Ibrahim bin Walid
Ibrahim bin Al-Walid ialah Khalifah ke-13 Daulah Bani Umayyah yang memiliki pusat pemerintahan di Damaskus. Ia menjadi khalifah menggantikan saudaranya Yazid bin Walid (Yazid III) melalui surat wasiat yang ditulis oleh Qathn.[1][2] Ia hanya memerintah dalam waktu yang singkat pada tahun 744 M yaitu hanya selama 70 hari sebelum akhirnya ia bersembunyi dari ketakutan terhadap lawan-lawan politiknya. [3] [2] Pemberontakan yang DialamiIbrahim bin Walid naik tahta ketika kondisi pemerintah Daulah Bani Umayyah sedang tidak stabil. Banyak terjadi perselisihan di antara keluarga Umayyah sendiri. Selain itu, Ibrahim bin Walid tidak sepenuhnya didukung menjadi khalifah dan ditentang oleh beberapa pejabat pada masa itu.[1] Salah satu pejabat yang secara terang-terangan menyatakan ketidak setujuannya terhadap kenaikan tahta Ibrahim bin Walid menjadi khalifah adalah Marwan bin Muhammad. Marwan bin Muhammad adalah gubernur yang membawahi empat wilayah sekaligus, yaitu Kaukasus, Armenia, Mosul, dan Azerbaijan. Tindakan yang secara nyata ditunjukkan oleh Marwan bin Muhammad untuk menentang Ibrahim bin Walid adalah ia mengerahkan delapan puluh ribu pasukan ke Damaskus untuk menyerang pemerintahan Ibrahim bin Walid. Hal ini merupakan pemberontakan terbesar yang dihadapi oleh Ibrahim bin Walid. [1] Menghadapi pemberontakan yang terjadi, Ibrahim bin Walid meminta bantuan dari sepupunya yaitu Sulaiman bin Hisyam dan menjadikannya panglima utama. Sulaiman bin Hisyam kemudian membuat strategi dengan cara melakukan pendekatan kepada gubernur di Palestina, Suriah, Irak, dan daerah-daerah lain di sekitarnya. Gubernur-gubernur tersebut setuju untuk mempertahankan Ibrahim bin Walid sebagai khalifah dan penguasa tertinggi di Daulah Bani Umayyah. [1] Sulaiman bin Hisyam dengan bantuan para gubernur berhasil mengumpulkan seratus dua puluh ribu pasukan yang siap bergera di bawah pimpinan Sulaiman bin Hisyam selaku panglima utama untuk melakukan perlawanan terhadap pasukan Marwan bin Muhammad. Ibrahim bin Walid merasa lega dikarenakan jumlah pasukannya jauh lebih banyak dibandingkan dengan pasukan dari Marwan bin Muhammad. Akan tetapi, meskipun kalah jumlah Marwan bin Muhammad adalah orang yang sangat berpengalaman dalam medan perang dikarenakan selama hidupnya ia selalu terlibat dalam perang-perang besar yang dilakukan oleh Bani Umayyah untuk melawan musuh-musuhnya.[1] Sebaliknya, Sulaiman bin Hisyam meski seorang panglima, ia dibesarkan di lingkungan istana, bergelut dengan kemewahan. Ia pun tak begitu menguasai medan peperangan. [3] Alhasil, dengan strategi yang dilakukan Marwan bin Muhammad dalam mengalahkan pasukan Ibrahim bin Walid yang memiliki jumlah pasukan lebih besar. Bahkan pasukan Ibrahim bin Walid kocar-kacir dan tercerai-berai sehingga Marwan bin Muhammad berhasil memasuki istana dan berhasil membuat Ibrahim bin Walid terpaksa turun tahta dan menyerahkan jabatan kekhalifahan kepada Marwan bin Muhammad. Meskipun begitu, Ibrahim bin Walid tetap dibiarkan hidup dalam perlindungan Marwan bin Muhammad dan meninggal pada tahun 132 Hijriah. [1] Pada masa pemerintahan Khalifah Ibrahim bin al-Walid, telah dilakukan penerjemahan buku-buku filsafat Yunani ke dalam bahasa Arab. Hal ini mengakibatkan lahirnya golongan Mutakalimin, seperti Mu'tazilah, Jabariah, Ahlus Sunnah, dsb. Bibliografi
Referensi
|