Kampanye Sulawesi Selatan

Kampanye Sulawesi Selatan
Bagian dari Revolusi Nasional Indonesia
Tanggal10 Desember 1946–21 Februari 1947
LokasiSulawesi
Pihak terlibat
Indonesia
Tentara Republik Indonesia (TRI)
Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi (KRIS)
Pasukan ireguler setempat
Belanda
Depot Special Forces (DST)
Koninklijk Nederlandsch-Indisch Leger (KNIL)
Kepolisian
Garda desa
Tokoh dan pemimpin

Sam Ratulangi
Andi Abdullah Bau Massepe  
Andi Mattalata

Lieutenant Latief
Kapten Westerling
Kolonel De Vries
Kekuatan
Tidak diketahui 123 tentara DST
Korban
Kira-kira 5.000 tewas; sebagian besar di antaranya non-kombatan 3 tentara DST tewas
Beberapa tentara KNIL, anggota garda desa, dan polisi tewas

Kampanye Sulawesi Selatan (10 Desember 1946 – 21 Februari 1947), yang juga dikenal sebagai Pembantaian Westerling, adalah bagian dari Revolusi Nasional Indonesia. Kampanye ini mempertemukan kaum Republikan Indonesia setempat di Sulawesi dengan tentara Belanda yang datang untuk merebut kembali kekuasaannya. Serangan kontrapemberontak Belanda dipimpin oleh Raymond Westerling, seorang kapten kontroversial di KNIL (Koninklijk Nederlandsch-Indisch Leger). Operasi Westerling, yang dimulai bulan Desember 1946 sampai Februari 1947, berhasil meredam pemberontakan dan menghapus dukungan warga lokal terhadap kaum Republik dengan menjalankan eksekusi mati langsung terhadap orang-orang yang diduga musuh.

Latar belakang

Antara 1816 sampai 1905, Belanda memperkuat kendalinya atas negara Sulawesi Selatan. Pada tahun 1911, Belanda telah mengintegrasikan wilayah tersebut ke dalam Hindia Belanda.[1] Kekuasaan Belanda diserobot oleh invasi Jepang ke Hindia Belanda pada Perang Dunia II. Waktu itu, Sulawesi dan sebagian besar Indonesia timur berada di bawah pemerintahan Angkatan Laut Kekaisaran Jepang yang berusaha meredam gerakan republik dan nasionalis setempat, berbeda dengan pemerintahan Angkatan Darat di Jawa dan Sumatra.[2] Setelah penyerahan diri Jepang bulan Agustus 1945, gerakan nasionalis di Sulawesi membangun hubungan dengan pemerintahan republik Soekarno di Jawa.[2]

Akan tetapi, karena struktur pasukan nasionalis di Sulawesi lemah, mereka tidak mampu menahan laju pasukan pendudukan Australia dan Belanda yang dengan cepat menguasai seluruh Indonesia Timur tanpa perlawanan. Pada tanggal 5 April 1946, sebagian besar pejabat pemerintahan republik lokal, termasuk Gubernur Sam Ratulangi, ditahan oleh pasukan Belanda. Belanda juga menahan bangsawan pro-republik dan para pendukungnya. Meski begitu, perlawanan terus dilanjutkan oleh kaum intelektual dan gerilya pro-republik, bangsawan, dan militan yang berbasis di Jawa.[2] Belanda mencap pemberontakan lokal sebagai perwujudan komunisme internasional dan dominasi Jawa.[3] Mereka menganggap penduduk pribumi senang dan resisten terhadap perubahan revolusioner.[4]

Meski Konferensi Malino Juli 1946 mewujudkan negara-negara federal lokal di wilayah Indonesia milik Belanda, efektivitas pemerintah di Sulawesi melemah akibat memburuknya ekonomi, gagal panen, dan tidak adanya pemerintahan sipil.[5] Republik Indonesia di Jawa memberikan latihan untuk para gerilyawan Sulawesi dan mengirimkan pasukan dan persediaan ke pelabuhan Polongbangkeng dan Barru.[3] Per Desember 1946, pemerintahan Belanda di pulau ini hanya mencakup Makassar dan berada di ambang pembubaran. Ratusan pejabat pemerintahan dan anggota masyarakat Eurasia dan Tionghoa pro-Belanda diserang dan dibunuh. Garnisun KNIL di pulau ini tidak mampu melindungi mereka.[6]

Metode Westerling

Kegagalan taktik konvensional memaksa pemerintah Hindia Belanda mengutus pakar kontrapemberontakan Raymond Westerling untuk memulai kampanye pendamaian (pasifikasi) selama tiga bulan sejak Desember 1946 sampai Februari 1947. Taktik-taktik Belanda sebelumnya berfokus pada penahanan sementara dan pembebasan para terduga pemberontak.[7] Bulan November 1946, Westerling yang dilatih Britania ini mengembangkan kontingen komando di dalam KNIL yang dikenal dengan sebutan Depot Special Forces (DST). DST dibentuk khusus untuk peperangan dan interogasi kontrapemberontakan.[8]

Menurut Westerling, mendamaikan Sulawesi tanpa memakan ribuan korban jiwa tak bersalah hanya bisa dicapai dengan memberlakukan pengadilan di tempat terhadap para terduga pejuang musuh yang kemudian dieksekusi. Cara ini dikenal dengan nama "Metode Wsterling". Westerling memeirntahkan pendaftaran semua penduduk suku Jawa yang tiba di Makassar dikarenakan banyaknya warga Jawa yang terlibat dalam pemberontakan Sulawesi. Ia juga mengirim mata-mata ke desa setempat untuk mengidentifikasi para anggota pemberontak.[9]

Berdasarkan informasi dari mereka dan dinas intelijen militer Belanda, DST mengepung satu atau beberapa desa terduga pada malam hari, kemudian menggiring para penduduknya ke lokasi terpusat. Pada pagi hari, operasi dimulai dan biasanya dipimpin langsung oleh Westerling. Para pria dipisahkan dari wanita dan anak-anak. Dari informasi yang berhasil dikumpulkan, Westerling mengungkap orang-orang yang dicap teroris dan pembunuh. Mereka langsung ditembak tanpa penyelidikan lebih lanjut. Setelah itu, Westerling memaksa masyarakat setempat berhenti mendukung pemberontak dengan bersumpah menggunakan Quran[8] dan membentuk pasukan pertahanan lokal yang anggota-anggotanya adalah mantan pemberontak.[10]

Westerling memimpin sebelas operasi pada kampanye ini. Ia berhasil meredam pemberontakan dan mengurangi dukungan masyarakat terhadap kaum Republik. Aksi-aksinya memperkuat kekuasaan Belanda di Sulawesi selatan. Akan tetapi, pemerintah Hindia Belanda dan komando angkatan darat Belanda menyadari bahwa kekejaman Westerling menuai kritik keras dari masyarakat. Pada bulan April 1947, pemerintah Belanda melakukan penyelidikan resmi terhadap metode-metodenya yang kontroversial. Raymond Westerling dianggap tidak terlibat aktif dan ia dibebastugaskan pada November 1948.[11]

Pembantaian Westerling adalah sebutan untuk peristiwa pembunuhan ribuan rakyat sipil di Sulawesi Selatan yang dilakukan oleh pasukan Belanda Korps Speciale Troepen pimpinan Raymond Pierre Paul Westerling. Peristiwa ini terjadi pada bulan Desember 1946-Februari 1947 selama operasi militer Counter Insurgency (penumpasan pemberontakan).

Operasi militer

Tahap pertama

Aksi pertama operasi Pasukan Khusus KST dimulai pada malam tanggal 11 menjelang 12 Desember. Sasarannya adalah desa Batua serta beberapa desa kecil di sebelah timur Makassar dan Westerling sendiri yang memimpin operasi itu. Pasukan pertama berkekuatan 58 orang dipimpin oleh Sersan Mayor H. Dolkens menyerbu Borong dan pasukan kedua dipimpin oleh Sersan Mayor Instruktur J. Wolff beroperasi di Batua dan Patunorang. Westerling sendiri bersama Sersan Mayor Instruktur W. Uittenbogaard dibantu oleh dua ordonan, satu operator radio serta 10 orang staf menunggu di desa Batua.

Pada fase pertama, pukul 4 pagi wilayah itu dikepung dan seiring dengan sinyal lampu pukul 5.45 dimulai penggeledahan di rumah-rumah penduduk. Semua rakyat digiring ke desa Batua. Pada fase ini, 9 orang yang berusaha melarikan diri langsung ditembak mati. Setelah berjalan kaki beberapa kilometer, sekitar pukul 8.45 seluruh rakyat dari desa-desa yang digeledah telah terkumpul di desa Batua. Tidak diketahui berapa jumlahnya secara tepat. Westerling melaporkan bahwa jumlahnya antara 3.000 sampai 4.000 orang yang kemudian perempuan dan anak-anak dipisahkan dari pria.

Fase kedua dimulai, yaitu mencari "kaum ekstremis, perampok, penjahat dan pembunuh". Westerling sendiri yang memimpin aksi ini dan berbicara kepada rakyat, yang diterjemahkan ke bahasa Bugis. Dia memiliki daftar nama "pemberontak" yang telah disusun oleh Vermeulen. Kepala adat dan kepala desa harus membantunya mengidentifikasi nama-nama tersebut. Hasilnya adalah 35 orang yang dituduh langsung dieksekusi di tempat. Metode Westerling ini dikenal dengan nama "Standrecht" – pengadilan (dan eksekusi) di tempat. Dalam laporannya Westerling menyebutkan bahwa yang telah dihukum adalah 11 ekstremis, 23 perampok dan seorang pembunuh.

Fase ketiga adalah ancaman kepada rakyat untuk tindakan pada masa depan, penggantian Kepala desa serta pembentukan polisi desa yang harus melindungi desa dari anasir-anasir "pemberontak, teroris dan perampok". Setelah itu rakyat disuruh pulang ke desa masing-masing. Operasi yang berlangsung dari pukul 4 hingga pukul 12.30 telah mengakibatkan tewasnya 44 rakyat desa.

Demikianlah "sweeping ala Westerling". Dengan pola yang sama, operasi pembantaian rakyat di Sulawesi Selatan berjalan terus. Westerling juga memimpin sendiri operasi di desa Tanjung Bunga pada malam tanggal 12 menjelang 13 Desember 1946. 61 orang ditembak mati. Selain itu beberapa kampung kecil di sekitar desa Tanjung Bunga dibakar, sehingga korban tewas seluruhnya mencapai 81 orang.

Berikutnya pada malam tanggal 14 menjelang 15 Desember, tiba giliran Kalukuang yang terletak di pinggiran kota Makassar, 23 orang rakyat ditembak mati. Menurut laporan intelijen mereka, Wolter Monginsidi dan Ali Malakka yang diburu oleh tentara Belanda berada di wilayah ini, namun mereka tidak dapat ditemukan. Pada malam tanggal 16 menjelang tanggal 17 Desember, desa Jongaya yang terletak di sebelah tenggara Makassar menjadi sasaran. Di sini 33 orang dieksekusi.

Tahap kedua

Setelah daerah sekitar Makassar dibersihkan, aksi tahap kedua dimulai tanggal 19 Desember 1946. Sasarannya adalah Polongbangkeng yang terletak di selatan Makassar di mana menurut laporan intelijen Belanda, terdapat sekitar 150 orang pasukan TNI serta sekitar 100 orang anggota laskar bersenjata. Dalam penyerangan ini, Pasukan DST menyerbu bersama 11 peleton tentara KNIL dari Pasukan Infanteri XVII. Penyerbuan ini dipimpin oleh Letkol KNIL Veenendaal. Satu pasukan DST di bawah pimpinan Vermeulen menyerbu desa Renaja dan Ko'mara. Pasukan lain mengurung Polobangkeng. Selanjutnya pola yang sama seperti pada gelombang pertama diterapkan oleh Westerling. Dalam operasi ini 330 orang rakyat tewas dibunuh.

Tahap ketiga

Aksi tahap ketiga mulai dilancarkan pada 26 Desember 1946 terhadap Gowa dan dilakukan dalam tiga gelombang, yaitu tanggal 26 dan 29 Desember serta 3 Januari 1947. Di sini juga dilakukan kerja sama antara Pasukan Khusus DST dengan pasukan KNIL. Korban tewas di kalangan penduduk berjumlah 257 orang.

Pemberlakuan keadaan darurat

Westerling

Untuk lebih memberikan keleluasaan bagi Westerling, pada 6 Januari 1947 Jenderal Simon Spoor memberlakukan noodtoestand (keadaan darurat) untuk wilayah Sulawesi Selatan. Pembantaian rakyat dengan pola seperti yang telah dipraktikkan oleh pasukan khusus berjalan terus dan di banyak tempat, Westerling tidak hanya memimpin operasi, melainkan ikut menembak mati rakyat yang dituduh sebagai teroris, perampok atau pembunuh.

Pertengahan Januari 1947 sasarannya adalah pasar di Parepare dan dilanjutkan di Madello, Abbokongeng, Padakkalawa, satu desa tak dikenal, Enrekang, Talabangi, Soppeng, Barru, Malimpung, dan Suppa.

Setelah itu, masih ada beberapa desa dan wilayah yang menjadi sasaran Pasukan Khusus DST tersebut, yaitu pada tanggal 7 dan 14 Februari di pesisir Tanete, sementara di kampung Pasa Baru Tanete terdapat 48 korban yang ditembak mati, pada tanggal 16 dan 17 Februari di desa Taraweang dan Bornong-Bornong. Kemudian juga di Mandar, di mana 364 orang penduduk tewas dibunuh. Pembantaian para "ekstremis" bereskalasi di Kulo, Amparita dan Maroangin di mana 171 penduduk dibunuh tanpa sedikit pun dikemukakan bukti kesalahan mereka atau alasan pembunuhan.

Selain itu, di aksi-aksi terakhir, tidak seluruhnya "teroris, perampok dan pembunuh" yang dibantai berdasarkan daftar yang mereka peroleh dari dinas intel, melainkan secara sembarangan orang-orang yang sebelumnya ada di tahanan atau penjara karena berbagai sebab, dibawa ke luar dan dikumpulkan bersama terdakwa lain untuk kemudian dibunuh.

H.C. Kavelaar, seorang wajib militer KNIL, adalah saksi mata pembantaian di alun-alun di Tanete, di mana sekitar 10 atau 15 penduduk dibunuh. Dia menyaksikan, bagaimana Westerling sendiri menembak mati beberapa orang dengan pistolnya, sedangkan lainnya diberondong oleh peleton DST dengan sten gun.

Di semua tempat, pengumpulan data mengenai orang-orang yang mendukung Republik, intel Belanda selalu dibantu oleh pribumi yang rela demi uang dan kedudukan. Pada aksi di Gowa, Belanda dibantu oleh seorang kepala desa, Hamzah, yang tetap setia kepada Belanda.

Peristiwa Galung Lombok

Peristiwa maut di Galung Lombok terjadi pada tanggal 2 Februari 1947. Ini adalah peristiwa pembantaian Westerling, yang telah menelan korban jiwa terbesar di antara semua korban yang jatuh di daerah lain sebelumnya. Pada peristiwa itu, M. Joesoef Pabitjara Baroe (anggota Dewan Penasihat PRI) bersama dengan H. Ma'roef Imam Baroega, Soelaiman Kapala Baroega, Daaming Kapala Segeri, H. Nuhung Imam Segeri, H. Sanoesi, H. Dunda, H. Hadang, Muhamad Saleh, Sofyan, dan lain-lain, direbahkan di ujung bayonet dan menjadi sasaran peluru. Setelah itu, barulah menyusul adanya pembantaian serentak terhadap orang-orang yang tak berdosa yang turut digiring ke tempat tersebut.

Semua itu belum termasuk korban yang dibantai habis di tempat lain, seperti Abdul Jalil Daenan Salahuddin (kadi Sendana), Tambaru Pabicara Banggae, Atjo Benya Pabicara Pangali-ali, ketiganya anggota Dewan Penasihat PRI, Baharuddin Kapala Bianga (Ketua Majelis Pertahanan PRI), Dahlan Tjadang (Ketua Majelis Urusan Rumah Tangga PRI), dan masih banyak lagi. Ada pula yang diambil dari tangsi Majene waktu itu dan dibawa ke Galung Lombok lalu diakhiri hidupnya..

Sepuluh hari setelah terjadinya peristiwa yang lazim disebut Peristiwa Galung Lombok itu, menyusul penyergapan terhadap delapan orang pria dan wanita, yaitu Andi Tonra (Ketua Umum PRI), A. Zawawi Yahya (Ketua Majelis Pendidikan PRI), Abdul Wahab Anas (Ketua Majelis Politik PRI), Abdul Rasyid Sulaiman (pegawai kejaksaan pro-RI), Anas (ayah kandung Abdul Wahab), Nur Daeng Pabeta (kepala Jawatan Perdagangan Dalam Negeri), Soeradi (anggota Dewan Pimpinan Pusat PRI), dan tujuh hari kemudian ditahan pula Ibu Siti Djohrah Halim (pimpinan Aisyah dan Muhammadiyah Cabang Mandar), yang pada masa PRI menjadi Ketua Majelis Kewanitaan.

Dua di antara mereka yang disiksa adalah Andi Tonran dan Abdul Wahab Anas. Sedangkan Soeradi tidak digiring ke tiang gantungan, melainkan disiksa secara bergantian oleh lima orang NICA, sampai menghebuskan napas terakhir di bawah saksi mata Andi Tonra dan Abdul Wahab Anas.

Pascaoperasi

Jenderal Spoor menilai bahwa keadaan darurat di Sulawesi Selatan telah dapat diatasi, maka dia menyatakan mulai 21 Februari 1947 diberlakukan kembali Voorschrift voor de uitoefening van de Politiek-Politionele Taak van het Leger - VPTL (Pedoman Pelaksanaan bagi Tentara untuk Tugas di bidang Politik dan Polisional), dan Pasukan DST ditarik kembali ke Jawa.

Dengan keberhasilan menumpas para ekstrimis, di kalangan Belanda baik militer mau pun sipil reputasi Pasukan Khusus DST dan komandannya, Westerling melambung tinggi. Media massa Belanda memberitakan secara superlatif. Ketika pasukan DST tiba kembali ke Markas DST pada 23 Maret 1947, mingguan militer Het Militair Weekblad menyanjung dengan berita: "Pasukan si Turki kembali." Berita pers Belanda sendiri yang kritis mengenai pembantaian di Sulawesi Selatan baru muncul untuk pertama kali pada bulan Juli 1947.

Kamp DST kemudian dipindahkan ke Kalibata, dan setelah itu, karena dianggap sudah terlalu sempit, selanjutnya dipindahkan ke Batujajar dekat Cimahi. Pada bulan Oktober 1947 dilakukan reorganisasi di tubuh DST dan komposisi Pasukan Khusus tersebut kemudian terdiri dari 2 perwira dari KNIL, 3 perwira dari KL (Koninklijke Leger), 24 bintara KNIL, 13 bintara KL, 245 serdadu KNIL dan 59 serdadu KL. Pada tanggal 5 Januari 1948, nama DST diubah menjadi Korps Speciale Troepen – KST (Korps Pasukan Khusus) dan kemudian juga memiliki unit parasutis. Westerling memegang komando pasukan yang lebih besar dan lebih hebat dan pangkatnya menjadi Kapten.

Korban

Jumlah rakyat Sulawesi Selatan yang menjadi korban keganasan tentara Belanda hingga kini tidak jelas. Menurut De Jong, jumlah korban sesungguhnya, jika ingin mencoba obyektif memandang sejarah bukanlah 40 ribu melainkan 4 ribu orang.

Pemeriksaan Pemerintah Belanda tahun 1969 memperkirakan sekitar 3.000 rakyat Sulawesi tewas dibantai oleh Pasukan Khusus pimpinan Westerling, sedangkan Westerling sendiri mengatakan, bahwa korban akibat aksi yang dilakukan oleh pasukannya "hanya" 600 orang.

Perbuatan Westerling beserta pasukan khususnya dapat lolos dari tuntutan pelanggaran HAM Pengadilan Belanda karena sebenarnya aksi terornya yang dinamakan contra-guerilla, memperoleh izin dari Letnan Jenderal Spoor dan Wakil Gubernur Jenderal Dr. Hubertus Johannes van Mook. Jadi yang sebenarnya bertanggungjawab atas pembantaian rakyat Sulawesi Selatan adalah Pemerintah dan Angkatan Perang Belanda.

Pembantaian oleh tentara Belanda di Sulawesi Selatan ini dapat dimasukkan ke dalam kategori kejahatan atas kemanusiaan (crimes against humanity), yang hingga sekarangpun dapat dimajukan ke pengadilan internasional, karena untuk pembantaian etnis (Genocide) dan crimes against humanity, tidak ada kedaluwarsanya. Perlu diupayakan, peristiwa pembantaian ini dimajukan ke International Criminal Court (ICC) di Den Haag, Belanda.

Kontroversi

Pemerintah Republik mengklaim bahwa Westerling bertanggung jawab atas kematian puluhan ribu orang. Awalnya perkiraan korban hanya 15.000 jiwa, kemudian naik menjadi 40.000 jiwa. Monumen bernama "Monumen Korban 40.000 Jiwa" dibangun di kota Makassar untuk mengenang para korban kampanye ini. Sejarawan Belanda Jaap de Moor mengatakan jumlah korban jiwa yang besar ini adalah propaganda Republik untuk menarik perhatian dunia terhadap perjuangan diplomatik dan bersenjatanya melawan Belanda. Mohammed Natzir dari Komisi Sejarah Angkatan Bersenjata Republik Indonesia juga menyebut angka 40.000 ini dibuat-buat dan merupakan propaganda pemerintah Republik terhadap pendudukan Belanda waktu itu.

Dalam buku "De Zuid-Celebes Affaire: Kapitein Westerling en de standrechtelijke executies", sejarawan Belanda Willem IJzereef memperkirakan aksi DST memakan korban sebanyak 1.500 jiwa. Sekitar 400 di antaranya dieksekusi dalam aksi yang dipimpin Westerling, sedangkan 1.100 sisanya tewas dalam aksi yang dipimpin wakilnya. Aksi oleh unit KNIL lainnya kemungkinan menewaskan 1.500 jiwa lagi. Sekitar 900 warga Indonesia tewas di tangan polisi dan pasukan keamanan desa pro-Belanda. IJzereef percaya bahwa pemberontakan Indonesia menewaskan kurang lebih 1.500 orang.[12]

Pembelaan

Westerling selalu membela aksi-aksinya dan menolak tuduhan kejahatan perang. Memoarnya yang diterbitkan tahun 1952 memiliki bab khusus berisi pembelaan dirinya: "Mereka menggambarkanku sebagai monster yang haus darah, yang menyerang rakyat Celebes dengan senjata api dan pedang, dan yang memulai kampanye penindasan tanpa ampun terhadap semua orang yang melawan pemerintah Belanda demi meraih kemerdekaan nasional Indonesia". Westerling menyatakan taktik-taktiknya didasarkan pada tugasnya sebagai polisi yang melawan teror: "Aku menangkap teroris bukan karena mereka bertindak sebagai pendukung pemerintah Indonesia... melainkan karena mereka sendiri melakukan kejahatan terbuka... Aku tidak pernah menyuruh mereka [tentara] membombardir desa. Aku pun tidak pernah menembaki rumah orang-orang bersalah. Aku pernah mengeksekusi orang-orang jahat, tetapi tidak ada yang meninggal sia-sia atau tanpa alasan karena tindakan saya.[13]

Pada tahun 1949, perjanjian pengalihan kekuasaan Belanda–Indonesia menegaskan kedua pihak tidak akan menuntut tanggung jawab semasa perang, sehingga otomatis membatalkan semua upaya Indonesia untuk mengekstradisi Westerling.

Permintaan maaf

Pada 12 September 2013, Pemerintah Belanda melalui Duta Besarnya di Jakarta, Tjeerd de Zwaan, menyampaikan permintaan maafnya kepada seluruh korban pembantaian.[14] "Atas nama Pemerintah Belanda saya meminta maaf atas kejadian-kejadian ini. Hari ini saya juga meminta maaf kepada para janda dari Bulukumba, Pinrang, Polewali Mandar dan Parepare," kata Zwaan.[14]

Selain itu, Pemerintah Belanda juga memberikan kompensasi kepada 10 janda yang suaminya menjadi korban pembantaian tersebut masing-masing sebesar 20 ribu Euro atau Rp 301 juta.[15]

Lihat pula

Catatan kaki

  1. ^ Tol (2001), p. 136
  2. ^ a b c Kahin (1952), p. 355
  3. ^ a b Westerling (1952), p. 92
  4. ^ Westerling (1952), p. 89
  5. ^ Westerling (1952), p. 90
  6. ^ Westerling (1952), p. 93
  7. ^ Westerling (1952), p. 95
  8. ^ a b "Westerling's War". Jakarta Post. 19 May 2010. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2010-05-20. Diakses tanggal 25 November 2010. 
  9. ^ Westerling (1952), p. 96
  10. ^ Westerling (1952), pp. 101–105
  11. ^ Westerling (1952), pp. 98–99
  12. ^ IJzereef (1984), p. 172
  13. ^ Westerling (1952), p. 150
  14. ^ a b Belanda Minta Maaf ke Keluarga Korban Westerling Vivanews, 12 September 2013 diakses 16 September 2013
  15. ^ Belanda Ganti Rugi 20 ribu Euro Kepada 10 Janda Korban Westerling Liputan6.com, diakses 16 September 2013

Referensi

Bacaan lanjutan

  • Said, Mohammed Natzir (1985). Korban 40.000 jiwa di Sulawesi Selatan. SOB 11 Desember 1946 penyebab banjir darah dan lautan api. Bandung: Alumni. 
  • Reid, Anthony (1974). The Indonesian National Revolution 1945–1950. Melbourne: Longman Pty Ltd. ISBN 0-582-71046-4. 

Pranala luar

Kembali kehalaman sebelumnya