Abolisionisme

Abolisionisme adalah sebuah paham yang meyakini bahwa suatu tindak pidana dapat mencapai penghapusan hukuman pidana pada kasus-kasus yang tergolong ringan. Perintis pemikiran abolisionisme adalah Louk Hulsman pada tahun 1964. Paham ini meyakini bahwa sistem peradilan pidana memiliki kekurangan dan menjadi masalah sosial. Penegakan keadilan dalam abolisionisme menerapkan model keadilan restoratif dengan metode perbaikan diri. Dalam abolisionisme, sanksi bagi pelaku pidana harus bersifat efektif dan layak untuk diterimanya.

Sejarah

Abolisionisme awalnya dikembangkan pada tahun 1964 oleh Louk Hulsman. Hulsman pada tahun tersebut menjabat sebagai Ketua Hukum Pidana dan Krimonologi di Universitas Erasmus Rotterdam di Belanda. Ia menyampaikan pemikiran abolisionisme dalam pidato wisudanya yang berjudul Handhaving van Recht atau The Maintenance of Justice. Dalam pidatonya, ia mengemukakan bahwa pelaksanaan hukum pidana dapat mengurangi perolehan keadilan.[1]

Paham

Adanya kekurangan dari sistem peradilan pidana

Abolisionisme merupakan keyakinan yang menganggap bahwa sistem peradilan pidana memiliki kekurangan secara prosedural maupun struktural. Namun, kritik atas pemidanaan oleh abolisionisme hanya berfokus pada tindak pidana yang ringan. Kasus-kasus pemidanaan yang dikritik pada abolisionisme berkaitan dengan segala jenis kasus dengan kemungkinan terjadinya penghapusan hukuman pidana, seperti pencurian dengan harga barang curian yang murah.[2]

Sistem peradilan pidana sebagai masalah sosial

Dalam abolosionisme, sistem peradilan pidana merupakan masalah sosial. Pandangan ini meyakini bahwa sistem peradilan pidana bersifat tidak terkendali dan menggunakan pendekatan peradilan yang tidak sempurna. Sifat tersebut kemudian menghasilkan penderitaan yang dijadikan sebagai bentuk kegagalan pencapaian tujuan dan cita-cita peradilan.[3]

Penegakan keadilan

Abolosiionisme menetapkan model keadilan restoratif dalam penyelesaian perkara pidana. Pendukungnya menolak penggunaan sarana-sarana pemberian hukuman yang bersifat memaksa. Selain itu, abolisionisme juga menolak sarana pengadilan. Metode yang digunakannya hanya metode perbaikan diri.[4] Abolisionisme menetapkan bahwa hukuman atas suatu tindak pidana diberikan dalam bentuk sanksi yang layak dan efektif. Namun, paham ini menolak pemberian hukuman yang bersifat kelembagaan seperti pemenjaraan.[5]

Referensi

Catatan kaki

  1. ^ Suyono dan Firdiyanto 2020, hlm. 41.
  2. ^ Hajairin 2019, hlm. 210-211.
  3. ^ Hajairin 2019, hlm. 211.
  4. ^ Suyono dan Firdiyanto 2020, hlm. 94-95.
  5. ^ Suyono dan Firdiyanto 2020, hlm. 95.

Daftar pustaka

Bacaan lanjutan

  • Finkelman, Paul, ed. Encyclopedia of Slavery (1999)

Pranala luar

Kembali kehalaman sebelumnya