Beno Soematenojo
Beno Soematenojo (lahir di Kota Salatiga pada 1915 dan dimakamkan di Makam Ngemplak Salatiga setelah meninggal pada 31 Mei 1971) adalah salah satu pahlawan yang berasal dari Salatiga yang telah mengisi kemerdekaan Republik Indonesia. Dahulu dia merupakan tahanan politik yang dibuang ke Digul Irian dan berhasil pulang dalam keadaan masih hidup. Riwayat HidupBeno merupakan anak keenam dari tujuh bersaudara dari keluarga Somadiwirja yang bertempat tinggal di Jalan Kalitaman No. 4, Kelurahan Salatiga, Kecamatan Sidorejo, Kota Salatiga, Jawa Tengah. Lelaki kelahiran tahun 1915 ini hanya mampu menikmati pendidikan de Scholen der Tweede Klasse (Sekolah Angka Dua) di Blauran, yang menggunakan pengantar bahasa Jawa. Dia tidak diperkenankan masuk ke de Scholen der Eerste Klasse dikarenakan bukan berasal dari keturunan priayi. Ketika masih bersekolah, Beno sudah merasakan adanya perbedaan perlakuan pemerintah penjajah terhadap kaum pribumi. Semangat nasionalismenya semakin tinggi ketika guru kelasnya menceritakan peristiwa Sumpah Pemuda. Kebetulan guru kelasnya merupakan seorang pergerakan, sehingga dia sangat dekat dengan gurunya itu. Setelah tamat sekolah, dia menyusul kakaknya yang bernama Diyon Paulus ke Jakarta untuk membantu orang tuanya. Riwayat perjuanganBeno pernah menyamar sebagai tukang potong rambut keliling dalam melaksanakan tugas sebagai kurir bagi Soekarno, Mohammad Hatta, dan Sutan Syahrir, yang dikelompokkan oleh Pemerintah Hindia Belanda sebagai garis kekuatan nasionalis, radikal, dan ekstrim. Tanggal 1 Agustus 1933, Soekarno ditangkap dan dibuang ke Ende, Flores dengan tujuan supaya terpisah dari Hatta dan Syahrir. Penangkapan berikutnya dilakukan tanggal 25 Februari 1934 kepada Hatta, Syahrir, Murtuwo, Burhanudin, Bondan, dan Beno. Mereka dibuang dan diasingkan ke Digul Irian Selatan. Tempat penahanan Beno dipisahkan dengan Hatta dan Syahrir. Dia dikelompokkan dengan Murtowo, Burhanudin, Bondan di Tanah Tinggi. Dia bertemu dengan Sayuti Melik dari Semarang, Abdulrachman dan Tobing dari Salatiga, Marlan dari Yogya, Kartopandoyo dan Sastrowiyono dari Solo, Broto dari Semarang, serta Elias Yacoub dari Sumatera Barat, yang sejak pada tahun 1926 sudah menghuni di Digul. Gubernur Jendral Hindia Belanda Andries Cornelies Dirk de Graeff bertugas untuk menciptakan ketenangan dan ketentraman dalam menghadapi gerakan sosial politik yang menuntut kemerdekaan. Agitasi yang dilakukan oleh kaum pergerakan harus diahadapi dengan ancaman penjara atau pembuangan. Tindakan pemerintah penjajahan ini menganggap bahwa kaumpergerakan menyerang misi penjajahan. Bagi mereka yang sebagai kaum pergerakan, mengasingkan atau pembuangan merupakan keharusan. Kaum pergerakan mempunyai pengaruh yang besar di bidang politik penjajahan. Untuk keperluan tersebut, pemerintah Hindia Belanda menyediakan tanah Digul sebagai filter gerakan radikalisme di Hindia Belanda. Tanah Digul sendiri merupakan wilayah Afdeling Amboina Gubernemen Maluku, setelah Irian dikuasai oleh Belanda pada tahun 1828. Tanah Digul dengan luas kurang lebih 10.000 ha di Irian Selatan dibagi menjadi empat wilayah, yaitu Tanah Merah, Gunung Arang, Tanah Tinggi dan daerah khusus untuk Kaum Militer dan Kantor Pemerintahan. Daerah Digul, sebagian besar masih berupa hutan lebat berawa yang ditempati oleh nyamuk ganas. Nyamuk-nyamuk ganas ini dapat menyebabkan penyakit malaria yang diikuti demam dan kencing darah hitam (zwartterkoorts) mematikan. Tempat pembuangan di Digul inipertama kali dimanfaatkan sebagai tempat pembuangan kaum radikal yang berani melakukan pemberontakan terhadap penjajahan yang dilakukan oleh kaum komunis pada tahun 1926 di Semarang. Menurut laporan terdapat antara 850 sd 1300 orang kaum radikal dibuang ke Digul, sementara pemimpin-pemimpin mereka seperti Alimin, Musso, Semaun, dan Darsono melarikan diri ke luar negeri. Tokoh-tokoh radikal lama yang menjadi penghuni Digul adalah Sayuti Melik dan Ali Archam Karena tulisan-tulisannya yang sangat pedas dalam mengkritisi pemerintah penjajahan. Tindakan pemerintah Hindia terhadap kelompok-kelompok radikal di Hindia Belanda dengan pembuangan ke Digul Irian Selatan ternyata justru membangkitkan semangat perjuangan untuk membebaskan diri dari penjajahan. Para mahasiswa yang sedang belajar di luar negeri khususnya di Negeri Belanda mulai menjadikan organisasi Perhimpunan Indonesia sebagai pos terdepan pergerakan nasional, sehingga banyak tokoh seperti Bung Hatta, Ali Sastroamijoyo, Abdul Majid dan Natsir Datuk Pamuncak ditangkap dan baru setengah tahun kemudian diadili. Bagi kaum pergerakan di Hindia Belanda, rumah penjara bahkan dijadikan pusat kegiatan kader seperti Bung Karno, Bung Hatta, Bung Syahrir, dan yang lainnya. Rumah penjara berkembang menjadi lembaga tukar menukar informasi dan pengembangan pemikiran antara kelompok etnis, agama, pekerja dan ideologis. Bahkan tidak jarang muncul sabotase, pemogokan kerja dan penyerangan terhadap petugas. Dari berbagai persoalan yang tumbuh di penjara dengan aksi-aksi yang radikal menunjukkan akan adanya peningkatan ekstrimistas para tahanan yang sebagian besar dihuni oleh tahanan politik. Pemerintah mengelompokkan tahanan menjadi tiga macam, yaitu:
Dari jenis tahanan di atas menunjukkan bahwa penjara sebagai saringan untuk memisahkan manusia yang berkesadaran politik, mampu bertindak dengan yang kurang mampu. Jika seseorang gagal masuk kategori tiga, dia kemungkinan besar untuk dibuang ke Digul, Ende, Banda Neira atau Bengkulu. Contoh: Dari penjara Pamekasan Madura terdapt 16 orang yang harus dibuang ke Digul setelah diperiksa oleh PID (Politieke Inlichtingen Dienst). Sedangkan dari penjara Glodok dan Cipinang nama-nama seperti Bung Hatta, Bung Syahrir, Murtowo, Burhanuddin, bondan dan Beno merupakan calon penghuni Digul. Pada akhir tahun 1944 muncullah organisasi yang menghimpun tahanan politik dari Digul/aktivis-aktivis pergerakan kemerdekaan Indonesia yang diberi nama SIBAR (Serikat Indonesia Baru) di Melbourne. Melalui organisasi politik yang baru inilah mereka meneruskan perjuangan di Australia. Perjuagan mereka akhirnya berhasil mendesak pemerintah Australia agar membantu pemulangan ke Indonesia. Berita akan dikembalikan ke Indonesia baru didapat bahwa mereka akan dipulangkan ke Indonesia pada pertengahan Oktober 1945 dengan kapal Exprance Bay. Namun, diantara teman-temannya yang kembali ke Salatiga tidak semuanya meneruskan perjuangan dalam pergerakan perjuangan kemerdekaan. Pada umumnya memeilih berkumpul dengan keluarga masing-masing sesuai dengan bidang masing-masing. Di antara 7 orang yang berasal dari Salatiga yang meneruskan perjuangan kemerdekaan dalam pergerakan politik hanyalah Beno yang masih membujang. Dendam kesumat kepada Belanda justru makin menyala-nyala, karena ketika pulang ke Salatiga mendapat rumah orang tuanya di Jalan Kalitaman No. 4 Kelurahan Salatiga, Kecamatan Sidorejo, Kota Salatiga, Provinsi Jawa Tengah. Telah hancur dibakar tentara Belanda, karena mencari Beno tidak ditemukan. Kedatangan bekas tahanan politik/Digulis dari Australia ternyata membuat kekhawatiran Belanda dan Inggris yang masih berusaha menguasai Indonesia kembali. Oleh karena itu kita mengadakan seleksi lagi terhadap para tahanan tertentu dicurigai memiliki jaringan dengan tokoh-tokoh pergerakan kemerdekaan Indonesia. Ternyata Beno termasuk salah satu dari 40 orang yang dicurigai dan harus masuk tahanan lagi di Cipinang Jakarta, sedangkan 19 lainnya dikembalikan ke Kupang Nusa Tenggara Timur. Dari penjara Cipinang Beno berhasil mendapatkan informasi tentang berbagai hal antara lain: tentang proklamasi kemerdekaan, status Bung Karno, Bung Hatta dan Sutan Syahrir serta keadaan sahabat-sahabatnya seperti Adam Malik, Soekarni, Wikana, Chaerul Saleh, Sayuti Melik serta sahabat karib yang berasal dari Sumatera Barat yaitu Jamaludin Tamin. Tidak kalah mengejutkan hatinya ialah bahwa Belanda dengan bantuan Inggris kembali ingin menguasai Republik Indonesia yang Merdeka. Di mana-mana terjadi peperangan yang memakan korban rakyat yang tidak berdosa. Ketika Beno dibebaskan dari penjara segera pulang ke Salatiga karena ingin sekali bertemu dengan orang tua serta saudara-saudaranya. Namun, betawa kecewa dan terkejut, dia mendapati tempat tinggal orang tuanya di Jalan Kalitaman No. 4, Kelurahan Salatiga, Kecamatan Sidorejo, Kota Salatiga, Provinsi Jawa Tengah tinggal puing-puing. Informasi yang diberikan oleh tetangga-tetangganya bahwa rumah orang tuanya dibakar oleh Belanda ketika mencari Beno/bekas Digulis tidak ditemukan dan keluarganya mengungsi ke Tuntang. Atas saran orang tua dan saudara-saudaranya dan demi keselamatan jiwanya, Beno kembali ke Jakarta dan bergabung dengan teman-teman lama dalam Persatuan Perjuangan yang dipelopori oleh Tan Malaka. Selama di Jakarta dia diberi tempat tinggal oleh Adam Malik untuk menjaga rumah di Jalan Tarakan, Desa Cideng, Kecamatan Gambir, Kota Jakarta Pusat, Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Sambil membantu pekerjaan organisasi. Pada tahun 1950 setelah terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia, dia diminta segera kembali ke Salatiga untuk dinikahkan dengan gadis Tuntang yang masih saudara dekat bernama Kamsinah (putri ke empat dari keluarga Somapawiro. Hasil perkawinannya ini, beno dikaruniai tujuh putra putri, 16 orang cucu, dan empat orang buyut. Pendiri Partai Murba cabang SalatigaMeskipun sudah berumah tangga, Beno Somatenoyo masih mondar mandir Salatiga – Jakarta dengan alasan mudah mencari nafkah dan ingin membangun kembali rumah orang tuanya di Jalan Kalitaman No. 4, Kelurahan Salatiga, Kecamatan Sidorejo, Kota Salatiga, Provinsi Jawa Tengah. Sahabat-sahabatnya di Jakarta utamanya Adam Malik dan Jamaludin Tamin telah menyiapkan tempat tinggal untuk keluarganya, tetapi selalu ditolak dengan alasan bahwa hidup di Salatiga lebih nyaman dibandingkan di Jakarta. Akhirnya Beno Somatenoyo memutuskan mnetap di Salatiga dan hidup berwiraswasta. Beberapa kali dia dibantu modal oleh Adam Malik cs, dan tidak mau menerima tawaran pekerjaan tetap di Jakarta. Dalam menghadapi pemilihan umum yang pertama pada tahun 1955, Beno Somatenoyo ditugasi Sukarni untuk mendirikan Partai Murba Cabang Salatiga sebagai persiapan mengikuti pemilu bulan September dan Desember 1955. Catatan: Partai Murba didirikan oleh Tan Malaka pada tanggal 7 November 1948 karena partai saingan beratnya yaitu PKI Muso – Amir Sjarifoeddin terlibat pemberontakan Madiun 19 September 1948 dan berhasil ditumpas oleh pemerintah. Namun, sayang sekali bahwa dalam pemilu pertama tersebut Partai Murba hanya memperoleh 0,5% (2 kursi dari 257 anggota DPR yang dipilih). Hasil pemilihan umum yang pertama ternyata didominasi oleh Partai Nasional Indonesia (PNI) 8.434.653 suara / 57 kursi, Partai Masyumi 7.903.886 suara/57 kursi, Nahdlatul Ulama (NU) 45 kursi, Partai Komunis Indonesia (PKI) 39 kursi, Partai Kristen Indonesia (Parkindo) 12 kursi, Partai Serikat Islam (PSI Sutan Syahrir) 12 kursi, Partai Katolik 9 kursi, Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), Perti dan Partai Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI) masing-masing 4 kursi dan Murba hanya 2 kursi dan sisanya diperoleh oleh wakil-wakil perseorangan. Komposisi perolehan suara secara nasional di atas ternyata mempengaruhi wakil-wakil rakyat di Salatiga dengan komposisi PKI 7 kursi, PNI 1 kursi, Partai Islam 1 kursi, dan wakil umat Kristen dan Katolik 1 kursi. Keberhasilan PKI (Partai Komunis Indonesia) pada pemilu 1955 merupakan kesempatan untuk menghabisi Partai Murba yang dianggap sebagai rival berat bidang ideologi. Anggota-anggota Partai Murba selalu disudutkan sebagai pengikut ideologi komunis aliran Trotski dan harus dilenyapkan. Meskipun Beno Somatenoyo tidak berhasil mengantarkan kader-kadernya duduk di DPRD Salatiga, ternyata tidak menyurutkan perjuangannya sebagai seorang kader, pejuang, dan patriot bangsa. Partai Murba mendapat angin segar kembali ketika aktif mendukung konsepsi Demokrat Terpimpin yang dilontarkan Bung Karno dalam mengatasi kemelut perpecahan bangsa. Beberapa tokoh Partai Murba seperti Chaerul Saleh, Adam Malik, Sukarni, dan Dr. Prijono menduduki jabatan-jabatan penting dalam pemerintahan. Bahkan bulan Desember 1960 Bung Karno merehabilitir Tan Malaka dan menetapkan sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional. Pertemuan dengan SoekarnoBeno mulai mengenal Soekarno karena sering menyampaikan surat rahasia dari tokoh-tokoh pergerakan dalam menghadapi pasukan Sekutu yang disertai oleh C.H. Van der Plaas dan Hubertus Johannes van Mook dari NICA. Pada 1959, Presiden Uni Soviet Worosilov berkunjung ke Kota Salatiga dengan didampingi oleh Presiden Soekarno. Mereka diikuti pula oleh Ketua CC PKI D.N. Aidit yang merencanakan Kota Salatiga sebagai pusat pendidikan kader-kader Partai Komunis Indonesia. Pada sela-sela pertemuannya dengan pejabat-pejabat Kota Salatiga, Soekarno tiba-tiba menanyakan kepada wali kota tentang keadaan Beno. Hampir semua pejabat dan tamu tertegun mendengar pertanyaan tersebut, terutama Ismail (Ketua DPRD dan Ketua PKI Kota Salatiga). Rupanya, dia tahu persis mengenai Beno dan lantas menugaskan sopir pribadi Soekarno untuk menjemput Beno di rumahnya yang berada di Jalan Kalitaman No. 4. Sesampainya di rumahnya, para petugas terheran-heran karena sopir pribadi Soekarno ternyata sudah akrab dengan Beno. Sopir tersebut lantas berkata, “No, kamu dipanggil bapak sekarang!” Beno kemudian disambut oleh Soekarno di rumah dinas wali kota sebagai berikut. Dia adalah seorang pejuang yang hebat. Pemuda ini yang pernah menyelamatkan saya dari tangkapan Belanda. Sebagai kurir/pengantar surat antar tokoh pergerakan tak ada bandingannya. Ketika akan pulang, Beno akhirnya meminta kepada Soekarno agar anak-anaknya dapat meneruskan sekolah yang dibiayai oleh pemerintah. Dia merasa bersyukur karena Soekarno kemudian memerintahkan kepada pejabat-pejabat Kota Salatiga supaya memenuhi permintaan tersebut. Tokoh seperjuanganBeno juga diketahui memiliki kedekatan dengan Hatta karena ditempatkan di blok pengasingan yang sama di Digul tahun 1934. Hampir setiap hari dia melayani kebutuhan Hatta, termasuk mengirim surat ke kantor pos maupun menyiapkan bahan bacaannya. Hubungan dekatnya dengan Hatta terus berlangsung ketika dia ditugasi sebagai kurir surat-menyurat antara Soekarno dan Hatta ketika berlangsung Agresi Militer Belanda I dan Agresi Militer Belanda II. Dia tertangkap kembali oleh pemerintah Belanda dan dipenjarakan ketika penyamarannya sebagai tukang cukur diketahui. Tokoh lain yang bersama dirinya di Digul adalah Sutan Syahrir. Menurutnya, Syahrir kurang senang bergaul dengan sesama tahanan lain dan hanya mau berkumpul ketika bermain bola. Syahrir berada di Digul hanya satu tahun karena segera dipindahkan ke Banda Neira bersama Hatta. Gugurnya Yos SoedarsoPeristiwa gugurnya Yos Soedarso yang tenggelam dengan menggunakan kapal perang Macan Tutul di Laut Arafura tahun 1962 telah membangkitkan amarah para pemuda di Kota Salatiga. Hal tersebut dikarenakan Soedarso merupakan salah satu tokoh yang berasal dari Kota Salatiga. Para pemuda di Kota Salatiga yang dikoordinir oleh Front Pemuda Salatiga pimpinan Soekisman diarahkan untuk merusak bangunan Tugu Beatrix. Tugu tersebut merupakan simbol kebanggaan Belanda yang saat itu bersebelahan dengan Tugu Jam Tamansari. Namun, para demonstran yang menolak kolonialisme dan imperialisme tersebut ternyata dibelokkan oleh ormas-ormas PKI Salatiga untuk merusak tempat tinggal Beno, yang sekaligus menjadi Kantor Cabang Partai Murba. Kebetulan saat itu Beno tidak berada di rumah dan para demonstran ditemui oleh istri dan anak-anaknya. Mereka juga dicegah oleh petugas dari Komando Distrik Militer 0714, tetapi papan nama Partai Murba dan foto Tan Malaka diambol oleh demonstran untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Peristiwa inilah yang menyebabkan keluarga Beno membutuhkan perhatian yang serius. Teman-teman seperjuangannya yang berada di Jakarta lantas membantunya memberikan modal usaha. Dia kemudian sempat meninggalkan keaktifannya dalam berorganisasi karena Partai Murba dilarang oleh pemerintan – Sukarni sebagai pimpinan ditangkap serta dipenjara tanpa melalui proses pengadilan. Setelah PKI dinyatakan terlibat dalam peristiwa G.30.S/PKI, Partai Murba direhabilitasi oleh pemerintah agar diperbolehkan mengikuti Pemilihan Umum tahun 1971. Beno pun menghidupkan kembali Partai Murba Cabang Salatiga dan menggunakan rumahnya sebagai kantor. Pemilihan Umum pertama di era Orde Baru tahun 1971 ternyata hanya dikuto oleh 10 partai politik, tidak sebanyak Pemilihan umum legislatif Indonesia 1955. Partai-partai yang mengikuti Pemilu 1971 adalah Partai Golkar (Golongan Karya), PNI (Partai Nasional Indonesia), NU (Nahdatul Ulama), Partai Parmusi (Partai Muslimin Indonesia), Parkindo (Partai Kristen Indonesia), IPKI (Ikatan Pejuang Kemerdekaan Indonesia), PSII (Partai Serikat Islam Indonesia), Partai Katolik, Partai Murba, dan Perti. Pada pemilu tersebut, Partai Murba ternyata hanya memperoleh 0,09% dukungan, sehingga belum mampu mengantarkan kader-kadernya duduk di Dewan Kota. Namun dalam pemberontakan kabinet yang dipimpin oleh Soeharto, Adam Malik selaku tokoh Partai Murba ternyata ditunjuk sebagai Menteri Luar Negeri dan berhasil memimpin Sidang Umum PBB ke-26. Beno akhirnya benar-benar mengundurkan diri dari kegiatan partai setelah pemerintah Orde Baru mengadakan program penyederhanaan partai dengan mengadakan fusi. Partai Murba bergabung dengan PDI (Partai Demokrasi Indonesia) bersama PNI, Partai Katolik, Parkindo, dan IPKI. KematianPerjuangan Beno yang dilakukan sejak muda pada masa pergerakan kemerdekaan bangsa berakhir pada 31 Mei 1971. Sebelum meninggal dunia, kesehatannya semakin menurun dan sering sakit. Dia sempat berpesan kepada keluarganya agar dirinya tidak dimakamkan di Makam Taman Pahlawan dengan alasan agar keluarganya dapat mengunjunginya setiap saat. Dia akhirnya dimakamkan di Makam Umum Karangduwet Dukuh Salatiga dengan upacara kemiliteran. Berkat jasa-jasanya terhadap negara dalam memperjuangkan kemerdekaan, dia ditetapkan sebagai Pahlawan Perintis Kemerdekaan melalui Menteri Sosial Republik Indonesia dengan SK. Nomor Pol. 286/590/PK tertanggal 17 Agustus 1976. Lihat pulaDaftar pustakaBuku
Pranala luarWikimedia Commons memiliki media mengenai Beno Soematenojo. |