Sejarah bahasa Sunda

Kata "Sunda" dalam beberapa aksara yang digunakan untuk menuliskan bahasa Sunda

Bahasa Sunda adalah anggota rumpun bahasa Melayu-Polinesia yang merupakan bagian dari rumpun bahasa Austronesia, dengan demikian, bahasa Sunda merupakan salah satu turunan dari bahasa rekonstruksi Proto-Melayu Polinesia yang reka ulang leluhurnya adalah bahasa Proto-Austronesia.[1][2] Bukti terawal penggunaan bahasa Sunda dalam bentuk tulisan dapat dilacak dari sekumpulan prasasti yang ditemukan di wilayah Kawali, Ciamis yang diperkirakan dibuat pada abad ke-14.[3] Sementara itu, bahasa Sunda dalam bentuk lisan telah dipakai jauh sebelum prasasti-prasasti tersebut dibuat.[4]

Dalam sejarahnya, bahasa Sunda mengalami beberapa periodisasi atau perkembangan. Perkembangan linguistik tersebut sejalan dengan perkembangan kebudayaan Sunda yang mengalami kontak budaya dengan kebudayaan lain. Para ahli biasanya membagi periodisasi bahasa Sunda secara garis besar menjadi dua tahap utama, bahasa Sunda Kuno dan bahasa Sunda Modern yang ciri kebahasaannya dapat dibedakan dengan cukup jelas.[5] Sementara itu, menurut Hendayana (2020), perkembangan bahasa Sunda dapat dibagi menjadi tiga periode, yaitu:[6]

  1. Bahasa Sunda Kuno (Buhun)
  2. Bahasa Sunda Klasik (Peralihan)
  3. Bahasa Sunda Modern (Kiwari)

Bahasa Sunda Kuno

Prasasti Batutulis yang dibuat pada tahun 1533.
Prasasti Kebantenan.

Bahasa Sunda Kuno adalah nama yang diberikan bagi bentuk dialek temporal bahasa Sunda yang ditemukan dalam prasasti-prasasti serta naskah-naskah yang dibuat sebelum abad ke-17. Bahasa ini umumnya diyakini sebagai pendahulu bahasa Sunda yang digunakan di zaman sekarang. Berdasarkan tataran sintaksis, morfologi, serta leksikonnya, bahasa Sunda Kuno sedikit banyak menunjukkan perbedaan yang mencolok dengan bahasa Sunda Modern. Bahasa ini lazimnya digunakan di Kerajaan Sunda pada masa pra-Islam yang dituliskan pada naskah dari berbagai media, seperti daun lontar, gebang, dan daluang. Bahasa ini digunakan dalam berbagai bidang, seperti bidang keagamaan, kesenian, kenegaraan, dan sebagai alat komunikasi sehari-hari.[7]

Bahasa Sunda Kuno kebanyakan ditulis menggunakan aksara Sunda Kuno dan aksara Buda, selain itu, beberapa naskah berbahasa Sunda Kuno juga ada yang ditulis menggunakan aksara Kawi.[7] Contoh naskah-naskah yang menggunakan bahasa Sunda Kuno di antaranya adalah:

  1. Carita Parahyangan
  2. Kawih Panyaraman
  3. Sanghyang Siksa Kandang Karesian

Contoh fragmen bahasa Sunda Kuno

Naskah Bujangga Manik (1400).

Kutipan dari naskah Bujangga Manik, ditulis pada sekitar abad ke-14 sampai abad ke-15.

Catatan: Teks transliterasi dan terjemahan yang disajikan di bawah diambil dengan beberapa perubahan seperlunya dari buku Tiga Pesona Sunda Kuna (2006) yang merupakan terjemahan dari buku Three Old Sundanese Poems karya J. Noorduyn & A. Teeuw.[8]

Transliterasi

Saur sang mahapandita: 'Kumaha girita ini? Mana sinarieun teuing teka ceudeum ceukreum teuing? Mo ha(n)teu nu kabé(ng)kéngan.' Saur sang mahapandita: 'Di mana éta geusanna? Eu(n)deur nu ceurik sadalem, séok nu ceurik sajero, midangdam sakadatuan.' Mo lain di Pakanycilan, tohaan eukeur nu ma(ng)kat, P(e)rebu Jaya Pakuan. Saurna karah sakini: 'A(m)buing tatanghi ti(ng)gal, tarik-tarik dibuhaya, pawekas pajeueung beungeut, kita a(m)bu deung awaking, héngan sapoé ayeuna. Aing dék leu(m)pang ka wétan.' Saa(ng)geus nyaur sakitu, i(n)dit birit su(n)dah diri, lugay sila su(n)dah leu(m)pang. Sadiri ti salu panti, saturun ti tungtung surung, Ulang panapak ka lemah, kalangkang ngabiantara, reujeung deung dayeuhanana, Mukakeun panto kowari.

Terjemahan

Sang pendeta agung berkata: 'Mengapa ini menggemparkan? Tidak seperti biasanya hingga mendung suram sekali? Barangkali mereka yang kebingungan.' Seorang pendeta agung bertanya: Di mana tempat kejadiannya itu? Gemuruh yang menangis memenuhi istana, ramai yang menangis di dalam, semua isi kedatuan meratapi. Jangan-jangan di Pakancilan, atas kepergian Pangeran, Perebu Jaya Pakuan.' Dia berkata demikian: Ibunda, tataplah dengan jelas, dengan sedalam-dalamnya, untuk yang terakhir bertatap muka, engkau, ibunda, bersamaku, hanya tinggal sehari ini, ananda 'kan pergi ke arah Timur.' Setelah berkata begitu, berjongkok lalu berdiri, berjalan lalu pergi. Seperginya dari balai pertemuan, seturunnya dari ujung mimbar, lalu melangkahkan kakinya ke tanah, bayang-bayangnya memancar ke angkasa, bersama dengan dirinya, lalu membuka pintu gerbang.

Bahasa Sunda Klasik

Bahasa Sunda Klasik atau bahasa Sunda Peralihan adalah bahasa transisi yang menjembatani bahasa Sunda Kuno dengan bahasa Sunda Modern. Bahasa ini merupakan perkembangan selanjutnya dari bahasa Sunda Kuno setelah runtuhnya Kerajaan Sunda pada tahun 1579. Runtuhnya Kerajaan Sunda bersamaan dengan menguatnya pengaruh Islam yang merasuk ke dalam wilayah orang Sunda. Kosakata bahasa Sunda Klasik dipengaruhi kuat oleh bahasa Arab, kemudian bahasa Melayu, serta mulai munculnya tingkatan bahasa yang diadopsi dari kebudayaan monarki bercorak Islam. Bahasa ini digunakan pada abad ke-17 sampai pertengahan abad ke-19 terutama dalam bidang agama dan pemerintahan.[9]

Naskah Wawacan Nabi Paras yang ditulis menggunakan abjad Pegon.[10]

Sistem penulisan bahasa Sunda Klasik pada awalnya memakai aksara Sunda Kuno dengan model bentuk yang lazim ditemukan dalam naskah-naskah, tetapi seiring berjalannya waktu, sistem penulisan bahasa Sunda Klasik mulai mengadopsi aksara-aksara asing seperti abjad Pegon dari abjad Arab, Cacarakan dari Hanacaraka, serta alfabet Latin yang disesuaikan dengan fonologi bahasa Sunda.[9] Naskah yang ditulis dalam Cacarakan berbentuk puisi yang berjenis guguritan dan wawacan, yakni puisi yang digubah dalam bentuk dangding atau lagu, memiliki aturan gurulagu, guruwilangan, dan gurugatra dalam setiap pada 'bait' dan padalisan 'baris'. Sementara itu, naskah-naskah dalam abjad Pegon sangat dipengaruhi oleh bahasa Arab dan bahasa Melayu serta ditulis dalam bentuk syair atau puisi pupujian.[11]

Salah satu contoh naskah berbahasa Sunda Klasik adalah naskah Carita Waruga Guru yang ditulis pada abad ke-18 menggunakan aksara Sunda Kuno. Selain naskah tersebut, beberapa contoh naskah yang menggunakan bahasa Sunda Klasik di antaranya adalah:

  1. Babad Galuh
  2. Sajarah Galuh Bareng Galunggung[12]
  3. Wawacan Sulanjana

Contoh fragmen bahasa Sunda Klasik

Naskah Carita Waruga Guru edisi faksimile. (1700an)

Kutipan dari naskah Carita Waruga Guru yang diperkirakan ditulis antara tahun 1705-1709.[13][14]

Catatan: Teks transliterasi selengkapnya dapat dilihat di Wikisource pada file Poesaka_Soenda_1923-03-1(09).pdf halaman 130-136, terjemahannya disadur dari terjemahan bahasa Belanda dalam file Tijdschrift_voor_Indische_Taal-_Land-_en_Volkenkunde,_LV.pdf halaman 380-382.

Transliterasi

Ini carita Waruga Guru, éta nu nyakrawati. Nu poék angen tulus, da kujaba di nu bodo, nu tarrabuka priyayi sakarep kasorang tineung meunang guru. Ratu Pusaka di jagat paramodita, éta, kanyahokeun ratu galuh, keurna bijil ti alam gaib; nya Nabi Adam ti heula. Ratu Galuh dienggonkeun sasaka alam dunya. Basana turun ti langit masuhur, turun ka langit jambalulah, turun ka langit mutiyara, turun ka langit purasani, turun ka langit inten, turun ka langit kancana, turun ka langit putih, turun ka langit ireng, turun ka langit dunya. Ja kalangan, tata lawas turun ka Gunung Jabalkap. Upami: ratu Galuh dienggonkeun sasaka alam dunya, nabi Adam ti heula, pinareking gunung Mesir. Adam diseuweu opat puluh, dwa nu sakembaran, munijah luluhur haji dewi; cikal, da hiji dingarankeun nabi Isis, luluhur manusa.

Terjemahan bebas

Ini adalah kisah Waruga Guru, ialah yang menguasai dunia. Dia yang pikirannya gelap akan tetap demikian, karena ketidaktahuan sama sekali tanpa terkecuali, para pemuda yang tercerahkan, melihat apa yang mereka inginkan terpenuhi, mendapatkannya dari guru. Pangeran dalam citra ketakutan, biarlah diketahui, Ratu Galuh, sejak dia muncul dari alam ghaib, memang Nabi Adam mendahului (dia). Ratu Galuh dijadikan pusaka duniawi. Kemudian dia turun dari langit yang mahsyur, turun ke langit Jambalullah (kemuliaan Allah), turun ke langit mutiara, turun ke langit baja, turun ke langit intan, turun ke langit kencana, turun ke langit putih, turun ke langit hitam, turun ke langit dunia (dunia manusia). Karena ada yang menghalangi, ia kemudian turun pada waktunya ke Gunung Jabalkap. Perumpamaannya: Ratu Galuh dijadikan pusaka dunia, Nabi Adam mendahului (dia) di dekat Gunung Mesir. Adam mempunyai empat puluh anak, kembar dari kedua jenis kelamin, (yang diizinkannya) untuk menjadi nenek moyang para pangeran dan ratu: yang tertua, raja, disebut nabi Isis: dia adalah nenek moyang manusia.

Bahasa Sunda Modern

Bahasa Sunda Modern adalah bentuk bahasa Sunda yang mulai berkembang setelah adanya kolonialisme Belanda di Indonesia, bahasa ini dikembangkan dan dikodifikasi dengan ditandai oleh terbitnya kamus-kamus yang membahas bahasa Sunda. Perjalanan panjang berkembangnya bahasa Sunda Modern dapat diuraikan melalui peristiwa-peristiwa di bawah ini.

Sampul kamus Sunda-Inggris.
  1. Tahun 1841: Terbitnya Kamus Bahasa Belanda-Melayu dan Sunda yang didasarkan kepada senarai kosakata yang telah dikumpulkan oleh De Wilde, yang ditulis oleh Roorda di Amsterdam. Peristiwa ini menandai diakuinya bahasa Sunda sebagai bahasa yang mandiri secara resmi.[15]
  2. Tahun 1842: Walter Robert van Hoëvell, seorang pendeta yang bertugas di Batavia menulis sebuah jurnal mengenai istilah-istilah etnografi Djalma Soenda.[16]
  3. Tahun 1843: Diadakan sayembara penyusunan kamus bahasa Sunda dengan lema terbanyak yang digagas oleh Pieter Mijer, seorang sekretaris Perhimpunan Batavia untuk Seni dan Ilmu Pengetahuan yang berhadiah 1000 Gulden dan medali emas. Hal ini menjadi pemicu orang-orang Eropa untuk mempelajari bahasa Sunda.[17]
  4. Tahun 1862: Untuk pertama kalinya, kamus bahasa Sunda-Inggris diterbitkan oleh Jonathan Rigg, seorang pengusaha asal Inggris yang memiliki perkebunan di Bogor Selatan. Terbitnya kamus bahasa Sunda-Inggris ini membuat beberapa pihak orang Belanda kecewa, salah satunya adalah Koorders, seorang doktor teologia dan hukum yang ditugaskan ke Hindia-Belanda tahun 1862 untuk mendirikan sekolah guru (Kweekschool). “Ini membuat saya sedih karena penyusunnya bukan orang Belanda”, kata Koorders (1863).[18]
  5. Tahun 1872: Dipilihnya bentuk bahasa Sunda yang dituturkan di Bandung sebagai bahasa Sunda yang paling murni menurut pemerintah kolonial Belanda, bentuk bahasa ini kemudian dibakukan untuk dijadikan bahasa Sunda baku dengan diterbitkannya kamus-kamus serta buku-buku tata bahasa Sunda oleh para sarjana dan penginjil. Tahun 1912, ditegaskan kembali bahwa dialek Bandung sebagai bahasa Sunda baku. Penetapan tersebut masih berpengaruh hingga kini.[19]
Teks Ayang-ayang gung (1921) karya Raden Hadji Muhammad Musa.

Semenjak itu, bahasa Sunda terus mengalami perkembangan, sastra-sastra Sunda mulai dikembangkan dan bahasa Sunda menjadi bahasa pengantar di sekolah tingkat dasar maupun tingkat lanjut, hal ini didukung dengan diterbitkannya buku-buku atau bahan bacaan lain berbahasa Sunda yang dipelopori oleh Raden Muhammad Musa, seorang penghulu besar Limbangan, Garut yang juga didorong oleh Karel Frederik Holle, seorang berkebangsaan Belanda yang menaruh perhatian besar terhadap bahasa dan kebudayaan Sunda. Land’s Drukkerij dan Volk-slectuur (1908) yang berganti nama menjadi Balai Poestaka pada 1917 memainkan peranan penting dalam penerbitan berbagai buku berbahasa Sunda itu.[20] Lalu, bermunculanlah pengarang-pengarang yang menulis karya mereka dalam bahasa Sunda, seperti, Adiwijaya, Kartawinata, Burhan Kartadireja, M. Kartadimaja, R. Rangga Danukusumah, R. Suriadiraja, R. Ayu Lasminingrat, D.K. Ardiwinata, dan sampai saat ini masih banyak bermunculan generasi penerusnya.[21]

Sistem penulisan bahasa Sunda Modern menggunakan alfabet Latin dengan beberapa ejaan yang berbeda, selain itu, dalam penggunaan terbatas, bahasa Sunda Modern juga dapat ditulis menggunakan abjad Pegon dan Cacarakan. Keadaan ini terus berlanjut hingga pada tahun 1997, diadakan lokakarya yang diselenggarakan di Universitas Padjajaran untuk menetapkan aksara Sunda baku yang model bentuknya didasarkan pada aksara Sunda kuno dengan beberapa penyederhanaan, aksara ini kemudian ditetapkan sebagai salah satu sistem penulisan bahasa Sunda Modern (kontemporer) yang diajarkan di sekolah-sekolah.[22][23]

Karya sastra dalam bahasa Sunda Modern banyak sekali judulnya, contoh di bawah ini adalah kutipan dari salah satu karya sastra berupa puisi (bahasa Sunda: Sajak) yang dikumpulkan oleh Ajip Rosidi dalam bukunya yang berjudul Puisi Sunda Modern dalam Dua Bahasa (2001).[24]

Contoh fragmen bahasa Sunda Modern

Puisi karya Surachman R.M. (lahir tahun 1936) yang berjudul Basa Ngurebkeun yang kemudian diterjemahkan oleh Ajip Rosidi menjadi Di Kuburan.[25]

Teks

Basa milu ngurebkeun, harita

patepung reujeung manéhna

Teu sangka

Paromanna geus lalayu sekar

lir potrét panineungan

boléas kawas warna kabayana

"Ceuceu mah geus incuan. Kuma

Ayi sabaraha batina?"

Dijawab ku imut, semu katahan

Sab mangsa 20 taunan téh kapan

keur usum urang mah lain lumayan

Basa ngurebkeun geus lekasan

pok deui manéhna lalaunan

"Kulan?" cék kuring panasaran

"Muhun moal kasorang deui

Mangsa rumaja mah, Yi

moal kasorang deui..."

Terjemahan

Waktu menghadiri kuburan

bertemu dengan dia

Tidak kukira

Airmukanya bunga layu

laksana potret kenangan

sepudar warna kebayanya

"Aku sudah punya cucu. Dan kau

berapa anakmu?"

Kujawab dengan senyuman, seperti tertahan

Sebab masa 20 tahunan

buat kita bukan lumayan

Waktu penguburan selesai

perlahan ia berkata lagi

"Apa?" tanyaku penasaran

"Ya, takkan teralami lagi

masa remaja yang indah

takkan teralami lagi..."

Referensi

Catatan kaki

  1. ^ Ranabrata (1991), hlm. 1.
  2. ^ Tryon (1995), hlm. 460.
  3. ^ Gunawan & Fauziyah (2018), hlm. 3.
  4. ^ Ekadjati (2014), hlm. 40.
  5. ^ Gunawan & Fauziyah (2018), hlm. 2.
  6. ^ Hendayana (2020), hlm. 217-218.
  7. ^ a b Hendayana (2020), hlm. 218.
  8. ^ Noorduyn & Teeuw (2006), hlm. 278-279.
  9. ^ a b Hendayana (2020), hlm. 219.
  10. ^ "Hikayat Paras Rasul dan Keutamaannya". Kairaga. 
  11. ^ Sumarlina, Permana & Darsa (2019), hlm. 277.
  12. ^ S. van Ronkel, ed. (1913). Tijdschrift voor Indische Taal- Land- en Volkenkunde, LV. LV. Batavia: Albrecht & Co., M. Nijhoff. hlm. 405–413. 
  13. ^ Suprianto (2015), hlm. 10.
  14. ^ Pleyte (1923), hlm. 130.
  15. ^ Moriyama (1996), hlm. 158.
  16. ^ Moriyama (1996), hlm. 159.
  17. ^ Moriyama (1996), hlm. 160.
  18. ^ Moriyama (1996), hlm. 161.
  19. ^ Moriyama (1996), hlm. 162.
  20. ^ Baidillah et al. (2008), hlm. 25.
  21. ^ Baidillah et al. (2008), hlm. 26.
  22. ^ Baidillah et al. (2008), hlm. 61-62.
  23. ^ Baidillah et al. (2008), hlm. 64.
  24. ^ Rosidi (2001), hlm. 7-8.
  25. ^ Rosidi (2001), hlm. 52-53.

Sumber

Pustaka lanjutan

Pranala luar

Kembali kehalaman sebelumnya