Kappiya
Kappiya (Pali) adalah seorang upasaka atau upasika yang tinggal di sebuah wihara dan bertugas untuk membantu para biksu atau biksuni sebagai seorang pelayan atau pengurus terkait tugas-tugas yang dilarang oleh Vinaya (aturan monastik Buddhis), seperti penanganan uang. Selain itu, kappiya juga menyediakan layanan kebersihan, menjalankan tugas-tugas, dan membantu pengumpulan hasil derma. IstilahIstilah kappiya, yang secara harfiah berarti "sah" atau "tepat,"[1] berasal dari bahasa Pali, dan juga digunakan dalam bahasa Burma (Burma: ကပ္ပိယ). Kata majemuk kappiyakāraka (terj. har. 'seseorang yang membuatnya pantas') juga digunakan dalam bahasa Pali.[2] Di Thailand, istilah luuk sit wat (ลูกศิษย์วัด) dan dek wat (เด็กวัด), biasanya diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris sebagai "temple boy", biasanya digunakan. Di Kamboja, istilah khmeng voat (ក្មេងវត្ត) digunakan.[3] PeranPeran utama kappiya adalah membantu para biksu yang ditahbiskan dengan berbagai tugas, terutama tugas-tugas yang dilarang oleh Vinaya, seperangkat aturan monastik Buddhis (misalnya, penanganan uang).[4][5] Seorang kappiya merupakan seorang umat awam yang tidak ditahbiskan, tidak seperti biksu, biksuni, samanera, atau samaneri. Kappiya juga dapat membantu dalam kapasitas lain, termasuk membawa mangkuk sedekah selama pengumpulan sedekah pagi, dan menyiapkan makanan untuk para biksu. Perbedaan daerahMyanmarDi Myanmar (Burma), kappiya umumnya adalah laki-laki muda atau anak laki-laki yang tinggal di wihara yang mereka dukung.[6] Beberapa petapa wanita yang disebut kappiya thilashin (sayalay) juga bertugas sebagai pelayan awam di lembaga-lembaga monastik (kyaung), memberikan dukungan kepada para biksu yang ditahbiskan sebagai manajer dan bendahara, yang dipercayakan dengan pemeliharaan wihara-wihara yang aktif.[7][8] ThailandDi Thailand, kappiya biasanya adalah anak laki-laki muda (biasanya berusia antara 10 dan 15 tahun)[9] yang berafiliasi dengan suatu wihara (wat) untuk menyediakan layanan kebersihan, menjalankan tugas-tugas, dan membantu pengumpulan hasil derma dengan imbalan berupa makanan, penginapan, petunjuk agama, dan manfaat lainnya.[10] Beberapa orang yang diutus menjadi temple boy melakukannya demi memperoleh jasa kebajikan; beberapa yang lainnya melakukannya karena mereka diberi tempat tinggal dan makan gratis; dan yang lainnya lagi untuk menerima petunjuk agama dan moral. Beberapa temple boy kemudian ditahbiskan menjadi seorang biksu. Temple boy boleh menjalankan langkah formal penahbisan samanera sebagai bagian dari peran mereka. Penahbisan tersebut tergantung pada usia dan adat setempat. Secara historis, peranansebagai temple boy telah menyediakan sarana untuk gerak sosial (perpindahan status sosial sekelompok orang atau individu ke status yang lain baik). Tokoh-tokoh terkenal, termasuk politisi (Chuan Leekpai dan Watana Muangsook) dan aktor (misalnya, Rangsiroj Panpeng) menghabiskan masa pembentukan diri mereka dengan menjalankan peran ini.[10] Lihat pulaReferensi
|