Gereja Kristen Jawi Wetan
Greja Kristen Jawi Wetan (disingkat GKJW) adalah persekutuan gereja-gereja yang berbasis daerah di Jawa Timur yang dideklarasikan kali pertama pada tanggal 11 Desember 1931 di salah satu Jemaat Kristen Jawa terkemuka saat itu, yakni Mojowarno, Kabupaten Jombang. Gereja ini masuk dalam anggota Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), Dewan Gereja-gereja Asia (CCA), Persekutuan Gereja-gereja Reformasi Se-dunia/World Communion of Reformed Churches (WCRC), Dewan Gereja-gereja se-Dunia/World Communion of Churches (WCC) dan Badan Musyawarah Gereja-Gereja Jawa (BMGJ). SejarahDeklarasi GKJW sebagai gereja dilakukan dengan melalui pendirian suatu Majelis Agung (MA) yang merupakan upaya mempersatukan 29 raad pasamuwan alit (majelis jemaat) di seluruh Jawa Timur. MA merupakan suatu wadah sinodial yang telah ditawarkan oleh persekutuan pekabar Injil dari Belanda, yang selama hampir 100 tahun menjadi pengampu jemaat-jemaat Kristen Jawa tersebut. Saat itu, ada dua kelompok pekabar Injil yang bekerja di antara orang Kristen di Jawa Timur, yakni Nederlandsche Zendeling-genootschap (NZG) dan suatu panitia pekabar bernama Java Comite. Dalam dekret pengurus pusat NZG ditandatangani Konsul Jenderal Th. Boetzelaer van Dubbeldam, tertanggal 15 Oktober 1931, ditawarkan pendirian suatu gereja bagi orang Jawa Timur sebagai tindakan strategis dalam pekabaran Injil di Jawa. Bila dicermati, pendirian MA merupakan suatu siasat NZG yang saat itu menjadi pengampu berbagai jemaat Kristen bumiputra di Jawa Timur. Tekanan sosial politik yang muncul akibat tumbuhnya kesadaran nasionalisme Indonesia, seiring dengan mengerucutnya tekanan terhadap kristianisme di Nusantara, menghantar dibentuknya MA. Pendirian MA sebagai wujud kesatuan sinodial, tak lepas dari usulan Dr. H. Kraemer, utusan Nederlands Hervormd Kerk (NHK) Belanda yang bekerja untuk NZG, guna mewujudkan suatu jemaat kristiani berbasis kewilayahan di Hindia Belanda sebagai sebuah gerakan kultur sekaligus politik. Bahkan selanjutnya MA GKJW didaftarkan ke Mahkamah Hindia Belanda sebagai suatu recht-persoon (badan hukum), sehingga memiliki kewenangan mengelola aset dan bertindak sebagai organisasi yang diakui pemerintah. Tampak, pendirian MA merupakan suatu siasat kebudayaan yang berada dalam koridor dinamika politik Hindia Belanda. Keberadaan GKJW tidak bisa dilepaskan dari pengaruh dua tokohnya, yaitu Johanes Emde dan C.L.Coolen. Kedua tokoh ini tidak memiliki latar belakang khusus teologi. Jadi keduanya adalah orang kristen awam yang tergerak untuk memberitakan injil Kristus kepada orang-orang yang dijumpainya. Di samping itu kedua orang ini sepertinya mewakili dua corak pandangan teologis tentang iman kristen. C.L Coolen begitu besar perhatiannya pada masalah-masalah budaya setempat, sedangkan Johanes Emde amat menentang budaya atau tradisi setempat. Sehingga pada akhirnya kedua corak teologi yang ditebarkan oleh kedua orang tersebut sedikit banyak mewarnai teologi GKJW. Emde mengatakan bahwa menjadi orang kristen berarti melepas sarung atau kain kebaya, dalam arti harus mengikuti pola budaya barat (Belanda), Sedangkan C.L Coolen mengatakan bahwa menjadi kristen tidak perlu melepaskan tradisi dan budaya yang selama ini mewarnai kehidupannya. Jadi setelah dibaptis tetap boleh memakai sarung, kain kebaya, nonton wayang, dan lain sebagainya. Yang paling penting adalah perubahan dalam hal menjalani dan menghayati moralitas baru yang bersumber dari kasih Allah di dalam Yesus Kristus. Sehingga iman bukan hanya persoalan kulit, melainkan persoalan pergumulan dan perubahan hati yang amat mendasar. Baptisan Kudus pertama terjadi tanggal 12 Desember 1843 di Surabaya. Sejak waktu itu jumlah mereka terus bertambah dan terbentuklah persekutuan-persekutuan orang percaya yang kemudian menyatukan diri dalam satu persekutuan gerejawi pada tanggal 11 Desember 1931 dengan nama “Pasamuwan-pasamuwan Kristen ing Tanah Djawi Wetan”. Pengakuan resmi pemerintah dinyatakan dalam Besluit Gubernur Djenderal Hindia Belanda yang menyebut persekutuan gereja ini dengan nama Oost-Javaansche Kerk. Nama ini kemudian diubah menjadi Gereja Kristen Jawi Wetan dengan S.K. Ditjen Bimas (Kristen) Protestan Departemen Agama Republik Indonesia pada tahun 1979. Sidang Pertama Majelis AgungSidang perdana MA diadakan keesokan hari setelah deklarasi, bertempat di gedung gereja Jemaat Mojowarno, Sabtu 12 Desember 1931. Mewakili NZG hadir C.W. Nortier (Ketua MA), C. van Engelen, S.A. van Hoogestraten dan J. Wiegers. Wakil umat Kristen Jawa Noeroso, Sriadi, Pdt. Driyo Mestoko, Guru Injil (GI) Tartib Eprayim, Poertjojo Gadroen, Jaret Parang, Raden Poeger, Raden Wiriodarmo dan kawan-kawan. Anggota sidang yang hadir pagi itu, sebenarnya bukan muka baru. Mereka adalah aktivis yang sejak lama berkutat dalam pergerakan Jemaat Kristen Jawa. Sejak Rencono Budiyo (berdiri 1898), Mardi Pracoyo (1912), Perserikatan Kaum Kristen (1918), hingga Panitia Pitoyo (1924) yang mempelopori pemandirian Jemaat Mojowarno, mereka sibuk mendorong pemandirian GKJW. Sebelum sidang dibuka, seorang mantri guru dari Mojowarno, Soetikno, menyerahkan sebuah palu kayu jati buatannya sendiri. Palu itu bercandra sengkala "manjalmaning resi wadaning Kristus" yang ditranslasi ke dalam angka akan berbunyi 1931, yang merupakan tahun persidangan. Sejak saat itu menjadi tradisi GKJW, palu bikinan Soetikno hanya dipakai pada sidang MA saja. Sebagai tema sidang diambil Filipi 4:4-9, dengan penekanan pada ayat 6 yang berbunyi, Janganlah kamu khawatir tentang apapun juga, tetapi nyatakanlah dalam segala hal keinginanmu kepada Allah dalam doa dan permohonan dengan ucapan syukur.[2] Persidangan dipimpin Ketua MA pertama, yakni Dr. C.W. Nortier. Sekretaris pertama MA daur dipilih melalui pemungutan suara. Calon terpilih adalah Raden Poeger (10 suara), melewati Moeljodihardjo (9 suara) dan Kentjono (5 suara). Pemilihan dilanjutkan dengan Bendahara MA, di mana terpilih seorang mantri guru, Poertjojo Gadroen (12 suara). Dualisme Kepemimpinan GerejaSemasa penjajahan Jepang di Indonesia (1942-1945), timbul perpecahan di dalam tubuh GKJW yang disebabkan oleh proses politik dari praktik kolonial Jepang. GKJW mendapat sorotan saat itu karena dipandang sebagai kelompok orang Jawa dengan afiliasi ke Belanda. Sejumlah jemaat Kristen Jawa mengalami kesulitan untuk beribadah dan setelah penyiksaan terhadap sejumlah orang Tionghoa dan Kristen di Keresidenan Besuki, muncul desakan dari sejumlah tokoh Kristen Jawa untuk mencari perlindungan kepada Pemerintah Jajahan Jepang di Indonesia. Pada tahun 1943 berdiri Raad Pasamuwan Kristen (RPK) di Jawa Timur untuk memenuhi maksud tersebut. Terjadi dualisme, karena baik RPK maupun MA GKJW sama-sama memiliki pengikut di sejumlah jemaat Kristen Jawa Timur. Dualisme ini tidak berkepanjangan, karena tokoh-tokoh Kristen Jawa banyak ditangkap menjelang akhir Perang Dunia ke II, antara lain: Pdt. Drijo Mestoko, Pdt. Tasdik, DR. B.M. Schuurman, Yeruboham Mattheus dan lain-lain. Akibatnya baik RPK maupun MA GKJW sama-sama berada dalam keadaan vakum hingga Jepang akhirnya menyerah 14 Agustus 1945. Melalui Persidangan MA GKJW di Jemaat Mojowarno, tanggal 4-6 Agustus 1946 dilakukan rekonsiliasi untuk mempertemukan kedua kubu yang pernah sama-sama memimpin umat Kristen Jawa Timur. Rekonsiliasi tadi ditandai sebuah ibadah perjamuan kudus pada tanggal 5 Agustus yang selanjutnya diperingati sebagai Hari Pembangunan (atau lebih tepat Kebangunan) GKJW. GKJW Masa KiniKenyataan sosial, politik, ekonomi dan budaya pada zaman ini sudah berbeda sama sekali dari kenyataan yang melingkupi pendirian MA sekitar tiga perempat abad silam. Hindia Belanda telah tiada, Indonesia kini berdaulat sebagai sebuah negara-bangsa. Identitas nasional telah menggantikan kolonialisme. Konstelasi geopolitik telah bergeser. Ekonomi liberal pra-Perang Dunia II telah berganti dengan kapitalisasi neo-liberal yang bersifat global dan lintas ruang. Indonesia dan tentu saja Jawa Timur, sudah banyak berubah. Saat ini GKJW memiliki anggota sekitar 150.000 jiwa yang terbagi dalam 171 jemaat di seluruh penjuru Jawa Timur. Sejumlah jemaat tersebut dikoordinasikan melalui Majelis Daerah (setara dengan klasis dalam sistem sinodial) dan berada di bawah MA GKJW sebagai pucuk pimpinan gereja. Meski tidak secara formal diakui sebagai suatu sistem hierarkis, susunan organisasi GKJW lebih suka dipandang sebagai sistem koordinasi. Ciri Khas GKJW
GKJW telah menetapkan bahwa keberadaannya hanya dibatasi di Jawa Timur. Sehingga tidak akan dijumpai adanya GKJW di luar Jawa Timur. Hal ini sesuai dengan isi Tata dan Pranata GKJW. Untuk jelasnya dikutipkan bunyi ketentuan itu, Gereja Kristen Jawi Wetan adalah bagian dari Gereja yang Esa, yang dilahirkan, ditumbuhkan dan dipelihara oleh Tuhan Allah, Yesus Kristus dan Roh Kudus di Jawa Timur (hal.2). Ini berarti sekalipun ada banyak (ratusan atau bahkan ribuan) warga GKJW berpindah tempat tinggal ke luar Jawa Timur, misalnya ke Pulau Sulawesi, maka mereka akan menjadi anggota gereja di tempat di mana mereka tinggal. GKJW tidak akan membuat cabang atau perwakilan ditempat itu. Hal ini karena GKJW ingin menghormati keberadaan gereja di tempat lain. Selain itu, kalau warga tersebar di tempat yang relatif amat jauh secara geografis maka secara teknis akan sulit mengaturnya.
Sejak awal pertumbuhannya peranan kaum awam di GKJW sangat besar. Tokoh-tokoh yang menonjol dalam pertumbuhan GKJW bukanlah para teolog atau para pendeta atau Guru Injil yang telah dipersiapkan dengan bekal pemahaman teologi yang cukup, melainkan mereka adalah orang awam yang setia kepada perintah Injil. Melalui cara hidup dan pergaulan mereka dengan banyak orang-lah injil dikomunikasikan. Bandingkan dengan isi Injil Matius 5 (panggilan agar orang-orang percaya dapat menjadi garam dan terang dunia). Ayat ini rupanya amat dihayati dan sekaligus menjadi jiwa dari kehidupan warga jemaat sehingga melalui cara hidup mereka injil dapat diberitakan. Keadaan seperti di atas berjalan sampai dengan saat ini. Dan salah satu kegiatan yang amat menunjang terpupuknya kondisi GKJW sebagai gereja gerakan warga adalah adanya Ibadat Patuwen (ibadah keluarga/ ibadah rumah tangga). Dalam Ibadah Rumah Tangga (IRT) ini warga satu dengan warga lainnya merasa saling mendapat perhatian dan penguatan. Adalah suatu kebahagiaan tersendiri bagi warga jemaat kalau rumah tempat tinggalnya dipakai untuk tempat IRT. Sehingga seringkali melalui IRT itu warga jemaat menyampaikan persembahan ucapan syukurnya. Dalam kenyataannya memang IRT ini amat mendukung kekentalan ikatan persaudaraan bahkan kekeluargaan di antara warga jemaat. Kegiatan ini ternyata memang menjadi sarana yang baik untuk semakin terpeliharanya iman dan kehidupan warga jemaat. Sehingga kalau ada warga jemaat yang tidak pernah datang ke ibadah patuwen, jelas hanya ada beberapa kemungkinan. Pertama, karena kesibukan kerja, tentang hal ini dapat dimaklumi. Kedua, warga jemaat yang memang tidak memperhatikan kehidupan imannya, dalam arti hidupnya tidak bisa menjadi garam dan terang dunia.
Istilah “struktur” di GKJW memang tidak begitu populer, karena istilah itu dipandang dari sudut gerejawi mengandung kelemahan, yaitu mengandaikan adanya susunan hirarkhis (adanya unsur atasan dan bawahan). Oleh karena itu kata struktur dalam subjudul di atas ditulis dengan tanda kutip, dengan maksud menunjuk pada semacam tata kerja roda organisasi GKJW dijalankan. Dalam hal “struktur” pelayanannya, GKJW menampakkan diri dalam bentuk persekutuan-persekutuan. Ada tiga macam persekutuan yang terdapat di GKJW, yaitu: 1) Persekutuan se-Tempat Persekutuan ini juga disebut sebagai Jemaat (persekutuan yang dewasa dari warga di suatu tempat yang mampu memenuhi panggilan dan melaksanakan kegiatan pelayanan), misalnya: Jemaat Sitiarjo, Jemaat Ngawi. Pada tingkat persekutuan ini penanggung jawab semua kegiatan pelayanan adalah Majelis Jemaat. Majelis Jemaat biasanya memilih beberapa orang untuk duduk dalam Pelayan Harian Majelis Jemaat (PHMJ). PHMJ inilah yang menjadi pelaksana harian dari tugas kemajelisan. Jabatan di PHMJ adalah sama dengan jabatan pada majelis Jemaat. Contohnya, Ketua Majelis Jemaat adalah juga ketua PHMJ, demikian pula jabatan lainnya. Untuk mempertajam pelaksanaan program dan memberdayakan warga jemaat, maka Majelis Jemaat dalam melaksanakan lima bidang pelayanan dibantu oleh komisi-komisi pembinaan atau kepanitiaan untuk suatu kegiatan tertentu.
2) Persekutuan se-Daerah Persekutuan ini adalah persekutuan warga GKJW di dalam suatu daerah, yang terdiri dari beberapa jemaat. Penataan pelayanan pada persekutuan se-Daerah ini diatur oleh Majelis Daerah, contohnya: Majelis Daerah Malang 1, Majelis Daerah Besuki Timur. Dalam pelaksanaan kegiatan sehari-harinya Majelis Daerah melimpahkan kepada Pelayan Harian Majelis Daerah. Mengapa demikian? Karena Majelis Daerah dalam setahun hanya bersidang sebanyak 2 (dua) kali. Sedangkan Pelayan Harian Majelis Daerah sedikitnya mengadakan rapat sekali dalam dua bulan. Dalam prakteknya bisa sekali sebulan, bahkan lebih mengingat tingkat kegiatan yang semakin padat. Sidang Majelis Daerah merupakan forum tertinggi pengambilan keputusan tertinggi untuk lingkup daerah. Sebagaimana di lingkup Jemaat, maka di lingkup Majelis Daerah ini pun Pelayan Harian Majelis Daerah dibantu oleh Komisi-komisi Pembinaan Daerah untuk merealisasikan ke-lima bidang pelayanannya. Saat ini di GKJW terdapat 14 Majelis Daerah, yaitu meliputi: Surabaya Timur I, Surabaya Timur II, Surabaya Barat-Mojokerto, Surabaya Barat-Jombang, Malang I, Malang II, Malang III, Malang IV, Kediri Utara 1, Kediri Utara 2, Kediri Selatan, Besuki Barat, Besuki Timur, dan Madiun. 3) Persekutuan se-Provinsi Persekutuan ini adalah persekutuan warga GKJW di seluruh Jawa Timur. Inilah yang disebut dengan GKJW, yang meliputi jemaat-jemaat se-Jawa Timur. Penanggung jawab penataan dan pelayanan GKJW adalah Majelis Agung GKJW. Dalam kegiatan sehari-harinya dijalankan oleh Pelayan Harian Majelis Agung. Sedangkan pelaksanaan program untuk kelima bidang pelayanannya dilakukan oleh Dewan-dewan Pembinaan. Sama dengan di jemaat, jabatan di Majelis Agung adalah sama dengan jabatan di Pelayan Harian Majelis Agung. Pada lingkup persekutuan inilah GKJW juga menjalin kerjasama secara oikumenis dengan berbagai gereja baik di Indonesia maupun di luar negeri. Bahkan sudah sejak lama GKJW mengembangkan pergaulannya secara lebih programatis dengan lembaga keagamaan lain.
Langkah pertama adalah mengikuti ketentuan dari Majelis Jemaat tentang “Arah dan tujuan” yang akan dilakukan pada tahun (beberapa tahun) yang akan datang. Dalam rangka menentukan arah dan tujuan kegiatan yang akan datang Majelis Jemaat mempergunakan hasil rembug warga sebagai salah satu acuannya. Setelah ditemukan arah dan tujuan tersebut, kemudian PHMJ/MJ bersama dengan Komperlitbang mengadakan pertemuan koordinatif dengan komisi-komisi. Isi pertemuan itu adalah untuk menjelaskan tentang apa yang akan dilakukan dan diharapkan oleh Majelis Jemaat (setelah menampung hasil rembug warga). Semua konsep kegiatan tahun yang akan datang yang telah diselesaikan oleh komisi kemudian digodog oleh PHMJ bekerjasama dengan komperlitbang. Hasil dari penggodogan ini lalu dibawa ke persidangan Majelis Jemaat untuk didalami sekali lagi, baru kemudian disahkan. Anggota majelis jemaat dan juga warga jemaat di wilayah atau kelompok biasanya mempunyai program untuk menarik dan mengajak warga jemaat yang meremehkan IRT agar mau kembali mengentalkan ikatan persaudaraan dan kekeluargaan dengan warga jemaat lainnya. Diharapkan dengan kehadiran dan keterlibatan di IRT atau kegiatan lainnya, maka sedikit demi sedikit cara hidupnya ikut diperbaharui pula. Bidang Pelayanan GKJWGKJW melengkapi diri dengan 5 bidang pelayanan yaitu:[4]
Pelayanan bidang teologi menangani hal-hal dan kegiatan yang berhubungan dengan pergumulan firman Tuhan dan pembinaan iman warga jemaat. Contoh kegiatan pelayanannya, misalnya menyiapkan bahan untuk Pemahaman Alkitab, pembinaan iman warga dengan berbagai model kegiatan (a.l. ceramah, retret, sarasehan, katekisasi). Bidang teologi selalu melandasi setiap kegiatan pelayanan yang dilakukan oleh jemaat.
Pelayanan Bidang Persekutuan bertugas menangani, melayani dan mengembangkan kegiatan untuk mengentalkan semangat kebersamaan/ persekutuan, mulai dari anak sampai dengan usia lanjut. Sesuai dengan kategori pelayanannya maka bidang pelayanan ini bertujuan agar setiap warga bisa mengambil peranan demi terwujudnya persekutuan dengan Tuhan dan sesamanya dengan sebaik-baiknya. Di samping itu dengan adanya bidang pelayanan ini diharapkan setiap jemaat- secara kategorial- terwadahi kebutuhannya untuk bersekutu.
Pelayanan bidang kesaksian bertugas mengadakan pembinaan bagi warga jemaat agar mampu menyatakan jati dirinya sebagai orang percaya terutama ditengah kehidupannya bersama dengan orang-orang lain. Diharapkan melalui cara hidup yang baik dan benar kehadirannya di masyarakat dapat menjadi saksi akan kasih Tuhan Yesus. Pada hakekatnya semua orang percaya terpanggil untuk bisa menjadi saksi Kristus didalam hidupnya.
Pelayanan di bidang cinta kasih menangani pelayanan untuk mewujudkan cinta kasih Tuhan Allah kepada dunia dan segala isinya agar terwujud kesejahteraan lahir batin. Hal utama dalam pelayanan ini adalah upaya gereja/ orang-orang percaya untuk turut serta bekerja bersama dengan Tuhan agar bumi ini benar-benar disuasanai oleh kasih, sukacita, keadilan, kebenaran dan damai sejahtera bagi seluruh dunia. Pelayanan di bidang ini bukan hanya memberi sesuatu yang cepat habis bagi yang kekurangan (Karitatif), namun juga termasuk kedisiplinan untuk turut serta menjaga memelihara keutuhan ciptaan seperti yang disepakati dalam JPIC (Justice, Peace and Integrity of Creation = Keadilan, Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan)
Pelayanan Bidang ini menangani pembinaan dalam hal antara lain.: sumber daya manusia, harta milik gereja, juga bagaimana meningkatkan daya, dana dan sarana bagi perkembangan dan pertumbuhan gereja. Hal ini agar talenta dan potensi warga jemaat bisa benar-benar diberdayakan untuk memenuhi panggilan Tuhan dan keberadaan gereja benar-benar dirasakan manfaatnya oleh masyarakat luas. [5] Wilayah PelayananSaat ini, Gereja Kristen Jawi Wetan terdiri atas 181 Gereja[6], 14 Majelis Daerah atau Klasis dan lebih dari 150 Pepanthan atau pos pelayanan. Dalam menata dan mengembangkan pelayanannya, GKJW disusun berdasarkan sistem pemerintahan Presbiterial Sinodal yang dijalankan oleh para Pelayan Khusus yaitu Pendeta, Guru Injil, Penatua dan Diaken. Kepemimpinan gereja terdiri dari tiga lingkup pelayanan, yaitu: Majelis Agung adalah lingkup pelayanan yang paling luas dan terdiri dari seluruh Wilayah dan Jemaat, serta dipimpin oleh Pelayan Harian Majelis Agung Gereja Kristen Jawi Wetan (PHMA GKJW). Majelis Daerah adalah lingkup pelayanan yang terdiri dari beberapa Jemaat di suatu wilayah tertentu, serta dipimpin oleh Pelayan Harian Majelis Daerah Gereja Kristen Jawi Wetan (PHMD GKJW). Majelis Jemaat adalah lingkup pelayanan paling dasar dan ditata ke dalam wilayah-wilayah pelayanan dalam satu jemaat, serta dipimpin oleh Pelayan Harian Majelis Jemaat Gereja Kristen Jawi Wetan (PHMJ GKJW). Pusat Pembinaan SpiritualitasGereja Kristen Jawi Wetan memiliki pusat pembinaan spiritualitas yang bernama Kori Menga. Pusat pembinaan spiritualitas ini terletak di Kecamatan Pujon, Kabupaten Malang[7] Pelayan Harian Majelis Agung Gereja Kristen Jawi Wetan (PHMA GKJW)
Pengakuan ImanGereja Kristen Jawi Wetan percaya kepada Tuhan Allah yang menyatakan diri sebagai Allah Trinitas yaitu Allah Bapa, Allah Anak dan Allah Roh Kudus. Gereja Kristen Jawi Wetan percaya bahwa Firman Tuhan Allah termuat di dalam Alkitab yang terdiri atas Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru dan bahwa Alkitab adalah Kesaksian tentang karya Tuhan Allah. Gereja Kristen Jawi Wetan menerima rumusan Pengakuan Iman Rasuli sebagai salah satu dari ungkapan kepercayaannya. GKJW juga masih menggunakan Sahadat Kalih Welas dalam Kebaktian Minggu/Umum bila Bahasa Jawa digunakan sebagai bahasa pengantar. Sahadat Kalih Welas adalah Pengakuan Iman Rasuli[11] dalam Bahasa Jawa.[12] Arti LogoTokohLihat juga
Referensi
Pranala luar
|