Sewaka Darma (Sunda Kuno)Sewaka Darma atau Kawih Panyaraman adalah teks puisi Sunda kuno yang berisi dialog antara pendeta dan seorang murid pengabdi hukum (sang sewaka darma) untuk mencapai pembebasan (kaleupasan) dari penderitaan hidup, serta mematuhi tuntutan hukum dan aturan.[1][2] Pada bagian akhir disebutkan bahwa jiwa yang telah mencapai moksa itu berada dalam dunia yang "hening tanpa suara, hampa tanpa wujud, lembut tanpa jasad, dan sarwa tunggal wisesa."[2] Teksnya terdapat pada beberapa naskah dalam koleksi Perpustakaan Nasional RI[3] dan Kabuyutan Ciburuy.[2] Semuanya ditulis dengan aksara Sunda kuno dan bahasa Sunda kuno pada daun lontar. Teks ini diperkirakan berasal dari sekitar abad ke-16 sampai 17 M.[4] InventarisasiSewaka Darma tercatat pada beberapa buah naskah yang tersimpan dalam koleksi Perpustakaan Nasional dan Kabuyutan Ciburuy.[4] Tiga naskah di antaranya terdapat di Perpustakaan Nasional dengan kode koleksi L 408, L 424, dan L 425. Deskripsi singkat ketiganya terdapat pada Katalog Induk Naskah-naskah Nusantara Jilid 4: Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. Naskah L 408 disimpan pada peti nomor 16, dan diberi judul Sewaka Darma. Naskah ini berasal dari Galuh, pemberian R.A.A Kusumadiningrat (1839-1886). Deksripsi sebelumnya pernah dilakukan oleh Cohen Stuart tahun 1872.[3][5] Naskah L 424 tercatat disimpan pada peti nomor 15 dengan judul Donga Paningkah Kawin. Naskah ini pernah dideskripsikan pula oleh Cohen Stuart (1972). Naskah L 425 disimpan pada peti nomor 16 dengan judul berbahasa Belanda, Godienstleer.[3] Deskripsi sebelumnya pernah dilakukan oleh Cohen Stuart. Tiga naskah lainnya ditemukan dalam koleksi Kabuyutan Ciburuy dan telah dibahas oleh Sardjono dkk. (1987/1988) dan Undang A. Darsa (2005, 2012).[4][6][7] Naskah-naskah dari Ciburuy, termasuk Sewaka Darma telah didigitalisasi oleh Britsh Library tahun 2009.[8] Deskripsi FisikL 408Naskah ditulis pada 37 lempir (74 halaman) dan hanya ditulis 67 halaman[1][2]. Dalam katalog Behrend & hasil rekatalogisasi Holil & Gunawan, jumlah lempirnya hanya tercatat 35.[3][5] Bahan naskah terbuat dari daun lontar berukuran 25,1 x 2,8 cm, dilengkapi dengan pengapit kayu. Setiap halaman berisi empat baris teks yang ditulis dengan aksara Sunda kuno dan bahasa Sunda kuno. Kondisinya cukup baik dan terawat. Naskah ini disusun oleh seorang pertapa perempuan bernama Buyut Ni Dawit yang bertapa di pertapaan Ni Teja Puru Bancana di Gunung Kumbang.[2] L 424Naskah lontar berukuran 38,5 x 3,2 cm dilengkapi pengapit kayu. Lempir berjumlah 39 dengan 4 baris aksara Sunda kuno dan bahasa Sunda kuno. Hanya 28 lempir yang berisi tulisan, 11 lempir lainnya kosong. Dalam bundel naskah ini terdapat 1 lempir fragmen dari teks Carita Purnawijaya.[5] Tempat penulisannya di Gunung Larang Sela. L 425Naskah lontar berukuran 27 x 3,1 cm, dengan jumlah 32 lempir. Setiap halaman terdiri dari 5 baris teks dengan aksara Sunda kuno dan bahasa Sunda kuno.[5] Sewaka Darma Peti III CiburuyNaskah berupa lontar tanpa kropak dan benang pengikat, namun diapit bilahan kayu penjepit berwarna jingga berukir motif tanaman rambat berukuran 23 x 4 cm, tebal 0,5 cm. Daun lontar terdiri dari 32 lempir (64 halaman) dengan satu halaman kosong. Setiap lempiran berukuran 23,5 x 4 cm, dengan ukuran ruang tulisan 22 x 3,5 cm. Setiap halaman ditulis dalam empat baris menggunakan aksara Sunda kuno dan bahasa Sunda kuno.[7] PenelitianNaskah ini pertama kali diumumkan oleh Danasasmita dkk. (1987) berupa transliterasi, suntingan teks dan terjemahan bersama dua naskah lainnya, yaitu Sanghyang Siksa Kandang Karesian dan Amanat Galunggung.[2] Dalam penelitian itu Sewaka Darma semula dianggap terdapat pada naskah tunggal, yaitu pada kropak 408 (L 408) koleksi Perpustakaan Nasional. Analisis terhadap bentuk aksara Sunda kuno yang digunakan merngindikasikan kemiripan dengan naskah Carita Ratu Pakuan (L 410) dan diperkirakaan merupakan model aksara Sunda tipe akhir yang ditulis pada awal abad ke-18. Jika bukan salinan, isi naskahnya jelas lebih tua dari abad ke-18 Masehi.[2] Pada tahun yang sama dilakukan transliterasi, rekonstruksi, suntingan teks dan terjemahan atas dua naskah Ciburuy (Ciburuy I dan Ciburuy II) yang juga mengandung teks Sewaka Darma.[6][1] Dari analisis terhadap kedua naskah Ciburuy tersebut didapati bahwa susunan lempir telah acak dan bercampur dengan teks lain. Selain itu terdapat empat model aksara Sunda kuno yang digunakan untuk menulis. Penelitian terhadap naskah lain dengan isi teks yang sama di Perpustakaan Nasional dengan kodel L 424 dan 425 dilakukan oleh Undang A. Darsa dalam disertasinya.[4][1][3][5] Belakangan, teks Sewaka Darma diteliti dari berbagai sisi keilmuan. Antara lain yang dikerjakan oleh Yusuf Siswantara (2016) membahas aspek pedagogisnya.[9] Tinjauan aspek etika guru dan murid yang dikerjakan oleh Maryono (2018).[10] Tinjauan dari perspektif historiografi dikerjakan oleh Wijayanti (2019).[11] Ada pula yang membahas dari aspek nilai-nilai moral dalam teks Sewaka Darma, seperti yang dikerjakan oleh Baharudin (2020).[12] Perbandingan Bagian Awal Teks
Referensi
|