Ketuhanan dalam Buddhisme
Ketuhanan dalam Buddhisme tidak berdasarkan kepada suatu Tuhan personal Yang Maha Kuasa sebagai pencipta dan pengatur alam semesta (Pali: issara; Sanskerta: īśvara).[1] Sang Buddha menyatakan bahwa pandangan tersebut merupakan suatu pandangan salah (micchādiṭṭhi) yang harus dihindari, dan menyampaikan pernyataan yang mirip seperti masalah kejahatan dalam filsafat agama. Meskipun Buddhisme meyakini eksistensi makhluk-makhluk di alam yang lebih tinggi, seperti dewa dan brahma, mereka tidak diyakini sebagai Tuhan. Sang Buddha sendiri tidak pernah menyebut diri-Nya sebagai Tuhan. Fungsi dari kemunculan seorang Buddha adalah untuk menemukan kembali ajaran yang telah hilang, yang kemudian disebut sebagai Dhamma.[2] Buddha diyakini sebagai guru agung umat Buddha yang telah menemukan Dhamma, bukan menciptakan Dhamma.[3] Setelah mengajarkan Dhamma, ajaran yang telah ditemukan-Nya, Beliau memutuskan untuk hanya memberi hormat kepada Dhamma dan bukan suatu makhluk apa pun. Kitab-kitab komentar Buddhisme Theravāda merangkum daftar Niyāma ("Hukum Alam"), yaitu suatu hukum impersonal yang mengatur alam semesta dan bekerja tanpa pribadi pengatur tertinggi. Niyāma tersebut terdiri atas hukum keteraturan musim (utu), benih atau bibit (bīja), karma (kamma), kesadaran (citta), dan segala fenomena (dhamma). Daftar ini ditujukkan untuk menggambarkan cakupan universal hukum Kemunculan Bersebab (paṭiccasamuppāda). Ledi Sayadaw menyatakan bahwa diperkenalkannya istilah "pañcaniyāma" dalam kitab komentar bukanlah untuk meninggikan atau merendahkan hukum karma, namun untuk menunjukkan ruang lingkup Hukum Alam sebagai tanggapan terhadap klaim teisme. Menurut Bhikkhu Sri Paññāvaro Mahāthera, dalam sebuah ceramah, hukum karma (kamma-niyāma) dianggap memenuhi pemahaman masyarakat umum terkait Tuhan, jika perlu mencari sesuatu yang berperan seperti Tuhan dalam Buddhisme. Selain itu, beberapa ahli, seperti Cornelis Wowor, menyatakan bahwa Nirwana sebagai keadaan dan tujuan tertinggi dapat diinterpretasikan sebagai Ketuhanan Yang Maha Esa. Pendapat ini kemudian digunakan sebagai dasar legal untuk memenuhi sila pertama Pancasila Indonesia tersebut. Dasar teks kitab suci yang digunakan berasal dari syair dalam Tatiyanibbāna Sutta (Udāna 8.3), yaitu "ajātaṁ abhūtaṁ akataṁ asaṅkhataṁ" dengan makna:
Buddha juga mengajarkan pengembangan sifat-sifat luhur yang disebut Brahmavihāra, yaitu cinta kasih (mettā), belas kasih (karuṇā), simpati (mudita), dan ketenangan (upekkhā).[4] Menurut Handaka Vijjānanda, sifat-sifat luhur ini dapat diinterpretasikan sebagai sifat-sifat Ketuhanan. Di kesempatan lain, Buddha menolak untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang terkait dengan cara kerja presisi dari hukum karma dan berbagai spekulasi tentang dunia (lokacintā), seperti asal-usul semesta, dengan menyatakan pertanyaan-pertanyaan tersebut sebagai "hal yang tidak terpikirkan" (acinteyya) yang, jika dipikirkan, dapat menghasilkan kegilaan atau frustrasi. Selain itu, Buddha juga menjelaskan Nirwana sebagai "hal yang berada di luar jangkauan nalar" (atakkāvacara) karena sulit untuk dipahami dengan logika atau alasan oleh seseorang yang belum mencapainya sendiri. Buddhisme tidak menekankan pada keterlibatan pribadi pencipta dunia dalam pemahamannya mengenai iman, berdoa, terbentuknya alam semesta, munculnya manusia, kiamat, hingga keselamatan atau kebebasan.[5] Alih-alih fokus pada suatu Tuhan personal, ibadah umat Buddha lebih fokus pada keyakinan kepada Triratna, perenungan Empat Kebenaran Mulia, dan penerapan Jalan Mulia Berunsur Delapan untuk mencapai Nirwana.[6] Theravāda
Menurut beberapa diskursus dalam kitab suci Tripitaka Pali beserta kitab-kitab komentarnya yang diyakini oleh para pengikut aliran Theravāda, Sang Buddha menjelaskan beberapa pandangan-Nya atas gagasan tentang Tuhan dan Ketuhanan. Tuhan personalTuhan personal adalah Tuhan yang dapat dikaitkan sebagai sebuah pribadi yang mempunyai sifat-sifat—dan bahkan wujud—seperti manusia,[7] alih-alih sebagai kekuatan impersonal, seperti "Yang Mutlak" atau "Hukum Alam". Dalam beberapa kesempatan, Sang Buddha membantah eksistensi pribadi tersebut. Pembantahan IswaraBantahan Sang Buddha atas Tuhan personal (Pali: issara; Sanskerta: īśvara) sebagai pencipta tertuang dalam Titthāyatana Sutta, Aṅguttara Nikāya 3.61:[8]
Kutipan kitab suci Tipiṭaka tersebut menjelaskan salah satu pandangan salah yang harus dihindari, yaitu mengandalkan aktivitas issara sebagai kebenaran mendasar. Pandangan tersebut disebut sebagai issaranimmānahetuvāda, issaranimmānavāda, atau issarakatavāda.[9][10] Pada beberapa versi terjemahan, issara diartikan sebagai "Tuhan pencipta",[8] "Tuhan Tertinggi",[11] "Supreme God",[12] dan "God Almighty".[13] Menurut Sang Buddha, orang yang menganut pandangan tersebut tidak memahami sesuatu yang harus dilakukan dan tidak boleh dilakukan sehingga berpikiran kacau, tidak menjaga diri mereka sendiri, dan tidak pantas disebut sebagai petapa. Masalah kejahatanBeberapa cerita dalam kitab Jātaka dan Majjhima Nikāya menguraikan kritik terhadap dewa atau Tuhan pencipta yang mirip seperti masalah kejahatan dalam filsafat agama.[14] Dalam Bhūridatta Jātaka (Ja 543), Buddha Gotama sewaktu masih menjadi seorang Bodhisatwa (calon Buddha) berkata:[15][16]
Dalam Mahābodhi Jātaka (Ja no. 528), Bodhisatwa Gotama berkata:[17][18]
Dalam Devadaha Sutta, Majjhima Nikāya 101, Sang Buddha berkata:[19]
Kemahakuasaan dewaUmat Buddha menerima keberadaan makhluk hidup di alam yang lebih tinggi, yang dikenal sebagai dewa. Dalam kosmologi Buddhisme, dewa adalah sebutan untuk makhluk-makhluk yang menempati loka surga, di dalamnya termasuk loka brahma (brahmaloka). Dewa digambarkan sebagai makhluk yang tidak setara dengan manusia, memiliki kesaktian, dan berumur panjang. Para dewa yang tinggal di loka brahma (brahmaloka) secara spesifik disebut sebagai 'brahma'. Akan tetapi, mereka tetap tunduk pada kematian dan belum tentu lebih bijaksana daripada makhluk lainnya. Mereka bukan Tuhan Yang Maha Kuasa dan tidak Maha Sempurna. Para dewa, layaknya manusia, juga merupakan makhluk yang sedang dalam usaha mencari kesempurnaan hidup. Bahkan, Buddha sering disebut sebagai guru para dewa.[20] Kendati sama-sama merupakan agama berbasis darma, brahma dalam agama Buddha berbeda dengan Brahma dalam agama Hindu yang diyakini sebagai pencipta dunia. Mahābrahmā, atau Brahma Agung, disebutkan dalam Dīgha Nikāya sebagai makhluk yang menempati alam atas.[21] Ia merupakan dewa pemimpin dan penguasa loka brahma.[22][23] Brahma, sebagai dewa yang berkedudukan lebih tinggi dalam kosmologi Buddhisme, juga bukan merupakan Tuhan Yang Maha Kuasa. Kepercayaan bahwa dunia yang sekarang memiliki awal dan akhir—dengan merenungkan perumpamaan tentang rumah dengan pembangunnya—sering kali sampai pada kesimpulan bahwa dunia pasti memiliki pencipta: Sang Pencipta, Brahma, atau ‘Tuhan’ pada umumnya. Namun, menurut Buddhisme, terjadinya dunia merupakan suatu siklus. Pandangan ini meyakini bahwa banyak dunia yang telah terbentuk dan hancur pada masa lampau. Setelahnya, dunia yang baru akan menggantikan dunia yang sekarang pada masa yang akan datang dan seterusnya.[24][25] Dengan menekankan pada siklus terbentuknya dunia, Sang Buddha menolak kedudukan Mahābrahmā sebagai Tuhan, Pencipta, Yang Maha Kuasa, Yang Tak Tertaklukkan, Maha Melihat, Yang Termulia, Penguasa, Pengambil Keputusan, Pemberi Perintah, dan sebagainya dalam Brahmajāla Sutta (DN 1).[26][27] Penemu DhammaMenemukan DhammaFungsi dari kemunculan seorang Buddha adalah untuk menemukan kembali ajaran yang telah hilang, yang kemudian disebut sebagai Dhamma.[2] Buddha merupakan guru agung umat Buddha yang telah menemukan Dhamma, bukan menciptakan Dhamma.[28] Setelah menemukan Dhamma, Buddha mengajarkannya kepada semua makhluk agar mereka yang telah siap dapat memperoleh manfaatnya. Dengan demikian, ada atau tidak ada Buddha, hukum abadi tersebut akan tetap ada sepanjang zaman, sebagaimana disabdakan Buddha dalam Uppādā Sutta, Aṅguttara Nikāya 3.136.[29] Menghormati DhammaSesaat setelah mencapai Nirwana, Sang Buddha merenungkan atau melihat kembali perjalanan hidup-Nya untuk menemukan guru yang dapat Beliau berikan penghormatan. Ia sempat mengingat guru-guru lampaunya, seperti Āḷāra Kālāma dan Uddaka Rāmaputta, dan semua makhluk, termasuk para dewa. Dari hasil pengamatan, tidak ada satu makhluk pun yang bisa disebut sebagai "guru" oleh-Nya sehingga Sang Buddha memutuskan untuk hanya memberi hormat kepada Dhamma:[2]
Dalam Mahāparinibbāna Sutta (DN 16), diceritakan bahwa Ānanda bertanya kepada Buddha tentang siapa yang akan melanjutkan atau menerima tongkat estafet setelah Buddha wafat. Buddha menjawab:[2]
Tuhan impersonalDalam konteks pengatur bekerjanya alam semesta, Sang Buddha menjelaskan beberapa hukum alam yang bekerja sebagai suatu kekuatan impersonal (tidak bersifat pribadi yang antropomorfik). Selain itu, Buddha juga menjelaskan konsep Nirwana yang juga impersonal. Hukum NiyāmaDengan ditolaknya gagasan Tuhan personal sebagai pencipta dan pengatur alam semesta, kitab-kitab komentar Buddhisme aliran Theravāda menyatakan bahwa alam semesta dan seluruh isinya diatur oleh Niyāma ("Hukum Alam"), yaitu lima hukum kepastian atau keteraturan (pañca-niyāma) impersonal yang bekerja tanpa pribadi pengatur tertinggi:
Diperkenalkannya istilah "pañca-niyāma" dalam kitab komentar bukan untuk menggambarkan bahwa alam semesta etis secara intrinsik, namun sebagai daftar yang menunjukkan cakupan universal hukum Kemunculan Bersebab (paṭiccasamuppāda). Tujuan awalnya, menurut Ledi Sayadaw, bukanlah untuk meninggikan atau merendahkan hukum karma, namun untuk menunjukkan ruang lingkup Hukum Alam sebagai tanggapan terhadap klaim teisme.[30] Dalam sebuah ceramah, Bhante Sri Paññāvaro Mahāthera menyatakan bahwa hukum karma (kamma-niyāma) memenuhi pemahaman masyarakat umum terkait Tuhan, jika perlu mencari sesuatu yang berperan seperti Tuhan dalam Buddhisme.[31] Dengan memahami bahwa semua hal yang terjadi di dunia ini semata-mata hasil dari proses hukum kosmis, penganut Buddhisme meninggalkan pandangan yang salah (micchādiṭṭhi) tentang penciptaan bahwa dunia ini diciptakan oleh Tuhan personal sebagai pencipta.[20][32] Interpretasi NirwanaBerdasarkan pendapat beberapa ahli, seperti Cornelis Wowor, yang berasal dari aliran Theravāda di Indonesia,[33] Nirwana sebagai keadaan dan tujuan tertinggi dapat diinterpretasikan sebagai Ketuhanan Yang Maha Esa. Pendapat ini kemudian digunakan sebagai dasar legal untuk memenuhi sila pertama Pancasila Indonesia tersebut. Dasar teks kitab suci yang digunakan berasal dari syair dalam Tatiyanibbānapaṭisaṁyutta Sutta atau Tatiyanibbāna Sutta (Udāna 8.3):[34]
Dalam sutta tersebut, Nirwana dijelaskan dalam bahasa Pali sebagai "ajātaṁ abhūtaṁ akataṁ asaṅkhataṁ":
Dalam hal ini, Nirwana sebagai Ketuhanan Yang Maha Esa adalah sesuatu yang tidak terpersonifikasi atau tanpa-Aku (anatta). Dengan adanya Yang Mutlak atau Yang Tidak Terkondisi (asaṅkhata) maka manusia yang berkondisi (saṅkhata) dapat mencapai kebebasan dari lingkaran kehidupan (saṃsāra).[33] Di kesempatan lain, Buddha juga menggunakan istilah-istilah lain yang merujuk pada Nirwana. Dalam keseluruhan teks bagian Asaṅkhatasaṁyutta, Saṁyutta Nikāya 43, Buddha menguraikan 33 nama Nirwana:[35][36][37][38][39][40][41]
Sifat-sifat KetuhananHandaka Vijjānanda, dalam bukunya yang berjudul "Dhamma untuk Anak", berpendapat bahwa Tuhan dalam Buddhisme adalah empat sifat luhur yang merujuk pada sifat-sifat Brahmavihāra[42] yang meliputi: Penjelasan demikian digunakan dalam konteks spesifik, yaitu ketika perlu menjelaskan konsep ketuhanan kepada anak-anak dengan asumsi bahwa pemahaman mereka terbatas sehingga penjelasan yang terlalu rinci mungkin saja terdengar membingungkan. Penjelasan untuk anakDalam beberapa kesempatan lainnya, beberapa biksu (bhikkhu) Theravāda di Indonesia juga berkata demikian:[43]
Pemikiran dan penalaranHal yang tidak terpikirkanSang Buddha menjelaskan beberapa "hal yang tidak terpikirkan" (Pali: acinteyya) sebagai pertanyaan yang tidak dapat dijawab atau pertanyaan yang tidak dideklarasikan. Serangkaian pertanyaan ini merupakan daftar pertanyaan yang tidak boleh dipikirkan dan yang ditolak oleh Sang Buddha untuk dijawab karena dianggap menghasilkan kegilaan atau frustrasi,[44] mengalihkan perhatian dari praktik Dhamma, dan menghalangi pencapaian pembebasan.[45] Lokacintā Sutta (SN 56.41) menyatakan:[46]
Empat hal yang tidak terpikirkan diidentifikasikan dalam Acinteyya Sutta, Aṅguttara Nikāya 4.77,[47] sebagai berikut:[48][49]
Lokacintā Sutta (SN 56.41),[46] Cūḷamālukya Sutta (MN 63),[50][51] dan Aggivaccha Sutta (MN 72)[52][53][54] menjelaskan daftar sepuluh pertanyaan yang tidak dijawab terkait "spekulasi tentang dunia":[45][55]
Sang Buddha (dalam MN 72)[53] menolak untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, menghindari terlibat dalam perdebatan, namun menjawab dengan sebuah perumpamaan (untuk pertanyaan no.7-10):[55]
Penalaran tentang NirwanaSelain itu, Sang Buddha juga menjelaskan "hal yang berada di luar jangkauan nalar" (Pali: atakkāvacara).[56] Atakkāvacara juga didefinisikan sebagai "di luar logika; di luar wilayah dugaan; di luar wilayah pikiran."[57] Hal tersebut, seperti Nirwana dan berbagai pandangan, berada di luar jangkauan nalar karena menggambarkan realitas hakiki yang melampaui semua konseptualisasi.[45] Dalam Brahmajāla Sutta (DN 1),[58] Nirwana dijelaskan sebagai sesuatu yang atakkāvacara ("melampaui penalaran logis")[54] karena sulit untuk dipahami dengan logika atau alasan,[54] dan tidak dapat dijelaskan dengan logika atau alasan kepada seseorang yang belum mencapainya sendiri:[59]
Konsep tanpa-penciptaKonsep-konsep tentang iman, berdoa, terbentuknya alam semesta, terjadinya Bumi, kiamat, dan keselamatan yang dijelaskan di bagian ini utamanya dianut oleh aliran Theravāda yang didasarkan pada teks-teks dalam kitab suci Tripitaka Pali. KeyakinanMeskipun Buddha menolak adanya pribadi pencipta Yang Maha Kuasa, Buddha tetap menekankan pentingnya keyakinan (saddhā) terhadap Triratna (Buddha, Dhamma, Saṅgha), hukum karma, kelahiran kembali, dan Nirwana. BerdoaSecara umum, umat Buddha Theravāda mendefinisikan ulang terminologi berdoa sebagai aktivitas batin yang merenungi Dhamma dan menyampaikan puji-pujian kepada Triratna, bukan meminta sesuatu yang diinginkan kepada makhluk apa pun. Jika berdoa didefinisikan sebagai suatu aktivitas batin yang memohon atau meminta sesuatu yang diinginkan—misalnya kebahagiaan—kepada dewa, brahma, atau makhluk apa pun yang diyakini bisa memberikannya, maka Buddhisme menolak kegiatan berdoa. Dengan pengertian tersebut, kebahagiaan dianggap hanya bisa didapatkan melalui berdoa dan merupakan hadiah dari makhluk yang diminta. Apabila makhluk tersebut tidak berkenan, maka kebahagiaan tidak bisa terwujud karena tidak ada makhluk lain yang bisa menghalangi kehendaknya; termasuk diri sendiri. Dengan demikian, kebahagiaan menjadi sesuatu yang berada di luar kuasa seseorang. Dengan batasan istilah seperti ini, maka paritta buddhis, seperti Ettāvatā dan Brahmavihārapharaṇa, tidak termasuk dalam terminologi berdoa karena keduanya melibatkan perbuatan baik yang menjadi faktor utama kemunculan kebahagiaan.[60] Dengan tiadanya pencipta dunia, pandangan Buddhisme mengenai berdoa pun tidak melibatkan kehadiran pencipta dunia. Dalam Iṭṭha Sutta, Aṅguttara Nikāya 5.43,[61] Buddha menyatakan bahwa kecantikan, kebahagiaan, kemasyhuran, dan alam surga tidak dapat diperoleh melalui doa-doa atau aspirasi-aspirasi. Kecantikan, kebahagiaan, kemasyhuran, dan alam surga hanya dapat diperoleh dengan mempraktikkan jalan yang menuju padanya. Alih-alih berdoa untuk meminta kebahagiaan kepada suatu sosok, Sammāsambuddha mengatakan bahwa sebab dari kebahagiaan adalah mengikuti jalan yang membawa ke kebahagiaan. Jalan yang membawa ke kebahagiaan adalah praktik-praktik kebajikan, seperti dāna (bederma), sīla (moralitas atau akhlak), dan lain-lain (dānasīlādikā puññapaṭipadā).[60] Terbentuknya alam semestaMenurut pandangan Buddhis, alam semesta ini sangat luas dengan banyak tata surya yang jumlahnya tidak dapat dihitung. Setiap tata surya memiliki satu set alam kehidupannya sendiri. Hal ini diterangkan oleh Sang Buddha sebagai jawaban atas pertanyaan Bhikkhu Ānanda dalam Cūḷanikā Sutta, Aṅguttara Nikāya 3.80.[62] Berdasarkan teks tersebut, dikatakan bahwa dalam sebuah dvisahassi majjhimanikā lokadhātu terdapat satu juta tata surya, dan sebuah tisahassī mahāsahassi lokadhātu terdapat satu miliar tata surya. Terkait dengan terjadinya Bumi dan manusia pertama, Aggañña Sutta (Dīgha Nikāya 27)[63] dan Brahmajāla Sutta (DN 1)[64] menguraikan bahwa manusia pertama bukanlah seorang atau dua orang, tetapi banyak orang. KiamatKiamat atau hancur leburnya Bumi dijelaskan dalam Sattasūriya Sutta, Aṅguttara Nikāya 7.66.[65] Menurut Buddhisme, kiamat disebabkan oleh terjadinya musim kemarau yang lama sekali. Selanjutnya, dengan berlangsungnya musim kemarau yang panjang ini, muncul matahari yang kedua. Kemudian, dengan berselangnya suatu masa yang lama, matahari ketiga, keempat, hingga ketujuh muncul secara bertahap. Pada waktu matahari ketujuh muncul, Bumi terbakar hingga menjadi debu dan lenyap bertebaran di alam semesta. Keselamatan atau kebebasanKebebasan atau keselamatan tertinggi menurut Buddhisme adalah Nirwana. Kebebasan ini dapat diketahui oleh orang yang bersangkutan, seperti yang disabdakan oleh Buddha dalam Parinibbāna Sutta:
Untuk mencapai Nirwana, seseorang perlu melatih diri sesuai Jalan Mulia Berunsur Delapan yang telah ditemukan oleh Sang Buddha. Sebagai puncak dari latihan tersebut, seseorang diyakini dapat mencapai kesucian pada kehidupan sekarang ini juga, seperti yang diuraikan Buddha dalam Mahāsatipaṭṭhāna Sutta (MN 10).[66] Mahāyāna
Pada dasarnya, aliran Mahāyāna juga meyakini Nibbāna-sebagai-Ketuhanan. Namun, aliran Mahāyāna juga memercayai beberapa paham khusus mengenai hakikat Tuhan Yang Maha Esa, seperti tertera dalam dialog antara Sakyamuni Buddha dengan Mahamati Bodhisattva, yang tercatat dalam kitab suci Lankavatara Sutra sebagai berikut:
Mengingat Tuhan Yang Maha Esa sebagai sesuatu yang tidak mungkin terjangkau dalam alam pikiran manusia, maka Sakyamuni Buddha dengan berbagai cara dan dengan memakai berbagai perumpamaan mencoba menjelaskan perihal Tuhan Yang Maha Esa, antara lain dengan menyebutkan sebagai hukum yang tunggal (Saddharma Pundarika Sutra). Tathagatagarba merupakan sumbernya semua Tathagata/Para Buddha Penerangan Unggul, disabdakan oleh Sakyamuni Buddha sebagai terang benderang dan Esa (Lankavatara Sutra XXVIII, hal. 63). Dari dialog antara Sakyamuni Buddha dengan Mahamati Bodhisattva, Mahāyāna memercayai adanya kekuatan yang kekal yang berada di luar jangkauan daya pikiran manusia, yaitu Tuhan Yang Maha Esa, yang di dalam agama Buddha aliran Mahayana dikenal dengan sebutan Tathagatagarba. Alayavijnanam adalah percikan-percikan dari benih-benih Tathagatagarba (Tuhan Yang Maha Esa) yang terdapat di dalam setiap manusia. Menurut Mahāyāna, di dalam jiwa setiap manusia sesungguhnya terdapat kesadaran yang kekal, yang merupakan percikan-percikan benih Ketuhanan, Tathagatagarba (Alayavijnanam). Akan tetapi, benih Ketuhanan ini tidak akan tumbuh dengan sendirinya tanpa dipelihara dan dirawat. Dalam hal ini adalah tergantung pada kemauan orang tersebut, apakah dia mau merawat, memelihara dengan baik benih-benih Ketuhanan yang ada didalam dirinya sehingga dia dapat manunggal, bersatu dengan kekekalan, atau sebaliknya. Di dalam memelihara dan merawat benih-benih Ketuhanan inilah perlunya manusia beragama dengan melaksanakan jalan Bodhisatta untuk merawat dan memelihara benih-benih Ketuhanan tersebut agar tidak salah dan tidak keliru dalam pelaksanaannya.[67] Sang Hyang Adi BuddhaMajelis Buddhayana Indonesia menggunakan istilah Sang Hyang Adi Buddha yang diadaptasi dari konsep Adi Buddha yang hidup di kalangan Buddhisme Esoteris Indonesia. Istilah tersebut terdapat dalam beberapa kitab seperti Sang Hyang Kamahayanikan (kitab Jawa kuno) yang menggunakan bahasa Kawi.[68][69][70] Dalam Ensiklopedi Nasional Indonesia (1988),[71] Adi Buddha dan tradisi yang menggunakan istilah ini dijelaskan sebagai berikut:
Umat Buddha Indonesia sejak zaman Syailendra dan Mataram Kuno sudah meyakini adanya Tuhan Yang Maha Esa. Kitab Namasangiti yang ditulis oleh seorang biksu Indonesia benama Candrakirti, dan simbolisme yang terpancar pada stupa mandala candi Borobudur, memberi bukti bahwa agama Buddha yang dipeluk oleh rakyat Indonesia sejak zaman Sriwijaya, Mataram Kuno, Syailendra, dan Majapahit adalah agama Buddha yang mengakui adanya Tuhan Yang Maha Esa. Beberapa ulasan yang menggunakan istilah Sang Hyang Adi Buddha: 1. Guna Kāraṇḍavyūha Sūtra Teks ini dapat ditemukan dalam Tripitaka Taishō no.1050, dan Tripitaka Tibet: Tohoku no.116:
2. Kitab Sang Hyang Kamahayanikan Kitab ini merupakan karya sastra dalam bentuk prosa karya seorang raja Jawa, yaitu Mpu Sendok, yang bertakhta di Jawa Timur mulai dari tahun 929 sampai tahun 947 Masehi.
3. Herman S. Hendro (1968) dalam tulisannya menyebutkan:
Tiantai, Tendai, Cheontae, dan NichirenAliran Tiantai, Tendai, Cheontae, dan Nichiren memercayai adanya "Mystic Law" (Hukum Mistik) berdasarkan Lotus Sutra (Saddharma Puṇḍarīka Sūtra) yang merupakan salah satu sutra Mahayana yang paling populer dan berpengaruh, dasar di mana aliran-aliran ajaran Buddha Tiantai, Tendai, Cheontae, dan Nichiren didirikan. Menurut Paul Williams, "Bagi banyak penganut Buddha Asia Timur sejak masa awal Saddharma Pundarika Sutra (Lotus Sutra) berisi ajaran terakhir Sang Buddha, lengkap dan cukup untuk keselamatan."[72] Hukum mistik ini adalah entitas tertinggi atau kebenaran yang menembus semua fenomena di alam semesta, tetapi itu bukan makhluk yang dipersonifikasikan. Ada satu kesatuan tertinggi dari manusia dan hukum tertinggi ini, yaitu tidak ada pemisahan antara manusia (semua manusia) dan gagasan tentang Tuhan ini sebagai Hukum Mistik. Kebenaran abadi dan tidak berubah yang ada dalam diri kita adalah sumber dari mana kita dapat menarik kebijaksanaan belas kasih yang sesuai dengan keadaan yang berubah, dan keberanian serta keyakinan untuk hidup sesuai dengan kebijaksanaan itu. Ini mistis, bukan magis, karena totalitasnya di luar konseptualisasi manusia; dan upaya untuk mengkotak-kotakkannya, katakanlah dalam bentuk manusia, hanya membatas-batasi. Umat Buddha Tiantai, Tendai, Cheontae, dan Nichiren memandang bahwa realitas tertinggi, kebenaran tertinggi, kemurnian tertinggi ada di dalam setiap manusia. Karena itu, semua orang sebagai sakral dan secara sempurna memiliki potensi untuk menjadi individu yang sangat bahagia dan tercerahkan. Tidak ada 'kita' dan 'mereka', tidak ada yang saleh dan durhaka, semua adalah anak-anak Tuhan yang merupakan entitas dari Hukum Mistik. Sebutan Nichiren untuk Tuhan adalah "Nam-myoho-renge-kyo", suatu Hukum Mistik. Mereka percaya Tuhan ada baik "di sini" (dalam diri) maupun "di luar sana" (luar diri) dan bahwa cahaya batin ini dapat bersinar dari dalam ketika kita terbangun dan membuka hati kita melalui tindakan memuji "Nam-myoho-renge-kyo". Secara linguistik, Namu Myōhō Renge Kyō terdiri dari yang berikut ini:
Aliran ini telah mulai membayangkan alam semesta dengan cara yang berbeda. Konsep Tuhan sebagai Hukum Mistik sesuai dengan pemahaman yang telah mereka capai sendiri. Mereka akan menemukan, karena sebagian besar penganut Buddha Tiantai, Tendai, Cheontae, dan Nichiren dapat membuktikan, bahwa Hukum Mistik akan, dengan cukup baik, mengisi lubang berbentuk 'Tuhan' dalam diri spiritual mereka.[73] VajrayānaDi dalam ajaran Vajrayāna—yang berbasis Mahāyāna—memang dikenal adanya sosok Buddha primordial, yang sebenarnya adalah personifikasi kualitas terdalam dari batin kita di level Dharmakaya. Aliran Nyingma di Tibet yang muncul paling awal menyebutnya sebagai Samantabhadra. Sementara aliran Sarma yang muncul selanjutnya yakni Sakya, Kagyu, Jonang, dan Gelug menyebut sebagai Vajradhara. Di Nepal dikenal istilah Adinata yang berarti "pelindung utama"; juga Swayambhulokanatta yang berarti "pelindung jagat yang tidak dilahirkan". Sementara Buddha primordial dalam aliran Shingon atau tantra Jepang adalah Vairochana.[74][75] RangtongRangtong berarti “kosong dari sifat diri sendiri”. Ini adalah istilah filosofis dalam agama Buddha Tibet yang digunakan untuk menyebut tentang sifat śūnyatā atau “kekosongan”, yaitu bahwa semua fenomena kosong dari masa lalu dan/atau esensi yang tidak berubah atau “diri”, bahwa kekosongan ini bukanlah kenyataan absolut, melainkan hanya merupakan karakterisasi nominal dari fenomena. Rangtong ingin mengatakan bahwa di dalam realita yang absolut, tiada yang absolut. Hal ini terkait dengan pandangan prasangika, yang berpendapat bahwa tidak ada bentuk penalaran silogisme yang seharusnya digunakan untuk memperdebatkan gagasan keberadaan yang inheren, namun hanya argumen yang menunjukkan implikasi logis dan absurditas posisi berdasarkan eksistensi yang melekat. Pandangan ini merupakan tafsir utama Madhyamaka dari Gelugpa, aliran Buddhisme Vajrayana yang didirikan oleh Lama Tsongkhapa. ShentongShentong, secara harfiah berarti “kekosongan lain”, adalah pandangan minoritas di dalam Madhyamaka Tibet. Aliran ini berpendapat bahwa śūnyatā menyetujui kenyataan relatif kosong dari sifat diri sendiri, namun menyatakan bahwa kenyataan absolut itu sendiri tidak kosong dan benar-benar ada. Realitas absolut ini digambarkan dengan istilah positif, sehingga mirip dengan kebenaran tertinggi dalam konsep Hindu. Shentong disistematisasikan dan diartikulasikan oleh Dolpopa Sherab Gyaltsen (1292-1361), seorang lama dari aliran Jonang, yang identik dengan praktik Tantra Kalachakra. Dalam sejarahnya, pandangan Shentong digilas oleh aliran Gelug yang dominan selama beberapa ratus tahun sejak Dalai Lama kelima, karena alasan politis dan doktrin. Pada tahun 1658, penguasa Gelug juga melarang aliran Jonang karena alasan politik, dan mengubah biarawan dan biara aliran itu menjadi Gelug. Ajaran dan kitab-kitab shentong dilarang, sehingga membuat posisi rangtong sangat dominan dalam corak agama Buddha Tibet dan aliran Jonang nyaris musnah. Namun pada abad ke-19 pandangan Shentong bangkit kembali, dan berlanjut dengan gerakan Rimé (nonsektarian). Saat ini pandangan Shentong hadir lagi dan merasuk terutama di aliran Nyingma dan Kagyu. Dengan mengutip kitab Mahāyāna Sūtra Mahāparinirvāṇa, Sūtra Aṅgulimālīya dan Sātra Śrīmālādevī Siṃhanāda, Dolpopa menyebut bahwa Buddha atau diri sejati yang ada di dalam masing-masing pribadi sebagai kebenaran aktual, tidak dikondisikan atau dihasilkan oleh proses sebab-akibat temporal. Interpretasi Shentong tentang doktrin tathāgatagarbha adalah bahwa Buddha di dalam semua makhluk adalah sifat-sifat yang tidak berubah, permanen, tidak terkondisi. Buddha adalah kualitas kebahagiaan, welas asih, kebijaksanaan, kekuatan, dan sebagainya yang dianggap sebagai sesuatu yang sesungguhnya terus ada permanen dan tak terbatas, walau tertutupi oleh keserakahan, kemarahan, dan kebotohan batin manusia. Menurut Shentong, kebenaran tertinggi, yang disebut oleh istilah seperti tathāgatagarbha (Esensi Buddha), dharmadhātu (Dimensi Kebenaran), dan dharmakāya (Tubuh Kebenaran), adalah keadaan permanen atau kekal. Menurutnya, semuanya berkaitan dengan ranah Nirvana, dan menjadi satu dengan sifat Buddha. Menurut Dolpopa, yang diutarakannya ini bukan sekadar pandangan intelektual, tapi pengalaman langsung tentang kebahagiaan dan realitas tertinggi yang telah dialaminya.[76] HinduismeDalam agama Hindu, pribadi yang diyakini sebagai Buddha Gotama muncul dalam kitab Purana (Susastra Hindu) sebagai awatara (inkarnasi dan manifestasi dari Tuhan) kesembilan di antara sepuluh awatara (dasawatara) Dewa Wisnu. Dalam Bhagawatapurana, Buddha Gotama disebut sebagai awatara Wisnu ke-24. Buddhisme menolak pandangan ini dan menyatakan bahwa Sang Buddha bukan awatara dari dewa-dewa Hindu. Berbeda dari ajaran Hindu, Buddhisme tidak menekankan keberadaan "Tuhan sang Pencipta" sehingga Buddhisme dikategorikan sebagai salah satu aliran nāstika (heterodoks; secara harfiah berarti "Itu tidak ada") menurut aliran-aliran agama darmik lainnya, seperti Dwaita. Kata "Buddha" berarti "Dia yang mendapat kecerahan" dan dapat mengacu kepada Buddha Gotama. Rujukan
Daftar pustakaSumber cetak
Sumber webPranala luar
|