibkan Khilafah untuk membayar upeti tahunan sebesar 3.000 koin emas, 50 kuda dan 30 budak, dan menarik pasukan mereka dari pangkalan depan yang telah mereka tempati di pantai Bizantium. Meskipun kaum Muslim tidak mencapai keuntungan teritorial permanen di Anatolia selama karir Muawiyah, serangan yang sering dilakukan memberi pasukan Suriah Muawiyah rampasan perang dan upeti, yang membantu memastikan kesetiaan mereka yang berkelanjutan, dan mempertajam keterampilan tempur mereka. Terlebih lagi, prestise Muawiyah meningkat dan Bizantium dilarang melakukan kampanye bersama melawan Suriah.[78]

Penaklukan Afrika Utara bagian tengah

A map of northern Africa, southern Europe and western and central Asia with different color shades denoting the stages of expansion of the caliphate
Peta yang menggambarkan pertumbuhan Khilafah. Pada masa pemerintahan Mu'awiyah, kaum Muslim menaklukkan wilayah Ifriqiya (tengah Afrika Utara; berbayang ungu)

Meskipun orang-orang Arab tidak maju melampaui Kirenaika sejak tahun 640-an selain serangan berkala, ekspedisi melawan Bizantium Afrika Utara diperbarui selama pemerintahan Muawiyah.[79] Pada tahun 665 atau 666, Ibnu Hudaij memimpin pasukan yang menyerbu Byzacena (distrik selatan Afrika Bizantium) dan Gabes dan untuk sementara merebut Bizerte sebelum mundur ke Mesir. Tahun berikutnya Muawiyah mengirim Fadhalah dan Ruwaifi bin Tsabit untuk menyerang pulau Djerba yang bernilai komersial.[80] Sementara itu, pada tahun 662 atau 667, Uqbah bin Nafi', seorang komandan Quraisy yang telah memainkan peran kunci dalam penaklukan Arab atas Cyrenaica pada tahun 641, menegaskan kembali pengaruh Muslim di wilayah Fezzan, merebut oasis Zawila dan ibu kota Garamantes di Germa.[81] Dia mungkin telah menyerang sejauh selatan Kawar di Niger modern.[81]

A metal statue depicting a 7th-century Arab general wearing a turban and carrying an unsheathed sword
Sebuah patung yang mewakili Uqbah bin Nafi, komandan Arab yang menaklukkan Ifriqiya dan mendirikan Kairouan pada tahun 670, selama pemerintahan Muawiyah. Uqbah menjabat sebagai wakil gubernur Mu'awiya atas Afrika Utara sampai khalifah memecatnya pada tahun 673.

Perjuangan atas suksesi Konstantinus IV mengalihkan fokus Bizantium dari front Afrika.[82] Pada tahun 670, Muawiyah menunjuk Uqbah sebagai wakil gubernur Mesir atas tanah Afrika Utara di bawah kendali Arab di sebelah barat Mesir. Dengan memimpin 10.000 pasukan, Uqbah memulai ekspedisinya melawan wilayah barat Kiraneika.[83] Saat ia maju, pasukannya bergabung dengan Berber Luwata yang diislamkan dan pasukan gabungan mereka menaklukkan Ghadamis, Gafsa dan Jarid.[81][83] Di wilayah terakhir ia mendirikan kota garnisun Arab permanen bernama Kairouan, pada jarak yang relatif aman dari Kartagodan daerah pesisir, yang tetap berada di bawah kendali Bizantium, untuk dijadikan basis ekspedisi selanjutnya. Ini juga membantu upaya konversi Muslim di antara suku-suku Berber yang mendominasi pedesaan sekitarnya.[84]

Muawiyah memecat Uqbah pada tahun 673, kemungkinan karena khawatir bahwa dia akan membentuk basis kekuatan independen di wilayah yang menguntungkan yang telah dia taklukkan. Provinsi Arab yang baru, Ifriqiya (Tunisia modern), tetap berada di bawah gubernur Mesir, yang mengirim Mawla (non-Arab, orang merdeka Muslim) Abu al-Muhajir Dinar untuk menggantikan Uqbah, yang ditangkap dan dipindahkan ke tahanan Muawiyah di Damaskus. Abu al-Muhajir melanjutkan kampanye ke barat sejauh Tlemcen dan mengalahkan kepala Awraba Berber Kasila, yang kemudian memeluk Islam dan bergabung dengan pasukannya.[84] Pada tahun 678, sebuah perjanjian antara Arab dan Bizantium menyerahkan Byzacena ke Khilafah, sementara memaksa orang-orang Arab untuk mundur dari bagian utara provinsi tersebut.[82] Setelah kematian Muawiyah, penggantinya Yazid mengangkat kembali Uqbah, Kasila membelot dan aliansi Bizantium-Berber mengakhiri kontrol Arab atas Ifriqiya,[84] yang tidak dibangun kembali sampai pemerintahan Khalifah Abdul Malik bin Marwan.[85]

Pencalonan Yazid sebagai penerus

Dalam sebuah langkah yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam politik Islam, Muawiyah menominasikan putranya sendiri, Yazid, sebagai penggantinya.[86] Sang khalifah kemungkinan memiliki ambisi untuk suksesi putranya selama periode yang cukup lama.[87] Pada tahun 666, ia diduga meracuni gubernurnya di Homs, Abdurrahman bin Khalid untuk menyingkirkannya sebagai calon saingan Yazid.[88] Orang-orang Arab Suriah, yang populer dengan Abdurrahman bin Khalid, telah memandang gubernur sebagai penerus khalifah yang paling cocok karena catatan militernya dan keturunan dari Khalid bin al-Walid.[89]

Baru pada paruh kedua masa pemerintahannya, Muawiyah secara terbuka menyatakan pewaris Yazid, meskipun sumber-sumber Muslim awal menawarkan rincian yang berbeda tentang waktu dan lokasi peristiwa yang berkaitan dengan keputusan tersebut.[90] Catatan Al-Mada'ini (752–843) dan Ibnul Atsir al-Jazari (1160–1232) setuju bahwa al-Mughira adalah orang pertama yang menyarankan agar Yazid diakui sebagai penerus Muawiyah dan bahwa Ziyad mendukung pencalonan dengan peringatan bahwa Yazid meninggalkan kegiatan tidak saleh yang dapat menimbulkan tentangan dari pemerintahan Muslim.[91] Menurut Ath-Thabari, Muawiyah mengumumkan keputusannya di depan umum pada tahun 675 atau 676 dan menuntut sumpah setia diberikan kepada Yazid.[92] Ibnu al-Atsir sendiri menceritakan bahwa delegasi dari semua provinsi dipanggil ke Damaskus di mana Muawiyah mengajari mereka tentang hak-haknya sebagai penguasa, tugas mereka sebagai rakyat dan kualitas Yazid yang layak, yang diikuti oleh seruan Adh-Dhahak bin Qais dan abdi dalem lainnya agar Yazid diakui sebagai pengganti khalifah. Para delegasi memberikan dukungan mereka, kecuali bangsawan senior Basra al-Ahnaf bin Qais, yang akhirnya disuap untuk memenuhinya.[93] Al-Mas'udi (896–956) dan Ath-Thabari tidak menyebutkan delegasi provinsi selain kedutaan Basran yang dipimpin oleh Ubaidillah bin Ziyad masing-masing pada tahun 678–679 atau 679–680, yang mengakui Yazid.[94]

Menurut Hinds, selain kebangsawanan Yazid, usia dan penilaian yang baik, "yang paling penting" adalah hubungannya dengan Kalb. Konfederasi Quda'a yang dipimpin Kalb adalah dasar pemerintahan Sufyanid dan suksesi Yazid menandakan kelanjutan aliansi ini.[52] Dalam pencalonan Yazid, putra Kalb Maysun, Muawiyah melewati putra sulungnya Abdullah dari istrinya Fakhitah dari Quraisy.[95] Meskipun dukungan dari Kalb dan Quda'a dijamin, Muawiyah mendesak Yazid untuk memperluas basis dukungan sukunya di Suriah. Karena orang-orang Qais adalah elemen yang dominan di pasukan perbatasan utara, penunjukan Yazid oleh Muawiyah untuk memimpin upaya perang dengan Bizantium mungkin telah membantu mendorong dukungan Qais untuk pencalonannya.[96] Upaya Muawiyah untuk tujuan itu tidak sepenuhnya berhasil sebagaimana tercermin dalam sebuah baris oleh penyair Qais: "kami tidak akan pernah setia kepada putra seorang wanita Kalb (Yazid)".[97][98]

Di Madinah, kerabat jauh Muawiyah Marwan Ibnu al-Hakam, Sa'id bin al-Ash dan Ibnu Amir menerima perintah suksesi Muawiyah, meskipun tidak setuju.[99] Sebagian besar penentang perintah Muawiyah di Irak dan di antara Bani Umayyah dan Quraisy di Hijaz akhirnya diancam atau disuap agar diterima.[100] Penentang prinsip yang tersisa berasal dari Husain bin Ali, Abdullah bin az-Zubair, Abdullah bin Umar dan Abdurrahman bin Abi Bakar, semua putra khalifah sebelumnya yang berbasis di Madinah atau sahabat dekat Muhammad.[101] Karena mereka memiliki klaim yang paling dekat dengan kekhalifahan, Muawiyah bertekad untuk mendapatkan pengakuan mereka.[102][103] Menurut sejarawan Muslim Awanah Ibnu al-Hakam (w. 764), sebelum kematiannya, Muawiyah memerintahkan tindakan tertentu untuk diambil terhadap mereka, mempercayakan tugas-tugas ini kepada loyalisnya Adh-Dhahak bin Qais dan Muslim bin Uqbah.[104]

Kematian

Muawiyah meninggal karena sakit di Damaskus pada Rajab 60 H (April–Mei 680 M), pada usia sekitar 80 tahun.[105][106] Catatan abad pertengahan bervariasi mengenai tanggal spesifik kematiannya, dengan Hisyam bin al-Kalbi (w. 819) menempatkannya pada 7 April, Al-Waqidi pada 21 April dan al-Mada'ini pada 29 April.[107] Yazid, yang berada jauh dari Damaskus pada saat kematian ayahnya,[108] dipegang oleh Abu Mikhnaf (w. 774) untuk menggantikannya pada 7 April, sedangkan penulis sejarah Nestorian, Elia dari Nisibis (w. 1046) mengatakan itu terjadi pada 21 April.[109] Dalam wasiat terakhirnya, Muawiyah berpesan kepada keluarganya "Takutlah kepada Tuhan Yang Maha Esa dan Agung, karena Tuhan, pujilah Dia, lindungi siapa pun yang takut kepada-Nya, dan tidak ada pelindung bagi orang yang tidak takut akan Tuhan".[110] Dia dimakamkan di sebelah gerbang Bab ash-Shaghir kota dan salat jenazah dipimpin oleh Adh-Dhahak bin Qais, yang meratapi Muawiyah sebagai "tongkat orang Arab dan pedang orang Arab, oleh yang dengannya Allah, Yang Mahakuasa dan Agung, menghentikan perselisihan, yang Dia jadikan berdaulat atas umat manusia, yang dengannya dia menaklukkan negara-negara, tetapi sekarang dia telah mati".[111]

Makam Muawiyah adalah situs kunjungan hingga akhir abad ke-10. Al-Mas'udi berpendapat bahwa sebuah makam dibangun di atas kuburan dan terbuka untuk pengunjung pada hari Senin dan Kamis. Ibnu Taghribirdi menegaskan bahwa Ahmad bin Tulun, penguasa otonom Mesir dan Suriah abad ke-9, mendirikan sebuah struktur di kuburan pada tahun 883 atau 884 dan mempekerjakan anggota masyarakat untuk secara teratur membaca Al-Qur'an dan menyalakan lilin di sekitar makam.[112]

Referensi

  1. ^ Encyclopedia Britannica: Muawiyah I Diarsipkan 2019-04-17 di Wayback Machine..
  2. ^ Akbar Shāh K̲h̲ān Najībābādī, "The History Of Islam", Volume 2, Page 47, February 2001.
  3. ^ a b c Ash-Shallabi, Ali Muhammad. Muawiyah bin Abu Sufyan. halaman 15
  4. ^ Ash-Shallabi, Ali Muhammad. Muawiyah bin Abu Sufyan. halaman 73
  5. ^ Ash-Shallabi, Ali Muhammad. Muawiyah bin Abu Sufyan. halaman 74
  6. ^ Ash-Shallabi, Ali Muhammad. Muawiyah bin Abu Sufyan. halaman 72
  7. ^ Ash-Shallabi, Ali Muhammad. Muawiyah bin Abu Sufyan. halaman 16
  8. ^ Ash-Shallabi, Ali Muhammad. Muawiyah bin Abu Sufyan. halaman 23-36
  9. ^ a b Ash-Shallabi, Ali Muhammad. Muawiyah bin Abu Sufyan. halaman 36-38
  10. ^ Ash-Shallabi, Ali Muhammad. Muawiyah bin Abu Sufyan. halaman 39
  11. ^ "Salinan arsip". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2013-09-28. Diakses tanggal 2014-05-29. 
  12. ^ Hadits ini diriwayatkan At Tirmidzi No. 3842, Imam At Tirmidzi berkata: hasan gharib. Ahmad No. 17895, Al Bukhari dalam At Tarikh Al Kabir, 5/240. Ibnu Abi ‘Ashim, Al Aahaad wal Matsani No. 1129, Al Khathib dalam Tarikh Baghdad, 1/207-208, Ibnul Jauzi dalam Al ‘Ilal Al Mutanahiyah No. 442, Al Khalal dalam As Sunnah No. 699, Ibnu Qaani’ dalam Mu’jam Ash Shahabah, 2/146, Ath Thabarani dalam Al Ausath No. 660, Abu Nu’aim dalam Al Hilyah, 8/358. Imam Ibnu Abdil Bar dan Al Hafizh Ibnu Hajar mengisyaratkan kelemahan hadits ini. Lihat Al Ishabah, 4/342-343 dan Fathul Bari, 7/104 Akan tetapi, menurut Syaikh Syu’aib Al Arnauth, hadits ini adalah shahih. “Rijal hadits ini tsiqat (tepercaya) dan merupakan para perawi hadits shahih, kecuali Sa’id bin Abdul Aziz, dia menjadi pokok perbincangan hadits ini, dia telah mengalami kekacauan hapalan pada akhir usianya seperti yang dikatakan oleh Abu Mushir dan Yahya bin Ma’in.” (Musnad Ahmad No. 17895, dengan tahqiq; Syaikh Syu’aib Al Arnauth, Syaikh ‘Adil Mursyid, dan lainnya) Menurut Syaikh Al Albani, hadits ini shahih, “Semua rijal (perawinya) adalah tsiqat (tepercaya) dan merupakan perawi yang dipakai Imam Muslim, maka hadits ini lebih benar adalah shahih.” (As Silsilah Ash Shahihah No. 1969)
  13. ^ Ash-Shallabi, Ali Muhammad. Muawiyah bin Abu Sufyan. halaman 61
  14. ^ Ash-Shallabi, Ali Muhammad. Muawiyah bin Abu Sufyan. halaman 64
  15. ^ Ash-Shallabi, Ali Muhammad. Muawiyah bin Abu Sufyan. halaman 67-68
  16. ^ Ash-Shallabi, Ali Muhammad. Muawiyah bin Abu Sufyan. halaman 68-69
  17. ^ Ash-Shallabi, Ali Muhammad. Muawiyah bin Abu Sufyan. halaman 69
  18. ^ "Salinan arsip". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2014-05-29. Diakses tanggal 2014-05-28. 
  19. ^ "Salinan arsip". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2014-05-29. Diakses tanggal 2014-05-28. 
  20. ^ Ash-Shallabi, Ali Muhammad. Muawiyah bin Abu Sufyan. halaman 70-71
  21. ^ Ash-Shallabi, Ali Muhammad. Muawiyah bin Abu Sufyan. halaman 76-77
  22. ^ Ash-Shallabi, Ali Muhammad. Muawiyah bin Abu Sufyan. halaman 83
  23. ^ Ash-Shallabi, Ali Muhammad. Muawiyah bin Abu Sufyan. halaman 77
  24. ^ Ash-Shallabi, Ali Muhammad. Muawiyah bin Abu Sufyan. halaman 78
  25. ^ Ash-Shallabi, Ali Muhammad. Muawiyah bin Abu Sufyan. halaman 81-82
  26. ^ Ash-Shallabi, Ali Muhammad. Muawiyah bin Abu Sufyan. halaman 84
  27. ^ HR. Bukhari no.2877
  28. ^ Ash-Shallabi, Ali Muhammad. Muawiyah bin Abu Sufyan. halaman 88
  29. ^ Ash-Shallabi, Ali Muhammad. Muawiyah bin Abu Sufyan. halaman 92
  30. ^ Ash-Shallabi, Ali Muhammad. Muawiyah bin Abu Sufyan. halaman 136
  31. ^ Memegang jenggot di tradisi Arab adalah simbol merendahkan atau menantang
  32. ^ Ash-Shallabi, Ali Muhammad. Muawiyah bin Abu Sufyan. halaman 135-150
  33. ^ Ash-Shallabi, Ali Muhammad. Muawiyah bin Abu Sufyan. halaman 153-154
  34. ^ Ash-Shallabi, Ali Muhammad. Muawiyah bin Abu Sufyan. halaman 154
  35. ^ Ash-Shallabi, Ali Muhammad. Muawiyah bin Abu Sufyan. halaman 166
  36. ^ Ash-Shallabi, Ali Muhammad. Muawiyah bin Abu Sufyan. halaman 155-161
  37. ^ Ash-Shallabi, Ali Muhammad. Muawiyah bin Abu Sufyan. halaman 175
  38. ^ Ash-Shallabi, Ali Muhammad. Muawiyah bin Abu Sufyan. halaman 168-171
  39. ^ Ash-Shallabi, Ali Muhammad. Muawiyah bin Abu Sufyan. halaman 203
  40. ^ Ash-Shallabi, Ali Muhammad. Muawiyah bin Abu Sufyan. halaman 209
  41. ^ Ash-Shallabi, Ali Muhammad. Muawiyah bin Abu Sufyan. halaman 224-259
  42. ^ Ash-Shallabi, Ali Muhammad. Muawiyah bin Abu Sufyan. halaman 259
  43. ^ Ash-Shallabi, Ali Muhammad. Muawiyah bin Abu Sufyan. halaman 245-254
  44. ^ Donner 2012, hlm. 166.
  45. ^ Madelung 1997, hlm. 317.
  46. ^ Hinds 1993, hlm. 265.
  47. ^ Marsham 2013, hlm. 93.
  48. ^ Marsham 2013, hlm. 96.
  49. ^ Marsham 2013, hlm. 94, 106.
  50. ^ Wellhausen 1927, hlm. 131.
  51. ^ a b Kennedy 2004, hlm. 86.
  52. ^ a b Hinds 1993, hlm. 267.
  53. ^ Crone 1994, hlm. 44.
  54. ^ Kennedy 2004, hlm. 86–87.
  55. ^ Hawting 1996, hlm. 223.
  56. ^ Kennedy 2001, hlm. 13.
  57. ^ a b Hinds 1993, hlm. 266.
  58. ^ Crone 1994, hlm. 45, note 239.
  59. ^ Kennedy 2004, hlm. 87.
  60. ^ Hawting 2000, hlm. 842.
  61. ^ Hirschfeld 1987, hlm. 107.
  62. ^ Hasson 1982, hlm. 99.
  63. ^ Hoyland 1999, hlm. 159.
  64. ^ Elad 1999, hlm. 33.
  65. ^ Hinds 1993, hlm. 266–267.
  66. ^ Kennedy 2004, hlm. 83.
  67. ^ Kennedy 2004, hlm. 84.
  68. ^ Hasson 2002, hlm. 520.
  69. ^ Foss 2009, hlm. 269.
  70. ^ Foss 2009, hlm. 269–270.
  71. ^ Wellhausen 1927, hlm. 136–137.
  72. ^ Miles 1948, hlm. 238.
  73. ^ Al-Rashid 2008, hlm. 271, 273.
  74. ^ Jandora 1986, hlm. 111.
  75. ^ Jankowiak 2013, hlm. 303–304.
  76. ^ Jankowiak 2013, hlm. 304, 316.
  77. ^ Jankowiak 2013, hlm. 316.
  78. ^ Kaegi 1995, hlm. 247–248.
  79. ^ Kennedy 2007, hlm. 207–208.
  80. ^ Kaegi 2010, hlm. 12.
  81. ^ a b c Christides 2000, hlm. 789.
  82. ^ a b Kaegi 2010, hlm. 13.
  83. ^ a b Kennedy 2007, hlm. 209.
  84. ^ a b c Christides 2000, hlm. 790.
  85. ^ Kennedy 2007, hlm. 217.
  86. ^ Lewis 2002, hlm. 67.
  87. ^ Wellhausen 1927, hlm. 146.
  88. ^ Hinds 1991, hlm. 139–140.
  89. ^ Madelung 1997, hlm. 339–340.
  90. ^ Marsham 2013, hlm. 90.
  91. ^ Wellhausen 1927, hlm. 141, 143.
  92. ^ Morony 1987, hlm. 183.
  93. ^ Wellhausen 1927, hlm. 142.
  94. ^ Wellhausen 1927, hlm. 143–144.
  95. ^ Hawting 2002, hlm. 309.
  96. ^ Marsham 2013, hlm. 90–91.
  97. ^ Marsham 2013, hlm. 91.
  98. ^ Crone 1994, hlm. 45.
  99. ^ Madelung 1997, hlm. 342–343.
  100. ^ Kennedy 2004, hlm. 88.
  101. ^ Donner 2012, hlm. 177.
  102. ^ Wellhausen 1927, hlm. 145–146.
  103. ^ Hawting 2000, hlm. 43.
  104. ^ Wellhausen 1927, hlm. 144–145.
  105. ^ Hinds 1993, hlm. 264.
  106. ^ Morony 1987, hlm. 210, 212–213.
  107. ^ Morony 1987, hlm. 210.
  108. ^ Morony 1987, hlm. 209, 213–214.
  109. ^ Wellhausen 1927, hlm. 139.
  110. ^ Morony 1987, hlm. 213.
  111. ^ Morony 1987, hlm. 213–214.
  112. ^ Grabar 1966, hlm. 18.

Pranala luar

Bacaan Lanjutan

Muawiyah bin Abu Sufyan
Sufyani
Cabang kadet Bani Umayyah
Lahir: 602 Meninggal: 26 April 680
Jabatan Islam Sunni
Didahului oleh:
Hasan bin 'Ali
Khalifah
661 – 26 April 680
Diteruskan oleh:
Yazid bin Muawiyah
Kembali kehalaman sebelumnya