Hak asasi manusia
Hak asasi manusia (disingkat HAM, bahasa Inggris: human rights, bahasa Prancis: droits de l'homme) adalah sebuah konsep hukum dan normatif yang menyatakan bahwa manusia memiliki hak yang melekat pada dirinya karena ia adalah seorang manusia. Hak asasi manusia berlaku kapan saja, di mana saja, dan kepada siapa saja, sehingga sifatnya universal. HAM pada prinsipnya tidak dapat dicabut, tidak dapat dibagi-bagi, saling berhubungan, dan saling bergantung. Hak asasi manusia biasanya dialamatkan kepada negara, atau dalam kata lain, negaralah yang mengemban kewajiban untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi hak asasi manusia, termasuk dengan mencegah dan menindaklanjuti pelanggaran yang dilakukan oleh swasta. Dalam terminologi modern, hak asasi manusia dapat digolongkan menjadi hak sipil dan politik yang berkenaan dengan kebebasan sipil (misalnya hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, dan kebebasan berpendapat), serta hak ekonomi, sosial, dan budaya yang berkaitan dengan akses ke barang publik (seperti hak untuk memperoleh pendidikan yang layak, hak atas kesehatan, atau hak atas perumahan). Secara konseptual, hak asasi manusia dapat dilandaskan pada keyakinan bahwa hak tersebut "dianugerahkan secara alamiah" oleh alam semesta, Tuhan, atau nalar. Sementara itu, mereka yang menolak penggunaan unsur alamiah meyakini bahwa hak asasi manusia merupakan pengejawantahan nilai-nilai yang disepakati oleh masyarakat. Ada pula yang menganggap HAM sebagai perwakilan dari klaim-klaim kaum yang tertindas, dan pada saat yang sama juga terdapat kelompok yang meragukan keberadaan HAM sama sekali dan menyatakan bahwa hak tersebut hanya ada karena manusia mencetuskan dan membicarakan konsep tersebut. Dari sudut pandang hukum internasional, hak asasi manusia dapat dibatasi atau dikurangi dengan syarat-syarat tertentu. Pembatasan biasanya harus ditentukan oleh hukum, memiliki tujuan yang sah, dan diperlukan dalam suatu masyarakat demokratis. Sementara itu, pengurangan hanya dapat dilakukan dalam keadaan darurat yang mengancam "kehidupan bangsa" dan pecahnya perang pun belum mencukupi syarat ini. Selama perang, hukum kemanusiaan internasional berlaku sebagai lex specialis. Walaupun begitu, sejumlah hak tetap tidak boleh dikesampingkan dalam keadaan apa pun, seperti hak untuk bebas dari perbudakan maupun penyiksaan. Masyarakat kuno tidak mengenal konsep hak asasi manusia universal seperti halnya masyarakat modern. Pelopor sebenarnya dari wacana hak asasi manusia adalah konsep hak kodrati yang dikembangkan pada Abad Pencerahan, yang kemudian memengaruhi wacana politik selama Revolusi Amerika dan Revolusi Prancis. Konsep hak asasi manusia modern muncul pada paruh kedua abad kedua puluh, terutama setelah dirumuskannya Pernyataan Umum tentang Hak-Hak Asasi Manusia (PUHAM) di Paris pada tahun 1948. Semenjak itu, hak asasi manusia telah mengalami perkembangan yang pesat dan menjadi semacam kode etik yang diterima dan ditegakkan secara global. Pelaksanaan hak asasi manusia di tingkat internasional diawasi oleh Dewan Hak Asasi Manusia PBB dan badan-badan traktat PBB seperti Komite Hak Asasi Manusia PBB dan Komite Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, sementara di tingkat regional, hak asasi manusia ditegakkan oleh Pengadilan Hak Asasi Manusia Eropa, Pengadilan Hak Asasi Manusia Antar-Amerika, serta Pengadilan Hak Asasi Manusia dan Hak Penduduk Afrika. Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR) dan Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (ICESCR) sendiri telah diratifikasi oleh hampir semua negara di dunia saat ini. SejarahUpaya untuk menelusuri sejarah hak asasi manusia terhalang oleh perdebatan mengenai titik awalnya.[2][3] Secara umum dan abstrak, nilai-nilai yang mendasari hak asasi manusia (seperti keadilan, kesetaraan, dan martabat) dapat ditemukan dalam berbagai masyarakat dalam sejarah.[4] Konsep-konsep yang terkait dengan hak asasi manusia sudah dapat ditelusuri paling tidak semenjak dikeluarkannya Undang-Undang Hammurabi di Babilonia pada abad ke-18 SM, dan juga dengan munculnya kitab-kitab agama.[2] Apabila yang dijadikan tolok ukur adalah sejarah gagasan bahwa semua manusia memiliki hak kodrati, konsep ini sudah ada setidaknya dari zaman Yunani Kuno dengan munculnya pemikiran filsuf-filsuf Stoikisme.[2] Namun, klaim-klaim historis semacam ini telah menuai kritikan karena dianggap menyamaratakan gagasan mengenai keadilan, kesetaraan, dan kemanusiaan dengan konsep hak asasi manusia modern.[5] Apabila yang ditelusuri adalah sejarah HAM modern yang ditegakkan secara hukum di tingkat nasional dan internasional saat ini, maka sejarahnya bermula dari piagam-piagam yang mencantumkan kebebasan-kebebasan dalam melindungi pemilik hak dari penyalahgunaan kekuasaan oleh pemimpin. Dokumen yang dianggap sebagai titik awal adanya HAM yaitu Magna Carta di Kerajaan Inggris dari tahun 1215.[2][4] Namun, Magna Carta masih dianggap bermasalah, karena hanya melindungi para bangsawan yang kuat dari kekuasaan Raja Inggris.[1] Maka dari itu, masa yang dianggap sangat berpengaruh terhadap konsep HAM modern yang mencakup semua umat manusia adalah Abad Pencerahan pada abad ke-18 dengan munculnya tulisan-tulisan karya John Locke yang terkait dengan hukum kodrat.[4] Pakar hak asasi manusia Eva Brems bahkan membuat pernyataan yang lebih keras dalam bukunya yang berjudul Human Rights: Universality and Diversity (2001) dengan menyatakan bahwa "Sumber rumusan hak asasi manusia di tingkat internasional saat ini sulit untuk ditilik kembali ke masa sebelum Abad Pencerahan, atau di tempat di luar Eropa dan Amerika. Gagasan bahwa PUHAM berakar dari segala kebudayaan tidaklah lebih dari sekadar mitos."[6] Pakar HAM Jack Donnelly juga menulis bahwa "Tidak ada masyarakat, peradaban, atau budaya sebelum abad ketujuhbelas (...) yang telah memiliki praktik, atau bahkan visi, yang banyak didukung mengenai hak asasi manusia secara individual yang setara dan tak dapat dicabut."[7] Para pemikir pencerahanThomas Hobbes menerbitkan karyanya yang berjudul Leviathan pada tahun 1651. Dalam buku tersebut, Hobbes berpendapat bahwa kekuasaan absolut wajib ada, dan ia menolak gagasan mengenai pembatasan terhadap kekuasaan. Oleh sebab itu, ia menyatakan bahwa semua bawahan seyogianya tunduk kepada penguasanya, dan ia tidak banyak bersentuhan dengan hak kodrati. Walaupun begitu, Hobbes meyakini bahwa penguasa harus menjalankan wewenangnya secara bertanggung jawab dan dengan mengikuti hukum Allah dan hukum kodrat. Selain itu, Hobbes dianggap berjasa karena telah memperkenalkan gagasan kontrak sosial yang menyatakan bahwa penguasa punya wewenang untuk berkuasa karena rakyat sebelumnya sudah menyatakan kesediaan mereka untuk diperintah.[8] John Locke mengembangkan gagasan ini lebih lanjut dalam karyanya, Two Treatises of Government, yang diterbitkan pada tahun 1689. Locke dikenal dengan pemikirannya mengenai hak kodrati bahwa manusia terlahir dengan "kebebasan sempurna" dan penikmatan hak-hak dan keistimewaan yang "tak terkendali" dalam keadaan alamiah sebelum adanya negara. Manusia secara alamiah juga memiliki kekuatan untuk mempertahankan kehidupan, kebebasan, dan hak-hak pemilikannya dari ancaman atau serangan manusia lain.[8] Ia menolak mentah-mentah klaim bahwa manusia dapat melepaskan hak-hak kodratinya. Menurutnya, tidak ada orang yang bisa menyerahkan wewenang yang lebih besar daripada yang dimilikinya. Selain itu, berdasarkan pandangan Locke, tidak ada satu pun insan yang punya kekuasaan mutlak dan sewenang-wenang terhadap dirinya sendiri maupun terhadap orang lain sampai-sampai mereka dapat membunuh atau merampas hak milik orang lain. Maka dari itu, manusia dianggap tidak dapat menundukkan dirinya kepada kekuasaan sewenang-wenang orang lain. Dari sini, muncul kesimpulan bahwa manusia masih tetap mempertahankan kebebasan alamiahnya bahkan ketika mereka hidup di suatu negara, dan perumusan kontrak sosial untuk mendirikan negara bukan dianggap sebagai penyerahan hak tanpa syarat seperti yang dibayangkan oleh Hobbes. Gagasan ini membuka jalan bagi kemunculan hak asasi yang melindungi seseorang dari permintaan-permintaan yang tidak berdasar dari negara.[9] Lebih jauh lagi, Locke mengatakan bahwa penguasa kadang-kadang perlu dilawan jika mereka sewenang-wenang dalam menjalankan kekuasaannya atau memakainya untuk mengakibatkan kehancuran, dan bukannya untuk kebaikan umat manusia dan perlindungan hak mereka.[8] Gagasan ini kelak tertuang dalam mukadimah PUHAM: "Menimbang bahwa hak-hak asasi manusia perlu dilindungi oleh peraturan hukum supaya orang tidak akan terpaksa memilih pemberontakan sebagai usaha terakhir guna menentang kelaliman dan penindasan."[10] Pada tahun yang sama, pemerintah Inggris mengeluarkan piagam Bill of Rights yang memberikan hak-hak yang terbatas, seperti pelarangan pengganjaran hukuman yang "lalim dan tak lazim". Namun, sumbangsih terbesar piagam ini adalah dalam menetapkan konsep kedaulatan parlemen secara konstitusional. Berdasarkan pemahaman masyarakat modern, piagam ini tidak memenuhi syarat sebagai piagam hak asasi manusia, tetapi dianggap penting karena telah memastikan gagasan bahwa kekuasaan mutlak di tangan negara perlu dibatasi demi kepentingan individu-individu di dalamnya.[1] Menjadi hukum positifGagasan Locke mengenai hak kodrati untuk pertama kalinya diejawantahkan secara hukum di Amerika Serikat. Deklarasi Hak-Hak Virginia yang dikeluarkan pada tanggal 12 Juni 1776 dianggap sebagai piagam hak pertama yang sejalan dengan konsep modern; dokumen tersebut tidak hanya mengakui bahwa semua manusia itu setara, bebas, dan memiliki hak-hak yang melekat pada dirinya, tetapi juga mencantumkan daftar hak-hak yang dilindungi, seperti hak untuk memperoleh proses hukum yang semestinya dan kebebasan berekspresi.[11] Setelah itu, Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat yang dikumandangkan pada tanggal 4 Juli 1776 berisi preambul yang sangat tersohor:
Pada tahun yang sama, ketika Revolusi Prancis tengah bergelora, Deklarasi Hak Asasi Manusia dan Warga Negara dimaklumkan oleh Majelis Nasional Prancis pada tanggal 26 Agustus 1789.[13] Deklarasi ini turut menegaskan bahwa manusia memiliki hak yang alamiah dan tidak dapat dicabut.[14] Setelah itu, di negara yang sama, muncul pula Deklarasi Hak Asasi Manusia dan Warga Negara 1793 dan Deklarasi Hak-Hak dan Kewajiban-Kewajiban Manusia dan Warga Negara 1795. Di Amerika Serikat, hak asasi turut diakui di tingkat negara bagian, seperti di New York pada tahun 1777 dan Massachusetts pada tahun 1780, serta di tingkat federal dalam bentuk Deklarasi Hak-Hak tahun 1791 yang merupakan sepuluh amendemen pertama terhadap Konstitusi Amerika Serikat.[4] Deklarasi-deklarasi ini pada praktiknya tidak memiliki cakupan yang universal. Pada Abad Pencerahan, "manusia" dianggap sebagai laki-laki yang dapat melindungi dirinya sendiri, sehingga budak kulit hitam, perempuan, anak-anak, dan bahkan hamba tani tidak termasuk ke dalam cakupan. Banyak dari para perumus Deklarasi Hak-Hak di Amerika Serikat yang menerima institusi perbudakan dan menganggap wanita tidak layak untuk terlibat dalam urusan politik.[15] Di Prancis, walaupun para perumus Deklarasi Hak Asasi Manusia dan Warga Negara tahun 1789 tidak membatasi cakupannya kepada orang Prancis saja, usulan "Deklarasi Hak Asasi Wanita dan Warga Negara Perempuan" yang dicetuskan oleh Olympe de Gouges pada tahun 1791 tidak digubris.[15] Pada zaman tersebut, wanita juga dianggap memiliki kodrat irasional, sehingga Konvensi Nasional Prancis menyatakan pada tahun 1793 bahwa anak-anak, wanita, orang gila, dan tahanan tidak akan dianggap sebagai warga negara (untuk tahanan, sampai ia direhabilitasi).[16] Walaupun begitu, dokumen-dokumen ini tetap berhasil mengubah gagasan Locke dan filsuf-filsuf pencerahan lainnya menjadi hukum positif. Selain itu, deklarasi-deklarasi ini juga menjadi terobosan karena mampu membatasi kekuasaan negara dengan berbagai cara, termasuk dengan melindungi hak-hak individu. Tatanan konstitusi semacam ini kemudian menyebar ke negara-negara lain, seperti Belanda pada tahun 1798, Spanyol pada tahun 1812, Belgia pada tahun 1831, Liberia pada tahun 1847, Sardinia pada tahun 1848, dan Prusia pada tahun 1850.[17] Abad ke-19 dan permulaan abad ke-20Walaupun gagasan mengenai hak-hak dasar telah menyebar ke berbagai negara, konsep "hak asasi manusia" yang berlaku untuk semua manusia tanpa terkecuali masih jarang ditemui di hukum nasional maupun internasional pada abad ke-19 dan permulaan abad ke-20. Selain itu, gagasan hak kodrati sendiri juga tidak banyak menyita perhatian para pemikir pada abad tersebut; pemikir-pemikir politik seperti Alexis de Tocqueville, Karl Marx, dan Max Weber hanya menyebut hak asasi manusia secara sepintas dan mereka malah memandangnya dengan kritis.[18] Salah satu pemikir pada masa tersebut yang mengemukakan kritik yang keras terhadap pendekatan hak kodrati adalah filsuf Inggris Jeremy Bentham. Ia menganggap konsep hukum kodrati sebagai suatu "omong kosong", dan ia menyatakan bahwa "hak yang sesungguhnya" berasal dari "hukum yang sesungguhnya", sedangkan hak yang berasal dari "hukum imajiner" merupakan hak yang juga bersifat "imajiner".[19] Abad ke-19 juga dikenal dengan munculnya dorongan untuk menghapuskan perbudakan, dan gerakan abolisionisme sendiri sudah diprakarsai di Inggris pada tahun 1787 dengan didirikannya Society for the Abolition of Slave Trade oleh kaum Quaker. Pada tahun 1833, Imperium Britania membebaskan semua budaknya, dan Prancis juga mengambil langkah yang sama pada tahun 1848. Amerika Serikat sendiri baru berhasil menghapuskan perbudakan pada tahun 1865 seusai perang saudara melawan konfederasi negara-negara bagian selatan yang mendukung perbudakan, sementara Rusia menghapuskan sistem perhambaan tani pada tahun 1861.[18] Namun, muncul keraguan bahwa abolisionisme benar-benar dilancarkan atas dasar moral, apalagi "hak asasi manusia". Diduga Inggris mengambil tindakan tersebut demi kepentingan ekonomi, karena kelanjutan perdagangan budak dianggap akan menguntungkan jajahan negara-negara saingan Inggris.[14] Selain itu, Inggris juga dinilai ingin menjalankan "misi pemberadaban" yang akan membuatnya seolah memiliki moral yang lebih baik daripada negara-negara Eropa lainnya. Setelah itu, pada zaman Imperialisme Baru, penolakan terhadap perbudakan sering dijadikan dalih oleh negara-negara Eropa untuk melakukan "campur tangan kemanusiaan".[20] Konstitusi negara-negara Eropa pada abad ke-19 juga menghindari penyebutan konsep "hak asasi manusia" maupun "hak kodrati". Hak asasi manusia sudah tidak lagi disebutkan dalam Konstitusi Prancis setelah tahun 1799 dan baru muncul lagi pada tahun 1946.[20] Di tengah bergeloranya Revolusi 1848, rancangan Konstitusi Frankfurt mengandung daftar "hak-hak dasar" (Grundrechte). Namun, seperti konstitusi-konstitusi lainnya pada zaman itu, hak-hak tersebut hanya dapat dinikmati oleh warga negara, seperti yang dapat dilihat dari namanya, Grundrechte des deutschen Volkes, sehingga hak-hak tersebut bukanlah hak yang berlaku secara universal seperti halnya hak asasi pada zaman modern. Setelah kegagalan revolusi ini, positivisme hukum, atau gagasan bahwa tidak ada hukum di luar undang-undang, berhasil menyingkirkan doktrin hukum kodrati sebagai justifikasi untuk menganugerahkan hak. Hak asasi manusia sendiri tidak disebutkan dalam Konstitusi Kekaisaran Jerman tahun 1871, dan daftar hak-hak dan kewajiban-kewajiban baru muncul lagi dalam Konstitusi Republik Weimar tahun 1919.[21] Di tingkat internasional, gagasan "hak kodrati" hanya dijadikan sebagai dalih untuk melancarkan misi pemberadaban.[22] Sebagai contoh, Prancis memiliki konsep mission civilisatrice sebagai pembenaran untuk "membebaskan" orang-orang Afrika dari kekuasaan pemimpin penduduk asli yang "terbelakang".[20] Pada masa itu, bangsa Eropa memang masih membedakan antara negara-negara yang "beradab" dengan masyarakat "tidak beradab" di luar Eropa dan Amerika. Hanya negara yang dianggap "beradab" yang memiliki hak, sementara wilayah masyarakat yang "tidak beradab" dapat sewaktu-waktu dicaplok oleh negara Eropa karena dianggap sebagai terra nullius ("tanah tak bertuan").[23] Pada masa seusai Perang Dunia I, perlindungan hak asasi manusia sama sekali tidak masuk ke dalam cakupan Piagam Liga Bangsa-Bangsa,[24] walaupun perlindungan kelompok minoritas tetap menjadi perhatian dari organisasi internasional tersebut.[25] Meskipun begitu, di tingkat nasional, muncul pergerakan-pergerakan hak asasi manusia, seperti Federasi Internasional untuk Hak Asasi Manusia yang didirikan di Paris pada tahun 1922. Organisasi tersebut menuntut dikeluarkannya deklarasi atau piagam hak asasi manusia dunia yang bersifat mengikat. Di kota yang sama, Académie Diplomatique Internationale yang didirikan oleh sejumlah pengacara internasional pada tahun 1926 merumuskan sebuah deklarasi, yang kemudian menginspirasi Deklarasi Hak Asasi Manusia Internasional yang dikeluarkan oleh Institut Hukum Internasional di New York pada tahun 1929.[26] Pasca-Perang Dunia IIPada saat berkecamuknya Perang Dunia II, pada Januari 1941, Presiden Amerika Serikat Franklin Delano Roosevelt mencetuskan Empat Kebebasan yang menurutnya perlu dijamin oleh semua negara, yaitu "kebebasan mengeluarkan pendapat", "kebebasan beribadah kepada Tuhan dengan cara masing-masing", "hak untuk bebas dari kekurangan dan kemiskinan", serta "kebebasan dari ketakutan". Pada tanggal 14 Agustus 1941, Roosevelt dan Perdana Menteri Britania Raya Winston Churchill mengeluarkan Deklarasi Atlantik yang mengungkapkan harapan agar "manusia di semua negeri dapat menjalani hidup mereka bebas dari rasa takut atau kekurangan."[28] Kemudian, pada awal tahun 1942, Deklarasi oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa dikumandangkan. Deklarasi yang menjadi cikal bakal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) ini ditandatangani oleh 47 negara yang menyatakan kesediaannya untuk mengikuti asas yang menyatakan bahwa "kemenangan mutlak atas musuh diperlukan untuk mempertahankan hidup, kebebasan, kemerdekaan, dan kebebasan beragama, dan untuk memelihara hak asasi manusia dan keadilan di negeri mereka sendiri dan juga di negeri lain."[28] Maka dari itu, hak asasi manusia pun menjadi salah satu aspirasi yang ingin diwujudkan oleh negara-negara Sekutu setelah mengalahkan Blok Poros.[28] Seusai perang, aspirasi ini untuk pertama kalinya diejawantahkan dalam instrumen-instrumen hukum internasional. Mukadimah Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa yang ditetapkan pada tahun 1945 mengumandangkan tekad masyarakat PBB untuk:
Dengan ini, hak asasi manusia akhirnya menjadi perhatian masyarakat internasional, walaupun penyebutan istilah "hak asasi manusia" sebanyak enam kali dalam pasal-pasal Piagam PBB tidak membebankan kewajiban yang besar kepada negara-negara anggota.[30] Mereka hanya diharuskan untuk mempromosikan "penghormatan hak asasi manusia seantero jagat demikian pula pengejawantahannya serta kebebasan-kebebasan dasar bagi semua, tanpa pembedaan ras, jenis kelamin, bahasa atau agama."[29] Sebelumnya, terdapat usulan untuk mengambil langkah lebih lanjut. Chili dan Kuba bersedia menerima pasal-pasal yang menjamin hak-hak spesifik, sementara Panama pernah mengusulkan agar piagam tersebut mencantumkan daftar hak-hak asasi. Namun, usulan-usulan ini ditolak akibat kekhawatiran bahwa hal tersebut akan berdampak buruk terhadap kedaulatan masing-masing negara.[30] Pada tahun 1946, Komisi Hak Asasi Manusia PBB dibentuk dengan tugas untuk merumuskan Piagam Hak-Hak Internasional yang berlaku di seluruh dunia tanpa mengecualikan siapa pun. Komisi ini kemudian memutuskan agar piagam semacam ini terdiri dari tiga bagian, yaitu sebuah deklarasi, sebuah konvensi yang berisi kewajiban-kewajiban hukum, serta bagian yang berisi tentang sistem pengawasan dan pengendalian. Tugas untuk merumuskan piagam ini diberikan kepada sebuah komite yang terdiri dari delapan anggota asal Australia, Chili, Tiongkok, Prancis, Lebanon, Britania, Amerika Serikat, dan Uni Soviet, dan komite ini dikepalai oleh Eleanor Roosevelt, istri mendiang Franklin Roosevelt. Maka dirumuskanlah Pernyataan Umum tentang Hak-Hak Asasi Manusia (PUHAM) yang dibuat berdasarkan rancangan dari ahli hukum Kanada John Peters Humphrey serta berdasarkan sebuah rancangan dari Britania Raya. Pada tanggal 10 Desember 1948, PUHAM diproklamasikan oleh 48 negara anggota PBB di Majelis Umum.[27]
PUHAM diterima di Majelis Umum PBB tanpa ada negara yang menentang, walaupun enam negara komunis (Republik Sosialis Soviet Byelorusia, Cekoslowakia, Polandia, Republik Sosialis Soviet Ukraina, Uni Soviet, dan Yugoslavia), Arab Saudi, dan Afrika Selatan menyatakan abstain.[27] Namun, deklarasi ini bukanlah sebuah perjanjian internasional dan tidak memiliki kekuatan hukum. Bahkan terdapat kemungkinan bahwa ketiadaan kekuatan hukum adalah hal yang mendorong 48 negara anggota PBB pada masa itu untuk menerima deklarasi ini.[31] Walaupun begitu, seperti yang diamati oleh ahli hukum internasional asal Jerman, Christian Tomuschat, "Untuk pertama kalinya dalam sejarah umat manusia, telah lahir sebuah dokumen yang menetapkan hak asasi setiap manusia, terlepas dari ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, atau kondisi lainnya. Bab baru dalam sejarah manusia telah dimulai pada hari itu."[32] Tahun 1948–1949 juga merupakan momen yang penting bagi upaya untuk memajukan hak asasi manusia karena Konvensi tentang Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genosida sudah dapat ditandatangani oleh negara-negara dunia pada tanggal 11 Desember 1948, dan begitu pula dengan Konvensi-Konvensi Jenewa yang berkaitan dengan hukum perang pada tahun berikutnya.[27] Terkait dengan piagam hak asasi manusia yang memiliki kekuatan hukum, Komisi HAM PBB baru selesai merumuskan isi dari dokumen-dokumen yang kelak akan dikenal dengan nama Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (bahasa Inggris: International Covenant on Civil and Political Rights, disingkat ICCPR) dan Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (bahasa Inggris: International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights, disingkat ICESCR) pada tahun 1954. Namun, kedua perjanjian ini baru dapat ditandatangani oleh negara-negara anggota pada tahun 1966 dan mulai berlaku pada tahun 1976 setelah diratifikasi oleh 35 negara. Sejarah perumusan kedua perjanjian ini menunjukkan banyaknya penyesuaian dan kompromi yang perlu dilakukan agar dapat diterima oleh negara-negara anggota PBB.[31] Walaupun perkembangannya berlangsung lambat, kini kedua perjanjian ini telah diratifikasi oleh hampir semua negara dan menjadi bagian dari hukum internasional. Pandangan masyarakat internasional terhadap hak asasi juga telah mengalami perubahan besar,[33] dan hak asasi manusia telah menjadi semacam kode etik yang diterima dan ditegakkan secara global.[34] Landasan konseptualAnalisis hakBerdasarkan pemikiran yang dicetuskan oleh pakar hukum asal Amerika Serikat Wesley Newcomb Hohfeld, "hak" dapat dianalisis dengan menggunakan empat macam "fenomena" yang menunjukkan hubungan antara hak dan kewajiban, yaitu "klaim", "keistimewaan" atau "kebebasan", "kuasa", dan "kekebalan". A dapat dikatakan memiliki hak-klaim yang menuntut B untuk melakukan sesuatu jika dan hanya jika B memiliki kewajiban kepada A untuk mengambil tindakan tersebut. Contohnya adalah hak atas kesehatan, karena hak ini membebankan kewajiban kepada negara untuk menjamin ketersediaan layanan kesehatan minimal.[35] Kemudian, hak-kebebasan pada dasarnya adalah ketiadaan hak-klaim. A memiliki hak-kebebasan terhadap B untuk melakukan sesuatu jika dan hanya jika A tidak memiliki kewajiban terhadap B untuk tidak mengambil tindakan tersebut. Dalam kata lain, A tidak akan melanggar kewajiban terhadap B untuk tidak melakukan sesuatu jika A memutuskan untuk melakukan hal tersebut. Contohnya adalah hak atas kebebasan beragama. Hak atas kebebasan beragama biasanya dipandang sebagai ketiadaan hak-klaim dari negara terhadap rakyatnya untuk memeluk agama tertentu, sehingga siapa pun tidak memiliki kewajiban terhadap negara untuk memeluk agama tertentu.[36] Hak-klaim dan hak-kebebasan dapat disebut sebagai "aturan primer" (primary rules) berdasarkan terminologi pakar hukum asal Britania Raya, H.L.A. Hart, sebab keduanya berkaitan dengan aturan yang mewajibkan seseorang untuk mengambil atau menjauhi tindakan tertentu.[37] Sementara itu, hak-kuasa dan hak-kekebalan dapat dikatakan sebagai "aturan sekunder" (secondary rules), yaitu aturan yang memberikan kemampuan kepada suatu pihak untuk mengubah aturan primer. Hak-kuasa pada dasarnya adalah hak apa pun yang memberikan kemampuan kepada suatu pihak untuk mengubah hak-klaim atau hak-kebebasan. Contoh dari hak-kuasa adalah hak untuk merumuskan perjanjian dalam hukum perdata. Hak ini pada dasarnya memberikan kuasa kepada A untuk menganugerahkan hak-klaim baru kepada B yang membebankan kewajiban kepada A untuk melakukan hal tertentu. Sementara itu, hak-kekebalan merupakan ketiadaan hak-kuasa. Contohnya adalah pelarangan perbudakan: pemerintah tidak punya kuasa untuk memaksa rakyatnya menjadi budak, sehingga rakyat dapat dikatakan memiliki hak-kekebalan.[38] HakikatDi kalangan akademisi, terdapat empat mazhab dengan perbedaan pandangan perihal hakikat daripada konsep "hak asasi manusia", yaitu mazhab "natural", "deliberatif", "protes", dan "diskursus".[39] Mazhab "natural" memakai definisi hak asasi manusia yang paling dikenal, yaitu bahwa hak asasi manusia adalah hak yang dimiliki oleh seseorang karena ia adalah seorang manusia.[39][40] Para penganut mazhab ini percaya bahwa hak asasi manusia "dianugerahkan" secara "alamiah", baik itu oleh Tuhan, alam semesta, berdasarkan nalar, ataupun dari sumber-sumber transendental lainnya. Bagi mereka, hak asasi manusia bersifat universal karena hak tersebut bersifat alamiah. Mereka juga berkeyakinan bahwa hak asasi manusia itu selalu ada terlepas dari pengakuan oleh masyarakat, walaupun mereka tetap menyambut kodifikasi hak asasi manusia dalam hukum positif.[41] Mazhab natural ini merupakan pandangan "tradisional" dalam bidang hak asasi manusia, tetapi seiring berjalannya waktu, semakin banyak yang beralih ke mazhab "deliberatif", yaitu sebuah mazhab yang menganggap hak asasi manusia sebagai nilai-nilai politik yang disepakati oleh suatu masyarakat. Mazhab ini menolak upaya untuk memasukkan unsur-unsur naturalistik ke dalam konsep hak asasi manusia. Para pendukung mazhab ini tetap ingin agar hak asasi manusia bersifat universal, tetapi mereka merasa bahwa hal ini hanya akan tercapai apabila semua orang menerima hak asasi manusia sebagai standar hukum dan politik terbaik untuk mengatur jalannya hidup masyarakat. Menurut mazhab deliberatif, salah satu cara untuk mengungkapkan nilai-nilai hak asasi manusia yang telah disepakati adalah melalui hukum tata negara.[41] Mazhab yang ketiga, yaitu mazhab "protes", menyatakan bahwa hak asasi manusia menyampaikan klaim-klaim dari kaum miskin dan tertindas. Maka dari itu, hak asasi manusia dipandang sebagai klaim dan aspirasi yang berupaya mengubah status quo demi kepentingan kaum yang terpinggirkan.[41] Sementara itu, mazhab "diskursus" mengklaim bahwa hak asasi manusia hanya ada karena orang-orang membicarakan konsep tersebut. Oleh sebab itu, tokoh-tokoh yang memiliki pandangan seperti ini merasa bahwa hak asasi manusia tidaklah dianugerahkan secara alamiah. Mereka tetap mengakui bahwa hak asasi manusia telah menjadi alat untuk mengemukakan klaim-klaim politik, tetapi mereka merasa khawatir dengan "imperialisme" berupa pemaksaan hak asasi manusia, dan mereka juga berupaya menunjukkan keterbatasan sistem hak asasi manusia yang bersifat individualistik. Pada saat yang sama, ada juga dari kalangan pendukung mazhab ini yang berpandangan bahwa hak asasi manusia kadang-kadang berdampak positif, tetapi mereka masih tidak percaya kepada hak asasi manusia dan menginginkan adanya proyek emansipasi yang lebih baik.[42] Ciri-ciri utama dari mazhab-mazhab ini dapat dilihat di tabel berikut:
Sebagai catatan, mazhab-mazhab ini bisa saling bertumpang tindih, atau dalam kata lain, terdapat pandangan-pandangan yang berupa penggabungan dari berbagai unsur dalam mazhab-mazhab di atas.[44] Ciri-ciriTerlepas dari perbedaan pandangan mengenai hakikatnya, berdasarkan makna harfiahnya, hak asasi manusia umumnya dianggap sebagai hak yang dimiliki seseorang karena ia adalah seorang manusia.[45] Hak asasi manusia bersifat "universal", atau dalam kata lain hak tersebut dimiliki oleh semua orang di seantero jagat. Maka dari itu, konsep "universal" dalam artian ini berkaitan dengan cakupan penerapan hak asasi manusia yang memadukan cakupan wilayah (ratione loci) terluas dengan cakupan perorangan (ratione personae) yang juga paling luas. Bahkan dapat dikatakan bahwa penyebutan istilah geografis dalam makna dari konsep "universal" itu berlebihan, karena hak asasi manusia berlaku kepada semua orang tanpa terkecuali, sehingga tidak masalah orang itu sedang berada di mana. Dalam konsep ini juga terkandung pemahaman bahwa tidak ada manusia yang lebih rendah daripada yang lain, dan juga bahwa tidak ada manusia yang "bukan manusia", sehingga asas universal sangat terkait dengan asas kesetaraan dan non-diskriminasi.[46] Hal ini juga menandakan bahwa hak asasi manusia tidak dapat dicabut (inalienable) karena seseorang tidak dapat mengubah ataupun meniadakan jati diri manusianya.[47] Hak asasi manusia bersifat subjektif, dalam artian selalu ada yang menjadi pemilik hak. Setiap hak juga memiliki objek, misalnya "kebebasan berkumpul". Hak selalu dialamatkan kepada suatu pihak atau pihak-pihak lain, dan hak asasi manusia utamanya diarahkan kepada negara.[48] Maka dari itu, hak asasi manusia dapat dianggap memiliki hakikat ganda dalam artian yang dikumandangkan tidak hanya keberadaan hak-hak, tetapi juga kewajiban serta pihak yang menjadi pemegang kewajiban tersebut.[49] Setiap hak juga merincikan posisi normatif pemilik hak dan pihak yang dialamatkan oleh hak tersebut. Sebagai contoh, hak untuk menikah bukan berarti setiap orang bisa mengklaim bahwa ia harus menikah.[48] Kandungan normatif dari hak tersebut menyatakan bahwa setiap orang bebas mengubah status hukum mereka untuk hidup bersama dengan orang lain yang bersedia, dan tidak ada yang bisa dipaksa untuk menikah ataupun menerima lamaran orang lain. Berbagai hak juga memiliki pengecualian, contohnya adalah kebebasan berkumpul yang tidak dapat menghentikan negara dalam upaya mereka untuk memberantas organisasi kriminal.[50] Dari sudut pandang hukum internasional, penerima hak asasi manusia adalah individu, dan hak asasi hanya dapat dialamatkan kepada negara. Oleh sebab itu, hak asasi manusia tidak dapat dialamatkan kepada pihak perorangan ataupun organisasi masyarakat yang bukan bagian dari pemerintah,[51] walaupun pemerintah tetap diwajibkan untuk melindungi rakyatnya dari pelanggaran HAM yang dilakukan oleh swasta.[52] Hak asasi manusia pada dasarnya berlaku pada masa damai maupun perang, meskipun terdapat berbagai hak dapat dikurangi dalam keadaan darurat.[51] Hak asasi manusia sendiri dilindungi di tingkat internasional dengan tujuan untuk menjaga martabat manusia, sehingga hak-hak tersebut haruslah hak yang bersifat mendasar.[53] Proklamasi Teheran pada tahun 1968 menyatakan bahwa hak asasi manusia bersifat utuh atau tidak dapat dibagi (indivisible).[54] Dalam Deklarasi dan Program Aksi Wina yang dikumandangkan pada tahun 1993, negara-negara juga mengakui bahwa hak asasi manusia bersifat "universal", "tidak dapat dibagi", "saling bergantung" (interdependent), dan "saling berhubungan" (interrelated).[55] Hal ini ditegaskan kembali dalam Pertemuan Puncak Dunia 2005 dan juga oleh Resolusi Majelis Umum PBB tahun 2006 yang mendirikan Dewan Hak Asasi Manusia PBB.[56] Selain itu, Deklarasi dan Program Aksi Wina juga menyatakan bahwa "penghormatan terhadap hak asasi manusia dan kebebasan dasar tanpa membeda-bedakan atas dasar apa pun merupakan aturan dasar hukum hak asasi manusia internasional",[57] dan instrumen-instrumen hak asasi manusia di tingkat internasional menjamin hak kesetaraan dan non-diskriminasi.[58] Jenis-jenis hakTerdapat berbagai macam hak yang terkandung dalam instrumen-instrumen internasional, seperti hak kesetaraan dan non-diskriminasi,[58] hak untuk hidup, hak atas peradilan yang jujur, kebebasan berserikat, kebebasan berkumpul, kebebasan berpikir, kebebasan berekspresi, hak atas standar hidup yang layak, hak untuk memperoleh pendidikan, hak atas pekerjaan, dan lain-lain.[60] Meskipun hak asasi manusia pada hakikatnya bersifat utuh, pengategorian dapat dilakukan atas dasar konseptual. Dalam penerapannya, hak asasi manusia tetap tidak dapat dipecah-pecah dan harus dilihat secara keseluruhan.[61] "Hak sipil dan politik" dan "hak ekonomi, sosial, dan budaya"Hak asasi manusia dapat digolongkan menjadi "hak sipil dan politik" dan "hak ekonomi, sosial, dan budaya".[60] Pada dasarnya, hak ekonomi, sosial, dan budaya berupaya memastikan agar individu dapat mengakses barang publik tertentu seperti perumahan, pendidikan, atau layanan kesehatan.[62] Oleh sebab itu, hak ekonomi, sosial, dan budaya membutuhkan investasi yang besar dari negara, sehingga hak-hak tersebut tidak dapat diwujudkan dalam sekejap.[63][64] ICESCR mengakui kenyataan ini, dan Pasal 2 ICESCR hanya mengharuskan negara untuk mengupayakan "perwujudan progresif" (progressive realization):[60]
Di sisi lain, hak-hak sipil dan politik berurusan dengan kebebasan sipil, contohnya adalah hak untuk hidup, kebebasan berserikat, kebebasan berkumpul, kebebasan berekspresi, atau hak atas peradilan yang jujur. Negara hanya diwajibkan untuk tidak melanggar kebebasan tersebut. Contohnya, negara dapat dengan mudah menghormati hak untuk hidup dengan tidak membantai rakyatnya, dan pemerintah juga tidak akan melanggar hak atas kebebasan berpendapat jika mereka tidak membredel media yang tidak disukainya. Dalam kata lain, kewajiban-kewajiban yang terkandung dalam ICCPR bersifat langsung (immediate).[60] Maka dari itu, perbedaan di antara keduanya berkenaan dengan kewajiban yang diemban oleh negara sehubungan dengan kedua jenis hak tersebut.[60] Klasifikasi semacam ini sebenarnya tidak terkandung dalam PUHAM, tetapi ketegangan antara Blok Barat dan Timur pada masa Perang Dingin mengakibatkan kemunculan kedua kategori ini. Negara-negara Barat yang memiliki ekonomi pasar mementingkan hak-hak sipil dan politik, sementara negara-negara komunis di Blok Timur mempunyai ekonomi yang direncanakan dari pusat dan lebih mengutamakan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya. Hasilnya adalah dua perjanjian hak asasi manusia internasional yang terpisah, yaitu ICCPR dan ICESCR.[63] Saat ini perbedaan di antara keduanya sudah lagi tidak dianggap besar, dan bahkan Kantor Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia (bahasa Inggris: Office of the United Nations High Commissioner for Human Rights, disingkat OHCHR) menganggapnya sebagai perbedaan yang dibuat-buat dan kontraproduktif.[66] Sehubungan dengan kewajiban negara, ICESCR juga mengandung berbagai kewajiban dengan efek langsung (immediate effect). Komite Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya dalam Komentar Umum No. 3 memberikan contoh berupa penghapusan diskriminasi dalam upaya perwujudan hak-hak dalam ICESCR sesuai dengan Pasal 2(2) dan 3, hak untuk membentuk dan bergabung dengan serikat buruh dan untuk berdemonstrasi dalam Pasal 8, serta perlindungan anak-anak dan pemuda dari eksploitasi ekonomi dan sosial dalam Pasal 10(3).[60] Berbagai kewajiban dalam ICCPR juga membutuhkan investasi dari negara, seperti pendirian sistem peradilan, pembangunan penjara yang memenuhi standar minimal untuk tahanan, atau pemberian bantuan hukum.[63] Maka dari itu, secara konseptual, tidak ada lagi batas yang jelas di antara kedua kategori ini.[64] Hak ekonomi, sosial, dan budaya lebih sering menuai kritikan karena dianggap sebagai sekadar "aspirasi" tanpa bisa ditegakkan secara hukum.[64] Walaupun begitu, dalam beberapa dasawarsa terakhir, semakin banyak pengadilan yang menegakkan hak semacam ini, contohnya adalah dengan mengeluarkan putusan yang memerintahkan kepada negara untuk menunda penggusuran, menyediakan layanan medis, atau menghubungkan kembali persediaan air.[67] Sebagai ilustrasi, dalam perkara Minister of Health and Others v. Treatment Action Campaign and Others yang berkaitan dengan hak atas kesehatan dalam Konstitusi Afrika Selatan, pemerintah Afrika Selatan menerapkan sebuah kebijakan yang membatasi akses terhadap obat antiretroviral (obat untuk meredam infeksi virus HIV) yang disebut Nevirapin. Obat yang dipakai untuk mencegah transmisi HIV dari ibu ke anak ini ini disediakan secara luas oleh produsennya, tetapi pemerintah Afrika Selatan membatasinya di klinik-klinik umum tertentu dengan alasan bahwa mereka ingin menguji coba obat ini dan karena mereka merasa masih kurang petugas yang mampu memberikan obat ini. Mahkamah Konstitusi Afrika Selatan menolak argumen ini dan menegaskan bahwa obat ini mujarab, dan bahwa sumber daya tambahan yang perlu digelontorkan untuk melatih para petugas medis tidaklah besar bila dibandingkan dengan manfaat yang diperoleh dari pencegahan transmisi HIV dari ibu ke anak. Maka dari itu, Mahkamah Konstitusi Afrika Selatan memutuskan bahwa kebijakan pemerintah terkait dengan pembatasan obat Nevirapin telah melanggar kewajiban untuk mengambil tindakan yang berada dalam batas wajar (reasonable measure) untuk menyediakan layanan kesehatan. Walaupun cakupannya hanya di tingkat nasional, perkara ini menunjukkan bahwa hak atas kesehatan (yang merupakan salah satu hak ekonomi, sosial, dan budaya) dapat ditegakkan secara hukum.[68] Hak generasi pertama, kedua, dan ketigaHak asasi manusia juga dapat digolongkan berdasarkan generasi. Pengategorian ini pertama kali dicetuskan oleh pakar hak asasi manusia Ceko-Prancis Karel Vasak.[69] Berdasarkan klasifikasi ini, terdapat tiga jenis hak, yakni hak generasi pertama, kedua, dan ketiga. Hak generasi pertama adalah hak sipil dan politik yang melindungi kebebasan sipil. Hak-hak ini berasal dari deklarasi-deklarasi hak asasi manusia yang dikeluarkan di Amerika Serikat dan Prancis pada akhir abad ke-18. Kemudian, hak generasi kedua pada dasarnya adalah hak ekonomi, sosial, dan budaya, yang dimaksudkan agar individu dapat mengakses sumber daya, barang, dan jasa tertentu, dan mewajibkan negara untuk mengambil langkah-langkah progresif untuk mewujudkan hak-hak ini. Hak-hak ini dikatakan berakar dari tindakan-tindakan yang diambil pada abad ke-19 untuk menyelesaikan masalah kemiskinan dan eksploitasi pasca-industrialisasi di Eropa.[53] Yang terakhir, yaitu hak generasi ketiga, merupakan hak kolektif yang dikembangkan pada paruh kedua abad ke-20, tetapi hak ini baru belakangan ini mulai dimasukkan ke dalam hukum internasional, seperti dalam Piagam Afrika tentang Hak Asasi Manusia dan Hak Penduduk. Contohnya adalah hak pembangunan, perdamaian, serta hak untuk menikmati lingkungan yang bersih dan sehat. Keberadaan hak ini masih dipertentangkan oleh negara-negara maju, dan aspek hukum dari hak ini pun masih belum jelas (seperti pertanyaan soal siapa yang dapat menjadi pemilik haknya, dan kepada siapa kewajiban untuk menghormati hak tersebut dapat dialamatkan).[70] Hak individu dan hak kolektifPUHAM dan perjanjian-perjanjian HAM internasional memiliki pendekatan yang individualistik, atau dalam kata lain, individu yang menjadi penerima hak.[71] Pasal 27 ICCPR memang menyatakan bahwa "Di negara-negara yang memiliki kelompok minoritas berdasarkan suku bangsa, agama atau bahasa, orang-orang yang tergolong dalam kelompok minoritas tersebut tidak boleh diingkari haknya dalam masyarakat, bersama-sama anggota kelompoknya yang lain, untuk menikmati budaya mereka sendiri, untuk menjalankan dan mengamalkan agamanya sendiri, atau menggunakan bahasa mereka sendiri."[59] Namun, perjanjian ini tidak menyebut "kelompok minoritas" sebagai penerima hak, tetapi malah menggunakan istilah "orang-orang yang tergolong ke dalam kelompok minoritas". Hal ini mungkin disebabkan oleh kekhawatiran bahwa pasal ini dapat dimanfaatkan untuk kepentingan-kepentingan separatis. Pendekatan semacam ini juga digunakan oleh Deklarasi tentang Hak-Hak Orang-Orang yang Tergolong ke dalam Minoritas Nasional atau Etnis, Agama, dan Bahasa (1992).[71] Walaupun begitu, pendekatan yang lebih bersifat kolektivis dapat ditemui dalam Deklarasi tentang Hak-Hak Penduduk Asli (2007). Deklarasi tersebut menyebutkan hak-hak yang diberikan kepada kelompok penduduk asli sekaligus individu yang merupakan bagian dari kelompok tersebut. Contoh hak kolektif dalam deklarasi tersebut adalah hak penentuan nasib sendiri bagi kelompok penduduk asli, sementara contoh hak individu adalah hak untuk hidup bagi individu penduduk asli. Sebagai tambahan, sehubungan dengan hak penentuan nasib sendiri, Deklarasi dan Program Aksi Wina menganggap peniadaan hak tersebut sebagai pelanggaran hak asasi manusia.[72] Hak-hak intiTanpa menghapuskan unsur keutuhan dari hak asasi manusia, beberapa hak dianggap lebih penting untuk mempertahankan nyawa manusia dan menegakkan martabatnya. Oleh sebab itu, hak-hak tersebut dipandang memiliki kedudukan yang lebih tinggi daripada yang lainnya dan memerlukan tanggung jawab khusus dari negara.[73] Sebagai contoh, hak untuk hidup dan pelarangan penyiksaan dianggap lebih utama daripada hak untuk beristirahat seperti yang dicantumkan dalam Pasal 24 PUHAM.[73] Biasanya hak yang dianggap sebagai "hak inti" adalah hak-hak sipil dan politik, tetapi filsuf Amerika Serikat Henry Shue juga telah mengidentifikasi sejumlah "hak-hak dasar" yang dianggap menjadi prasyarat demi tegaknya hak-hak lain, dan salah satu hak yang ia sebutkan adalah "hak untuk memperoleh sumber penghidupan minimal" yang sangat terkait dengan hak ekonomi, sosial, dan budaya.[74] Perjanjian-perjanjian HAM internasional sendiri mengakui sejumlah hak yang tidak boleh dikurangi dalam keadaan darurat yang mengancam kehidupan bangsa dan keberadaannya, dan hak tersebut boleh dikatakan sebagai "hak inti".[75] Menurut Pasal 4(2) ICCPR, hak-hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan darurat meliputi hak untuk hidup, pelarangan penyiksaan atau "perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat manusia", pelarangan perbudakan, larangan menjebloskan seseorang ke penjara karena tidak mampu memenuhi kewajiban kontrak, asas legalitas dalam hukum pidana, pengakuan bahwa semua orang setara di mata hukum, serta kebebasan berpikir, berkeyakinan, dan beragama.[59][75] Namun, Komite Hak Asasi Manusia PBB menyatakan dalam Komentar Umum No. 24 bahwa pasal ini tidak dapat dianggap sebagai bukti adanya hierarki dalam ICCPR.[76] Tipologi kewajiban HAMKewajiban HAM negara dapat digolongkan menjadi dua, yaitu kewajiban positif dan negatif. Kewajiban negatif mengharuskan negara untuk tidak melanggar hak asasi yang diakui oleh perjanjian-perjanjian HAM internasional dan hanya dapat membatasinya sesuai dengan ketentuan dari perjanjian-perjanjian tersebut. Sementara itu, kewajiban positif menuntut negara untuk mengambil tindakan untuk melindungi individu dari pelanggaran HAM yang dilakukan oleh aparatur pemerintah maupun pihak-pihak swasta. Negara akan dianggap melanggar kewajiban ini jika mereka gagal mengambil tindakan untuk mencegah pelanggaran yang dilakukan oleh swasta, tidak menyelidiki perkaranya, tidak menghukum pelakunya, atau tidak memberikan pemulihan kepada korban pelanggaran tersebut.[77] Pada pertengahan dasawarsa 1980-an, Pelapor Khusus PBB untuk Sub-Komisi tentang Pencegahan Diskriminasi dan Perlindungan Minoritas, Asbjorn Eide, menggagas bahwa negara memiliki empat macam kewajiban HAM, yaitu kewajiban untuk menghormati, melindungi, memenuhi, dan mempromosikan. Kemudian konsep ini direvisi menjadi tiga kewajiban saja, yaitu kewajiban untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi.[78] Semenjak itu, tipologi ini telah digunakan untuk menganalisis kewajiban HAM negara, baik itu untuk hak sipil dan politik[77] maupun untuk hak ekonomi, sosial, dan budaya.[79] Pada dasarnya, kewajiban untuk "menghormati" adalah kewajiban negatif yang mengharuskan negara untuk tidak mengganggu ataupun mencederai hak asasi manusia. Sementara itu, kewajiban untuk "melindungi" dan "memenuhi" merupakan kewajiban positif: negara tidak hanya harus "melindungi" individu dan kelompok dari pelanggaran HAM oleh pihak lain, tetapi juga "memenuhi" dengan mengambil tindakan yang memfasilitasi hak asasi mereka.[77] Sebagai contoh, sehubungan dengan hak untuk memilih dan dipilih pada pemilihan umum dalam Pasal 25 ICCPR, negara diwajibkan untuk mengambil tindakan positif salah satunya dengan memberikan hak suara kepada semua warga dewasa, dan pada saat yang sama juga mengambil langkah untuk memastikan bahwa mereka benar-benar bisa memakai hak tersebut.[80] Sehubungan dengan ICESCR, terdapat pula tipologi khusus yang digunakan untuk hak ekonomi, sosial, dan budaya, yakni tipologi "4A" yang terdiri dari empat unsur yang saling berhubungan, yaitu "ketersediaan" (availability), "keterjangkauan" (accessibility), "keberterimaan" (acceptability), dan "kebersesuaian" (adaptability). Tipologi ini pertama kali dikembangkan oleh mantan Pelapor Khusus PBB tentang Hak Pendidikan, Katarina Tomasevski. Kemudian tipologi ini dijabarkan oleh Komite Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya dalam Komentar Umum No. 13 tentang hak pendidikan.[62] Sehubungan dengan hak pendidikan, "ketersediaan" berarti lembaga dan program pendidikan yang fungsional harus tersedia dengan jumlah yang cukup. "Keterjangkauan" menyiratkan bahwa lembaga dan program pendidikan harus dapat dijangkau oleh semua orang tanpa terkecuali di wilayah suatu negara, dan pada dasarnya elemen ini terdiri dari tiga aspek, yaitu "non-diskriminasi", "keterjangkauan fisik" (pendidikan harus dapat dijangkau dengan aman), dan "keterjangkauan ekonomi" (salah satunya dengan menggratiskan pendidikan dasar dan mengambil langkah progresif untuk menghapuskan iuran pendidikan menengah dan tinggi). Sementara itu, "keberterimaan" menyatakan bahwa bentuk dan isi dari pendidikan harus dapat diterima (bermutu baik dan relevan), sedangkan "kebersesuaian" mengatur bahwa pendidikan harus dapat disesuaikan dengan perubahan yang terjadi dalam masyarakat dan juga memenuhi kebutuhan beraneka ragam siswa.[81] Pada kesempatan lain, Komite Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya mengemukakan tipologi "AAAQ" dalam Komentar Umum No. 14 yang berkaitan dengan hak kesehatan. Perbedaannya ada di unsur yang terakhir, yaitu "Q" alih-alih "A", yang merupakan singkatan dari quality (mutu). Dalam konteks hak atas kesehatan, yang dimaksud dengan "mutu" di sini adalah kewajiban untuk memastikan bahwa komersialisasi atau privatisasi tidak merusak mutu layanan kesehatan, karena biasanya setelah diprivatisasi, pemerintah sulit mengawasi dan menjaga mutu layanan kesehatan yang disediakan oleh swasta.[82] Jus cogensDalam hukum internasional, terdapat beberapa norma yang telah memperoleh status jus cogens. Pasal 53 Konvensi Wina tentang Hukum Perjanjian mendefinisikan jus cogens sebagai norma yang diakui dan diterima oleh komunitas internasional secara keseluruhan sebagai norma yang tidak dapat dikesampingkan dalam keadaan apapun dan hanya dapat diubah dengan norma yang memiliki sifat yang sama.[83][84] Penggunaan kata "secara keseluruhan" di sini bukan berarti bahwa suatu norma hanya akan mendapatkan status jus cogens apabila sudah diterima oleh semua negara tanpa terkecuali. Seperti yang ditegaskan oleh ketua Komite Perumusan Konvensi Wina, Mustafa Kamil Yasseen, sama sekali tidak ada iktikad untuk menetapkan hal tersebut; suatu norma akan menjadi jus cogens jika sudah diterima oleh banyak sekali negara, dan penolakan dari segelintir negara tidak akan menghentikannya.[85] Norma jus cogens berlaku untuk semua negara, termasuk negara yang menampik keberadaan norma tersebut; contohnya adalah pemerintah Afrika Selatan pada masa apartheid yang terus menerus menolak pelarangan diskriminasi ras, tetapi norma tersebut sebagai norma jus cogens tetap dianggap mengikat terhadap mereka.[86] Dari sejumlah norma yang paling sering disebut-sebut sebagai norma jus cogens, sebagian besar tergolong sebagai kewajiban HAM.[87] Contohnya adalah larangan penyiksaan, larangan genosida, larangan perbudakan, serta larangan diskriminasi ras dan apartheid.[86] Perlindungan di tingkat internasionalPuluhan tahun setelah dikeluarkannya PUHAM, sistem perlindungan HAM di tingkat internasional telah mengalami perkembangan pesat hingga akhirnya muncul sejumlah perjanjian hak asasi manusia di tingkat internasional ditambah dengan badan-badan traktat yang melindunginya dan mengawasi pelaksanaannya.[88] Selain itu, dalam organisasi PBB sendiri, hak asasi manusia telah menjadi salah satu perhatian utama organisasi tersebut, dan hal ini ditunjukkan dengan didirikannya Dewan Hak Asasi Manusia yang menjadi organ hak asasi utama PBB.[89] Selain itu, terdapat pula Kantor Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia yang bertugas mempromosikan dan melindungi penikmatan hak asasi manusia oleh semua orang, misalnya dengan bekerja sama dengan badan-badan PBB lainnya, memberikan saran untuk meningkatkan perlindungan HAM, melakukan pendidikan kepada masyarakat, mengirim petugas untuk hadir secara langsung di lapangan, atau dengan memberikan bantuan teknis.[90] Dewan HAM PBBPasal 1 Piagam PBB mengakui hak asasi manusia sebagai salah satu tujuan utama organisasi internasional tersebut. Selain itu, Pasal 55 dan 56 mengharuskan negara anggota untuk mengambil tindakan kolektif maupun terpisah untuk memastikan penghormatan dan pengejawantahan hak asasi manusia di seantero jagat tanpa mengecualikan siapa pun. Dengan adanya landasan hukum ini, sejumlah lembaga hak asasi manusia telah dibentuk di bawah naungan PBB. Pada tahun 1946, Dewan Ekonomi dan Sosial PBB sebagai salah satu organ utama PBB mendirikan Komisi Hak Asasi Manusia yang terdiri dari 53 utusan dari negara-negara anggota PBB. Komisi ini berdiri selama 60 tahun dan telah melaksanakan berbagai kegiatan demi perlindungan dan pemberdayaan hak asasi manusia. Beberapa sumbangsih terpenting dari organisasi ini adalah perumusan PUHAM, ICCPR, dan ICESCR, serta pengembangan kemampuan lembaga PBB dalam melindungi dan mempromosikan HAM. Komisi ini pernah mendirikan Sub-Komisi Promosi dan Perlindungan Hak Asasi Manusia yang mempersiapkan berbagai kajian tematik dan mengizinkan masyarakat madani ikut serta dalam kegiatan-kegiatannya. Selain itu, Komisi HAM PBB juga telah berjasa dalam memperbaiki situasi hak asasi manusia di berbagai negara karena lembaga ini telah mengirim para ahli yang diberi mandat untuk menyelidiki masalah hak asasi manusia tertentu atau pelanggaran hak asasi manusia di negara tertentu, dan juga karena lembaga ini memiliki mekanisme rahasia yang memberi ruang bagi individu untuk melaporkan pelanggaran HAM berat dan sistematis di negara mereka.[89] Namun, banyak pula yang mengkritik komisi ini karena politik internasional dirasa telah menghambat kinerja lembaga tersebut. Mantan Sekretaris Jenderal PBB Kofi Annan mengakui dalam laporannya pada tahun 2005 bahwa komisi tersebut sedang merosot kredibilitas dan profesionalismenya, dan negara-negara sering kali ingin menjadi anggota komisi tersebut bukan untuk melindungi hak asasi manusia, tetapi untuk melindungi negara mereka dari kritik sekaligus menyerang negara lain. Maka dari itu, Kofi Annan menyerukan reformasi yang mengubah sistemnya dari "penetapan standar" (seperti perumusan dan perundingan instrumen HAM baru) menjadi berpusat pada implementasi di lapangan untuk menanggulangi krisis dan kedaruratan HAM. Ia juga menolak usulan pendirian sebuah lembaga dengan keanggotaan yang terdiri dari semua negara, dan ia lebih mendukung pendirian sebuah dewan dengan jumlah anggota yang terbatas dan berperan sebagai badan subsider Majelis Umum PBB. Ia ingin agar dewan ini berperan sebagai "ruang peninjauan sejawat" dengan tugas untuk mengevaluasi pemenuhan semua kewajiban HAM yang diemban oleh semua negara, dan setiap negara anggota akan dipanggil secara berkala untuk melalui peninjauan menyeluruh terhadap rekam jejak HAM mereka. Awalnya usulan Kofi Annan menuai tanggapan negatif, tetapi perundingan tetap dapat dimulai pada musim panas tahun 2005.[91] Berbagai permasalahan yang timbul (seperti soal jumlah anggota dan proses pengambilan keputusan) dapat diselesaikan, dan pada tanggal 15 Maret 2006, Majelis Umum PBB menetapkan Resolusi 60/251 yang mendirikan Dewan Hak Asasi Manusia.[92] Dewan Hak Asasi Manusia PBB terdiri dari 47 kursi keanggotaan, dan semua negara anggota PBB dapat menjadi bagian dari dewan tersebut asalkan mereka dipilih oleh Majelis Umum dengan dukungan mayoritas sederhana. Keanggotaannya disesuaikan berdasarkan wilayah: terdapat 13 kursi khusus untuk negara-negara Asia, 13 untuk negara-negara Afrika, 8 untuk negara-negara Amerika Latin dan Karibia, 6 untuk negara-negara Eropa Timur, dan 7 untuk negara-negara Eropa Barat dan kelompok lainnya, sehingga negara-negara Afrika dan Asia secara otomatis memiliki suara mayoritas, dan hal ini sangat berdampak terhadap kinerja dewan. Dewan HAM PBB bertemu paling tidak tiga kali dalam setahun, walaupun mereka juga dapat mengadakan sesi ad hoc. Tugas utama dewan ini dijabarkan dalam Resolusi Majelis Umum PBB 60/251.[92] Salah satunya adalah dalam menggelar Peninjauan Berkala Universal (Universal Periodic Review) yang menilai rekam jejak negara-negara anggota PBB. Setiap negara ditinjau empat tahun sekali.[93] Peninjauan ini tidak bersifat mengikat, hanya dapat memberikan rekomendasi, bersifat melengkapi, dan tidak "bersaing" dengan prosedur-prosedur badan-badan traktat di PBB. Semenjak Juni 2006, Dewan juga mengadakan sesi-sesi khusus yang berupaya menanggapi pelanggaran hak asasi manusia yang serius di beberapa tempat, seperti di Republik Demokratik Kongo, Darfur, Myanmar, Sri Lanka, dan yang paling sering, Palestina.[94] Selain itu, sebagai salah satu peninggalan Komisi HAM, Dewan HAM PBB memiliki mekanisme prosedur khusus yang melibatkan ahli-ahli independen yang bekerja sendiri atau dalam suatu kelompok kerja untuk mengkaji situasi HAM di negara tertentu atau isu-isu tematik yang berkenaan dengan semua negara.[95] Para ahli yang mendapatkan mandat prosedur khusus memiliki masa jabatan maksimal selama enam tahun, dan mereka dapat mengadakan misi pencari fakta atau menggelar kunjungan ke suatu negara. Namun, mereka hanya dapat mendatangi suatu negara jika diundang oleh negara tersebut.[96] Sebagian besar pemegang mandat juga dapat meninjau keluhan dari individu atau kelompok-kelompok lainnya, dan beberapa dari mereka telah menghasilkan pendapat-pendapat yang bersifat otoritatif walaupun tidak mengikat.[97] Sebagai tambahan, Paragraf 6 Resolusi Majelis Umum PBB 60/251 juga menyediakan "prosedur keluhan". Dengan ini, keluhan-keluhan dari korban atau perwakilan korban dapat disampaikan kepada Dewan, tetapi korban harus terlebih dahulu menghabiskan segala upaya untuk memperoleh pemulihan di tingkat nasional.[98] Keluhan sendiri tidak dapat langsung dikirim ke Dewan dan harus diseleksi oleh Sekretariat OHCHR dan dua kelompok kerja yang berada di bawah naungan Dewan, yaitu Kelompok Kerja Komunikasi dan Kelompok Kerja Situasi. Keluhan yang berkenaan dengan situasi yang sedang dipertimbangkan dalam prosedur khusus di PBB atau dalam mekanisme perlindungan HAM regional tidak akan diterima.[98] Namun, Dewan HAM juga telah menuai banyak kritik akibat kentalnya unsur politisasi dalam tubuh dewan. Sebagai contoh, pada Mei 2009, anggota Dewan dari negara-negara Uni Eropa menghadapi kesulitan dalam mencari 16 dukungan dari negara anggota Dewan lainnya untuk menghimpun sesi khusus untuk membahas situasi HAM di Sri Lanka.[94] Selain itu, akibat banyaknya kursi yang dimiliki oleh negara-negara Afrika dan Asia, terbentuk blok-blok regional yang dapat menentukan apakah akan meloloskan atau menolak suatu resolusi atas dasar politik. Organisasi Konferensi Islam sangat berpengaruh dalam hal ini. Faktor ini pula yang mengakibatkan munculnya kritik bahwa Dewan bertindak selektif atau bahkan bias. Sebagai contoh, Dewan HAM dianggap terlalu sering mengadakan sesi khusus mengenai Palestina, sementara upaya negara-negara Barat untuk mengadakan sesi khusus mengenai Zimbabwe gagal karena negara-negara Asia dan Afrika enggan mendukungnya.[95] Badan traktat PBBDi tingkat internasional, terdapat berbagai perjanjian HAM yang telah dirumuskan dan diratifikasi oleh banyak negara. Tidak seperti PUHAM, perjanjian-perjanjian tersebut mengikat secara hukum. Setiap perjanjian HAM utama memiliki sebuah badan traktat yang mengawasi pelaksanaannya.[99] Pendirian badan-badan tersebut diatur oleh perjanjian masing-masing, kecuali untuk Komite Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, yang didirikan oleh Resolusi 1985/17 Dewan Ekonomi dan Sosial PBB.[100] Negara anggota perjanjian-perjanjian ini telah berkomitmen untuk membuat laporan secara berkala mengenai perkembangan upaya mereka dalam mewujudkan hak-hak yang terkandung dalam perjanjian-perjanjian ini di tingkat nasional. Setelah laporannya dikirim dan diproses, laporan tersebut akan diperiksa oleh badan traktat dalam salah satu sesi yang digelar oleh badan tersebut di muka umum dengan dihadiri oleh utusan negara terkait dan juga melibatkan lembaga swadaya masyarakat (LSM).[102] Setelah itu, badan traktat akan mengeluarkan "kesimpulan pengamatan" (concluding observation) yang mengidentifikasi masalah-masalah HAM di suatu negara beserta rekomendasi khusus untuk menyelesaikan masalah tersebut. Semenjak tahun 2001, semua badan traktat PBB memiliki mekanisme penindaklanjutan terhadap kesimpulan pengamatan.[103] Hampir semua badan traktat (kecuali Subkomite Pencegahan Penyiksaan) juga dapat mengeluarkan "komentar umum" (general comment). Sementara itu, terminologi yang digunakan oleh Komite Penghapusan Diskriminasi Rasial dan Komite Penghapusan Diskriminasi terhadap Wanita adalah "rekomendasi umum".[104] Komentar dan rekomendasi ini ditetapkan berdasarkan konsensus dan tidak mengikat secara hukum, tetapi penafsiran yang terkandung di dalamnya bersifat otoritatif dalam memandu upaya untuk memahami pasal-pasal dalam perjanjian terkait. Komentar umum dianggap sangat membantu karena banyak perjanjian yang dirumuskan dengan kata-kata yang tidak jelas maknanya atau rancu.[105] Saat ini terdapat delapan badan traktat yang memiliki mekanisme yang menerima keluhan dari individu. Delapan badan tersebut adalah Komite Hak Asasi Manusia, Komite Menentang Penyiksaan, Komite Penghapusan Diskriminasi Rasial, Komite Penghapusan Diskriminasi terhadap Wanita, Komite Hak-Hak Penyandang Disabilitas, Komite tentang Penghilangan Paksa, Komite Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, serta Komite Hak-Hak Anak. Komite Hak Buruh Migran juga memiliki mekanisme keluhan individu seperti yang diatur dalam Pasal 77 Konvensi Buruh Migran, tetapi mekanisme untuk komite ini masih belum berlaku pada Januari 2019 karena jumlah negara yang mengeluarkan deklarasi untuk bergabung dengan mekanisme ini masih kurang dari 10. Mekanisme keluhan individu di badan traktat PBB tidak bersifat wajib, dan negara dapat bergabung dengan meratifikasi protokol yang berisikan mekanisme ini (untuk Komite Menentang Penyiksaan, Komite Penghapusan Diskriminasi Rasial, dan Komite tentang Penghilangan Paksa, dengan mengeluarkan deklarasi sesuai dengan pasal yang mengatur soal mekanisme masing-masing).[106] Oleh sebab itu, individu dari negara yang belum menyatakan resmi bergabung (baik itu lewat ratifikasi protokol ataupun deklarasi) tidak dapat memanjatkan keluhan kepada badan traktat terkait. Mekanisme keluhan di badan traktat PBB bersifat tertulis dan rahasia.[107] Badan-badan traktat ini dapat mengeluarkan putusan sela (interim measure) sebagai perlindungan apabila keadaannya mendesak dan dapat mengakibatkan kerugian yang tidak dapat dipulihkan kepada pihak yang mengeluh, contohnya adalah perkara yang terkait dengan hukuman mati dan deportasi. Setiap komite juga akan meninjau beberapa prasyarat. Pihak yang mengeluh harus menjadi korban pelanggaran,[108] pelanggaran harus terjadi setelah protokol yang berisi tentang mekanisme keluhan mulai berlaku untuk negara yang diadukan, dan keluhan harus terkait dengan hak yang terkandung dalam perjanjian terkait. Selain itu, keluhan tidak boleh diperiksa secara bersamaan dalam mekanisme pemulihan lainnya (misalnya di tingkat regional), dan pihak yang mengeluh harus sudah menghabiskan segala upaya untuk memperoleh pemulihan di tingkat nasional. Badan traktat sendiri membuat kesimpulan terkait dengan perkara-perkara ini berdasarkan konsensus, dan hasil peninjauan ini disebut "pandangan" (views) atau "pendapat" (opinions).[108] Hal ini dianggap sebagai kelemahan badan-badan traktat, karena hasil peninjauan mereka tidak mengikat secara hukum, walaupun negara tetap diharapkan untuk menindaklanjuti hasil peninjauan badan traktat dan mengirim keterangan yang menjelaskan hal tersebut dalam waktu beberapa bulan setelah komite mengeluarkan pendapatnya.[109] Perlindungan di tingkat regionalSistem perlindungan hak asasi manusia juga telah muncul di tingkat regional setelah beberapa organisasi antarpemerintah memutuskan untuk menjadikan hak asasi manusia sebagai salah satu dari tujuan utama mereka.[110] Organisasi-organisasi tersebut meliputi Majelis Eropa, Organisasi Negara-Negara Amerika, dan Uni Afrika.[111] Mantan Pelapor Khusus PBB mengenai hak atas pangan, Olivier De Schutter, berpendapat bahwa sistem di Eropa dan Amerika dengan rekam jejaknya yang panjang merupakan sistem perlindungan HAM yang paling "matang" dan "maju".[112] Kemunculan sistem regional dapat membantu upaya untuk mewujudkan HAM, karena dengan ini masyarakat madani mendapatkan lebih banyak ruang untuk didengar oleh pemerintah alih-alih harus mengantre dan berebut ruangan di PBB.[110] Selain itu, sering kali muncul keluhan bahwa sistem HAM PBB yang berpusat di kota Jenewa terlalu sulit untuk dijangkau, dan sistem regional memiliki keunggulan berupa lokasinya yang lebih dekat dengan masyarakat madani di kawasannya. Maka dari itu, dapat dikatakan bahwa mekanisme hak asasi manusia regional menjadikan sistem hak asasi manusia internasional lebih tanggap dan demokratis.[113] Namun, terdapat pula inisiatif di tingkat regional yang dianggap membahayakan HAM karena dinilai dapat merusak standar HAM yang telah ditetapkan di tingkat global dan juga akibat adanya kemungkinan bahwa mekanisme regional tersebut akan disalahgunakan untuk melindungi negara pelanggar HAM dari pengawasan. Contohnya adalah Piagam Hak Asasi Manusia Arab yang dikeluarkan pada tahun 1994, yang telah menuai kritikan karena dianggap lebih mundur daripada standar global. Pada tahun 2004, dikeluarkan rumusan piagam yang baru agar lebih sesuai dengan hukum HAM internasional, tetapi rumusan ini pun juga dikritik karena masih tidak sepenuhnya sejalan dengan standar global. Sementara itu, di Asia Tenggara, Komisi Hak-Hak Asasi Manusia Antarnegara Perbara menetapkan Deklarasi Hak Asasi Manusia Perbara pada November 2012.[114] Deklarasi ini telah disambut sebagai komitmen besar dari Perbara untuk melindungi HAM, tetapi pada saat yang sama, deklarasi ini juga dinilai "cacat" karena sama sekali tidak mendirikan mekanisme pengawasan yang berarti, dan juga akibat adanya asas "non-intervensi" dalam deklarasi tersebut yang dapat menghalangi kemampuan lembaga regional untuk melindungi HAM.[115] EropaMajelis Eropa didirikan pada tahun 1949, dan salah satu tujuannya adalah untuk menegakkan hak asasi manusia. Kemudian, pada tahun 1950, Konvensi Eropa tentang Hak Asasi Manusia ditetapkan oleh negara-negara anggota Majelis Eropa di Roma sebagai langkah bersama untuk menegakkan beberapa hak yang terkandung dalam PUHAM.[116] Konvensi ini mendirikan dua lembaga pengawas, yaitu Komisi Hak Asasi Manusia Eropa dan Pengadilan Hak Asasi Manusia Eropa. Kedua lembaga ini merupakan lembaga internasional pertama yang dapat memberikan pemulihan kepada korban pelanggaran HAM. Awalnya yurisdiksi mereka cukup terbatas dan tidak bersifat wajib bagi negara anggota. Sistem ini mengalami perubahan secara perlahan, dan pada tahun 1998, Protokol 11 mulai berlaku. Protokol ini menghapuskan Komisi Eropa dan juga menjadikan Pengadilan HAM Eropa sebagai pengadilan dengan yurisdiksi wajib (compulsory jurisdiction) untuk negara-negara anggota.[117] Saat ini, terdapat dua prosedur untuk membawa perkara ke Pengadilan HAM Eropa, yaitu aplikasi antarnegara atau aplikasi individual. Dalam aplikasi antarnegara, suatu negara dapat menuntut negara lain yang dianggap telah melanggar hak yang terkandung dalam Konvensi. Semua upaya untuk memperoleh pemulihan di tingkat domestik harus sudah dihabiskan, kecuali jika tuduhannya terkait dengan suatu undang-undang atau praktik administratif.[118] Sementara itu, dalam prosedur aplikasi individual, korban pelanggaran HAM dapat membawa perkara ke pengadilan HAM Eropa jika mereka juga sudah menghabiskan segala upaya untuk mendapatkan pemulihan di tingkat nasional.[119] Pengadilan ini juga berwenang mengeluarkan opini nasihat.[120] Pengadilan HAM Eropa menjalankan asas "penafsiran otonom" yang berarti bahwa mereka dapat menetapkan makna dari pasal-pasal yang terkandung dalam konvensi terlepas dari pemaknaan di tingkat nasional. Pengadilan ini juga mengenal asas penafsiran evolutif atau dinamis agar Konvensi HAM Eropa tidak ketinggalan zaman.[121] Selain itu, pengadilan ini dikenal dengan doktrin margin apresiasi (margin of appreciation) yang memberikan ruang bagi negara anggota untuk menafsirkan cara menerapkan standar HAM di tingkat nasional. Menurut pengadilan ini dalam perkara Sunday Times v. the United Kingdom, tujuan utama Konvensi adalah untuk menetapkan standar internasional yang perlu dipatuhi, tetapi negara tetap bebas memilih tindakan macam apa yang dianggap sesuai untuk menerapkan standar tersebut. Doktrin ini tidak diterima di luar yurisdiksi pengadilan HAM Eropa, dan doktrin ini sendiri telah dikritik karena dapat berujung pada penerapan HAM yang terlalu relativistik. Walaupun begitu, margin apresiasi bukanlah doktrin yang statis. Salah satu cara untuk menemukan perubahan ini adalah dengan meninjau konsensus mengenai praktik tertentu di antara negara anggota.[122] Secara prinsipil, putusan Pengadilan HAM Eropa bersifat mengikat terhadap pihak yang terlibat dalam suatu perkara. Pada kenyataannya, putusan Pengadilan HAM Eropa juga berpengaruh terhadap negara-negara lain, dan anggota legislatif di berbagai negara Eropa sering kali mengkaji putusan-putusan pengadilan HAM Eropa terlebih dahulu untuk menghindari pelanggaran.[123] Pengadilan ini sendiri telah digadang-gadang sebagai "mahkota dan perhiasan" (crown jewel) dalam sistem perlindungan hak-hak sipil dan politik.[124] Setiap tahunnya, pengadilan ini dapat mengeluarkan lebih dari 1.500 putusan.[125] Namun, pengadilan ini menghadapi masalah besar akibat terlalu banyaknya perkara yang masuk dan membuat mereka kewalahan.[126] Majelis Eropa sendiri tidak hanya berurusan dengan hak sipil dan politik. Piagam Sosial Eropa telah ditetapkan di bawah naungan organisasi ini pada tahun 1961, dan kemudian piagam ini direvisi pada tahun 1991. Piagam ini mendirikan Komite Hak Sosial Eropa yang memiliki sistem laporan negara yang serupa dengan sistem di PBB.[117] AmerikaSalah satu tujuan utama dari Organisasi Negara-Negara Amerika (bahasa Inggris: Organization of American States, disingkat OAS) adalah hak asasi manusia. Di bawah naungan organisasi ini, Deklarasi Hak Asasi dan Kewajiban Manusia Amerika ditetapkan pada tanggal 2 Mei 1948 secara bersamaan dengan Piagam OAS. Langkah besar berikutnya diambil pada tahun 1959 dengan didirikannya Komisi Hak Asasi Manusia Antar-Amerika sebagai lembaga yang bersifat otonom. Lembaga ini kemudian menjadi salah satu lembaga yang berada di bawah naungan Piagam OAS setelah disahkannya Protokol Buenos Aires pada tahun 1970. Kemudian, Konvensi Amerika tentang Hak Asasi Manusia ditetapkan di San Jose, Kosta Rika, pada tahun 1969.[127] Konvensi ini khususnya melindungi hak-hak sipil dan politik. Setelah Konvensi HAM Antar-Amerika mulai berlaku pada tahun 1978,[128] Pengadilan Hak Asasi Manusia Antar-Amerika didirikan setahun sesudahnya. Suatu negara yang terletak di benua Amerika akan masuk ke dalam yurisdiksi pengadilan ini jika negara tersebut sudah meratifikasi Konvensi HAM Antar-Amerika dan secara gamblang menerima yurisdiksi pengadilan tersebut. Pengadilan ini sendiri terdiri dari tujuh hakim yang dipilih untuk masa jabatan selama enam tahun oleh negara anggota Konvensi HAM Antar-Amerika.[129] Tidak seperti di Majelis Eropa, dalam sistem ini, hanya Komisi HAM Antar-Amerika dan negara anggota yang memiliki wewenang untuk membawa perkara ke pengadilan.[130] Keputusan pengadilan mengikat secara hukum dan tidak dapat diganggu gugat.[131] Selain mengeluarkan putusan resmi, pengadilan ini juga dapat menerima permintaan dari negara anggota atau salah satu organ OAS untuk mengeluarkan opini nasihat yang tidak mengikat, tetapi bersifat otoritatif, untuk menjelaskan pasal-pasal tertentu yang dapat membantu negara anggota memahami dan mematuhi kewajiban HAM mereka.[132] Organisasi Negara-Negara Amerika juga telah menetapkan dua protokol tambahan untuk Konvensi HAM Amerika. Protokol yang pertama adalah Protokol San Salvador yang ditetapkan pada tahun 1988,[128] mulai berlaku pada tahun 1999, dan berisi tentang hak ekonomi, sosial, dan budaya. Protokol yang kedua adalah protokol mengenai penghapusan hukuman mati yang mulai berlaku pada tahun 1991. Selain itu, perjanjian-perjanjian HAM regional lainnya juga telah ditetapkan di bawah naungan Organisasi Negara-Negara Amerika. Contohnya adalah Konvensi Antar-Amerika untuk Mencegah dan Menghukum Penyiksaan pada tahun 1987, Konvensi Bélem do Pará atau "Konvensi Antar-Amerika mengenai Pencegahan, Penghukuman, dan Penghapusan Kekerasan terhadap Wanita" yang mulai berlaku pada tahun 1995, Konvensi Antar-Amerika tentang Penghilangan Paksa yang mulai berlaku pada tahun 1996,[133] serta Konvensi Antar-Amerika tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Orang dengan Disabilitas yang mulai berlaku pada tahun 2001.[134] Salah satu tantangan terbesar yang dihadapi oleh sistem HAM Antar-Amerika adalah kurangnya pendanaan.[135] Selain itu, tidak semua negara anggota OAS telah meratifikasi Konvensi HAM Antar-Amerika, dan kalaupun sudah juga tidak semuanya menerima yurisdiksi pengadilan.[136] Negara-negara anggota OAS juga dianggap tidak memiliki iktikad politik untuk melancarkan reformasi yang dapat menyelesaikan masalah-masalah ini.[137] AfrikaPada mulanya, hak asasi manusia tidak termasuk ke dalam tujuan Organisasi Kesatuan Afrika.[137] Meskipun begitu, pada tahun 2002, Uni Afrika menggantikan Organisasi Kesatuan Afrika, dan organisasi ini mengakui hak asasi manusia sebagai salah satu tujuan utamanya.[138] Pada tahun 1981, negara-negara anggota Organisasi Kesatuan Afrika menetapkan Piagam Afrika tentang Hak Asasi Manusia dan Hak Penduduk. Piagam ini cukup berbeda bila dibandingkan dengan piagam-piagam HAM internasional lainnya karena piagam ini mengakui "hak penduduk". Secara substantif, piagam ini juga mencantumkan hak sipil dan politik, hak sosial, ekonomi, dan budaya, serta "hak solidaritas" (seperti hak atas pembangunan, perdamaian, dan lingkungan).[138] Selain itu, dalam piagam ini terkandung "kewajiban" bagi individu terhadap komunitasnya, seperti kewajiban untuk keluarga dan negara.[139] Piagam ini awalnya hanya menetapkan Komisi Hak Asasi Manusia dan Hak Penduduk Afrika sebagai lembaga pengawas, dan lembaga ini pertama kali berkumpul pada tahun 1987.[138] Namun, pada tahun 1998, Protokol tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia dan Hak Penduduk Afrika ditetapkan di kota Addis Ababa, Etiopia, dan protokol ini mulai berlaku pada Januari 2004.[140] Para hakim pertamanya dipilih pada tahun 2006.[138] Pengadilan ini terdiri dari 11 hakim yang dinominasikan oleh negara anggota yang telah meratifikasi protokol, dan kemudian mereka dipilih oleh Majelis Uni Afrika.[140] Biasanya Komisi HAM Afrika akan membawa perkara ke pengadilan ini jika rekomendasi mereka tidak diikuti. Individu atau perwakilan individu juga dapat membawa perkara ke pengadilan ini, tetapi hanya jika negara bersangkutan telah membuat deklarasi yang menerima yurisdiksi pengadilan tersebut. Apabila pengadilan mendapati telah terjadi pelanggaran, maka pengadilan dapat mengeluarkan perintah yang memberikan pemulihan. Kemudian Dewan Eksekutif Uni Afrika akan mengawasi pelaksanaan putusan pengadilan. Sementara itu, pengadilan ini juga dapat memberikan opini nasihat jika diminta oleh Uni Afrika atau organisasi Afrika yang diakui oleh uni tersebut.[141] Pada Juli 2008, Majelis Uni Afrika telah mengeluarkan Protokol tentang Statuta Mahkamah Kehakiman dan Hak Asasi Afrika. Mahkamah ini rencananya akan menggantikan Pengadilan HAM Afrika setelah protokolnya mulai berlaku. Mahkamah yang baru ini akan terdiri dari dua bagian, yaitu bagian urusan umum dan bagian hak asasi manusia.[140] Protokol ini baru akan berlaku setelah diratifikasi oleh 15 negara anggota, dan pada tahun 2018, hanya ada 6 negara anggota Uni Afrika yang telah meratifikasi protokol ini.[142] Implementasi di tingkat nasionalStandar hak asasi manusia yang ditetapkan di tingkat internasional pada akhirnya perlu diimplementasikan melalui sistem hukum di tingkat nasional.[143] Suatu negara dapat menerima perjanjian HAM internasional dengan cara ratifikasi, aksesi, atau suksesi. Ratifikasi merupakan tindakan yang secara resmi menyatakan persetujuan untuk terikat dengan suatu perjanjian internasional. Ratifikasi biasanya didahului oleh penandatanganan perjanjian oleh perwakilan negara, dan ratifikasi hanya dapat dilaksanakan setelah memenuhi syarat-syarat yang tercantum dalam hukum tata negara.[144] Sebagai contoh, Konstitusi Amerika Serikat mengatur bahwa suatu perjanjian baru dapat diratifikasi oleh Presiden setelah disetujui oleh dua pertiga suara di Senat.[145] Sementara itu, aksesi adalah pernyataan kesediaan suatu negara untuk terikat kepada suatu perjanjian setelah perjanjian tersebut sudah mulai berlaku. Suksesi sendiri adalah pewarisan perjanjian setelah dibubarkannya suatu negara, contohnya adalah Rusia yang mewarisi kewajiban ICCPR dari Uni Soviet.[144] Ketika suatu negara sedang meratifikasi atau melakukan aksesi terhadap suatu perjanjian, mereka dapat mengeluarkan "reservasi" yang mengesampingkan atau mengubah hak atau kewajiban yang dibebankan oleh suatu perjanjian terhadap negara tersebut. Pasal 19 Konvensi Wina tidak mengizinkan reservasi yang dilarang oleh suatu perjanjian atau reservasi yang bertentangan dengan maksud dan tujuan dari perjanjian tersebut. Sebagai contoh, Amerika Serikat ketika meratifikasi ICCPR mengeluarkan reservasi yang mengesampingkan penerapan Pasal 6(5) yang melarang pengganjaran hukuman mati terhadap seseorang yang dijatuhi hukuman tersebut sebelum mereka mencapai usia 18 tahun. Reservasi ini ditolak oleh negara-negara Eropa lainnya karena dianggap bertentangan dengan maksud dan tujuan dari ICCPR. Negara juga dapat mengeluarkan "deklarasi penafsiran" ketika meratifikasi suatu perjanjian, dan kadang-kadang muncul pertanyaan mengenai apakah "deklarasi" yang dikeluarkan oleh suatu negara hanya sekadar "deklarasi" atau merupakan sebuah "reservasi". Misalnya, Mesir mengeluarkan deklarasi bahwa mereka "menerima, mendukung, dan meratifikasi" ICCPR setelah mempertimbangkan isi dari hukum syariah dan "fakta bahwa hukum tersebut tidak bertentangan dengan ICCPR".[146] Banyak anggota Komite Hak Asasi Manusia PBB yang merasa bahwa hukum Mesir terlalu timpang dengan isi dari ICCPR, dan mereka menyarankan agar deklarasinya diklarifikasi atau dicabut.[147] Terkait dengan dampak dari reservasi itu sendiri, Pasal 21 Konvensi Wina mengatur bahwa reservasi yang ditolak oleh suatu negara dapat dianggap tidak berlaku antara negara yang mengeluarkan reservasi dengan negara yang menolak reservasi tersebut.[148] Akan tetapi, pada tahun 1994, Komite Hak Asasi Manusia menyatakan dalam Komentar Umum No. 24 bahwa mereka dapat menentukan apakah suatu reservasi itu sah atau tidak, dan mereka akan memutus reservasi yang dianggap tidak sesuai. Komite HAM PBB sendiri tidak memberikan justifikasi yang kuat, dan pernyataan ini telah dikritik oleh berbagai negara seperti Amerika Serikat, Britania Raya, dan Prancis.[149] Dari sudut pandang normatif, ada yang berpendapat bahwa reservasi perlu diizinkan agar semakin banyak negara yang mau terikat dengan perjanjian HAM. Namun, reservasi terhadap perjanjian HAM telah dikritik karena dianggap mengancam keutuhan dari perjanjian tersebut, sehingga kemampuan untuk membatalkan reservasi dirasa perlu untuk semakin memperkuat perlindungan HAM di tingkat internasional.[150] Setiap negara memiliki aturannya sendiri sehubungan dengan tata cara untuk memasukkan perjanjian HAM internasional ke dalam hukum nasional. Secara umum, terdapat dua macam cara, yaitu "penerimaan langsung" dan "penerimaan khusus" atau "individual". Penerimaan langsung berarti bahwa pasal-pasal dalam perjanjian yang telah diratifikasi dapat langsung digunakan di pengadilan nasional. Contoh negara-negara yang menggunakan pendekatan ini adalah Amerika Serikat dan Jepang. Sementara itu, Britania Raya dan negara-negara yang pernah menjadi jajahannya memiliki sistem penerimaan khusus, yang berarti bahwa isi dari suatu perjanjian HAM harus dituangkan ke dalam undang-undang nasional terlebih dahulu sebelum dapat dipakai di pengadilan nasional. Sebagai ilustrasi, Britania Raya telah menetapkan Human Rights Act 1998 pada tahun 2000, sehingga rakyat Britania dapat membawa perkara mengenai pelanggaran Konvensi HAM Eropa ke pengadilan nasional.[151] Terkait dengan posisi perjanjian HAM internasional dalam hierarki hukum nasional, setiap negara juga memiliki sistemnya sendiri. Negara seperti Belanda memberikan kedudukan tertinggi kepada perjanjian internasional, dan perjanjian yang bertentangan dengan undang-undang dasar tetap dianggap sah jika perjanjian tersebut disetujui oleh dua per tiga suara di Eerste Kamer dan Tweede Kamer[152] Di sisi lain, terdapat negara seperti Prancis yang Jepang yang menyatakan bahwa perjanjian internasional kedudukannya lebih rendah daripada undang-undang dasar, tetapi masih lebih tinggi dibandingkan dengan hukum biasa. Sementara itu, di Amerika Serikat, perjanjian internasional memiliki kedudukan yang sama dengan hukum federal, sehingga hukum federal yang ditetapkan sesudahnya dapat mengesampingkan perjanjian yang telah diratifikasi sesuai dengan asas lex posterior derogat legi priori ("hukum terbaru mengesampingkan hukum yang lama").[153] Pembatasan dan pengurangan
Pasal 4(1) ICCPR mengenai pengurangan (derogation) hak asasi manusia dalam keadaan darurat.[59] Dari sudut pandang hukum hak asasi manusia internasional, tidak semua hak bersifat absolut dan berbagai hak dapat dibatasi penerapannya. Terdapat dua cara yang dapat digunakan oleh negara untuk membatasi suatu hak, yaitu dengan memenuhi syarat-syarat yang dicantumkan dalam suatu pasal (disebut pembatasan atau limitation) atau dengan menangguhkan kewajiban hak asasi manusia tertentu di tengah keadaan darurat (disebut pengurangan atau derogation). Walaupun begitu, seperti yang telah dijabarkan dalam uraian mengenai jus cogens di atas, terdapat sejumlah hak yang tidak dapat dikesampingkan dalam keadaan apapun, seperti hak untuk tidak disiksa.[154] Terkait dengan limitation, praktik penerapan hak asasi manusia sering kali menimbulkan ketegangan antara hak individu dengan kepentingan bersama. Contohnya adalah orang yang dijebloskan ke penjara setelah melalui proses hukum yang adil; orang tersebut tidak akan bisa menggunakan hak untuk tidak ditahan secara sembarangan untuk keluar dari penjara. Dalam konvensi-konvensi internasional (seperti ICCPR dan Konvensi HAM Eropa), hak-hak yang dapat dibatasi biasanya memiliki persyaratan tiga rangkap yang perlu dipenuhi sebelum negara dapat membatasi hak tersebut, yaitu:[155]
Sebagai contoh, Pasal 21 ICCPR menyatakan bahwa "hak untuk berkumpul secara damai harus diakui", tetapi pasal tersebut masih mengizinkan pembatasan "yang ditentukan sesuai dengan hukum, dan yang diperlukan dalam suatu masyarakat demokratis untuk kepentingan keamanan nasional dan keselamatan publik, atau ketertiban umum, perlindungan terhadap kesehatan atau moral umum, atau perlindungan atas hak-hak dan kebebasan-kebebasan orang lain."[59] Secara garis besar, persyaratan mengenai ketentuan berdasarkan hukum menyatakan bahwa pembatasan harus ditetapkan dalam undang-undang yang disetujui oleh badan legislatif dan bukan eksekutif. Negara juga perlu memastikan bahwa undang-undang tersebut dapat diakses oleh rakyat, dan pembatasannya juga harus dirincikan secara jelas. Oleh sebab itu, pemberian kuasa yang tidak terbatas kepada badan eksekutif untuk membatasi hak asasi manusia dianggap tidak memenuhi syarat ini.[156] Sementara itu, "tujuan-tujuan yang dianggap sah" biasanya dijabarkan dalam masing-masing pasal yang mengizinkan pembatasan, seperti yang telah ditunjukkan dalam Pasal 21 ICCPR di atas. Dalam yurisdiksi Pengadilan HAM Eropa, tujuan yang dianggap sah harus berupa "kebutuhan sosial yang mendesak", sehingga pembatasan tidak boleh menjadi sekadar pilihan kebijakan. Sementara itu, syarat "diperlukan dalam suatu masyarakat demokratis" berarti bahwa negara juga harus membuktikan bahwa pembatasan yang mereka terapkan itu memang diperlukan untuk memenuhi tujuan-tujuan sah yang ingin dicapai. Selain itu, pembatasan ini juga harus memenuhi asas proporsionalitas, sehingga negara tidak boleh mengambil tindakan yang berlebihan dan hanya boleh membatasi sejauh mana pembatasan tersebut memang diperlukan.[157] Sebagai ilustrasi, dalam perkara Toonen v. Australia, pemerintah negara bagian Tasmania mencoba menjustifikasi hukum yang melarang sodomi dengan mengklaim bahwa kriminalisasi diperlukan demi kesehatan umum untuk mencegah penyebaran HIV/AIDS. Namun, pemerintah federal Australia menegaskan bahwa kriminalisasi seks sesama jenis malah menghalangi program kesehatan umum dengan mendesak kaum homoseksual untuk bersembunyi, sehingga tindakan yang diambil pemerintah Tasmania justru bertentangan dengan tujuan yang ingin dicapai. Selain itu, Komite HAM PBB juga menambahkan bahwa tidak ada keterkaitan antara kriminalisasi seks sesama jenis dengan pengendalian penyebaran virus HIV. Maka dari itu, Komite HAM PBB menyatakan bahwa "perlindungan kesehatan umum" tidak dapat dianggap sebagai tujuan sah yang dapat membenarkan kriminalisasi seks sesama jenis.[158] Sementara itu, aturan mengenai pengurangan (derogation) hanya berlaku untuk keadaan darurat. Setiap konvensi memiliki aturan dan yurisprudensinya sendiri mengenai derogation. Piagam HAM Afrika bahkan sama sekali tidak memuat pasal mengenai derogation, sampai-sampai Komisi HAM Afrika dalam perkara Commission Nationale des Droits de l'Homme et des Libertés v. Chad menegaskan bahwa perang saudara di Chad pun tidak bisa dijadikan alasan untuk mengurangi hak-hak yang terkandung dalam piagam tersebut.[159] Secara garis besar, negara dapat memutuskan untuk menangguhkan penerapan sejumlah hak asasi asalkan keadaan daruratnya diumumkan terlebih dahulu dan keberadaan keadaan darurat tersebut harus dilaporkan kepada instansi yang telah ditetapkan oleh suatu konvensi. "Keadaan darurat" adalah syarat yang sangat sulit untuk dipenuhi, karena keadaannya harus mengancam "kehidupan bangsa". Akibatnya, tidak semua gangguan keamanan atau bencana dapat langsung dianggap sebagai "keadaan darurat", dan bahkan perang tidak bisa semerta-merta dianggap memenuhi syarat ini. Selain itu, pengurangan yang dapat diberlakukan hanyalah pengurangan yang memang dibutuhkan untuk mengembalikan keadaan seperti semula, sehingga pengurangan harus memenuhi asas keperluan (necessity) dan proporsionalitas.[160] Pengurangan ini harus bersifat sementara, dan begitu ancamannya sudah hilang, pengurangan ini harus dicabut.[161] Hukum kemanusiaan internasionalKewajiban hak asasi manusia tetap berlaku dalam keadaan perang, tetapi di tengah berkecamuknya konflik, korban jiwa akan berguguran. Jalannya perang sendiri diatur oleh hukum kemanusiaan internasional. Bidang hukum ini mencoba memasukkan unsur-unsur kemanusiaan ke dalam perang dengan menetapkan berbagai aturan yang membatasi tata cara dan metode tempur.[162] Pada dasarnya terdapat dua asas utama dalam hukum kemanusiaan internasional. Asas pembedaan (distinction) menyatakan bahwa kombatan (orang yang terlibat dalam pertempuran) harus dibedakan dari warga sipil dan sasaran militer juga harus dibedakan dari sasaran sipil.[163] Sementara itu, asas penderitaan yang tidak perlu (unnecessary suffering) melarang penggunaan senjata dan metode perang yang dapat mengakibatkan penderitaan atau luka-luka yang melebihi dari apa yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan militer.[164] Beberapa contoh aturan dalam hukum humaniter internasional adalah perlindungan terhadap warga sipil yang tidak terlibat perang, larangan melakukan serangan yang membabi buta, larangan menggunakan senjata-senjata kimia atau biologi, serta larangan untuk memerintahkan agar tidak ada satu pun tawanan yang boleh diampuni.[164] Terkait dengan hubungan antara hukum hak asasi manusia internasional dengan hukum humaniter internasional pada masa perang, Mahkamah Internasional dalam opini nasihat Legality of the Threat of Use of Nuclear Weapons telah mengamati bahwa terdapat tiga situasi yang dapat timbul:[165]
Namun, dapat pula terjadi ketidakselarasan antara hukum kemanusiaan internasional dan hukum hak asasi manusia. Contoh yang paling mudah adalah hak untuk hidup; ICCPR secara jelas melarang pencabutan nyawa orang lain secara sembarangan, tetapi dalam keadaan perang, kombatan dapat membunuh kombatan yang lainnya. Dalam keadaan seperti ini, berlaku asas lex specialis derogat legi generali (hukum yang bersifat khusus mengesampingkan yang umum), dan sehubungan dengan asas tersebut, Mahkamah Internasional telah menyatakan bahwa hukum kemanusiaan internasional adalah hukum yang menjadi lex specialis dalam keadaan perang.[168] Kritik partikularisme
— Kepala Delegasi Tiongkok, Liu Huaqiu, pada tanggal 17 Juni 1993 selama Konferensi Internasional Hak Asasi Manusia di Wina, Austria.[169]
— Pakar hukum Indonesia Adnan Buyung Nasution dalam menanggapi argumen partikularistik.[170] Sifat "universal" hak asasi manusia telah menghadapi gempuran dari sejumlah pandangan yang disebut "relativisme budaya" atau "partikularisme",[171] walaupun penggunaan istilah "relativisme budaya" telah dikritik karena istilah tersebut merupakan nama sebuah mazhab dalam bidang antropologi di Barat, sehingga menimbulkan asumsi bahwa klaim-klaim hak asasi manusia dari sudut pandang non-Barat memiliki argumen yang sama dengan mazhab antropologi tersebut. Aliran partikularisme sangat berpengaruh di kawasan Asia Timur, Afrika, dan dunia Islam. Pada dasarnya, tokoh-tokoh yang berpandangan partikularis menegaskan bahwa hak asasi manusia merupakan ciptaan Barat, sehingga konsep ini dirasa tidak cocok untuk diberlakukan di kawasan lainnya. Selain itu, mereka juga mengkritik sistem hak asasi manusia internasional yang dianggap terlalu didominasi oleh negara-negara Barat dan konsep-konsep yang berasal dari kawasan tersebut.[172] Di Asia, salah satu kritik partikularisme yang paling terkenal berasal dari tulisan-tulisan para tokoh yang tergolong ke dalam "mazhab Singapura". Pemikiran-pemikiran mazhab ini dirintis oleh Perdana Menteri Singapura Lee Kuan Yew dan kemudian dikembangkan oleh beberapa pejabat tinggi di Kementerian Luar Negeri Singapura, seperti Tommy Koh, Bilahari Kausikan, dan Kishore Mahbubani.[173] Mazhab ini sama sekali tidak menolak keberadaan hak asasi manusia sebagai hak "universal", tetapi mereka mengkritik kekentalan pengaruh Barat dalam sistemnya, dan mereka juga berkeyakinan bahwa konsep "hak asasi manusia universal" merupakan ciptaan Barat. Mereka menegaskan bahwa "hak asasi manusia" dan "demokrasi" merupakan nilai-nilai yang dibentuk oleh sejarah dan pengalaman suatu bangsa, sehingga bagi mereka, standar Barat dari akhir abad ke-20 tidak dapat dianggap sebagai standar universal.[174] Selain itu, salah satu ciri khas dari mazhab Singapura adalah klaim yang berkaitan dengan "nilai-nilai Asia". Menurut mereka, masyarakat Asia lebih mengutamakan komunitas daripada individu.[175] Dalam kata lain, orang-orang Asia dianggap lebih mengutamakan kewajiban kepada keluarga, tetangga, atau bangsa.[176] Dengan menggunakan dalil-dalil ini, para penulis dari mazhab Singapura menyatakan bahwa hak yang universal hanyalah hak-hak inti, contohnya adalah hak-hak yang tidak dapat dikurangi dalam ICCPR, sementara Koh semakin mempersempit cakupan hak-hak inti ini menjadi pelarangan penyiksaan, perbudakan, pembunuhan, dan genosida. Mereka tidak menolak keberadaan hak yang lain, tetapi dari sudut pandang mereka, perbedaan dalam upaya untuk menafsirkan hak-hak tersebut tidak dapat dihindari.[177] Di tingkat internasional, Deklarasi Bangkok 1993 dinilai sebagai ancaman terhadap universalisme. Walaupun negara-negara Asia yang mengeluarkan deklarasi tersebut mengakui bahwa hak asasi manusia bersifat universal, menurut mereka penafsirannya harus mempertimbangkan "kekhususan" nasional dan regional serta berbagai latar belakang sejarah, budaya, dan agama.[178] Kalimat semacam ini kemudian juga dapat ditemui dalam Deklarasi Hak Asasi Manusia Perbara 2012.[179] Deklarasi Kairo tentang Hak Asasi Manusia dalam Islam yang ditetapkan pada tahun 1990 oleh Organisasi Konferensi Islam juga dianggap sebagai salah satu bentuk partikularisme.[180] Di dalamnya tercantum konsep-konsep Islami yang tidak dapat ditemui dalam instrumen-instrumen HAM internasional, seperti Pasal 1(b) tentang amal saleh dan ketakwaan sebagai hal yang dapat membuat seseorang lebih unggul daripada yang lain, Pasal 4 tentang perlindungan jasad dan pemakaman, atau Pasal 22(b) tentang hak untuk melakukan amar makruf nahi mungkar. Deklarasi ini juga sangat sering mengacu kepada hukum syariah, dan Pasal 1(a) memiliki kekhususan tersendiri karena mengumandangkan bahwa semua manusia disatukan oleh ketundukan kepada Allah dan merupakan keturunan Adam. Selain itu, beberapa hak yang diakui di tingkat internasional dan regional sama sekali tidak disebutkan dalam deklarasi ini, seperti kebebasan beragama, kebebasan berkumpul dan berserikat, serta pernyataan kesetujuan dari kedua mempelai sebagai syarat perkawinan.[181] Pendekatan partikularisme yang dilandaskan pada perbedaan budaya sendiri telah dikritik karena mengasumsikan bahwa budaya itu bersifat statis dan tidak pernah berubah. Selain itu, pandangan ini seolah memberikan ruang bagi praktik-praktik budaya yang tidak bisa diterima secara etika.[182] Walaupun begitu, pakar hak asasi manusia asal Belgia, Marie-Bénédicte Dembour, berpendapat bahwa perdebatan antara universalisme dan partikularisme akan selalu muncul setiap kali ada upaya untuk menetapkan suatu standar bersama.[183] Dalam yurisdiksi pengadilan HAM Eropa sendiri terdapat sebuah doktrin hukum yang dianggap dapat merukunkan kedua pandangan ini, yaitu doktrin margin apresiasi. Dengan diterapkannya doktrin ini, standar yang sama dapat memiliki penerapan yang berbeda-beda di setiap negara anggota Majelis Eropa. Contohnya adalah dalam kasus penistaan agama. Pengadilan HAM Eropa memberikan margin apresiasi yang luas kepada negara-negara anggota untuk menentukan cakupan pembatasan terhadap pendapat yang dapat menyinggung agama dalam perkara Wingrove v. the United Kingdom, karena menurut mereka tidak ada satu standar yang seragam di Eropa terkait dengan "perlindungan hak-hak orang lain" sebagai salah satu alasan yang dapat digunakan untuk membatasi hak atas kebebasan berpendapat. Akibatnya, walaupun negara-negara anggota Majelis Eropa secara hukum melindungi kebebasan berpendapat, penerapannya dalam kasus penistaan agama berbeda-beda di setiap negara;[184] berbagai negara di Eropa (seperti Belanda dan Britania Raya) memperbolehkan pendapat yang secara terang-terangan menghina suatu agama, sementara beberapa negara yang lain diizinkan membatasi pendapat semacam itu dengan menggunakan hukum pidana (contohnya adalah Austria dan Yunani).[185] Lihat pula
Catatan kaki
Daftar pustakaBuku
Bab buku
Jurnal
Dokumen
Deklarasi dan Perjanjian
Sumber daring
Bacaan lanjut
Pranala luar
|