Māra (Pāli; Sanskerta: मार atau मृत्युcode: sa is deprecated , Māra atau Mṛtyu), dalam Buddhisme, merujuk kepada metafora "setan", dan makhluk setan atau iblis[1] berstatus raja surgawi ganas yang mencoba menghentikan Pangeran Siddhattha Gotama mencapai Nirwana dengan rayuan bala tentara surgawinya dan perwujudan wanita cantik yang, dalam berbagai kejadian, sering dipanggil sebagai putri Māra.[2]
Buddhisme awal mengakui interpretasi Māra baik secara harfiah (suatu makhluk) maupun psikologis (metafora fenomena batin).[4][5]Nyanaponika Thera menggambarkan Māra sebagai "personifikasi kekuatan yang berlawanan dengan pencerahan."[6] Dalam kitab komentar Buddhisme Theravāda, empat atau lima bentuk Māra adalah:[7][8]
Devaputta Māra (Pāli) – makhluk setan berupa dewa yang bertempat tinggal di Kerajaan Māra (māradheyya) di alam surgaParanimmitavasavatti, yang mencoba mencegah Buddha Gotama mencapai pembebasan dari siklus kelahiran kembali pada malam kecerahan Buddha.
Kilesa Māra – Māra atau "setan" sebagai metafora untuk perwujudan dari semua pengotor batin (kilesa), seperti keserakahan (lobha), kebencian (dosa), dan delusi (moha).
Khandha Māra – Māra atau "setan" sebagai metafora untuk bahaya gugusan kehidupan (khandha) atau keberadaan yang terkondisi (saṅkhāra).
Maccu Māra – Māra atau "setan" sebagai metafora untuk bahaya kematian.
Abhisaṅkhāra Māra – Māra atau "setan" sebagai metafora untuk buah karma buruk (akusala-vipāka).
Tiga putri Māra
Dalam beberapa kisah tentang pencapaian kecerahan Sang Buddha, dikisahkan bahwa setan Māra tidak mengirimkan ketiga putrinya untuk menggoda, tetapi sebaliknya mereka datang dengan sukarela setelah Māra mengalami kemunduran dalam usahanya untuk melenyapkan pencarian Sang Buddha untuk mencapai Nirwana.[9] Ketiga putri Mara bernama Taṇhā (nafsu kehausan), Aratī (ketidaksenangan, rasa tidak suka, ketidakpuasan, iri hati), dan Ragā (nafsu, kemelekatan, keserakahan).[10][11] Sebagai contoh, dalam bagian Māra-saṁyutta di Saṁyutta Nikāya, ketiga putri Māra sedang melepaskan pakaian mereka di hadapan Sang Buddha; namun gagal menggoda-Nya:
Mereka mendatangi Beliau gemerlap dengan kecantikan–
Māra digambarkan sebagai entitas yang memiliki eksistensi di alam Kāma ("alam nafsu"),[14] sama seperti yang ditunjukkan di sekitar Sang Buddha, dan juga dijelaskan dalam pratītyasamutpāda sebagai, terutama, penjaga nafsu dan katalisator nafsu, keraguan dan ketakutan yang menghalangi meditasi di antara umat Buddha. Empat jenis Māra diidentifikasi:[8]
Skandha-māra – Māra sebagai metafora untuk keseluruhan keberadaan yang terkondisikan.
Devaputra-māra – dewa dari alam indrawi yang mencoba menghalangi Buddha Gautama memperoleh pembebasan dari siklus kelahiran kembali pada malam kecerahan-Nya.
Kitab Denkoroku (kumpulan koan) menyebutnya sebagai "Yang Senang dalam Kehancuran", yang menyoroti sifatnya sebagai dewa di antara para dewa di alam Parinirmitavaśavarti.[15]
"Buddha menentang Māra" merupakan pose umum patung Buddha.[16][10] Sang Buddha digambarkan dengan tangan kirinya di pangkuan, telapak tangan menghadap ke atas dan tangan kanannya di lutut kanannya. Jari-jari tangan kanannya menyentuh bumi, untuk memanggil bumi sebagai saksinya dalam menentang Māra dan mencapai pencerahan. Postur ini juga disebut sebagai mudrabhūmisparśa "memanggil bumi sebagai saksi".
Pergantian agama Māra
Kitab Jǐngdé Chuándēnglù dan kitab Denkoroku keduanya mengandung kisah tentang pergantian agama Māra ke agama Buddha di bawah naungan biksu Upagupta.
Menurut cerita tersebut, Upagupta melakukan perjalanan ke kerajaan Mathura dan mengajarkan Dharma dengan sangat sukses. Hal ini menyebabkan istana Māra bergetar, mendorong sang dewa untuk menggunakan kekuatan penghancurnya terhadap Dharma. Ketika Upagupta memasuki samādhi, Māra mendekatinya dan menyelipkan kalung giok di lehernya.
Upagupta membalasnya dengan mengubah mayat seorang pria, seekor anjing, dan seekor ular menjadi sebuah karangan bunga dan memberikannya kepada Māra. Ketika Māra mengetahui sifat sebenarnya dari pemberian tersebut, ia meminta bantuan Brahma untuk mengambilnya. Brahma memberitahunya bahwa karena kalung tersebut diberikan oleh seorang murid Buddha yang sudah maju, pengaruhnya hanya dapat dikurangi dengan berlindung kepada Upagupta.
Māra kembali ke dunia manusia, kemudian ia bersujud di hadapan para biksu dan bertobat. Atas rekomendasi Upagupta, ia bersumpah untuk tidak pernah menyakiti Dharma dan berlindung pada Triratna.[17]
^Lihat, misalnya, SN 4.25 yang berjudul "Putri-putri Māra" (Bodhi, 2000, hlm. 217–20), jugua di Snp 835 (Saddhatissa, 1998, hlm. 98). Dalam setiap teks ini, putri-putri Māra (Māradhītā) dipersonifikasikan sebagai Kehausan (taṇhā), Ketidaksukaan (arati), dan Nafsu Ragawi (rāga).
^Williams, Paul (2005). Buddhism: The early Buddhist schools and doctrinal history ; Theravāda doctrine, Volume 2. Taylor & Francis. hlm. 105–106. ISBN9780415332286.
^Thera, Nyanaponika (2008). The Roots of Good and Evil: Buddhist Texts translated from the Pali with Comments and Introduction. Buddhist Publication Society. hlm. 22. ISBN9789552403163.
^Dhammavihari Buddhist Studies (2020-10-10), Kerajaan Mara (1), diakses tanggal 2024-10-25
^Lihat, misalnya, SN 4.25 (Bodhi, 2000, hlm. 217–20), dan Snp 835 (Saddhātissa, 1998, hlm. 98). Dengan cara yang sama, di Snp 436 (Saddhātissa, 1998, hlm. 48), taṇhā dipersonifikasikan sebagai satu dari empat prajurit (senā) Kematian, bersama dengan nafsu indrawi (kāmā), rasa tidak suka (arati), dan haus-akan-kemarahan (khuppipāsā).