Carita Waruga GuruCarita Waruga Guru adalah naskah Sunda klasik yang ditulis pada kertas daluang dengan aksara Sunda kuno. Naskah ini diperkirakan ditulis pada sekitar akhir abad ke-17 atau sekitar awal abad ke-18.[1] Berdasarkan media tulisnya, naskah ini dianggap sebagai naskah Sunda kuno yang paling muda dan termasuk ke dalam naskah periode transisi yang bernuansa Islam.[2][3][4][5] Isinya menceritakan kisah Ciung Manarah dan Hariang Banga, serta asal mula berdirinya kerajaan Pajajaran dan Majapahit. Dilengkapi dengan silsilah leluhur Ciung Manarah merunut hingga Nabi Adam berikut keturunannya.[4][6] InventarisasiNaskah Carita Waruga Guru tercatat dalam koleksi Perpustakaan Nasional RI dengan nomor koleksi KBG 74.[6][7] KBG berarti Koninklijk Bataviaasch Genootchap, merupakan kode untuk koleksi pokok naskah Jawa. Menurut Cohen Stuart (1872), naskah ini tercatat sebagai koleksi KBG pada 7 Oktober 1966, sebagai salah satu naskah Sunda kuno pemberian dari Bupati Galuh R.A.A. Kusumahdiningrat (1839-1886).[4] Pleyte juga mencatat bahwa naskah ini berasal dari daerah Kawali, Ciamis.[8][9] Pada faksimili yang disajikan pada TBG edisi 55, naskah ini disebut oleh Pleyte dengan kode 'Jav. Ms. No. 74'.[4] Dalam upaya rekatalogisasi yang dilakukan oleh Munawar Holil dan Aditia Gunawan (2010), naskah Carita Waruga Guru tidak ditemukan dalam koleksi Perpustakaan Nasional, sehingga diberi tanda bintang. Demikian juga dalam Katalog Induk Naskah-naskah Nusantara Jilid 4: Perpustakaan Nasional Republik Indonesia.[7] Hingga sekarang, keberadaan naskah ini tidak diketahui lagi, bersama beberapa naskah lain dalam kelompok koleksi KBG.[4][6][7] DeksripsiNaskah berukuran 20 x 15 cm dengan tebal 24 halaman. Bahan yang digunakan adalah kertas daluang, walaupun dalam beberapa deskripsi lain ada yang menyebutnya sebagai kertas Eropa.[8] Karena naskah ini hilang, bukti wujud fisiknya hanya dapat dilihat pada edisi faksimili yang diusahakan oleh C.P. Pleyte dan diterbitkan tahun 1913 dalam Tijdschrift voor Indische Taal- Land- en Volkenkunde LV: 281-428.[1] Dalam terbitan itu, terdapat satu halaman pertama dari naskah Carita Waruga Guru. Naskah ditulis dengan aksara Sunda kuno dengan tinta hitam. Tulisannya berjumlah 16 baris pada halaman ini. Kemungkinan pada halaman lain juga demikian. Berdasarkan bentuknya, aksara Sunda kuno pada naskah ini memiliki kemiripan yang cukup dekat dengan naskah Sewaka Darma,[10] Carita Ratu Pakuan[10] dan Wirid Nur Muhammad (KBG 75).[11] Sehingga, naskah ini diperkirakan ditulis sekitar awal abad ke-18. Berdasarkan bentuk aksara dan perbandingan dengan naskah-naskah tersebut, Ade Ahmad menduga naskah Carita Waruga Guru pun ditulis disalin oleh Kai Raga.[12] Naskah lain yang memliki bentuk aksara dengan kemiripan yang sangat tinggi dengan Carita Waruga Guru, yaitu KBG 73, dan KBG 76.[4] PenelitianPenelitian berupa alih aksara, terjemahan dan komentar dalam bahasa Belanda dilakukan oleh C.P. Pleyte[13] dan diterbitkan tahun 1913 dalam artikelnya "De Patapaan Adja Soeka Resi: ander gezegd de khuizenarij op den Goenoeng Padang: Tweede bijrage tot de kennis van het oude Soenda" (TBG 55).[1][4] Edisi teks lain disajikan dalam Poesaka Soenda No. 9, Maret, tahun 1923 dibubuhi keterangan dalam bahasa Sunda. Edisi ini merupakan salinan dari alih aksara yang dikerjakan oleh Pleyte.[9] Saduran dari edisi dalam Poesaka Soenda tersebut diusahakan ke dalam bahasa Sunda modern dan terbit dalam buku Lima Abad Sastra Sunda, Jilid I, tahun 2000.[8] Wahyu Wibisana memberikan telaah kebahasaan terhadap teks Carita Waruga Guru dan menyatakan bahwa bahasa yang digunakan dalam teks ini tidak jauh berbeda dengan bahasa yang digunakan dalam Carita Parahyangan, tetapi kosakata Arab dan cerita para nabi telah memberi warna yang mencolok, contohnya: "… eta kanyahokeun ratu galuh kerna bijil ti alam gaib nya nabi adam di heula ratu galuh dienggonkeun sasaka alam dunya.…"[8] Isi teksCarita Waruga Guru berisi kisah dan silsilah raja-raja Pajajaran yang merunut dari Nabi Adam. Genealogi dalam teks ini berlanjut hingga tokoh-tokoh dengan nama yang bernuansa Islam. Dengan demikian, teks ini jelas memperlihatkan percampuran budaya agama Hindu yang dianut sebelumnya oleh orang Sunda, dengan ajaran agama Islam yang datang belakangan.[4] Ada yang menduga bahwa kisah yang dituliskan dalam naskah ini pada mulanya merupakan cerita lisan.[14] Di dalamnya disebutkan bahwa Adam berputra empat puluh, dua orang putranya kembar, pertama Munijah yang merupakan leluhur Haji Dewi. Kedua bernama Nabi Isis, yang merupakan leluhur manusia. Kisah selanjutnya yang disebutkan antara lain Nabi Enoh memiliki putri bernama Betari Sanglinglang, yang memiliki putra bernama Muladasadi. Muladasadi berputra Ratu Babar Brana, lalu menikah dengan Betari Logina. Betari Logina memiliki putra bernama Ratu Gandul Gantung.[4] Hubungan kekerabatan dengan kerajaan Sunda antara lain tampak dalam tokoh Sang Ratu yang memiliki putra Hariang Banga dan Ciung Manarah. Keduanya saling berperang hingga akhirnya memiliki negara masing-masing. Hariang Banga menguasai Majapit di timur dan Ciung Manarah menguasai Pajajaran di barat. Dari Hariang Banga, silsilah terus menurun ke Prebu Mula, Prebu Terus Bawa, Terus Bagawat, Prebu Terus Gumuling, Prebu Raja Gumuling, Prebu Mangoneng, Prebu Terus Bangbang, Ki Gedeng Messer, Ki Gedeng Jati, Ratu Prewata, Ki Gedeng Majanah, Ratu Sarikem (menikah dengan Seh Kures), Ratu Pajangga, dan seterusnya.[4] ReferensiWikisumber memiliki naskah asli yang berkaitan dengan artikel ini:
|