HIV
HIV/AIDS kini masih menjadi permasalahan besar global dengan sebanyak 39,0 juta terjangkit infeksi HIV pada tahun 2022 dengan angka kasus infeksi baru sebesar 1,3 juta.[3][4] Afrika Timur dan Selatan menyumbang penambahan kasus infeksi HIV terbesar sebesar, yaitu lima ratus ribu jiwa diikuti Asia Pasifik sebesar tiga ratus ribu jiwa. Di Indonesia sendiri, terdapat sebanyak 515.455 ODHA (orang dengan HIV/AIDS) berdasarkan Laporan Eksekutif Perkembangan HIV/AIDS dan PIMS Triwulan 1 Tahun 2023[5]. Angka ini lebih rendah dari perkiraan Kemenkes pada tahun 2016, yaitu sebesar 631.524 jiwa ODHA. Insidensi HIV di Indonesia pun juga lebih rendah dari target asli, yaitu sebesar 0,09.[6] Namun, salah satu masalah terbesar infeksi HIV di Indonesia adalah cara agar para ODHA mengalami penekanan virus. Joint United Nations Programme on HIV and AIDS (UNAIDS) menetapkan target 95-95-95 pada tahun 2030 yang berarti sebanyak 95% ODHA mengetahui statusnya, 95% ODHA mendapatkan terapi ARV, dan 95% ODHA yang mendapatkan terapi ARV mengalami penekanan virus. Nyatanya, sampai dengan Desember 2022, baru sebesar 81% ODHA di Indonesia yang mengetahui statusnya. Sekitar setengah dari ODHA yang mengetahui statusnya mendapatkan terapi ARV dan kurang dari setengah ODHA yang mendapat terapi mengalami penekanan virus. Lebih buruknya lagi, lebih dari setengah (54%) ODHA yang mendapat terapi ARV tidak melanjutkan pengobatan. Dari 51% itu, 54% ODHA mangkir, 40% meninggal dunia, dan 6% berhenti sendiri.[6]
SejarahPada tahun 1983, Jean Claude Chermann dan Françoise Barré-Sinoussi dari Prancis berhasil mengisolasi HIV untuk pertama kalinya dari seorang penderita sindrom limfadenopati.[7] Pada awalnya, virus itu disebut ALV (lymphadenopathy-associated virus)[8] Bersama dengan Luc Montagnier, mereka membuktikan bahwa virus tersebut merupakan penyebab AIDS.[8] Pada awal tahun 1984, Robert Gallo dari Amerika Serikat juga meneliti tentang virus penyebab AIDS yang disebut HTLV-III.[7][9] Setelah diteliti lebih lanjut, terbukti bahwa ALV dan HTLV-III merupakan virus yang sama dan pada tahun 1986, istilah yang digunakan untuk menyebut virus tersebut adalah HIV, atau lebih spesifik lagi disebut HIV-1.[10] Tidak lama setelah HIV-1 ditemukan, suatu subtipe baru ditemukan di Portugal dari pasien yang berasal dari Afrika Barat dan kemudian disebut HIV-2.[7] Melalui kloning dan analisis sekuens (susunan genetik), HIV-2 memiliki perbedaan sebesar 55% dari HIV-1 dan secara antigenik berbeda.[7] Perbedaan terbesar lainnya antara kedua strain (galur) virus tersebut terletak pada glikoprotein selubung.[7] Penelitian lanjutan memperkirakan bahwa HIV-2 berasal dari SIV (retrovirus yang menginfeksi primata) karena adanya kemiripan sekuens dan reaksi silang antara antibodi terhadap kedua jenis virus tersebut.[7] KlasifikasiKedua spesies HIV yang menginfeksi manusia (HIV-1 dan -2) pada mulanya berasal dari Afrika barat dan tengah, berpindah dari primata ke manusia dalam sebuah proses yang dikenal sebagai zoonosis.[11] HIV-1 merupakan hasil evolusi dari simian immunodeficiency virus (SIVcpz) yang ditemukan dalam subspesies simpanse, Pan troglodyte troglodyte. Sedangkan, HIV-2 merupakan spesies virus hasil evolusi strain SIV yang berbeda (SIVsmm), ditemukan pada Sooty mangabey, monyet dunia lama Guinea-Bissau.[11] Sebagian besar infeksi HIV di dunia disebabkan oleh HIV-1 karena spesies virus ini lebih virulen dan lebih mudah menular dibandingkan HIV-2.[11] Sedangkan, HIV-2 kebanyakan masih terkurung di Afrika barat.[11] Berdasarkan susunan genetiknya, HIV-1 dibagi menjadi tiga kelompok utama, yaitu M, N, dan O.[12] Kelompok HIV-1 M terdiri dari 16 subtipe yang berbeda.[12] Sementara pada kelompok N dan O belum diketahui secara jelas jumlah subtipe virus yang tergabung di dalamnya.[12] Namun, kedua kelompok tersebut memiliki kekerabatan dengan SIV dari simpanse.[12] HIV-2 memiliki 8 jenis subtipe yang diduga berasal dari Sooty mangabey yang berbeda-beda.[12] Apabila beberapa virus HIV dengan subtipe yang berbeda menginfeksi satu individu yang sama, maka akan terjadi bentuk rekombinan sirkulasi (circulating recombinant forms-CRF)[13] (bahasa Inggris: circulating recombinant form, CRF). Bagian dari genom beberapa subtipe HIV yang berbeda akan bergabung dan membentuk satu genom utuh yang baru.[14] Bentuk rekombinan yang pertama kali ditemukan adalah rekombinan AG dari Afrika tengah dan barat, kemudian rekombinan AGI dari Yunani dan Siprus, kemudian rekombinan AB dari Rusia dan AE dari Asia tenggara.[14] Dari seluruh infeksi HIV yang terjadi di dunia, sebanyak 47% kasus disebabkan oleh subtipe C, 27% berupa CRF02_AG, 12,3% berupa subtipe B, 5.3% adalah subtipe D dan 3.2% merupakan CRF AE, sedangkan sisanya berasal dari subtipe dan CRF lain.[14] Struktur dan materi genetikHIV memiliki diameter 100-150 nm dan berbentuk sferis (spherical) hingga oval karena bentuk selubung yang menyelimuti partikel virus (virion).[15] Selubung virus berasal dari membran sel inang yang sebagian besar tersusun dari lipida.[15] Di dalam selubung terdapat bagian yang disebut protein matriks.[15] Bagian internal dari HIV terdiri dari dua komponen utama, yaitu genom dan kapsid.[16] Genom adalah materi genetik pada bagian inti virus yang berupa dua kopi utas tunggal RNA.[16] Sedangkan, kapsid adalah protein yang membungkus dan melindungi genom.[16] Berbeda dengan sebagian besar retrovirus yang hanya memiliki tiga gen (gag, pol, dan env), HIV memiliki enam gen tambahan (vif, vpu, vpr, tat, ref, dan nef).[17] Gen-gen tersebut disandikan oleh RNA virus yang berukuran 9 kb.[15] Kesembilan gen tersebut dikelompokkan menjadi tiga kategori berdasarkan fungsinya, yaitu gen penyandi protein struktural (Gag, Pol, Env), protein regulator (Tat, Rev), dan gen aksesoris (Vpu hanya pada HIV-1, Vpx hanya pada HIV-2; Vpr, Vif, Nef).[16]
SiklusSeperti virus lain pada umumnya, HIV hanya dapat bereplikasi dengan memanfaatkan sel inang. Siklus HIV diawali dengan penempelan partikel virus (virion) dengan reseptor pada permukaan sel inang, di antaranya adalah CD4, CXCR5, dan CXCR5. Sel-sel yang menjadi target HIV adalah sel dendritik, sel T, dan makrofaga.[16] Sel-sel tersebut terdapat pada permukaan lapisan kulit dalam (mukosa) penis, vagina, dan oral yang biasanya menjadi tempat awal infeksi HIV.[16] Selain itu, HIV juga dapat langsung masuk ke aliran darah dan masuk serta bereplikasi di noda limpa.[16] Setelah menempel, selubung virus akan melebur (fusi) dengan membran sel sehingga isi partikel virus akan terlepas di dalam sel.[19] Selanjutnya, enzim transkriptase balik yang dimiliki HIV akan mengubah genom virus yang berupa RNA menjadi DNA.[19] Kemudian, DNA virus akan dibawa ke inti sel manusia sehingga dapat menyisip atau terintegrasi dengan DNA manusia.[19] DNA virus yang menyisip di DNA manusia disebut sebagai provirus dan dapat bertahan cukup lama di dalam sel.[19] Saat sel teraktivasi, enzim-enzim tertentu yang dimiliki sel inang akan memproses provirus sama dengan DNA manusia, yaitu diubah menjadi mRNA.[19] Kemudian, mRNA akan dibawa keluar dari inti sel dan menjadi cetakan untuk membuat protein dan enzim HIV.[19] Sebagian RNA dari provirus yang merupakan genom RNA virus.[19] Bagian genom RNA tersebut akan dirakit dengan protein dan enzim hingga menjadi virus utuh.[19] Pada tahap perakitan ini, enzim HIV protease virus berperan penting untuk memotong protein panjang menjadi bagian pendek yang menyusun inti virus.[19] Apabila HIV utuh telah matang, maka virus tersebut dapat keluar dari sel inang dan menginfeksi sel berikutnya.[20] Proses pengeluaran virus tersebut melalui pertunasan (budding), di mana virus akan mendapatkan selubung dari membran permukaan sel inang.[20] Deteksi HIVPada saat paling awalpun deteksi HIV dapat dilakukan dengan pemeriksaan darah, walaupun tidak ada gejala apapun. Pada tahap kedua telah ada gejala klinis, misalnya kulitnya jelek, gatal-gatal dan batuk pilek seperti flu biasa. Pada tahap ketiga akan mengalami penurunan berat badan dan terkena TBC. Dan pada tahap keempat telah mengalami komplikasi, sulit disembuhkan dan biasanya diikuti dengan kematian.[21] Umumnya, ada tiga tipe deteksi HIV, yaitu tes PCR, tes antibodi HIV, dan tes antigen HIV.[22] Tes reaksi berantai polimerase (PCR) merupakan teknik deteksi berbasis asam nukleat (DNA dan RNA) yang dapat mendeteksi keberadaan materi genetik HIV di dalam tubuh manusia.[23] Tes ini sering pula dikenal sebagai tes beban virus atau tes amplifikasi asam nukleat (HIV NAAT).[22] PCR DNA biasa merupakan metode kualitatif yang hanya bisa mendeteksi ada atau tidaknya DNA virus.[24] Sedangkan, untuk deteksi RNA virus dapat dilakukan dengan metode real-time PCR yang merupakan metode kuantitatif.[24] Deteksi asam nukleat ini dapat mendeteksi keberadaan HIV pada 11-16 hari sejak awal infeksi terjadi.[12] Tes ini biasanya digunakan untuk mendeteksi HIV pada bayi yang baru lahir, namun jarang digunakan pada individu dewasa karena biaya tes PCR yang mahal dan tingkat kesulitan mengelola dan menafsirkan hasil tes ini lebih tinggi bila dibandingkan tes lainnya.[22] Untuk mendeteksi HIV pada orang dewasa, lebih sering digunakan tes antibodi HIV yang murah dan akurat.[22] Seseorang yang terinfeksi HIV akan menghasilkan antibodi untuk melawan infeksi tersebut.[22] Tes antibodi HIV akan mendeteksi antibodi yang terbentuk di darah, saliva (liur), dan urin.[22] Sejak tahun 2002, telah dikembangkan suatu penguji cepat (rapid test) untuk mendeteksi antibodi HIV dari tetesan darah ataupun sampel liur (saliva) manusia.[25] Sampel dari tubuh pasien tersebut akan dicampur dengan larutan tertentu. Kemudian, kepingan alat uji (test strip) dimasukkan dan apabila menunjukkan hasil positif maka akan muncul dua pita berwarna ungu kemerahan.[25] Tingkat akurasi dari alat uji ini mencapai 99.6%, namun semua hasil positif harus dikonfirmasi kembali dengan ELISA.[25] Selain ELISA, tes antibodi HIV lain yang dapat digunakan untuk pemeriksaan lanjut adalah Western blot.[23] Tes antigen dapat mendeteksi antigen (protein P24) pada HIV yang memicu respon antibodi.[22] Pada tahap awal infeksi HIV, P24 diproduksi dalam jumlah tinggi dan dapat ditemukan dalam serum darah.[22] Tes antibodi dan tes antigen digunakan secara berkesinambungan untuk memberikan hasil deteksi yang lebih akurat dan lebih awal.[22] Tes ini jarang digunakan sendiri karena sensitivitasnya yang rendah dan hanya bisa bekerja sebelum antibodi terhadap HIV terbentuk.[22] Kesemua cara di atas mendeteksi virusnya, tetapi cara paling murah adalah tes CD4 yang hanya Rp 100,000 lebih di RS Kanker. CD4 tidak mengetes kehadiran virus HIVnya, atau antibodi spesifik yang melawan HIV, CD4 mengukur sistem imunitas pasien. Sebelumnya jika CD4 belum mencapai nilai tertentu, walaupun diketahui keberadaan virus HIV, maka belum dilakukan pengobatan apapun, tetapi sekarang ini jika sudah diketahui keberadaan virus HIV, maka berapapun nilai CD4 harus dilakukan pengobatan.Di Indonesia, dimana masalah dana menjadi kendala, maka tes CD4 sudah cukup memadai untuk deteksi awal kemungkinan keberadaan virus HIV. Dan perlu diingat bahwa HIV belum tentu menjadi AIDS dengan pengobatan yang adekuat. CD4 juga berguna sebagai indikasi awal keberadaan kanker atau segala hal yang berhubungan dengan sistem imunitas pasien. Jika CD4 telah mencapai nilai tertentu, maka perlu dilakukan tes CD8. Penularan dan pencegahanHIV dapat ditularkan melalui injeksi langsung ke aliran darah, serta kontak membran mukosa atau jaringan yang terlukan dengan cairan tubuh tertentu yang berasal dari penderita HIV.[26] Cairan tertentu itu meliputi darah, semen, sekresi vagina, dan ASI.[26] Beberapa jalur penularan HIV yang telah diketahui adalah melalui hubungan seksual, dari ibu ke anak (perinatal), penggunaan obat-obatan intravena, transfusi dan transplantasi, serta paparan pekerjaan.[27] Tetapi untuk tiap satu kali tindakan, maka yang paling berisiko adalah transfusi darah dari donor darah penderita HIV dimana kemungkinan resipien terkena HIV mencapai 90 persen, sedangkan ibu hamil penderita HIV yang melahirkan dan menyusuinya kemungkinan akan menularkan pada bayinya HIV sebesar 25 persen, tetapi dengan pemberian obat-obatan dan penanganan yang tepat pada saat kelahiran dan sesudahnya, maka angka ini dapat ditekan menjadi 1 sampai 2 persen saja.Sekarang ini semua darah dari donor mengalami penapisan HIV, sehingga kasus penularan melalui transfusi darah boleh dikatakan sudah tidak ada lagi. Hubungan seksualMenurut data WHO, pada tahun 1983-1995, sebanyak 70-80% penularan HIV dilakukan melalui hubungan heteroseksual, sedangkan 5-10% terjadi melalui hubungan homoseksual. Kontak seksual melalui vagina dan anal memiliki risiko yang lebih besar untuk menularkan HIV dibandingkan dengan kontak seks secara oral.[28] Beberapa faktor lain yang dapat meningkatkan risiko penularan melalui hubungan seksual adalah kehadiran penyakit menular seksual, kuantitas beban virus, penggunaan douche. Seseorang yang menderita penyakit menular seksual lain (contohnya: sifilis, herpes genitali, kencing nanah, dsb.) akan lebih mudah menerima dan menularkan HIV kepada orang lain yang berhubungan seksual dengannya.[29][30] Beban virus merupakan jumlah virus aktif yang ada di dalam tubuh. Penularah HIV tertinggi terjadi selama masa awal dan akhir infeksi HIV karena beban virus paling tinggi pada waku tersebut.[30] Pada rentan waktu tersebut, beberapa orang hanya menimbulkan sedikit gejala atau bahkan tidak sama sekali.[30] Penggunaan douche dapat meningkatkan risiko penularan HIV karena menghancurkan bakteri baik di sekitar vagina dan anus yang memiliki fungsi proteksi.[30] Selain itu, penggunaan douche setelah berhubungan seksual dapat menekan bakteri penyebab penyakit masuk ke dalam tubuh dan mengakibatkan infeksi.[30] Pencegahan HIV melalui hubungan seksual dapat dilakukan dengan tidak berganti-ganti pasangan dan menggunakan kondom.[27] Cara pencegahan lainnya adalah dengan melakukan hubungan seks tanpa menimbulkan paparan cairan tubuh.[29] Untuk menurunkan beban virus di dalam saluran kelamin dan darah, dapat digunakan terapi anti-retroviral.[30] Ibu ke anak (transmisi perinatal)Penularan HIV dari ibu ke anak dapat terjadi melalui infeksi in utero, saat proses persalinan, dan melalui pemberian ASI.[27] Beberapa faktor maternal dan eksternal lainnya dapat mempengaruhi transmisi HIV ke bayi, di antaranya banyaknya virus dan sel imun pada trisemester pertama, kelahiran prematur, dan lain-lain.[27] Penurunan sel imun (CD4+) pada ibu dan tingginya RNA virus dapat meningkatkan risiko penularan HIV dari ibu ke anak. Selain itu, sebuah studi pada wanita hamil di Malawi dan AS juga menyebutkan bahwa kekurangan vitamin A dapat meningkatkan risiko infeksi HIV. Risiko penularan perinatal dapat dilakukan dengan persalinan secara caesar, tidak memberikan ASI, dan pemberian ARV pada masa akhir kehamilan dan setelah kelahiran bayi.[27] Di sebagian negara berkembang, pencegahan pemberian ASI dari penderita HIV/AIDS kepada bayi menghadapi kesulitan karena harga susu formula sebagai pengganti relatif mahal.[31] Selain itu, para ibu juga harus memiliki akses ke air bersih dan memahami cara mempersiapan susu formula yang tepat.[31] Lain-lainCara efektif lain untuk penyebaran virus ini adalah melalui penggunaan jarum atau alat suntik yang terkontaminasi, terutama di negara-negara yang kesulitan dalam sterilisasi alat kesehatan.[27] Bagi pengguna obat intravena (dimasukkan melalui pembuluh darah), HIV dapat dicegah dengan menggunakan jarum dan alat suntik yang bersih.[27] Penularan HIV melalui transplantasi dan transfusi hanya menjadi penyebab sebagian kecil kasus HIV di dunia (3-5%).[27] Hal ini pun dapat dicegah dengan melakukan pemeriksaan produk darah dan transplan sebelum didonorkan dan menghindari donor yang memiliki risiko tinggi terinfeksi HIV.[27] Penularan dari pasien ke petugas kesehatan yang merawatnya juga sangat jarang terjadi (< 0.0001% dari keseluruhan kasus di dunia).[27] Hal ini dicegah dengan memeberikan pengajaran atau edukasi kepada petugas kesehatan, pemakaian pakaian pelindung, sarung tangan, dan pembuangan alat dan bahan yang telah terkontaminasi sesuai dengan prosedur.[27] Pada tahun 2005, sempat diusulkan untuk melakukan sunat dalam rangka pencegahan HIV. Namun menurut WHO, tindakan pencegahan tersebut masih terlalu awal untuk direkomendasikan.[32] Ada beberapa jalur penularan yang ditakutkan dapat menyebarkan HIV, yaitu melalui ludah, gigitan nyamuk, dan kontak sehari-hari (berjabat tangan, terekspos batuk dan bersin dari penderita HIV, menggunakan toilet dan alat makan bersama, berpelukan).[26] Namun, CDC (Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit) menyatakan bahwa aktivitas tersebut tidak mengakibatkan penularan HIV.[26] Beberapa aktivitas lain yang sangat jarang menyebabkan penularan HIV adalah melalui gigitan manusia dan beberapa tipe ciuman tertentu.[26] Sub-Sahara Afrika tetap merupakan daerah yang paling parah terkena HIV di antara kaum perempuan hamil pada usia 15-24 tahun di sejumlah negara di sana. Ini diduga disebabkan oleh banyaknya penyakit kelamin, praktik menoreh tubuh, transfusi darah, dan buruknya tingkat kesehatan dan gizi di sana.[33] Lihat pulaReferensi
Pranala luar
|