Poso (kota)
Poso (Ejaan Van Ophuijsen: Posso; IPA: [pɔsɔ]; ⓘ), adalah ibu kota Kabupaten Poso. Posisi Poso terletak di tengah Pulau Sulawesi, di pesisir Teluk Tomini, dan menjadi kota pelabuhan dan perhentian utama di pesisir tengah bagian selatan Teluk Tomini.[2] Kota Poso dilewati oleh Sungai Poso yang mengalir dari Danau Poso di kecamatan Pamona Puselemba. Wilayah perkotaannya melingkupi tiga kecamatan, yaitu Poso Kota, Poso Kota Utara dan Poso Kota Selatan. Pada tahun 2024, penduduk kota Poso dari tiga kecamatan tersebut berjumlah 41.222 jiwa. Kota ini mulai berkembang sebagai kota pelabuhan kecil di mulut Sungai Poso pada akhir abad ke-19—menjadikannya sebagai salah satu kota tertua di Sulawesi Tengah, dan merupakan salah satu kota penting bagi Belanda untuk mengontrol wilayah selatan Teluk Tomini pada awal kedatangan mereka. Poso adalah pusat pemerintahan dari Landschap Poso, Onderafdeling Poso, dan Afdeling Poso pada zaman kolonial. Pada pertengahan Perang Dunia II, Jepang menjadikan Poso sebagai salah satu tangsi militer mereka. Poso sempat menjadi ibu kota Sulawesi Tengah pada tahun 1948, sebelum dipindahkan ke Palu. Kota ini dilanda konflik komunal menjelang akhir tahun 1998, dan berlangsung sampai setidaknya tahun 2001. Kerusuhan terjadi dan menyebar ke hampir seluruh wilayah di Kabupaten Poso, menyebabkan sekitar 100 ribu jiwa mengungsi ke daerah lain. Pemerintah bertindak dengan menggelar deklarasi damai untuk kedua belah pihak, dan kerusuhan mulai menyurut—meskipun tidak sepenuhnya. Baru pada awal tahun 2007, operasi kepolisian berhasil menangkap mereka yang dianggap terlibat dalam serangkaian aksi teror di Poso. Tahun-tahun berikutnya ditandai dengan peningkatan kualitas ekonomi dan infrastuktur kota dalam berbagai sektor. Dilayani oleh Bandar Udara Kasiguncu, Poso terhubung melalui udara dengan kota-kota lain di Indonesia seperti Palu dan Makassar. Posisi Poso yang terletak di tengah, dan dilalui oleh Jalan Nasional Trans Sulawesi yang merupakan jalur strategis yang menghubungkan antar provinsi di pulau Sulawesi, membuat kota ini menjadi pusat perhentian baik dari utara maupun selatan, atau dari barat dan timur Sulawesi. Alasan ini pula yang membuat penduduk Poso terdiri dari berbagai jenis suku, agama, dan latar belakang. Ekonomi kota ditopang melalui sektor perdagangan dan jasa. SejarahPada tahun 1892, misionaris Belanda bernama Albertus Christiaan Kruyt tiba di Poso untuk menjalankan misinya. Saat itu, penduduk yang telah menetap berada di daerah Sayo (sekarang di Kelurahan Sayo) yang merupakan tempat pendaratan perahu dari muara Sungai Poso. Pada tanggal 5 September 1894, keadaan sempat tidak aman akibat perseteruan antar suku, dan hal ini membuat Kruyt meminta Pemerintah Hindia Belanda untuk mengatasi keadaan dan menempatkan aparatnya di daerah Poso yang dipimpin oleh kontrolir wilayah Teluk Tomini bagian selatan yang berkedudukan di Mapane. Pada tanggal 1 Maret 1895, kedudukan kontrolir dipindahkan ke wilayah kota Poso yang sekarang ini.[3] Pada tahun 1940-an, Poso sebagai salah satu afdeling dari Daerah Otonom Sulawesi Tengah direkomendasikan untuk menjadi pusat pemerintahan (ibu kota) Daerah Sulawesi Tengah, sesuai keputusan Konfederasi Raja-raja Sulawesi Tengah. Rekomendasi ini terwujud pada tahun 1946.[4] Pertemuan lanjutan yang dipelopori oleh Magau Palu, Tjatjo Idjazah, diadakan di Parigi pada tanggal 27 November hingga 2 Desember tahun 1948. Keputusan ini diperkuat dengan surat permohonan yang ditujukan kepada Perdana Menteri Negara Indonesia Timur, Ida Anak Agung Gde Agung, yang dikeluarkan pada tanggal 8 Februari 1949.[5] Hingga tahun 1952, wilayah Sulawesi Tengah masih terbagi dua daerah otonom, yaitu Onderafdeeling Poso yang meliputi Poso, Luwuk Banggai dan Kolonodale yang beribu kota di Poso, dan Onderafdeeling Donggala meliputi Donggala, Palu, Parigi, dan Tolitoli dengan ibu kota yang terletak di Palu. Wilayah tersebut sering disebut pembagian wilayah Sulawesi Tengah bagian Barat dan Timur. Hal ini membuktikan bahwa Poso telah menjadi pusat perdagangan dan pemerintahan Sulawesi wilayah Timur sejak ratusan tahun yang lalu.[3] Pada tahun 1955, terjadi perkembangan wilayah menjadi 11 kampung dan sebagian kampung Gorontalo dilebur menjadi kampung Tawongan, kampung Tiongkok dan kampung Arab disatukan dengan kampung Gorontalo ditambah dengan kampung Madale/Karawasa, Buyumboyo dan Ranononcu yang meliputi wilayah Kagila/Lembomawo dan Moengko. Pada tahun 1959, jumlah kampung kembali berkembang menjadi 14 kampung dengan bertambahnya Kampung Kagila, Kampung Tegalrejo dan kampung Gebangrejo sedangkan kampung Lage berubah nama menjadi kampung Lombogia.[3] 2016-sekarang: PembangunanPada tanggal 3 Mei 2016, lokasi Pasar Sentral Poso digusur dengan dibantu ratusan petugas gabungan Satpol PP dan didukung TNI-Polri. Penggusuran ini dilakukan sebagai hasil dari kebijakan relokasi pedagang ke pasar baru yang terletak di Kawua, Poso Kota Selatan. Lokasi pasar lama sendiri akan dijadikan Ruang Terbuka Hijau (RTH) untuk warga kota Poso.[6] Poso adalah kota pertama di Sulawesi Tengah yang menjalankan program Smart City (kota cerdas).[7] Pada tanggal 26 Mei 2017, Bupati melakukan peletakkan batu pertama pembangunan tempat pembuangan akhir (TPA) sampah yang terletak di jalan lingkar Kelurahan Moengko, Kecamatan Poso Kota. Ini adalah salah satu upaya yang dilakukan pemerintah kabupaten untuk meraih Piala Adipura.[8] GeografiIklimMenurut klasifikasi iklim Köppen, wilayah Poso termasuk daerah hujan tropis (Af). Suhu rata-rata tahunan mencapai ±26.9℃. Bulan terpanas adalah bulan Oktober, dengan suhu bulanan rata-rata mencapai 27.6℃. Bulan yang paling dingin adalah bulan Juli, dengan suhu rata-rata bulanan mencapai 25.9℃. Curah hujan tahunan rata-rata adalah 1694.2 mm, dan curah hujan maksimum bulan Juli mencapai 182.9 mm. Curah hujan bulanan minimum adalah Januari sampai 111,4 mm. Curah hujan tahunan rata-rata mencapai 160 hari, dengan jumlah terbesar hari hujan berada di bulan Juli, yang mencapai 20 hari; berbeda dengan bulan Desember, yang rata-rata curah hujannya hanya selama 8 hari.
DemografiSuku bangsaPenduduk asli daerah Poso saat ini sudah bercampur dengan para perantau yang telah berada di daerah ini puluhan bahkan ratusan tahun yang lalu. Selain suku asli, daerah Poso dan sekitarnya didiami oleh pendatang dari daerah luar. Hal ini juga merupakan salah satu bukti ketenaran daerah Poso dimasa silam. Seiring berkembangnya kota Poso selama rezim Orde Baru, Poso menjadi semakin beragam secara etnis. Penduduk Protestan selain Pamona termasuk orang-orang Minahasa, Bali, dan Tionghoa serta Mori, Napu, Besoa, dan Bada dari wilayah pedalaman kabupaten. Penduduk Muslim termasuk orang-orang Poso Pesisir, Arab, Jawa, Bugis, Makassar, Mandar, Buton, Kaili, Tojo, Togean, dan Bungku dari dalam kabupaten. Kelompok minoritas Katolik terdiri dari orang Minahasa dan Tionghoa, serta para migran dari bekas koloni Portugis seperti Flores. Orang Bali adalah satu-satunya etnis yang memeluk agama Hindu. Secara keseluruhan, pada akhir 1990-an, persentase Muslim dari populasi kota Poso melebihi 50 persen, dan orang Bugis Muslim menguasai banyak perdagangan kota.[11] AgamaMeskipun Kristen merupakan agama mayoritas di Kabupaten Poso, penduduk di kota Poso lebih banyak yang memeluk agama Islam. Pada tahun 2015, sekitar 47315 jiwa menganut agama Islam, 8338 jiwa memeluk Kristen, 50 orang beragama Katolik, 90 orang merupakan pemeluk Hindu, dan sekitar 20 orang lainnya menganut agama Buddha.[12] Pada tahun 2016, ada sekitar 49 masjid dan 14 musala, 33 Gereja Protestan dan 3 Gereja Katolik, dan 17 pura.[13] SosialPendidikanSebagai ibu kota kabupaten, kota ini juga menjadi pusat pendidikan dan edukasi. Perguruan tinggi swasta terbesar di Poso adalah Universitas Sintuwu Maroso, yang berdiri sejak tahun 1986. Sekolah Tinggi Agama Islam Poso adalah perguruan tinggi Islam swasta yang mulai beroperasi pada bulan Juni 2010. Perguruan tinggi swasta lainnya adalah Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Husada Mandiri yang berada di tengah kota. EkonomiDengan status pusat pemerintahan, Poso juga memegang peran sebagai pusat ekonomi di Kabupaten Poso. Sektor perdagangan menyumbang dampak ekonomi yang besar—sebagian besar usaha menengah besar (UMB) berada di sini,[14] dengan pertimbangan infrastruktur yang lebih mendukung dibandingkan kecamatan lainnya. Akumulasi realisasi belanja langsung dari tiga kecamatan mencapai Rp924.760.000,00 Juta.[15] Di sisi lain, realisasi penerimaan pajak bumi dan bangunan mencapai Rp415.995.622,00 Juta.[16] Jumlah izin usaha untuk pedagang kecil yang diterbitkan pada tahun 2016 mencapai 157 izin, sedangkan untuk pedagang kelas menengah adalah 16 izin.[17] Pada tahun yang sama, ada sekitar 4598 usaha kecil dan menengah di kota ini.[18] OlahragaKementerian Pemuda dan Olahraga, Imam Nahrawi dalam kunjungannya ke Poso —dalam rangka melepas lomba lari maraton 42 km— pada tanggal 4 November 2016, menyatakan bahwa Poso memiliki potensi untuk menjadi kota olahraga.[19] Referensi
Daftar pustakaSumber primer
Buku
Laporan
SumberBuku
Jurnal
Laporan
Situs web
Pranala luarWikimedia Commons memiliki media mengenai Poso. |