Korps Speciale Troepen
Korps Speciale Troepen (KST; "Korps Pasukan Khusus") adalah unit pasukan khusus Tentara Kerajaan Hindia Belanda (KNIL) yang dibentuk untuk ditempatkan melawan kaum revolusioner Indonesia selama Revolusi Nasional Indonesia. Unit ini dibentuk pada tahun 1948 bersama dengan Depot Speciale Troepen (DST; "Depot Pasukan Khusus"), dan kemudian dibubarkan bersama Tentara Kerajaan Hindia Belanda pada tahun 1950, yang saat itu namanya telah diubah menjadi Regiment Speciale Troepen (RST; "Resimen Pasukan Khusus").[1][2] DST terdiri dari sekitar 570 personel pada pendiriannya di tahun 1945, dan memiliki pendahulu di Korps Insulinde ("Korps Insulindia") yang melakukan operasi klandestin selama pendudukan Jepang di Hindia Belanda. Pada bulan Juni 1949, 250 personel dari Kompi Parasut ke-1 diintegrasikan ke dalam Korps. KST, yang akan mencapai kekuatan maksimumnya berjumlah 1.250 orang, terdiri dari sukarelawan perang Belanda (OVW), tentara Eurasia, dan pribumi, termasuk orang Maluku. Saat ini, Korps Komandotroepen (KCT; "Korps Komando") dari Angkatan Darat Kerajaan Belanda dianggap sebagai penerus dari RST.[1] Tentara Nasional Indonesia kagum dengan kemampuan dan keterampilan pasukan KST, terutama penembak runduk mereka. Hal ini kemudian mengilhami para jenderal Indonesia yang terlibat untuk meniru KST dan membentuk sebuah kesatuan pasukan khusus untuk Indonesia, yang kemudian hari dikenal sebagai Kopassus.[butuh rujukan] Baret hijau dan baret merahPasukan ini mengenakan baret hijau, yang merupakan penutuo kepala resmi dari Komando Britania Raya selama Perang Dunia II. Di bawah nama Pasukan No. 2 (Belanda), komando Belanda pertama ini dilatih di Achnacarry, Skotlandia, sebagai bagian dari Komando No. 10 (Antar-Sekutu). Setelah perang usai, anggota pasukan Belanda No. 2 bertugas di DST. Sayap penerjun payung Korps mengenakan baret merah.[1][3] OperasiPada akhir tahun 1946, DST di bawah Kapten Raymond Westerling dikerahkan ke Sulawesi Selatan untuk mengembalikan kekuasaan Belanda di daerah tersebut. Dengan menggunakan taktik teror, kaum nasionalis Indonesia setempat berusaha mencegah kembalinya kekuasaan Belanda. Westerling memimpin sebuah operasi kontraterorisme kontroversial yang kemudian dikenal sebagai "Kampanye Sulawesi Selatan", di mana ribuan tersangka nasionalis terbunuh. DST/KST kemudian berfokus pada upaya penumpasan pemberontakan. Keahlian KNIL di bidang ini, dipadukan dengan keterampilannya pada komando modern, ternyata menjadi resep suksesnya operasi ini. Ketika kaum nasionalis Indonesia beralih ke perang gerilya, pasukan khusus ini semakin dipanggil dan kaum revolusioner belajar untuk menghindari konfrontasi dengan unit-unit KST sebanyak mungkin. Ini bukan hanya masalah bertahan hidup, karena para pejuang Indonesia bukan tandingan pasukan komando berpengalaman KST, tetapi juga masalah taktik. Ketika pasukan KST meninggalkan area untuk beroperasi di tempat lain, kaum nasionalis kembali untuk melanjutkan aksi gerilya mereka melawan pasukan reguler Belanda. Pasukan terjun payung KST melakukan sejumlah operasi lintas udara. Pada awal Operasi Kraai pada akhir 1948, mereka merebut bandara ibu kota Republik di Yogyakarta sebagai awal dari penaklukan Belanda atas Yogyakarta, kemudian memenjarakan para pemimpin Indonesia, termasuk Presiden Sukarno.[4] Contoh keunggulan kualitatif KST/RST atas para pejuang Tentara Nasional Indonesia adalah dalam operasi terakhir RST sebelum Konferensi Meja Bundar Belanda–Indonesia pada bulan Agustus 1949. TNI membuat upaya terakhir sebelum gencatan senjata untuk menyusup ke Surakarta di Jawa Tengah. 325 personel dari RST buru-buru diterbangkan untuk mengusir TNI dari kota itu. Pengepungan Surakarta dapat diselesaikan dalam beberapa hari dengan TNI kehilangan sekitar 400 orang, sedangkan RST hanya mengalami 3 luka-luka. Ini tidak menutup kemungkinan bahwa adanya sejumlah korban sipil termasuk dalam kerugian TNI. Setelah penyerahan kedaulatan dan permusuhan secara resmi berakhir, komando RST beraksi untuk terakhir kalinya, meskipun tanpa persetujuan atasan mereka. Beberapa dari mereka terlibat dalam percobaan kudeta terhadap rezim Sukarno pada Januari 1950, sebagai bagian dari Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) yang dipimpin oleh mantan Kapten Raymond Westerling. Sekolah Pelatihan Penerjun PayungSetelah Perang Dunia II, School Opleiding Parachutisten (SOP; "Sekolah Pelatihan Penerjun Payung") didirikan di lapangan terbang Andir dekat Bandung, Jawa Barat. SOP adalah sekolah yang melatih pasukan terjun payung Korps Speciale Troepen. Komandan
Anggota terkenal
Rokus VisserKomandan pertama dari unit yang baru adalah Mayor Rokus Bernardus Visser, yang telah membelot dari pengabdian pada Belanda menjelang akhir perang. Dia tetap di Indonesia, menikah dengan seorang wanita Indonesia dan dikenal secara lokal sebagai Mochamad Idjon Djanbi.[butuh rujukan] Akhirnya dia dihubungi dan direkrut oleh Tentara Nasional Indonesia, yang di kesatuan tersebut ia menciptakan unit baru yang dia model dari KST - yang akhirnya dinamakan sebagai Kopassus, dengan baret merah yang sama seperti dengan KST. [butuh rujukan] Lihat pulaCatatan kaki
Referensi
|