Gereja Protestan Indonesia Donggala
Gereja Protestan Indonesia di Donggala (disingkat GPID) adalah sebuah kelompok gereja Protestan di Indonesia yang berpusat di pulau Sulawesi bagian tengah. GPID yang terbentuk pada 4 April 1965 ini merupakan gereja anggota Gereja Protestan di Indonesia (GPI) yang berdiri sendiri. Pada awalnya, anggota jemaatnya berasal dari warga Gereja Masehi Injili di Minahasa (GMIM) yang datang ke Sulawesi Tengah sejak tahun 1909, dan kemudian berkembang sebagai hasil penginjilan yang dilakukan oleh GMIM. Dengan demikian jemaat GPID tersebar di Kabupaten Donggala, Parigi Moutong, Poso, Sigi dan kota Palu sebagai kedudukan kantor Sinode. SejarahKekristenan di Daerah Donggala tahun 1900-1935Pada mulanya, sebelum adanya pemekaran-pemekaran daerah secara khusus di Sulawesi tengah, daerah yang meliputi Kabupaten Donggala, Sigi, Parimo dan kota Palu merupakan satu daerah pemerintahan yang dikenal dengan ”Daerah Donggala”. Daerah Donggala inilah yang kelak merupakan daerah di mana GPID melayani hingga masa kini.[2] Sejak abad ke-16 daerah Parigi pada dasarnya telah menjalin hubungan di bidang ekonomi dengan dunia luar. Pada catatan kaki yang ditulis oleh A. C. Cruyt yang diterjemahkan oleh S. Tobogu yang berjudul ”Sejarah Kerajaan Lokal Di Sulawesi” menjelaskan bahwa Portugis pertamakali menginjakkan kaki di Parigi pada tanggal 15 Januari 1515 tepatnya di Binangga. Portugis membawa armada perangnya dari Mindanao Philipina. Pada saat itu, Portugis gagal menaklukkan Binangga. Menurut Supri Na’a dan juga Hi. Hasim Marasobu, malah dicurigai bahwa raja Parigi yang pertama dilantik oleh seorang Portugis yang bernama Fransisco Le Sa yang melakukan pengembaraan ke Parigi pada tanggal 26 Desember 1517,[3] walaupun data tersebut dibantah oleh banyak kalangan, namun dari sini dapat dicatat bahwa kemungkinan besar daerah Parigi telah dimasuki oleh negara luar jauh sebelum kedatangan kolonial Belanda. Bahkan pertengahan abad ke- 17 Portugis telah memiliki sebuah gudang di Parigi. Kemudian gudang tersebut ditutup dan ditinggalkan pada tahun 1663.[2] Kedatangan orang-orang Kristen dari daerah Sulawesi Utara (Minahasa dan Sangihe) di Parigi berlangsung dalam beberapa periode dan latar belakang yang berbeda-beda. Selain karena ditugaskan oleh pemerintah Belanda termasuk para buruh kasar (± 1905), ada juga yang datang karena mengikuti program kolonisasi pada tahun 1909 yang diprakarsai oleh Belanda. Tahun 1910 ternyata orang-orang Rampi juga telah tersebar di daerah Parigi Moutong dan mereka telah beragama Kristen Protestan. Persekutuan kristen yang pertama kali di Parigi berawal dari kesadaran para pegawai pemerintah (orang-orang pribumi) untuk mengekspresikan iman mereka dalam kebaktian yang berlangsung di rumah para pegawai tersebut. Setelah mendengar keberadaan orang-orang Kristen di daerah ini, maka pada tahun 1915 datanglah badan-badan zending/penginjil seperti M. Larumpoa[4] tepatnya di daerah Teluk Tomini (wilayah utara Parigi Moutong). Pada tahun 1920 T. Bokau memulai pelayanannya di Sipayo. T. Bokau berhasil mendirikan jemaat di Spayo berkat hubungan yang baik dengan penduduk setempat. Selanjutnya tahun 1925 seorang zendeling yang datang dari Gorontalo yakni, Pdt. Pandelaki tiba di daerah Teluk Tomini untuk membantu pelayanan kepada jemaat-jemaat yang telah mulai tersebar di sana.[2] Keterangan tentang kapan jemaat pertama terbentuk di Donggala sangat sulit ditentukan. Selain tidak adanya arsip-arsip gereja tentang hal tersebut, orang-orang yang mengetahui cerita tersebut telah tidak ada lagi. Namun berdasarkan tulisan pada batu nisan yang ditemukan pada kuburan orang-orang Kristen di Donggala, maka dapat diperkirakan bahwa orang-orang Kristen telah ada di Donggala sebelum tahun 1910.[5] Persekutuan ibadah di Donggala dilaksanakan oleh para pegawai pemerintah yang pribumi dan berkebangsaan Belanda secara bersama-sama. Mereka dilayani oleh pelayan Indische Kerk yang datang dari Manado. Ada dua versi cerita mengenai berdirinya gedung gereja di Donggala. Versi yang pertama mengatakan bahwa gedung gereja yang pertama di Donggala adalah bekas gudang garam salah satu perusahaan VOC yang kemudian diambil alih oleh pemerintah Belanda dan versi yang kedua mengatakan bahwa gedung gereja di Donggala dibangun oleh pemerintah Belanda kemudian diserahkan kepada GMIM untuk dilayani setelah terjadi pemisahan administratif tahun 1935.[6] Dari Donggala, Injilpun mulai tersebar hingga ke daerah pantai barat seperti misalnya di daerah Tanjung yakni Walandano (tahun 1910), Lewonu dan sekitarnya. Hal ini dimungkinkan karena Belanda juga mulai memasuki daerah-daerah tersebut dalam rangka kepentingan ekonominya. Untuk mencapai daerah pantai barat tersebut khususnya di sekitaran Tanjung, maka Belanda menempuhnya melalui laut yang memang sangat dekat dari Donggala jika dibandingkan dengan perjalanan darat. Pada waktu itulah para pekerja (orang-orang Minahasa) mulai tersebar ke Walandano dan daerah di sekitarnya.[7] Tahun 1910 tercatat bahwa di Tibo orang-orang Rampi dan Seko yang datang merantau telah mulai membentuk persekutuan ibadah sehingga pada tahun 1927 mereka telah memiliki gedung gereja untuk dipakai beribadah.[8] Demikian juga di Kaliburu, sejumlah 150 keluarga yang merupakan pendatang mendirikan gedung gereja. Setelah itu, tahun 1930 seorang pendeta GPI datang dari Balikpapan untuk meresmikannya.[9] Demikianlah kekristenan dengan perlahan-lahan semakin tersebar ke berbagai tempat di daerah Donggala.[2] Kekristenan di Daerah Donggala tahun 1935-1964Setelah mengalami persoalan yang dilematis mengenai hubungan gereja dan negara, akhirnya terjadilah pemisahan administratif antara gereja dan negara pada tahun 1935. Bahkan pada saat sidang raya GPI pada tahun 1933, persiapan untuk membangun gereja yang mandiri di Maluku dan di Minahasa sudah mulai berjalan. Walaupun pada sidang raya tersebut menyatakan bahwa pemisahan administratif antara gereja dan negara hanya dapat diterima jika hak atas bantuan finansial dijamin sepenuhnya, namun pada akhirnya sidang menjamin kelangsungan bantuan finansial dari kas negara, kendatipun memang pada akhirnya tuntutan ini hanya terpenuhi sebagian saja. Raja akhirnya mengumumkan pemisahan administratif antara gereja dengan negara dengan catatan negara tetap mengeluarkan dana dari kas untuk penggajian 43 pendeta, 31 pendeta pembantu dan 7 guru agama.[10] Pada tanggal 1 Agustus 1935, akhirnya Gereja Protestan Di Indonesia bebas dari cengkeraman negara. Gereja itu menjadi gereja yang mandiri. Moment tersebut disambut dengan sukacita oleh hampir semua jemaat-jemaat Protestan. Gereja Masehi Injili di Minahasa (GMIM) resmi dilembagakan menjadi gereja mandiri di bawah perwalian sejak tanggal 30 September 1934.[11] Karena pada waktu itu belum terjadi pemisahan administratif, maka Gubernur jenderal mengeluarkan surat keputusan khusus untuk membatalkan peraturan Am Gereja protestan sejauh menyangkut Minahasa. Selanjutnya, GMIM berada pada masa perwalian hingga pada tahun 1942. Orang-orang Minahasa yang adalah warga GMIM yang berada di luar Minahasa ternyata membentuk jemaat-jemaat tersendiri yang termasuk GMIM, sesuai dengan peraturan Am Gereja Minahasa (1934). Khusus di daerah yang tidak terdapat gereja-gereja protestan lain, warga Minahasa mendirikan jemaat-jemaat baru bersama dengan orang-orang Kristen lainnya dari golongan suku yang lain. Hal ini juga terjadi di daerah Donggala termasuk Palu di dalamnya.[12] Jemaat-jemaat yang ada di daerah Donggala yang dibentuk oleh orang-orang Minahasa beserta suku-suku lainnya termasuk dalam pelayanan GMIM dan dibawahi langsung oleh Sinode GMIM, akan tetapi jemaat-jemaat tersebut tidak memperoleh hak untuk memilih anggota-anggota Sinode baik secara langsung maupun secara tidak langsung. Jemaat-jemaat GMIM di daerah Donggala semakin hari semakin berkembang terutama karena arus migrasi penduduk dari daerah Sulawesi Utara dan dari daerah selatan Sulawesi dan juga dari luar pulau Sulawesi seperti dari Pulau Jawa dan Pulau Bali. Perkembangan jemaat-jemaat ini juga didukung oleh usaha pekabaran Injil kepada penduduk asli yang mulai dilaksanakan oleh pelayan-pelayan GMIM maupun warga jemaat. Daerah Donggala dan dua daerah penginjilan GMIM lainnya (Gorontalo dan Toli-toli) sejak 1 Januari 1937 diserahkan oleh Gereja Protestan Di Indonesia (GPI) kepada GMIM untuk menjadi daerah penginjilan GMIM.[13] Sebenarnya, sebelum serah terima ini berlangsung, GMIM telah melayani jemaat-jemaat yang terdapat di daerah Donggala.[2] Gereja Di Daerah Donggala Pada Masa Penjajahan Jepang (1942-1945)Jepang mendarat di Palu pada bulan Maret 1942. Pada waktu itu kantor gereja tetap terbuka dan ibadah-ibadah masih tetap dapat dilangsungkan. Keadaan jemaat-jemaat yang ada di daerah Dongala pada masa pendudukan Jepang sangat ditentukan oleh keadaan GMIM di Sulawesi Utara. GMIM sendiri pada masa penjajahan Jepang menghadapi keadaan yang sulit dan mengakibatkan tugas pelayanan gereja menjadi sangat berat. Keadaan ini diperparah lagi oleh karena terputusnya hubungan GMIM dengan GPI secara praktis. Kesulitan untuk membiayai para Pendeta, memaksa GMIM tidak menggaji para Pendeta, namun mereka dihimbau agar tetap bekerja. Keadaan seperti ini tentunya sangat mempengaruhi pelayanan di daerah Pekabaran Injil seperti di daerah Donggala. Namun mengenai masalah keamanan kelangsungan ibadah-ibadah jemaat-jemaat di daerah Donggala sendiri tetap berjalan lancar tanpa mengalami gangguan yang berarti[25]. Pada saat Jepang mulai menduduki daerah Donggala, pelayan-pelayan GMIM masih terus melaksanakan pelayanannya, Massie masih tetap melayani di Donggala, Pdt. A. S. Lengkong di Parigi dan Pdt. R. P. H. Ngantung di Palu. Mereka ini masih dapat mengunjungi jemaat-jemaat di beberapa tempat.[14] Pada akhir perang, Jepang juga sempat menginternir seluruh Majelis jemaat di Palu karena dicurigai sebagai mata-mata. Seorang Penatua dan seorang Kostor gereja gugur dan yang lainnya sempat dibawa ke Poso dan dipenjarakan di sana. Mereka kemudian dibebaskan setelah Jepang menyerah kepada sekutu.[14] Gereja di Daerah Donggala Pada Masa Pemberontakan DI/TIISetelah teks proklamasi berdirinya Negara Islam Indonesia bagian timur sebagai bagian dari Negara Islam Indonesia dibacakan oleh Kahar Muzakhar pada tanggal 7 Agustus 1953, orang-orang Kristen yang terdapat di daerah Sulawesi selatan mengalami penghambatan yang luar biasa. Kahar menghimbau agar mempertahankan proklamasi berdirinya Negara Islam Indonesia sampai titik darah penghabisan.[15] Pemberontakan tersebut mengakibatkan orang-orang Kristen dari Sulawesi Selatan khususnya yang di bagian utara menyelamatkan diri dan mempertahankan imannya dengan cara melarikan diri ke daerah Donggala. Untuk menghindari tentara Islam, mereka yang mengungsi ke daerah Donggala memilih jalan melewati hutan tepatnya dari arah Selatan kota Palu. Mereka yang mengungsi adalah orang-orang Rampi, orang-orang Toraja dan Seko. Kedatangan para pengungsi ini di daerah Donggala ternyata mendapat sambutan yang baik terutama di wilayah kerajaan Kulawi yang telah menjadi warga Jemaat Protestan. Raja memberikan perhatian yang serius kepada mereka dan memberi tempat untuk mereka huni. Di daerah Kulawi misalnya, orang-orang Rampi yang datang mengungsi diberi lahan untuk didiami. Hingga kini etnis Rampi sudah tersebar di wilayah Kulawi, mereka adalah orang-orang Kristen yang datang di daerah Donggala tanpa mengikut sertakan pelayan-pelayan gereja dari asal mereka. Demikian juga halnya dengan orang-orang Seko, setelah menempuh perjalanan yang amat berat yaitu daerah Mamu di Watukilo mereka akhirnya tiba di daerah Donggala. Yang memimpin mereka saat itu disebut-sebut bernama Saniang dan Kalambo. Mereka diberi lahan untuk ditinggali tepatnya di desa Omu sekarang dan di Omulah ibadah pertama Gereja Toraja dilangsungkan di daerah Donggala.[16] Kedatangan para pengungsi ini telah menambah corak kekristenan di Daerah Donggala demikian juga dalam hal perkembangan gereja.[2] Ternyata pasukan DI/TII tidak hanya melakukan aksinya di Sulawesi selatan, mereka juga memasuki daerah Donggala. Pemberontakan DI/TII ini sangat terasa di Donggala dan di Palu. Di Donggala sendiri mereka sering kali melakukan teror yang membuat masyarakat merasa takut dan waspada. Syukurlah bahwa ternyata mereka tidak menyerang orang-orang Kristen di sana yang mayoritas adalah orang-orang Minahasa dan Sangihe. Apakah hal ini disebabkan latar belakang Kahar Muzakhar yang sebelumnya mempunyai hubungan dengan Kawilarang yang adalah orang Minahasa, tidaklah diketahui. Serangan gerombolan DI/TII yang memasuki daerah Donggala telah berakibat pada banyaknya penduduk asli yang beragama Kristen beralih menjadi Islam dengan cara paksa. Hanya sedikit dari mereka yang mampu mempertahankan iman mereka. Di antara mereka ada yang terpaksa pindah ke tempat lain asalkan mereka tetap percaya kepada Tuhan Yesus Kristus.[17] Orang-orang Kristen ini adalah hasil penginjilan Bala Keselamatan. Sampai sekarang sebahagian besar mereka tetap menjadi Islam. Gerombolan juga ternyata memasuki daerah pantai timur tepatnya di bagian utara Parigi. Orang-orang Kristen yang terdapat di Ongka dan di Ogotumubu terpaksa harus mengungsi ke Parigi demi keselamatan dan demi mempertahankan iman percaya mereka. Bukan hanya di daerah Pantai timur, tetapi juga di pantai barat, gerombolan membakar gedung gereja di Tibo dan di Panii. Mereka juga membunuh beberapa orang-orang Kristen di sana. Peristiwa tersebut terjadi pada tahun 1957. Pada tanggal 13 Februari 1956 gerombolan DI/TII juga melakukan ekspansi di daerah Teluk Tomini yang berusaha mengislamkan orang-orang Kristen yang terdapat di sana. Akibatnya sekitar 789 jiwa orang-orang Kristen terpaksa mengungsi ke Parigi, sedangkan yang lainnya dengan terpaksa menjadi Islam.[2][18] Kehadiran Transmigrasi Dari Bali Di Daerah DonggalaKehadiran orang-orang Bali di daerah Donggala dimulai sejak tahun 1957 tepatnya di daerah Palolo.[19] Kehadiran mereka di daerah Donggala dilatar belakangi keadaan hidup mereka yang semakin susah di Pulau Bali. Kala itu mereka datang secara berkelompok seperti layaknya perantau. Ternyata beberapa orang dari orang-orang Bali ini kemudian ada yang kembali ke Bali karena keadaan yang kurang aman saat itu di daerah Donggala, seperti bapak I Ngurah Lasir dan I Made Wejo. Kedua orang ini kembali lagi dengan membawa 15 kepala keluarga orang-orang Bali ke daerah Donggala pada tahun 1959. Mereka tiba di Parigi pada bulan Desember 1959. Karena mereka belum mengenal siapapun di tempat ini, maka mereka menumpang di rumah saudara-saudara mereka orang-orang Bali yang Hindu di Mertasari selama 40 hari. Waktu itu kepala desa di Mertasari ialah seorang Bali Hindu yang bernama I Gusti Arko. Mulanya, raja Parigi hanya mengizinkan mereka untuk tinggal sementara di wilayah pemerintahannya karena mereka tidak memiliki surat jalan maupun surat pindah dari pemerintah Bali. Berkat bantuan kepala desa Mertasari I Gusti Arko, maka raja Parigi akhirnya mengizinkan mereka tinggal di daerah Parigi dan memberikan lokasi di Masari[20] untuk mereka buka menjadi lahan pertanian. Setelah tiba dan memulai hidup yang baru di daerah Donggala, orang-orang Bali yang beragama Kristen ini beribadah ke Parigi, sebab kala itu gedung gereja masih hanya ada di Parigi mereka juga melaporkan diri mereka kepada pengurus gereja dengan maksud agar mereka diketahui sebagai orang Kristen dan juga untuk dilayani. Mulai saat itulah mereka mulai beribadah bersama-sama dalam satu persekutuan. Pendeta GMIM yang melayani di Parigi saat itu melayani mereka setiap hari Minggu. Selanjutnya orang-orang Bali didatangkan lagi ke daerah Donggala dalam program transmigrasi Umum yang pertama kali di Sulawesi tengah tepatnya di Desa Nambaru Kecamatan Parigi, Kabupaten Donggala (sekarang Kabupaten Parigi Moutong), yakni Pada tanggal 28 Februari 1962 dengan jumlah 52 KK, 243 jiwa yang berasal dari Pulau Bali[39].[21] Kemudian pada tahun 1968 transmigrasi dari Bali tiba lagi di daerah Donggala tepatnya di Tolai. Transmigrasi tersebut merupakan transmigrasi spontan yang diprakarsai oleh Gereja Kristen Protestan Bali dan melibatkan pemerintah setempat.[22] Mereka ternyata bukan saja yang beragama Kristen tetapi juga beragama Hindu. Setelah mereka tiba di daerah Donggala ternyata dari orang-orang Bali yang baragama Hindu banyak yang berpindah ke agama Kristen dengan berbagai alasan.[2][23] Gereja Di Daerah Donggala Pada Masa PERMESTAPermesta (Perjuangan Semesta) di mulai dengan pembacaan Proklamasi Permesta oleh LetKol. Ventje Sumual pada tanggal 2 Maret 1957 di Makassar.[24] Permesta yang diproklamasikan di Makassar melibatkan banyak petinggi militer yang berasal dari Sulawesi utara dan juga didukung oleh masyarakat Minahasa mulai menyebar ke seluruh pelosok Sulawesi termasuk Sulawesi tengah. Di kemudian hari, Permesta lebih identik dengan masyarakat Minahasa bukan saja yang tinggal di Minahasa tetapi juga di tempat-tempat lain, seperti di Sulawesi tengah pada umumnya dan di daerah Dongggala pada khususnya. Pada bulan Juli 1957 H. N. V. Sumual menyatukan Sulawesi utara tengah yang terpisah dari Sulawesi selatan tenggara dan mengangkat Manoppo sebagai gubernur.[24] Permesta yang dianggap oleh pemerintah sebagai pemberontakan mulai diperangi. Bukan hanya di Minahasa, tetapi juga di Sulawesi Tengah, termasuk di daerah Donggala. Peperangan antara tentara pusat dengan pasukan Permesta ternyata menjadikan gereja menjadi korban. Jemaat-jemaat yang terdapat di daerah Donggala yang adalah daerah pelayanan GMIM diperhadapkan pada situasi yang sulit. Di daerah Parigi misalnya, sebagian orang-orang Kristen (orang-orang Minahasa) dikejar-kejar dan ditangkap oleh tentara pusat sehingga mengakibatkan kehidupan gereja terganggu karena tidak merasa aman. Penyelenggaraan ibadahpun diawasi oleh tentara pusat dan tidak sedikit dari antara anggota jemaat yang ditangkap dan mengalami perlakuan buruk dari tentara pusat karena mereka orang Minahasa. Di Donggala (kerajaan Banawa), Permesta sempat menguasai keadaan, sehingga tentara pusat berupaya menaklukkan mereka dan merebut kembali tempat tersebut. Di Donggala, ternyata Permesta sangat eksis. Karena di tempat ini sendiri dibuka perekrutan dan pelatihan tentara Permesta. Orang-orang yang direkrut ternyata bukan hanya orang-orang Minahasa maupun Sangihe, tetapi banyak juga dari penduduk asli. Permesta juga didukung sepenuhnya oleh Raja Banawa yang kala itu dipimpin oleh Raja Lamarauna. Gereja sendiri kelihatan bersikap terbuka terhadap Permesta walaupun pada hakikatnya tidak menunjukkan dukungan yang nyata. Pada bulan April 1948 Donggala diserang oleh tentara pusat, berlangsunglah peperangan yang dahsyat. Tentara pusat akhirnya mampu menduduki Donggala dengan personil yang cukup banyak. Akibatnya banyak dari penduduk yang ditangkap dan dipenjarakan termasuk Raja Lamarauna sendiri.[25] Selain itu, banyak juga dari antara penduduk terutama orang-orang Minahasa yang dikenakan wajib lapor tanpa alasan yang jelas. Walaupun tidak secara langsung, dampak peperangan antara tentara pusat dengan Permesta juga dirasakan oleh gereja. Ibadah-ibadah menjadi sunyi karena banyak warga jemaat yang enggan menunjukkan diri, takut ditangkap oleh tentara pusat. Hal yang sama juga dialami oleh jemaat yang terdapat di kota Palu, bahkan tentara pusat terus mengejar pasukan Permesta hingga ke daerah pedalaman, seperti di Kulawi.[26] Penumpasan Permesta di daerah Donggala oleh tentara pusat yang dipimpin oleh seorang suku Toraja yakni Frans Karangan, ternyata juga melahirkan satu corak persekutuan Kristen yang baru dari Gereja Toraja. Para tentara pusat yang sebagian besar adalah warga Gereja Toraja yang kemudian menetap di Palu, turut mensponsori berdirinya Gereja Toraja di kota Palu pada waktu kemudian.[2] Persiapan Kemandirian Gereja Protestan Indonesia DonggalaGereja Masehi Injili Di Minahasa (GMIM) sebenarnya telah sejak lama merencanakan pemekaran jemaat-jemaat yang ada di daerah penginjilan termasuk yang terdapat di daerah Donggala. Hal tersebut sesuai dengan pertimbangan bahwa gereja-gereja di daerah penginjilan sudah mulai mampu membiayai tunjangan Pendeta dan mendirikan gedung-gedung gereja. Pada tahun 1955 ketua Sinode GMIM yang pada saat itu dijabat oleh Pdt. M. Sondakh telah mengunjungi jemaat-jemaat yang ada di Sulawesi tengah, termasuk di daerah Donggala. Kunjungan itu sekaligus hendak melihat sejauh mana gereja mengalami penghambatan akibat pemberontakan DI/TII. Selain itu, ternyata kunjungan tersebut juga merupakan evaluasi terhadap kemapaman jemaat-jemaat yang ada di daerah Donggala untuk rencana pemekaran. Pada tahun-tahun selanjutnya, jemaat-jemaat di daerah Donggala ternyata dilihat telah mampu membangun gedung gereja sendiri dan sudah mulai mampu membiayai gaji Pendeta atau Pelayannya. Untuk itu, maka di tiap-tiap jemaat diangkatlah seorang Majelis Jemaat dan seorang Guru Jemaat yang bertugas untuk memberitakan Firman (Berkhotbah), memimpin Katekisasi dan pelayanan-pelayanan lainnya, kecuali Pelayanan Sakramen.[27] Pdt. D. Wenas adalah seorang Pendeta GMIM yang disebut-sebut sangat berperan dalam persiapan berdirinya GPID. Pdt. D. Wenas adalah koordinator pelayanan di seluruh daerah Donggala (Palu, Parigi-Moutong, Donggala dan Kulawi). Pada waktu persiapan pemekaran GPID sebagai gereja mandiri, jemaat telah berjumlah 48 jemaat yang dilayani seorang Majelis Jemaat dan seorang Guru Jemaat tiap jemaat.[2] Pada tanggal 18 Desember 1964 bertempat di gereja Centrum GMIM Manado akhirnya secara simbolis jemaat-jemaat di daerah-daerah Penginjilan GMIM dinyatakan menjadi gereja-gereja yang berdiri sendiri dalam lingkungan Gereja Protestan Di Indonesia (GPI), Masing-masing:
Pernyataan simbolis tentang kemandirian gereja-gereja di daerah penginjilan GMIM tersebut ternyata masih membutuhkan waktu untuk ditahbiskan menjadi Gereja mandiri.[2] Gereja Protestan Indonesia Donggala tahun 1965-2003Setelah diresmikan secara simbolis pada tanggal 18 Desember 1964, Gereja Protestan Indonesia Donggala (GPID) bersama dengan Gereja Protestan Indonesia Di Gorontalo (GPIG) dan Gereja Protestan Indonesia di Buol Toli-toli (GPIBT) resmi menjadi gereja mandiri di bawah naungan Gereja Protestan di Indonesia (GPI). Namun, pelaksanaan kemandirian tersebut di Gereja Protestan Indonesia di Donggala barulah berjalan mulai tanggal 4 April 1965, yakni dengan dilangsungkannya pentahbisan Gereja Protestan Indonesia di Donggala (GPID) yang bertempat di Gereja Pniel Palu. Pentahbisan itu dihadiri oleh Pnt. H. B. Kaunang (BPS GMIM), Pdt. Daandel, Pdt. Daan Wenas, Pdt. Y. Wokas dan yang lainnya.[8] Acara pentahbisan tersebut kemudian dilanjutkan dengan pelaksanaan sidang Am sinode pertama Gereja Protestan Indonesia di Donggala (GPID) yang berlangsung mulai dari tanggal 4-7 April 1965 sekaligus untuk menyusun pedoman kerja Majelis Sinode dan pemilihan Majelis sinode untuk periode pertama yang bertugas selama 4 tahun (1965-1968). Untuk melaksanakan sidang sinode tersebut dibentuklah terlebih dahulu Proto Sinode yang diketuai Pnt. Yan Kaunang dan Sekretaris Pdt. D. Wenas. Ketua Sinode yang pertama dijabat oleh Pdt. D. M. V. Kandijoh dan Sekretaris Pnt. Hans Pondaag yang terpilih dalam sidang Am Sinode yang pertama tersebut. Majelis Sinode terpilih ini bekerja sampai pada tahun 1968.[28] Setelah ditahbiskan sebagai gereja yang mandiri, selanjutnya GPID terus berupaya semaksimal mungkin untuk memenuhi berbagai kebutuhannya dalam rangka penatalayanan Gereja Tuhan yang tersebar di daerah Donggala sebab GMIM tidak lagi memberikan bantuan terutama menyangkut bantuan dana. Sejak tahun 1965 Gereja Protestan Indonesia di Donggala (GPID) menjadi gereja yang mandiri di mana pelayanannya meliputi daerah Kabupaten Donggala (Donggala, Palu dan Parigi). Sesuai dengan tata gereja, GPID memiliki tujuan yakni; terwujudnya suatu persekutuan orang-orang percaya yang takut, taat, dan setia kepada Allah Yang Maha Kuasa Khalik semesta alam dan yang bertanggung jawab untuk membangun masyarakat, bangsa dan negara menuju kehidupan yang adil, sejahtera, bersatu sesuai dengan kesaksian Alkitab.[29] Pada waktu lahirnya sebagai satu Sinode Mandiri, pelayanan GPID meliputi 6 wilayah, 48 jemaat yang terdiri dari 1933 KK dan 11. 600 jiwa. Keenam wilayah tersebut dilayani oleh 8 orang Pendeta dan 3 orang Guru Injil. Setelah melayani selama 25 tahun dalam berbagai suka dan duka GPID terus mengalami perkembangan dari tahun ke tahun. Sehingga pada tahun 1990 GPID telah memiliki 24 wilayah, 133 Jemaat, 4895 KK, 23.317 jiwa yang dilayani oleh 43 orang Pendeta. Jumlah ini terus meningkat, sehingga tahun 2003 GPID telah memiliki 98 orang Pendeta, 12 orang Vikaris yang melayani 153 jemaat dalam 40 wilayah dengan jumlah 30 ribu jiwa, 6910 KK.[8] Jajaran KepengurusanPimpinan Sinode tahun 2013-2018 antara lain:[1]
StatistikData jemaat tahun 2012:[1]
SekretariatAlamat Sinode:[31]
KemitraanGPID merupakan anggota Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI).[1] Referensi
Pranala luar
|