WawacanWawacan adalah bentuk karya sastra Sunda yang sangat populer pada abad ke-19 sampai awal abad ke-20. Sebelum orang Sunda mengenal bentuk penulisan prosa, hampir semua bentuk tulisan disusun dalam bentuk puisi wawacan dan dangding, yang dikarang menggunakan aturan pupuh. Cara penyampaian wawacan ini dinyanyikan secara bergiliran dalam acara tertentu atau disebut beluk. Para pelantun wawacan bisa berjumlah 5-10 orang, dengan syarat bisa nembang pupuh dengan nada yang baik dan benar.[1] Penelitian wawacanAda sebuah wawacan yang menurut penelitian Dr. Mikihiro Moriyama, peneliti kebudayaan Sunda dari Jepang, menjadi tonggak berkembangnya modernitas di kalangan orang Sunda. Wawacan tersebut adalah Wawacan Panji Wulung yang ditulis oleh R.H. Moehamad Moesa, Penghulu Kabupaten Garut pada zaman kolonial. Dalam bukunya Semangat Baru: Kolonialisme,Budaya Cetak, dan Kesastraan Sunda Abad ke-19 (2005), Moriyama menyatakan: "Wawacan Panji Wulung merefleksikan perjuangan penceritanya disertai dengan perkembangan modern dan ikhtiarnya untuk memperkenalkan gagasan-gagasan dan konsep baru kepada para pembacanya. Oleh karena itu, wawacan ini ditafsirkan sebagai ekspresi berkembangnya modernitas dalam penulisan berbahasa Sunda." Di antara unsur modernitas yang terkandung dalam wawacan ini adalah upaya Moesa menggambarkan jiwa-jiwa modern yang bertumpu pada bukti dan nalar. Misalnya, tokoh protagonis wawacan ini tidak mempercayai kekuatan dukun, tetapi meyakini bahwa kekuatan dan kegagahan timbul karena latihan yang terus-menerus. Padahal, tradisi penulisan wawacan saat itu didominasi oleh cerita-cerita khayalan yang tak masuk akal, seperti halnya dongeng. Upaya Moesa menulis wawacan tersebut tidak lepas dari anjuran pemerintah kolonial saat itu yang menghendaki tersedianya bahan bacaan bermutu untuk anak-anak sekolah. Dengan bimbingan K.F Holle, Moesa memang berpikiran sangat maju dan banyak menyerap gagasan-gasan Barat yang rasional. Gagasan tentang modernitas itu, di antaranya ia tuliskan dalam Wawacan Panji Wulung. Wawacan Panji Wulung terbit pertama kali pada 1876 dalam huruf latin. Ada juga edisi yang dicetak dalam aksara cacarakan. Kedua edisi itu mengalami cetak ulang berkali-kali dan sangat digemari oleh anak sekolah. Ada pula edisi terjemahannya dalam bahasa Jawa dan Madura. Terakhir kali wawacan ini dicetak ulang pada 1991 atas upaya Ajip Rosidi. Di Garut saat ini, Panji Wulung digunakan sebagai nama salah satu ruas jalan di pusat kota. Saking terkenalnya, banyak petikan dari wawacan ini digunakan oleh guru-guru untuk mengajarkan pupuh di sekolah. Salah satu di antaranya bait yang menceritakan Panji Wulung bertemu pimpinan Begal yang bernama Jayapati dalam pupuh Pangkur, yang lengkapnya berbunyi: Seja nyaba ngalala, ngitung lembur ngajajah milangan kori, henteu puguh nu dijugjug, balik Paman sadaya, nu ti mana tiluan semu rarusuh, lurah begal ngawalonan, aing ngaran Jayapati. Ringkasan cerita Wawacan Panji WulungKerajaan Sokadana aman sentosa. Sang raja jatuh cinta pada salah seorang selirnya. Namun, karena persekongkolan ratu yang berhati dengki, hampir saja raja menghukum mati selir itu. Selir selamat karena pertolongan patih yang setia dan tak lama kemudian melahirkan seorang anak laki-laki di tempat persembunyiannya. Bayi itu diberi nama Panji Wulung dan dididik oleh patih hingga akil balig. Suatu waktu Panji Wulung berkelana ke beberapa tempat dan berkesempatan berkenalan dengan para penguasa setempat berkat kelebihan lahiriah dan batiniah yang dimilikinya. Akhirnya Panji Wulung sampai di Campa. Di sana ia menyelamatkan seorang putri Kerajaan Campa dari cengkraman seorang pelatih gajah di hutan. Paji Wulung jatuh cinta pada sang putri dan Raja Campa memberi restu pada mereka untuk menikah. Setelah raja wafat, Panji Wulung diangkat menjadi penggantinya sesuai dengan wasiat almarhum. Patih Sokadana setia mengunjungi Panji Wulung di Campa, sedangkan Panji Wulung selalu mengunjungi ayah kandungnya di Sokadana hingga tahulah si ayah, Raja Sokadana, bahwa Panji Wulung adalah anak kandungnya sendiri. Anak lelaki patih menerima balas budi dari Raja Sokadana atas kesetiaan yang ditunjukkan oleh ayahnya. Panji Wulung kembali ke Cempa setelah berhasil memadamkan pemberontakan yang dilakukan oleh Patih Cempa yang tidak setia. Kerajaan Cempa dan Sokadana hidup makmur dan damai.[2] Referensi
|